Bank Syariah Di Indonesia Hanya Simbolisasi?
Assalamualaikum,
Saya ingin menanyakan masalah praktik Bank Syariah di Indonesia seiring dengan merebaknya pendirian bank-bank dengan label Syariah sesuai dengan syariat Islam.
Utamanya bank-bank tersebut mempromosikan bahwa dirinya bank syariah adalah dengan menitikberatkan pada istililah bagi-hasil bukan sistem bunga seperti pada bank konvensional.
Pasalnya dalam salah satu praktik produknya yaitu pinjaman pembiayaan, yang kalau saya setarakan dengan pola di bank konvensional (klik bank konvensiobal untuk melihat perbedaan bank syariah dan bank konvensional) adalah aneka macam kredit personal seperti kredit rumah, kendaraan, maupun selainnya.
Sistem yang ditawarkan sebagai berikut, semisal: jika anda memerlukan pembiayaan senilai 10 juta rupiah, maka bank akan mengambil margin keuntungan misal senilai 2 juta. Jadi dengan bank memberikan pembiayaan 10 juta nasabah harus membayarnya 12 juta, jika dibagi semisal 12 bulan, maka harus dibayar 1 jt setiap bulannya.
Menurut saya sistem ini tiada bedanya dengan bank konvensional yang menetapkan besaran persentasi bunga pinjaman dan rasanya ya sama riba' nya juga kan. Lalu dimanakah letak syariahnya, dan bagaimana bisa bank-bank itu memproklamirkan diri telah sesuai syariah? Mohon penjelasan ustadz.
Achmad Maududi, Bontang - Kaltim
Jawaban:
Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Memang beda antara keduanya amat tipis, meskipun tetap tidak sama. Titik masalahnya bukan pada berapa besar margin keuntungan yang diambil pihak bank, melainkan pada bagaimana cara pengambilan keuntungan itu.
Misalnya dalam kasus pembiayaan Rp. 10 juta rupiah. Kalau bank menetapkan keuntungan sebesar Rp. 2 juta, maka bisa dilakukan dengan beberapa cara, baik yang haram maupun yang halal.
Cara yang halal misalnya dengan murabahan. Bila anda mengajukan permohonan ke bank untuk membelikan rumah buat anda. Maka bank tersebut mencarikan rumah yang sesuai dengan keinginan anda dan membayar semua biaya pembeliannya. Lalu rumah itu dijual kepada anda dengan metode pembayaran cicilan. Untuk itu, anda harus mencicil ke pihak bank dan bank boleh mengambil keuntungan dari cicilan anda. Dengan cara mengambil keuntungan seperti ini, sebuah bank telah terhindar dari cara ribawi yang diharamkan.
Cara yang tidak halal misalnya bila bank meminjamkan begitu saja uang tersebut dan menetapkan bunga. Bank tidak mau tahu urusan uang pinjaman itu mau diapakan, pokoknya anda wajib mengembalikan pinjaman uang itu dengan bunga sekian persen dari jumlah yang anda pinjam. Ini adalah prakek ribawi.
Kalau bank syariah melakukan praktek yang kedua, jelaslah bank itu masih belum sepenuhnya menjalankan bisnis secara syariah. Orang-orang yang duduk sebagai dewan pengawas syariah pada bank tersebut berkewajiban untuk mengoreksi praktek demikian. Dan dalam proses pendirian bank syariah, kasus seperti ini bukan hal yang mustahil terjadi. Namun bukan berarti kita menolak mentah-mentah bank syariah sementara menghalalkan begitu saja bank konvensional. Ini merupakan sikap yang lebih parah lagi. Kalau kita belum bisa 100 % menjalankan syariah, bukan berarti kita boleh meninggalkan seluruhnya. Walaupun baru 50 % atau 75 % menjalankan syariah, sudah pasti lebih baik daripada yang tidak sama sekali.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
0 Response to "Bank Syariah di Indonesia "
Post a Comment