A. Pendahuluan
Di Indonesia wacana hukum Islam tentang boleh tidaknya wanita menduduki jabatan publik, baik tingkat tertinggi maupun dalam level yang lebih rendah muncul relatif baru. Topik ini mulai mengemuka pasca era Reformasi. Tepatnya, sejak tahun 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati Sukarnoputri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia.[1] Di negara muslim lain, fenomena kepala negara wanita sudah pernah dan sedang terjadi yaitu di Pakistan dan Bangladesh. Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menjadi Kepala Negara Pakistan dua periode yang pertama pada tahun 1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.[2] Bangladesh, negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh dua kepala negara wanita yaitu Khaleda Zia (1991-2006) dan Sheikh Hasina.yang berkuasa dua periode yakni tahun 1996-2001 dan 2009-sampai sekarang.[3]
Kontroversi pemimpin perempuan sebenarnya sudah mulai berhembus jauh sebelum pemilu 1999. Pro kontra ini berasal dari berbagai lapisan masyarat mulai dari politisi partai yang berbasis Islam maupun dari kalangan non-partai termasuk akademisi, aktivis ormas Islam, bahkan kalangan santri yang secara kultural berafiliasi ke NU (Nahdlatul Ulama). Hal ini dapat dimaklumi karena masalah kepemimpinan perempuan mencakup banyak dimensi: politis, sosiologis, budaya, ideologis. Termasuk di antaranya adalah dimensi syariah. Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan dari aspek hukum syariah, suatu sudut pandang yang paling menjadi perhatian kalangan santri khususnya dan umat Islam secara umum.
B. Pembagian Al-Wilayah
Level kepemimpinan dan dalam bahasa Arab disebut al wilayah yang secara etimologis berarti.suatu negara yang diatur oleh kepala pemerintahan. Al-Wilayah juga bermakna penguasa atau pejabat negara itu sendiri.[4] Secara istilah al-wilayah terbagi menjadi tiga yaitu al-wilayah al-udzma al-kubro, al-wilayah al-ammah dan al-wilayah as-sughro al-khassah. Al-wilayah al-ammah bermakna “jabatan yang memiliki otoritas untuk melaksanakan tiga jabatan yaitu eksekutif (tanfidziyah), yudikatif (qadhaiyah) dan legislatif (tashri’iyah).”[5]
Yang dimaksud al-wilayah al-udzma al-kubro yaitu wilayah negara yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang sekarang disebut dengan presiden, perdana menteri, kanselir, atau raja. Namun, ada juga perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan kata al-wilayah al-udzma al-kubro dan al-wilayah as-sughro. Ada pandangan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-wilayah al-kubro adalah kekuasaan khilafah yang mencakup seluruh negara Islam di seluruh dunia yang pemimpinnya disebut dengan al-imamah al-udzma.[6] Dalam pengertian ini, maka sebenarnya al-imam al-udzma atau al-khilafah al-ammah yang menjadi pemimpin tertinggi dalam al-wilayah al-udzma saat ini pada dasarnya tidak ada. Yang ada saat ini adalah kepala negara dalam level al-wilayah as-sughra.[7] Pandangan ini dianut oleh banyak ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Tantawi, dan Ali Jumah. Sedang al-wilayah as-sughro hanya terbatas pada satu negara Islam di antara negara-negara Islam yang lain.
Dalam konteks pemahaman seperti di atas, Qardawi menyatakan:
ولكن هناك إجماعًا للفقهاء على أن المرأة لا تصلح للخلافة العامة، أو الإمامة العظمى، والتي هي خلافة المسلمين جميعًا، ولكن هل الرئاسة الإقليمية في الدول القطرية الحالية تدخل في الخلافة، أم أنها أشبه بولاية الأقاليم قديمًا.
Artinya: (Ulama fiqih sepakat [ijmak] bahwa perempuan tidak pantas menduduki jabatan Al-Khilafah al-Ammah atau Al-Imamah Al-Udzma yaitu pemimpin seluruh umat Islam dunia. Akan tetapi apakah kepala negara dalam level lokal dan regional seperti saat ini masuk dalam kategori al-khilafah atau serupa dengan kepala daerah pada zaman dulu?).[8]
Terlepas dari itu, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah membagi kekusaan al-wilayah al-ammah yang berada di bawah kepala negara (al-wilayah al-kubro) ke dalam empat bagian:
فالقسم الأول: من تكون ولايته عامة في الأعمال العامة، وهم الوزراء، لأنهم يُستَنابون في جميع الأمور من غير تخصيص. والقسم الثاني: من تكون ولايته عامة في أعمال خاصة، وهم: أمراء الأقاليم والبلدان؛ لأن النظر فيما خصوا به من الأعمال، عام في جميع الأمور. والقسم الثالث: من تكون ولايته خاصة في الأعمال العامة، وهم كقاضي القضاة، ونقيب الجيوش، وحامي الثغور، ومستوفي الخراج، وجابي الصدقات؛ لأن كل واحد منهم مقصور على نظر خاص في جميع الأعمال. والقسم الرابع: من تكون ولايته خاصة في الأعمال الخاصة، وهم: كقاضي بلد، أو إقليم، أو مستوفي خراجه، أو جابي صدقاته، أو حامي ثغره، أو نقيب جند؛ لأن كل واحد منهم خاص النظر، مخصوص العمل
Artinya: (Bagian pertama, orang yang kekuasaannya umum dalam urusan umum. Mereka adalah para menteri karena mereka bertanggung jawab atas semua perkara tanpa kekhususan. Kedua, pejabat yang kekuasaannya umum dalam tugas-tugas khusus. Mereka adalah pejabat daerah dan kota, karena melihat pada tugas yang dikhususkan pada mereka itu umum dalam segala urusan. Ketiga, pejabat yang kekuasaannya khusus dalam urusan yang umum. Mereka seperti hakim, komandan tentara, penarik pajak dan zakat. Keempat, pejabat yang tugasnya khusus untuk urusan khusus. Seperti hakim kota atau daerah, penarik pejak atau zakat, penegak hukum, dan lain-lain. Karena masing-masing memiliki pengawasan khusus dan tugas khusus).[9]
C. Titik Kontroversi Kepemimpinan Perempuan
Terjadinya pro dan kontra dalam soal pemimpin wanita dalam Islam berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah teks baik dari Al-Quran maupun hadits. Beberapa nash yang menjadi ajang perbedaan penafsiran antara lain::
- QS An Nisa 4:34 Allah berfirman “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),…”.
- QS Al Ahzab 33:33 Allah berfirman: “dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”.
- QS Al-Ahzab 33:53 Allah berfirman: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
- QS Al-Baqarah 4:282 Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”
- QS At Taubah 9:71 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”
- QS An-Naml ayat 27:23-44 (kisah tentang dan pujian Allah terhadap Ratu Balqis).
- Hadits Nabi: “Wanita adalah saudara dari laki-laki.”
- Hadits Nabi: “Allah mengizinkan kalian perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhanmu.”
- Aisyah memimpin tentara laki-laki dalam perang Jamal.
- Umar bin Khattab mengangkat wanita bernama As-Syifa sebagai akuntan pasar.
- Hadits sahih riwayat Bukhari dari Abu Bakrah, Nabi bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita.”
Teks hadits dari Abu Bakrah dan QS An Nisa 4:34 menjadi alasan paling mendasar dari kalangan ulama yang mensyaratkan kepemimpinan harus di tangan laki-laki dan menolak atas bolehnya peran wanita menduduki posisi tersebut. Sedangkan kisah Ratu Balqis dalam QS An-Naml 27:23-44, dan QS At Taubat 9:71 serta hadits ““Wanita adalah saudara dari laki-laki.” menjadi argumen dasar ulama yang membolehkan pemimpin perempuan.
D. Pandangan yang Mengharamkan Pemimpin Wanita
Pendapat yang mengharamkan kepala negara perempuan mendasarkan argumennya terutama pada QS An Nisa 4:34 dan hadits dari Abu Bakrah di atas. Dari kedua nash tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk madzah empat berpendapat bahwa al-imam harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan. Ibnu Katsir, misalnya, dalam Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsiri QS An-Nisa 4:34 menyatakan:
الرجل قيم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت. “بما فضَّل اللّه بعضهم على بعض” أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة، ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال، وكذلك المُلك الأعظم؛ لقوله _صلى اللّه عليه وسلم: “لن يفلح قوم ولَّو أمرهم امرأة” رواه البخاري، وكذا منصب القضاء وغير ذلك “وبما أنفقوا من أموالهم” أي: من المهور والنفقات… فناسب أن يكون قيماً عليها كما قال اللّه _تعالى_: “وللرجال عليهن درجة” الآية، وقال ابن عباس: “الرجال قوامون على النساء” يعني أمراء عليهن، أي تطيعه فيما أمرها اللّه به من طاعته…)
Artinya: (Laki-laki adalah pemimpin wanita … karena laki-laki lebih utama dari perempuan. Itulab sebabnya kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja yang agung; … begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya… Ibnu Abbas berkata “Laki-laki pemimpin wanita” maksudnya sebagai amir yang harus ditaati oleh wanita).
Ar-Razi dalam Tafsir Ar-Razi sependapat dengan pandangan Ibnu Katsir:
واعلم أن فضل الرجل على النساء حاصل من وجوه كثيرة، بعضها صفات حقيقة، وبعضها أحكام شرعية وفيهم الإمامة الكبرى والصغرى والجهاد والأذان والخطبة والاعتكاف والشهادة في الحدود والقصاص بالاتفاق
Artinya: (Keutamaan laki-laki atas wanita timbul dari banyak sisi. Sebagian berupa sifat sifat faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum syariah seperti al-imamah as-kubro dan al-imamah as-sughro, jihad, adzan, dan lain-lain).
Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengutip ijmak-nya ulama bahwa salah satu syarat menjadi imam adalah laki-laki (dzukuroh):
وأما الذكورة فلأن عبء المنصب يتطلب قدرة كبيرة لا تتحملها المرأة عادة، ولا تتحمل المسؤولية المترتبة على هذه الوظيفة في السلم والحرب والظروف الخطيرة، قال صلّى الله عليه وسلم : «لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة» (2) لذا أجمع الفقهاء على كون الإمام ذكراً.
Artinya: (Adapun laki-laki [sebagai syarat jabatan al-imam] karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak dapat ditanggung wanita. Wanita juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan ini dalam masa damai atau perang dan situasi berbahaya. Nabi bersabda: ‘Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita’ Oleh karena itu, ulama fiqih sepakat bahwa jabatan Imam harus laki-laki). Tentu saja yang dimaksud al-imam di sini adalah al-imam al-udzma atau al-khalifah al-ammah yang mengepalai muslim dunia.
Namun, menurut Wahab Zuhaili, dalam masalah jabatan qadhi atau hakim, terdapat perbedaan ulama fiqih apakah wajib laki-laki atau perempuan juga boleh menempati posisi ini:
اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة
Artinya: (Imam madzhab sepakat bahwa syarat bagi qadhi adalah berakal sehat, baligh, merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu. Mereka berbeda pendapat dalam syarat adil dan laki-laki).
Ulama yang membolehkan wanita menduduki jabatan qadhi atau hakim antara lain Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Rushd memerinci perbedaan pendapat ini dalam kitab Bidayatul Mujtahid:
وكذلك اختلفوا في اشتراط الذكورة: فقال الجمهور: هي شرط في صحة الحكم، وقال أبو حنيفة يجوز أن تكون المرأة قاضيا في الأموال. قال الطبري : يجوز أن تكون المرأة حاكماعلى الإطلاق في كل شيء
Artinya: (Ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya laki-laki sebagai hakim. Jumhur mengatakan: ia menjadi syarat sahnya putusan hukum. Abu Hanifah berkata: boleh wanita menjadi qadhi dalam masalah harta. At-Tabari berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal).
Sementara itu, kalangan ulama kontemporer yang mengharamkan kepemimpinan wanita dipelopori oleh ulama Wahabi. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan dalam fatwanya bahwa wanita dilarang menduduki jabatan tinggi apapun dalam pemerintahan:
تولية المرأة واختيارها للرئاسة العامة للمسلمين لا يجوز، وقد دل الكتاب والسنة والإجماع على ذلك ، فمن الكتاب : قوله تعالى : { الرجال قوَّامون على النساء بما فضَّل الله بعضهم على بعض ، والحكم في الآية عام شامل لولاية الرجل وقوامته في أسرته ، وكذا في الرئاسة العامة من باب أولى ، ويؤكد هذا الحكم ورود التعليل في الآية ، وهو أفضلية العقل والرأي وغيرهما من مؤهلات الحكم والرئاسة . ومن السنَّة : قوله صلى الله عليه وسلم لما ولَّى الفرسُ ابنةَ كسرى : ( لن يفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة ) ، رواه البخاري ولا شك أن هذا الحديث يدل على تحريم تولية المرأة لإمرة عامة ، وكذا توليتها إمرة إقليم أو بلد ؛ لأن ذلك كله له صفة العموم ، وقد نفى الرسول صلى الله عليه وسلم الفلاح عمَّن ولاها ، والفلاح هو الظفر والفوز بالخير .
Artinya: (Kepemimpinan wanita untuk riasah ammah lil muslimin itu tidak boleh. Quran, hadits dan ijmak sudah menunjukkan hal itu. Dalil dari Al-Quran adalah QS An-Nisa 4:34. Hukum dalam ayat tersebut mencakup kekuasaan laki-laki dan kepemimpinannya dalam keluarga. Apalagi dalam wilayah publik… Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh perempuan.” Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan pada otoritas umum atau otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki sifat yang umum. Rasulullah telah menegasikan kejayaan dalam suatu negara yang dipimpin perempuan).
Fatwa Bin Baz di atas tidak membedakan antara riasah ammah yakni al-khilafah al-ammah dengan al-wilayah al-khassah. Juga, semua posisi jabatan tinggi seperti hakim, menteri, gubernur, dan semua posisi yang membawahi laki-laki haram hukumnya diduduki oleh perempuan.
E. Pandangan yang Membolehkan Pemimpin Wanita
Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan:
ان تولي المرأة رئاسة الدولة لا يخالف الشريعة الإسلامية لأن القرآن الكريم أشاد بتولي المرأة لهذا المنصب في الآيات التي ذكرها المولى عز وجل عن ملكة سبأ وأنه إذا كان ذلك يخالف الشريعة الإسلامية لبين القرآن الكريم ذلك في هذه القصة وحول نص حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لم يفلح قوم ولو أمرهم امرأة )، قال طنطاوي ان هذا الحديث خاص بواقعة معينة وهي دولة الفرس ولم يذكره الرسول صلى الله عليه وسلم على سبيل التعميم.: فللمرأة أن تتولى رئاسة الدولة والقاضية والوزيرة والسفيرة وان تصبح عضوا في المجالس التشريعية إلا أنه لا يجوز لها مطلقا أن تتولى منصب شيخ الأزهر لأن هذا المنصب خاص بالرجال فقط لأنه يحتم على صاحبه إمامة المسلمين للصلاة وهذا لا يجوز شرعا للمرأة.)
Artinya: (Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita).
Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Menurut Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhaawi bahwa kedudukan Al-Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.
Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.
F. Analisis Penulis
Pendapat yang membolehkan prempuan menjadi pemimpin salah satunya adalah Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Kebolehan perempuan menjadi pemimpin karena prempuan dan laki- laki memiliki potensi yang sama, dan yang paling perlu di perhatikan adalah sosiologis keadaaan perempuan pada masa lalu tidak sam seperti saat sekrang ini. Hari ini perempuan berpendidikan, tidak seperti perempuan di masa lalu,. Oleh karenanya perubahan sosiologis kehidupan yang terjaddi anatara perempuan sekarang dengan lalu berdampak pada ruang dan tempat kedudukan perempuan saat sekarang ini.
G. Kesimpulan
Terdapat kesepakatan ulama fiqih (ijmak) dari keempat madzhab dan lainnya, salaf dan kontemporer, bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma. Namun, ada perbedaan pandangan tentang definisi kedua istilah ini. Mayoritas memaknai kata al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma sebagai kepala negara yang membawahi wilayah Islam di seluruh dunia seperti yang terjadi pada zaman empat khalifah pertama (khulafaur rasyidin), masa khilafah Abbasiyah dan Umayyah. Ulama fiqih klasik umumnya juga tidak membolehkan perempuan menjadi hakim, kecuali Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir At-Tabari yang membolehkan wanita menduduki posisi apapun. Pandangan ketiga ulama terakhir ini menjadi salah satu alasan ulama kontemporer atas bolehnya wanita menjabat posisi apapun asal memenuhi syarat.
Bagi kalangan yang mengharamkan kepala negara wanita, setiap negara muslim saat ini termasuk dalam kategori al-wilayah al-ammah yang pemimpinnya disebut al-imamah al-udzma. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh menduduki posisi ini. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Tantawi, Yusuf Qardawi dan Ali Jumah, masing-masing negara yang ada saat ini adalah salah satu bagian wilayah alias al-wilayah al-khassah bukan al-wilayah al-ammah dan karena itu boleh dipimpin oleh perempuan termasuk posisi jabatan lain yang berada di bawahnya seperti hakim, menteri, gubernur, DPR, dan lain-lain.
Di antara kedua pendapat di atas, ada pandangan yang ekstrim yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menduduki posisi jabatan apapun yang membawahi laki-laki dengan argumen QS An-Nisa 4:34 dan hadits Abu Bakrah. Pendapat ini berasal dari ulama Wahabi Arab Saudi dan didukung oleh hampir semua kalangan yang pro dengan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdullah bin Abdul Azin bin Baz, Majmuk Fatawa Ibn Baz, no. fatwa: 30461.
- Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (Cambridge University Press:2013).
- Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultaniyah, (Bairut: Dar al-Fiqr, t, t).
- Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, no. fatwa: 11780, hlm. XVII/ 13.
- Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan tanggal 29 Agustus 2009.
- Harian Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429.
- Ibnu Rashd, dalam Bidayatul Mujtahid, IV, (Semarang: Citra Pustaka, 2002).
- Ibnu Taimiyah dalam Al-Wilayah as-Siyasiyah al-Kubro fil Islam, (Bairut: Dar al-Fiqr, t,th).
- Ismail bin Umar Ad-Dimashqi, Tafsir Ibnu Katsir, II, (Bairut: Dar al- Fiqr, t, t).
- Libby Hughes, Benazir Bhutto: From Prison to Prime Minister, (Universe: 2000).
- Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 8, (Bairut: Dar al- Fir, t,t).
- Willem van Schendel, A History of Bangladesh, (Cambridge University Press 2009).
Benazhir Bhutto sebagai Perdana Menteri bukanlah kepala negara, melainkan kepala pemerintahan. Di negara yang menganut demokrasi parlementer, dimana cabang eksekutif pemerintah merupakan turunan dari cabang legislatifnya, perdana menteri merupakan anggota majelis parlemen yang dominan (biasanya majelis rendahnya) yang dapat memimpin kepercayaan mayoritas anggota parlemen lainnya dan membentuk serta memimpin pemerintahan. Sementara kepala negara dapat berupa presiden (yang dapat dipilih oleh rakyat secara langsung maupun tidak langsung oleh parlemen atau melalui mekanisme electoral college) apabila suatu negara republik, atau suatu raja/ratu apabila suatu negara monarki konstitusional. Di negara parlementer memang Perdana Menterilah yang memegang peran dominan dalam pelaksanaan pemerintaham sementara kepala negara yang dapat berupa raja/ratu atau presiden hanya berupa simbol meskipun pada hakikatnya memiliki kedudukan tertinggi secara de jure, otoritas tersebut secara de facto dilaksanakan dan dalam ranah pertimbangan kepala pemerintahan yaitu Perdana Menteri sebagai anggota parlemen yang mendapat kepercayaan dari mayoritas anggota parlemen lainnya untuk memimpin pemerintahan tersebut (makanya disebut sistem/demokrasi parlementer).
ReplyDelete