Pendekatan Kontekstual Dalam Memahami Ajaran Islam

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMAHAMI AJARAN ISLAM 
TELAAH TERHADAP PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI DALAM BUKUNYA 
IJTIHAD KEMANUSIAN

A. PENDAHULUAN 

Islam sebagai agama yang shalihun likulli zamanin wa makanin, pada saat ini dituntut untuk bisa menjawab permasalahan-permasalahan umat yang tengah terjadi sehubungan dengan banyaknya terjadi perubahan dan perbedaan yang kesemuanya itu tidak dapat ditolak, baik dari segi perubahan waktu/zaman, perubahan sosial, perubahan ekonomi dan lain-lain, begitu pula dengan perbedaan seperti perbedaan tempat, adad istiadat/kebiasaan (urf). Perubahan dan perbedaan ini merupakan salah satu yang menjadi tantangan dalam Islam khususnya terkait dengan masalah hukum fiqh. 

Setelah hampir beberapa abad lamanya Islam dalam keadaan kemunduran, baik dari segi pendidikan, politik, ekonomi, dan lain-lain terjadilah perubahan dan perbedaan yang sangat signifikan sehingga lambat laun terjadi banyak perkara yang tidak mampu dijawab oleh Islam atau ditangguhkan. 

Dalam rangka menjawab tantangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan, banyak cendekiawan muslim baik di timur maupun barat menuangkan ide maupun gagasan baik melalui media cetak maupun elektronik. Ide dan gagasan yang mereka kemukakan adakalanya mendapat respon positif dari sebagian orang, dan ada pula yang melihatnya sebagai sesuatu yang kontroversial. 
http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/kontroversi-fatwa-merokok.html

Di antara cendikiawan muslim Indonesia yang mencoba menuangkan buah pemikiran dan hasil “ijtihad”-nya untuk menjawab tantangan zaman tersebut adalah Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA mantan menteri agama dua periode Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pak Munawir dengan gagasan kontekstualisasi ajaran Islam telah melahirkan berbagai polemik dan perdebatan antar ulama dan cendekiawan Muslim, di antara mereka terdapat yang pro dan kontra. 

Munawwir dengan gagasan kontekstualisasi ajaran Islam ingin menjawab dan memberikan arah baru terhadap beberapa permasalahan keislaman yang terjadi pada masyarakat muslim Indonesia, seperti masalah politik (Negara Islam), warisan, budak/hamba sahaya, bunga bank dan lain-lain. Mengingat beberapa isu ini masih hangat untuk dibicarakan dan diperbincangakan, maka pemakalah melalui tulisan ini ingin menelaah kembali pemikiran Pak Munawir dalam bukunya Ijtihad Kemanusian terkait pendekatan kontekstual dalam memahami ajaran Islam. 


PEMBAHASAN 

A. Profil Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA 

Sebelum diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV (1983), Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi dalam bidang pemikiran Islam. Hal itu dapat dimaklumi karena dalam kariernya di Departemen Luar Negeri (1950-19830), Munawir lebih banyak berada di luar negeri dalam berbagai jabatan diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRI di Colombo Srilangka (1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI yang sama (1966-1968), Minister Councelor KBRI London (1970-1975) sampai menjadi Duta Besar RI di KBRI Kuwait, merangkap Duta Besar RI non resident untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain (1976-1980). Total dari 33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan 17 tahun di luar negeri, sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai jabatan di Deplu mulai dari staf seksi Arab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen Politik (1980-1983). Praktis Munawir tidak pernah terjun dalam bidang yang menyebabkan dia bisa dikenal luas oleh masyarakat. 

Munawir Sjadzali dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 7 November 1925 dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (setelah menikah diberi nama tua Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah Munawir adalah seorang Kyai di kampungnya yang secara formal menjabat Kepala Madrasah Bi’tsah al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) di Karanganom Klaten. Nama Sjadzali di belakang nama ayahnya karena memang beliau seorang pengikut Tarekat Syadzaliyah. Itu pulalah sebabnya di belakang nama anaknya juga ditambah Sjadzali. 

Pendidikan agama diperoleh Munawir pertama dari orang tuanya sendiri, dan kedua dari pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah (5 tahun) di Karang Anom, Tsanawiyah (1 tahun) di Madrasah Al-Islam Solo, kemudian Pondok Pesantren Manba’ul ‘Ulum Solo (5 tahun). 

Setelah tamat Manba’ul ‘Ulum tahun 1943, Munawir sempat jadi guru Sekolah Dasar Islam Ungaran, Jawa Tengah satu tahun, kemudian ikut perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Jawa Tengah sampai tahun 1949. Seperti disebutkan di atas tahun 1950 Munawir mulai berkarier di Departemen Luar Negeri Jakarta.

Selama berkarier di Deplu, Munawir sempat mengikuti Kursus Diplomatik dan Konsuler Angkatan II (1951) selama 10 bulan, dan pendidikan ilmu politik selama satu tahun di University College of South West of England, Exeter (1953). Waktu bertugas di Amerika, Munawir menyempatkan mengikuti kuliah pascasarjana di Universitas Georgetown dalam bidang Hubungan Internasional dan mendapat Master tahun 1959 dengan tesis: Indonesia’s Muslim Political Parties and Their Political Concept. 

Karya tulis Munawir yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam (80 halaman). Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis. Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama (lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas Jakarta). Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Deplu. Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. 

Atas permintaan Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak tahun 1988 Munawir mengajar mata kuliah Islam dan Tata Negara di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Begitu pula atas permintaan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (pada saat dipimpin oleh Drs. H. Zarkasyi Abd. Salam) Munawir memberikan ceramah Islam dan Tata Negara di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Pada tahun 1994 IAIN Syarif Hidayatullah menganugerahi Munawir Doktor Honoris Causa. Di samping itu beliau juga pernah menjadi Lektor Tamu pada Institute of Islamic Studies McGill University, Canada (Maret-Mei 1994), dan Universitas Leiden, Belanda (April 1995). 

B. Kontekstualisasi Ajaran Islam dan Latar Belakangnya 

Dalam tiga dekade ini, di Indonesia banyak bermunculan istilahistilah yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial-keagamaan Islam untuk menggarisbawahi perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan social budaya), membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial.

Munawir Syazali dalam berbagai tulisannya, selain menggunakan istilah kontekstualisasi juga menggunakan istilah reaktualisasi. Reaktualisasi dalam kamus besar bahasa Indonesia dimaknai sebagai “proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat”. 

Selain itu, kata reaktualisasi berasal dari bahasa Inggris actual yang berarti sebenarnya atau sesungguhnya, dan actualize yang berarti mewujudkan dan melaksanakan.

Kata tersebut di susun dari kata re dan actualize menjadi reaktualization (kata benda) yang berarti menghidupkan kembali atau mewujudkan dan membangun kembali. 

Reaktualisasi ajaran Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, berarti selama ini, Islam tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa ajarannya tidak lagi berjalan secara benar dalam masyarakat, sehingga perlu dibuka lagi untuk kebutuhan hidup sekarang. 

Adapun kontekstualisasi ajaran islam, maka bisa dipahami sebagai upaya atau cara mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan membuat kesimpulan hukum dari sumber ajaran Islam. 

Mengenai gagasan rekatualisasi hukum Islam, maka ini mulai dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985. Pada waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras.

Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka samasama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.

Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir, kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan faktorfaktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidh.

Berdasarkan latar belakang di atas, Munawir kemudian mengajukan ide untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan tersebut yang kemudian diistilahkannya dengan reaktualisasi. Tetapi pertanyaannya, apakah reaktualisasi tersebut boleh dilakukan? Bukankah ketentuan hukum tersebut berdasarkan nas yang oleh para ulama dinilai qath’i? 



C. Konsep Reaktulisasi Munawwir Sjadzali 

Tidaklah suatu gagasan dan konsep pemikiran muncul ke permukaan melainkan memiliki pondasi dan pijakan yang kokoh dan argumentasi yang kuat. Begitu juga halnya dengan konsep reaktualisasi Munawwir Sjazali yang muncul ke permukaan tentunya juga memiliki landasan yang kuat hingga layak untuk didiskusikan. Ide reaktualisasi Munawwir Sjazali ini, dalam hemat penulis berangkat dari beberapa permasalahan yang muncul dalam perjalanan hukum Islam dan dinamika peradaban modern. Berikut ini penulis kemukakan argumentasi Munawwir Sjazali akan perlunya reaktualisasi hukum Islam : 

C.1. Al-Quran dan Perubahan Hukum

Munawwir mengemukakan bahwa dalam Al-Quran dan hadits Nabi terdapat Nasakh. Dalam kitab suci kita terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh Nabi besar Muhammad SAW pada waktu-waktu sebelumnya. Menurut tafsir Al-jawahir, karya syekh Thanthawi Jauhari terdapat sebanyak 21 kasus nasakh dalam Al-Quran. Sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang yahudi bahwa terjadinya pembatalan oleh satu ayat terhadap hukum atau petunjuk yang telah diberikan oleh ayat terdahulu, khususnya mengenai pemindahan kiblat, itu mencerminkan bahwa Nabi tidak konsisten dan mencla-mencle ( plin-plan), maka turun ayat 106, Surat Al- Baqarah yang artinya : “ apa saja ayat yang kami nasakhkan atau ( batalkan ), atau kami jadikan ( manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. “ 

Kemudian marilah kita ikuti komentar sejumlah mufassir besar terhadap ayat tersebut. 

1. Ibnu Katsir : “ Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya naskh (pembatalan) dalam Hukum-hukum Allah”. 

2. Ahmad Musthofa Al-Maraghi : “Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir”. 

3. Muhammad Rasyid Ridha :”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkan hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu.” 

4. Sayyid Qutub : berpendapat bahwa ayat 106 dari surat Al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi Muhammad tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid Aqsa ke Masjid Al-Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang 

Dari permasalahan nasakh ini lah, munawwir menggangkat permasalahan tidak kontekstualnya lagi bab perbudakan dalam kitab-kitab fikih. 

C.2. Peran akal dalam melihat kemaslahatan 

Sudah menjadi kesepakatan atau konsensus antara para ahli hukum bahwa Hukum Islam itu terbagi ke dalam dua kategori, yaitu hukum yang bertalian dengan Ibadah murni, dan hukum yang menyangkut muamalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hal hukum yang termasuk katagori pertama tidak banyak kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran. Tetapi dalam hal hukum dari katagori kedua lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan, Al Izzi bin Abdussalam, seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi’i, menyatakan bahwa “semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat, dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang durhaka”. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dari golongan Hambali, mengatakan bahwa : “ perubahan dan perbedaan fakta atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat. Ya’kub bin Ibrahim b. Habib Al- Ansari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Yusuf, dan adat tersebut kemudian berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam naskh itu.

C.3. Bukti sejarah akan adanya penyimpangan antara teks dan konteks. 

Kasus penyimpangan terhadap nash dalam sejarah yang dilakukan oleh sebagian para pemimpin maupun ulama telah mendorong Munawwir untuk melakukan reaktualisasi hukum Islam, seperti :

a. Umar ibn Khattab. Ia telah memutuskan berbagai perkara yang kontroversial di masanya seperti masalah pembagian ghanimah, pembagian zakat untuk muallaf, talak, penjualan umm al-walad, hukuman bagi pencuri, hukuman bagi pelaku zina, ta’zir, dan lain-lain. 

b. Umar ibn Abd al-Aziz. Ia melarang pejabat Negara dan karyawan pemerintahan menerima hadiah. Sedang ia tahu bahwa Nabi sendiri, Abu Bakr, Umar, dan Usman dulu menerima hadiah. 

c. Abu Yusuf al-Hanafi. Ia berpendapat bahwa suatu nash yang dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash itu. Misalnya, Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli gandum itu dipergunakan ukuran takaran, mengikuti adat setempat waktu itu. Tetapi kebiasaan itu kemudian berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli gandum digunakan ukuran timbangan. 

d. Izz al-Din ibn Abd as-Salam. Ia menyatakan bahwa : “Segala upaya hendaknya difokuskan atau dikembalikan kepada kepentingan manusia, dunia, dan akhirat. Tuhan tidak memerlukan ibadah kita. Ia tidak beruntung karena ketaatan mereka yang taat, dan sebaliknya tidak dirugikan oleh perbuatan maksiat dari mereka yang durhaka. 

e. Al-Thufi al-Hanbali. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi tabrakan antara kepentingan umum dengan nash dan ijma’, maka wajib didahulukan dan dimenangkan kepentingan umum. 

f. Muhammad Abduh. Menurut Abduh, bilamana terjadi tabrakan antara manqul (nash) dan ma’qul (hasil penalaran), maka hendaknya diambil hasil penalaran. 

Dengan dipaparkannya secara jelas pendapat ini, maka bisa kita lihat dan baca arah dari gagasan Munawir bahwa sebenarnya gagasannya ini berangkat dari pentingnya mendahulukan kepentingan umum karena syariat tidak lah diturunkan melainkan untuk menjaga maslahat. Oleh karenanya, di berbagai tulisannya Munawir begitu menyokong dan mendukung cara Umar berijtihad, yang memanfaatkan akal budi dengan berani dan jujur, demi mempertahankan relevansi ajaran Islam. 

D. Munawir Sjadzali dengan Bukunya Ijtihad Kemanusian 

Gagasan reaktualisasi yang coba dibangun oleh Munawwir Sjadzali tidaklah terhenti pada seminar dan ceramah saja. Lebih lanjut, ia mencoba membangun landasan berpikirnya ataupun ijtihadnya dengan menuangkan gagasan tersebut pada bukunya Ijtihad Kemanusian. 

Bagi Munawir, pengembangan intelektual dalam dunia Islam boleh dikata sejak lama terhenti, hal ini ditandai dengan jeranya para pemikir Islam untuk berani berpikir dan daya imajinasi yang mandek. Sebagai akibatnya, islam yang dulu di tangan Nabi merupakan ajaran yang revolusioner, sekarang ini mewakili aliran yang terbelakang. Dan umat islam pun tidak dapat diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada peradaban dunia di zaman kita hidup sekarang ini. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya contoh kasus dimana Islam pada satu sisi bersikap konservatif pada sisi lain ia bersikap reaksional. 

Di antara kasus yang menggambarkan mengenai hal ini adalah : 

a. Kasus kedudukan wanita 

Dalam pembagian harta warisan, AlQuran an-Nisa’; 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. 

يو صيكم الله في اولاد كم للذكر مثل حظ الانثيين. 

Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama. 

Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Alquran tersebut. Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. 

Sementara itu, banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang sah betul ? atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama. 

Oleh karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Alquran menganut nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra). 

Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama. 

Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membegi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid. 

Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini. 

Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut. 

b. Kasus bunga bank 

Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum dewasa ini adalah maslah bunga bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal. 

Di antara ulama yang mangatakan bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini tidak sejalan dengan QS. al-Baqarah (2): 173 yang memberi kelonggaran karena tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan esensial. 

Ketika Munawir menyampaikan sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan alasan darurah ?. 

Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangan melakukan riba. Di antara ulama yang dapat menerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangna pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i. 

Terkait dengan hal tersebut, apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan bank biasa dengan alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang (syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku. 

c. Kasus kedudukan warga non muslim 

Pada kasus ataupun tema ini yang menjadi pembahasannya adalah mengenai Islam dengan Negara atau pemerintahan. Dimana dalam hal ini terdapat tiga pandangan dan sikap yang berbeda tentang Islam dan ketatanegaraan itu sendir dikalangan pemikir-pemikir Islam. Sikap pertama lahir dari pemikiran bahwa Al-Qur'an tidak memiki sistem politik yang baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa pretense untuk mendirikan negara. Pemikiran ini antara lain diwakili oleh Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Karena itu, umat Islam harus meniru Barat untuk mencapai kemajuan mereka.

Sedangkan sikap kedua lahir dari pandangan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qu'ran , ibarat super market telah menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal ini dijabarkan pula oleh praktek Nabi dalam membangun Negara Madinah dan pemerintahan yang dilanjutkan oleh penerus beliau al-Khulafa' al-Rasyidun. Inilah yang mesti diteladani oleh umat Islam. Karenanya, kita tidak perlu meniru system politik Barat yang dipengaruhi oleh semangat sekularisme. Tokoh yang menegembangkan pemikiran ini antara lain adalah Abu al-A'la al-Maududi, Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb. 

Di antara kedua kutub diatas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan system politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur pemerintahan. Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahn yang mereka hadapi. Karenanya, Islam tidak melarang umatnya menagdopsi pemikiran-pemikiran dari luar, termasuk dari Barat sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya tidak menolak pemikiran tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang prinsip-prinsip demokrasi. Tokoh-tokoh yang mewakili pemikiran ini antara lain adalah Muhammad Husein Haykal, Abduh dan Iqbal. 

d. Kasus perbudakan 

Menurut Munawir dalam AlQuran terdapat beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan. Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. 

Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula. 

Apabila alur pendapat itu kita terima bahwa sedangkan hal-hal yang mendasar seperti perbudakan, nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, maka apakah sebagai umatnya kita tidak seharusnya belajar dari kebijaksanaan panutan agung kita itu ? 

Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan. 

E. Respons terhadap Reaktualisasi 

Seperti yang sudah disebutkan di atas, gagasan reaktualisasi Munawir mendapatkan tanggapan yang cukup luas dari masyarakat ilmiah Indonesia, baik yang pro maupun yang kontra. Dalam buku Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dimuat 12 tanggapan dari kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu: K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA, “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis tidak Selalu Relevan”; Prof. K.H. Ali Yafie, “Antara Ketentuan dan Kenyataan?”; K. H. Ali Darokah,“Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar yangWajar”; Dr. Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad Umar ibn Khattab”; Mr. Syafruddin Prawiranegara, “Reinterpretasi Sebagai Dasar Reaktualisasi Ajaran-ajaran Islam”; Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc.,“Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar”; R.A.; Rifyal Ka’bah, MA, Bawalah kepada Kami Al-Qur’an yang Lain atau Gantilah”; Kamaluddin Marzuki, MA, “Jangan Sampai Energi Terbuang Percuma”; M. Yahya Harahap SH, “Praktek Hukum Waris tidak Pantas Membuat Generalisasi”; Dr. H. Peunoh Dali, “Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam”; Aminullah HM, “Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi Ajaran Islam”; Drs. Masdar F. Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”. 

Dalam buku Kontekstualisi Ajaran Islam dimuat empat tanggapan masing-masing dari Prof. K.H. Ibrahim Hosein, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”; Dr. H. Satria Effendi M. Zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”; Dr. Atho Mudzhar, “Letak Gagasan Munawir Sjadzali dalam Konteks Reaktualisasi Hukum Islam di Dunia Islam”; dan dari K. H. Ali Yafie,“Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”. 

Dari segi semangat, para penanggap tampaknya dapat menyetujui usaha-usaha reaktualisasi baik, yang dilakukan oleh Munawir maupun pemikir lainnya. Hanya saja sebagian dari mereka berbeda pendapat dalam metodologi yang digunakan dan juga dalam menilai kasus-kasus yang dikemukakan. Ibrahim Hosein, misalnya, memberikan catatan tentang maslahat yang didahulukan dari nas jika terjadi pertentangan antara keduanya. Ibrahim Hosein mempersoalkan apakah dapat terjadi pertentangan antara nas dan maslahat, sebab dalam nas itu sendiri sudah terkandung nilai kemaslahatan. Dan juga, apakah benar tidak ada pertentangan dalam maslahat itu sendiri?

Ibrahim Hosein juga menjelaskan pendapat Abu Yusuf yang dikutip oleh Munawir yang menyatakan bahwa nas sekalipun, kalau dahulu dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nas itu. Menurut Ibrahim Hosein, adat yang dijadikan sendi hukum yang kemudian berubah tersebut tidaklah berkenaan dengan substansi hukum melainkan dengan penjelasan dan penerapannya.

Karena Munawir berargumentasi dengan ijtihad Umar, maka Jalaluddin Rakhmat menguraikan lima pandangan tentang ijtihad Umar, yaitu (1) Ijtihad Umar tidak meninggalkan nas, apalagi mengganti atau menghapus ketentuannya; (2) Ijtihad Umar memang meninggalkan zhahir nas. Karena ia berpegang kepada ruhnya nas, atau Maqashid al-Ahkam as-Syar’iyyah; (3) Ijtihad Umar berkenaan dengan masalah-masalah qath‘iyyah yang bukan bidang ijtihad; tetapi ini diperbolehkan khusus untuk Umar;(4) Ijtihad Umar telah meninggalkan nas yang sharih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihadnya tetap memperoleh ganjaran; (5) Ijtihad Umar memang banyak melanggar nas yang qath‘i, tetapi itu dilakukan Umar karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.

Sementara itu, Syafruddin Prawiranegara menjelaskan tentang makna keadilan dalam warisan, dan juga tentang status hukum waris yang masuk kategori voluntary law (hukum yang berlaku kalau yang berkepentingan tidak mempergunakan alternatif-alternatif lain yang tersedia), bukan compulsary law (hukum yang berlaku secara mutlak). Para ahli waris dapat memusyawarahkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembagian waris jika memang ada kasus yang perlu jadi perhatian seperti yang dikemukakan oleh Munawir.

Demikianlah beberapa respons ilmiah yang datang dari cendikiawan muslim Indonesia terhadap gagasan reaktualisasi atau kontektualisasi ajaran Islam yang kiranya bisa menjadi bahan perbandingan dan pertimbangan dalam menerima sebuah gagasan baru yang cukup kontroversi. 

F. Analisis 

Melihat isu-isu kemanusiaan yang diangkat oleh Munawir sebagai contoh perlunya kontekstualisasi ajaran, maka sebenarnya bisa dikatakan bahwa pertimbangannya adalah kemaslahatan umat dan tidak relevannya lagi beberapa penerapan ketentuan yang ada dalam nash maupun hukum fikih dalam menyikapi fenomena yang terjadi di masyarakat. Sehingga pada akhirnya seseorang dituntut untuk berijtihad menetapkan suatu hukum. 

Kemaslahatan yang coba digagas oleh Munawir dalam hemat pemakalah merupakan gagasan kemaslahatan yang mengoptimalkan peran akal dalam menentukan apakah pada sesuatu itu ada maslahatnya atau mafsadatnya. Peran akal dalam menentukan baik atau buruk sudah menjadi bahan perdebatan di kalangan mutakallimin berabad-abad silam. Sebagian mutakkallimin berpandangan bahwa akal dapat menentukan baik dan buruk, maslahat dan mafsadat, sebagiannya lagi berpandangan bahwa nashlah yang menjadi penentu apakah pada sesuatu itu terdapat mafsadat atau maslahat, yang dengan kata lain nash yang datang itu sudah mempertimbangkan keberadaan maslahat dan tidak keluar darinya. 

Selain mengoptimalkan peran akal, Munawir juga mengikuti konsep maslahat yang digagas oleh al-Tufi dalam melakukan ijtihad kemanusiaan, dimana ia diantara pendapatnya adalah : 

a. Maslahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat 

b. Maslahah itu merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada akal semata. 

c. Akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan. 

d. Mashlahah diambil sebagai dalil syar'i hanya dalam bidang mu'amalah (hubungan social) dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah, maslahah tidak dapat dijadikan dalil. 

Ijtihad pada isu-isu kemanusiaan dalam hemat pemakalah hendaklah diupayakan semaksimal mungkin untuk tidak bertentangan dengan nash dan ijma’, terlebih lagi apabila penunjukan nash tersebut sudah jelas dan qath’iy dilalah-nya. Ijtihad hendaknya diupayakan pada perkara-perkara yang ada nashnya namun samar atau pada perkara yang tidak ada nashnya. Begitu juga dengan maslahat, hendaknya diupayakan sejalan dengan ruh nash itu sendiri. Mewujudkan kemaslahatan berupa keadilan dan kepuasan untuk orang banyak atau orang yang saling bertikai merupakan sesuatu bersifat relatif lagi sulit, terlebih lagi jika pertimbangannya lewat nalar akal atau bahkan nafsu. Dengan mengikut kepada nash, maka sesungguhnya kita sedang mengikuti pengejewantahan keadilan dalam pandangan Syari’. Syari’ tidak pernah menginginkan kesukaran bagi hamba,tapi justru Syari’menghendaki kemudahan bagi hamba. 

Jika kita ingin mengikuti ijtihad Umar, maka kita harus menjadi Umar. Ijtihad yang dikeluarkan oleh seorang penguasa akan tampak langsung aplikasinya dalam kebijakannya, berbeda halnya dengan seseorang cendekiawan yang hanya mengutarakan konsep namun tidak bisa diterapkan. Kondisi ini lah yang cocok untuk menggambarkan sosok Munawir, ia punya kekuasaan sehingga isu ini bukan sekedar isu, tapi terwujud dalam banyak kebijakan. 

Melihat pengamalan agama yang bertentangan dengan nash di dalam masyarakat hendaknya tidak digenalisir, boleh jadi faktor keimanan dan latar belakang pengetahuan agamalah yang menentukan kesiapan seseorang untuk mau melaksanakan perintah Allah. Jika melaksanakan perintah Allah saja tidak ada jaminan surga untuk kita, bagaimana pula jika kita berpaling dari perintah-Nya. Wallahu ‘Alam. 

Satu hal yang menarik dari moral intelektual Munaawwir dari konsep ini adalah ia berkata di akhir bukunya Ijtihad Kemanusiaan : “ kalau sekarang atau dikemudian hari datang seseorang atau lebih ilmuwan (Islam) lain yang membawa kajian tentang masalah yang sama yang lebih baik dan kuat, maka karya dia atau mereka itu lebih berhak untuk dinyatakan sebagai yang benar”. 

A. KESIMPULAN 

Menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ajaran Islam tidak selamanya bisa dijadikan argumen untuk mengabaikan teks atau nash. Reaktualisasi hukum Islam sejujurnya sangat diperlukan dalam rangka mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia. 

"Reaktualisasi Munawir" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang dijadikan dasar "reaktualisasi Munawir" adalah kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan yang lepas dari nash, bukan kemaslahatan yang terikat dengan nash.


Daftar Pustaka 
  1. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta, Gaya MediaPratama, 2001. 
  2. John M. Echols & Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1990. 
  3. Sjadzali, Munawir. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Temprint, 1995. 
  4. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997. 
  5. Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta, UI Press, 1991. 
  6. Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung, Mizan, 1994. 
  7. Saimima, Iqbal Abdurrauf. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendekatan Kontekstual Dalam Memahami Ajaran Islam "

Post a Comment