Oleh: Tri Eka Putra Muhtarivansyah Waruwu
A. Pendahuluan
Baru tahun kemarin fatwa haram rokok mencuat ke permukaan. Fatwa haram rokok kali itu di suarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Fatwa ini merupakan revisi dari fatwa sebelumnya yang menyatakan bahwa hukum rokok mubah seperti yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Pada tahun 2009 hal serupa juga difatwakan oleh MUI.[1]
Status hukum rokok juga menjadi agenda utama dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 2009 lalu. Ijtima’ Ulama III gagal menyepakati hukum umum merokok. Terbelah antara makruh dan haram. Kesepakatan haram tercapai hanya pada kondisi dan subjek spesifik: di muka umum, wanita hamil, dan anak-anak.[2]
Fakta di atas mengisyaratkan bahwa belum ditemukan adanya kesepakatan ulama’ tentang haram tidaknya status hukum rokok. Hal ini dikarenakan tidak adanya keterangan yang secara tegas mengenai status hukum rokok. Ada yang menghendaki agar rokok dilarang, karena mengganggu kesehatan, menyebabkan beberapa penyakit, seperti penyakit jantung, kanker, gangguan pernapasan, dan sebagainya.
Selanjutnya Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya pada tahun 2010 telah menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya mubah. Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret 2010 M yang isinya mengatakan bahwa merokok adalah haram.
Sementara NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan bahwa hukum merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung tergantung dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya.
Berangkat dari kenyataan tersebut makalah ini kemudian disusun guna membahas seputar kontroversi fatwa haram rokok yang diwarnai oleh beragam pendapat. Ada yang pro dan ada pula yang kontra terhadap fatwa haram tersebut.
B. Pembahasan
Rokok belum dikenal di jazirah Arab, khususnya di kalangan umat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, zaman sahabat, zaman tabiin bahkan sampai pada zaman ulama mujtahidin. Oleh karenanya, maka tidak aneh kalau di dalam Alquran, hadis dan kitab-kitab fikih kuno tidak ditemukan naskah yang secara eksplisit membahas hukum merokok.
Rokok baru dikenal di dunia Arab atau di dunia Islam kira-kira pada abad ke XI hijriyah, yang datang dari Eropa melalui Maroko atau Maghribi.[3] Sejak saat itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi.
Sebagaimana biasa, manakala tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara eksplisit menjelaskan suatu hukum, maka para fuqaha berijtihad mengidentifikasi hukum dengan berpedoman pada dalil-dalil umum. Sebagaimana biasa pula di dalam membahas hukum sesuatu yang bersifat ijthadiyyah tersebut hampir selalu terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha.
Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.
C. Hukum Rokok
Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Sangat beragam sekali pendapat-pendapat yang menyikapi masalah rokok. Berikut ini pendapat-pendapat mengenai hukum rokok beserta argumennya yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
1. Mubah
Bagi kelompok yang berpendapat bahwa merokok adalah mubah atau boleh adalah karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Kaidah yang dipakai adalah yang berwenang menetapkan halal atau haram segala sesuatu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara jelas menerangkan hukum merokok. Maka, hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal.
Selain itu, secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.[4] Rokok tidak memabukkan dan tidak melemaskan (tidak muskir dan tidak muftir), bahkan sebagian orang ada yang menjadi lebih bersemangat setelah merokok. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, berikut penuturannya dalam sebuah wawancara. “Kalau rokok itu disamakan dengan khamr ya tidak bisa. Lha kalau misalnya sopir minum khamr itu kan bisa menyebabkan kecelakaan, tapi sebaliknya kalau dia merokok malah lebih lancar nyupirnya.”
Hal yang sama juga di jelaskan oleh Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya Fikih Tentang Merokok yang dimuat di harian suara merdeka, bahwasanya bahaya atau kemudaratan merokok adalah bersifat nisbi. Semisal dalam sebuah kasus ketika ada seseorang yang menerima kemudaratan (penyakit) yang dipastikan penyebabnya adalah rokok. Maka sudah barang tentu merokok adalah haram baginya. Akan tetapi, hukum tersebut belum bisa berlaku terhadap orang lain karena ternyata tidak semua orang yang merokok mendapatkan kemudaratan, bahkan ada yang mendapat manfaat darinya seperti contoh seorang supir yang disebut di atas.
2. Makruh
Bagi kelompok yang berpendapat bahwa rokok itu makruh adalah karena rokok membawa kemudaratan yang relatif kecil dan tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Kebanyakan ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh, dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh yang menyatakan mubah, ditambah dengan alasan kemakruhan, yakni merokok menyebabkan bau tidak sedap. Hal itu diidentikkan dengan makruhnya bau tidak sedap karena makan bawang, hal yang tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW.[5]
3. Haram
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, salah seorang ulama yang mempelopori haramnya hukum rokok, beralasan rokok termasuk barang yang keji, membahayakan kesehatan dan kemudaratan. Selain itu merokok adalah pemborosan (menyia-nyiakan harta).
Kelompok yang setuju dengan keharaman rokok berpedoman pada beberapa nash yang pada dasarnya bersifat umum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan.[6] Berikut ini sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah:
a. Al-Qur’an :
Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195).[7]
Artinya: Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan; dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra’: 26-27).[8]
b. As-Sunnah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2332).[9]
Para ulama sekarang mengharamkan rokok karena bertendensi pada informasi medis yang mengatakan bahwa rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah penggunan yang telah lama.
Hal ini disebabkan karena begitu detailnya dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang ditimbulkan oleh rokok. Namun apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya.
D. Pendapat Muhammadiyah Tentang Hukum Merokok
Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok yang tujuannya untuk mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai bagian dari tujuan syariah (hukum Islam). Menurut Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, fatwa haram merupakan ijtihad para ulama. “Ini lompatan setelah majelis tarjih mengkaji lebih mendalam soal rokok. Pada 2005, menetapkan hukumnya mubah. Begitu pula pada 2007,” ujarnya.[10]
Berikut dalil yang melandasi diambilnya keputusan bahwa merokok hukumnya adalah haram sebagaimana VIVAnews kutip dari naskah Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010:
Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabaa’its (kotor/najis) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al a’raf (ayat) 157. Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan larangan Al Quran Al Baqoroh (ayat) 2 dan An Nisa (ayat) 29.
Perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok sebab rokok adalah zat adiktif plus mengandung 4000 zat kimia, 69 di antaranya adalah karsinogenik/pencetus kanker (Fact Sheet TCSC-AKMI, Fakta Tembakau di Indonesia) sebagaimana telah disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi kesehatan. Oleh karena itu merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadits Nabi SAW bahwa “tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan walaupun tidak seketika melainkan dalam beberapa waktu kemudian sehingga oleh karena itu perbuatan merokok termasuk kategori melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan.
Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al Isra (ayat) 26-27. Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqaasid asy-syariiah) yaitu perlindungan agama, jiwa/raga, akal, keluarga dan harta.
Kontroversi:
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta semua pihak tidak terbawa polemik fatwa pelarangan merokok. Sebaliknya harus menghormati sebagai pandangan hukum yang tinggi kedudukannya. “Siapapun yang tidak setuju dan menolak karena memandang alasannya kurang kuat, silahkan untuk mengajukan fatwa lain dengan alasan yang lebih kuat,” kata Din Syamsuddin.[11]
Hal itu disampaikan Din di sela Seminar Nasional “Membangun Konstruksi Ideal Relasi Muhammadiyah dan Politik” di DPW Muhammadiyah, Jalan Dukuh Menanggal Surabaya, Selasa, 16 Maret 2010. Dikatakannya, fatwa yang dikeluarkan Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tidak bersifat mengikat. Namun, fatwa itu mempunyai kedudukan lebih tinggi dan harus ditaati. Menurut Din, dari pandangan agama fatwa haram merokok tidak bersifat mengikat. Tapi, mengikat secara moril. Bagi yang tidak setuju silahkan mengabaikan. “Silahkan berpikir, banyak mudharad-nya atau tidak,”.[12]
Syafii Maarif Dukung Rokok Haram Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif setuju dengan fatwa haram rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sebab, efek negatif rokok bukan saja bagi perokok tapi juga kesehatan orang sekitarnya. “Saya setuju, walaupun tidak mudah dilaksanakan,”.[13]
Larangan merokok, kata Syafi’i, sudah lama dilakukan. Namun, pelaksanaannya terkendala akibat terlalu banyaknya perokok dan mereka sudah menganggapnya hal biasa. “Harus dipertimbangkan juga buruh pabrik rokok, petani tembakau dan lain-lain,” katanya. Menurut dia, meski sulit dilaksanakan, fatwa tersebut layak diikuti. Dengan catatan, masyarakat diberi pelajaran dan pengertian kebaikan di balik larangan merokok.
Muhammadiyah memfatwakan rokok haram dalam kesepakatan yang dijalin di Yogyakarta 8 Maret 2010. Sebelumnya Muhammadiyah selama bertahun-tahun berfatwa rokok hukumnya mubah atau dibolehkan.
Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Majelis Tarjih, Yunahar Ilyas, mengakui fatwa susah dilaksanankan. Sebab itu, di dalam naskah fatwa tarjih itu dibedakan status hukum dan pelaksanaan. “Status hukum jelas haram, tapi dalam pelaksanaan bertahap, tidak serta merta sekaligus,” ujarnya.[14]
Bersamaan dengan itu, kata Yunahar, petani tembakau bisa mencari alternatif. “Fatwa ini ditetapkan dengan mengingat prinsip at-tadriij (berangsur), at-taisiir (kemudahan), dan ‘adam al-kharaj (tidak mempersulit),” ujarnya. Yunahar menuturkan banyak perokok ingin berhenti tetapi kesulitan karena sudah kecanduan. Sebab itu, rumah sakit di bawah naungan Muhammadiyah akan membuka klinik terapi berhenti merokok. “Ada metodenya,” menurutnya. Dia mencontohkan metode berhenti itu antara lain rokok diganti dengan permen khusus atau rokok palsu. “Zat beracunnya yang berbahaya dihilangkan, di rokok itu yang ada nikotin saja. Mengonsumsi itu sampai benar-benar bisa berhenti,” katanya.[15]
E. Pendapat Nahdatul Ulama Tentang Hukum Merokok
Sedangkan organisasi Islam lainnya, Nahdlatul Ulama, rencananya tidak ikut membahas hukum rokok tersebut dalam Muktamar ke-32 yang akan digelar 22-27 Maret di Makassar.”NU selama ini dalam menghukumi rokok paling banyak itu makruh, untuk mengatakan haram, belum,” katanya. Dia mengatakan merokok memang merugikan kesehatan. Meski begitu tidak perlu diharamkan. “Kasih saja pendidikan yang baik pada masyarakat,” ujarnya. Perlu diketahui ada lima hukum dalam fikih Islam, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Makruh berarti tindakan yang sebaiknya tidak dilakukan tetapi tidak berdosa bila dilakukan. Sementara haram berarti bila mengerjakan berdosa.
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta fatwa haram rokok Muhammadiyah perlu diperlakukan hati-hati. Karena, fatwa itu masih dalam perdebatan di internal umat Islam. “Karena hukum atas itu masih bersifat khilafiyah (berbeda pendapat) di kalangan umat Islam,” kata Sekretaris Fraksi PPP Romahurmuziy dalam pesan singkatnya, Senin 15 Februari 2010.
Politisi yang biasa disapa Romy ini mengambil contoh perbedaan yang ditunjukkan Nahdlatul Ulama (NU). Khusus untuk rokok, kata dia, NU ‘hanya’ mengeluarkan fatwa makruh. Alasan lain kehati-hatian itu adalah soal implementasi haram rokok. Karena penerapannya tidak bisa dilakukan secara mendadak. “Mengingat dampak berantai penciptaan tenaga kerjanya sangat luas dan mempengaruhi golongan pengusaha mikro petani-petani tembakau, yang belum tentu segera ada gantinya,” ujar dia.[16]
Maka itu, Romy menilai perlu kearifan dalam membaca fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah itu. Sebagaimana Al-Qur’an memberlakukan sejumlah pentahapan menuju pengharaman khamr, minuman yang memabukkan. “Pendeknya, mengikuti fatwa terhadap rokok yang sebelumnya pernah dikeluarkan MUI, yang terutama mengikat pengurus-pengurusnya, hal itu mengikat terlebih dahulu kepada pengurus dan anggota Muhammadiyah. Setelah itu baru kepada umat Islam lainnya,” kata dia.[17]
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan fatwa itu dikhususkan bagi kalangan internal. Masyarakat umum dipersilakan mengikuti atau mengabaikan. “Fatwa tidak mengikat, silakan diamalkan oleh yang setuju dan diabaikan oleh yang menolak,” kata Din Syamsuddin.
F. Analisis Penulis.
Apabila kita mencermati alasan diharamkannya rokok berdasarkan dari penjelasan diatas baik daroi informasi medis, rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam. Semisal penyakit kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama mengkonsumsi rokok. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada faktor lain yang mengiringi kemudaratan merokok yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit teresebut, yakni penggunaan rokok yang telah berlangsung lama.
Seperti yang dirumuskan oleh Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya, merokok plus faktor X = menyebabkan penyakit A; merokok plus faktor XX = menyebabkan penyakit B, dan seterusnya. Selain rokok itu sendiri, ternyata ada faktor lain yang memberikan kemudaratan bagi perokok yakni penggunaan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Apabila kemudaratan yang demikian itu dipakai untuk menjadi alasan penghraman rokok, tentunya banyak produk-produk lain yang harus di haramkan hukumnya. Semisal makanan dan minuman instan yang berpenagawet karena yang demikian itu juga dapat menyebabkan penyakit kanker.
G. Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hendaknya dalam menentukan status halal dan haramnya sesuatu (dalam hal ini rokok) terlebih dahulu kita harus melihat dari bebagai aspeknya. Jangan disamakan dengan hal-hal yang sudah qath’i atau jelas-jelas diharamkan seperti daging babi, khamr atau darah.
Memang tidak dipungkiri bahwa rokok memiliki kemudaratan. Gaya hidup perokok pun dapat dikatakan pemborosan (mubazir). Tapi kemudaratan rokok juga tidak bisa dipukul rata. Kemudaratannya bersifatya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ”haram mutlak”.
Selain itu, Manfaat rokok, juga tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat dalam hal sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, petani cengkeh, pekerja dan karyawan pabrik rokok, sampai para pedagang dan pengecer yang kebanyakan tergolong ekonomi lemah, dan kiprah sosial industri rokok. Bahkan rokok merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah (cukai) yang setiap tahunnya mencapai puluhan triliun rupiah. Oleh karenanya, dengan fakta ini seharusnya kita dapat bersikap lebih objektif mengenai status haram tidaknya rokok.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya yang berjudul Fikih Tentang Merokok yang dimuat di harian Suara Merdeka pada 3 Februari 2009,
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000).
IbnuMajah, SunanIbnuMajah, Juz I, Hadits No, 1928, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989).
KH Arwani Faishal dalam tulisannya yang berjudul Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok yang dimuat di situs NU Online pada 19 januari 2009.
MajalahSuaraMuhammadiyah,http://www.dzikir.org/index.php?option=com_content&view=article&id=120:muhammadiyah=11:seputar-islam&Itemid=44.
PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.
0 Response to "Kontroversi Fatwa Merokok"
Post a Comment