Dalam sistem hukum Islam, the implication of the purpose (Dilalah al-Maqsid) merupakan ekspresibaru yang akhir-akhir ini mengemuka di kalangan modernis Islam,dalam rangka memodernisasi Usul al-Fiqh. Selama ini, secara umum,dilalah al-maqsidmemang belum dinilai sebagai dilalah qat’i (certain)untuk dijadikan sebagai suatuhujjahhukum (yuridical authority).Hingga sekarang, secara teoritis, purposefulnessmasih dilarang untukmemainkan peranan penting dalam upaya penggalian hukum darinass.Berdasar landasan berpikir tersebut, Jasser Auda berkeyakinan bahwa tujuandari hukum Islam (Maqasid al-Shariah al-Islamiyyah) menjadi prinsip fundamentalyang sangat pokok dan sekaligus menjadi metodologi dalam analisis yangberlandaskan pada systems. Lagi pula, karena efektifitas dari sebuah sistem diukurberdasar pada terpenuhinya tujuan yang hendak dicapai, efektifitas dari sistemhukum Islam juga diukur berdasarkan terpenuhinya tujuan-tujuan pokoknya(Maqasid).[1]
Beberapa contoh pengambilan Maqasiddalam metode hukum Islam dapatdijelaskan sebagai berikut:
1. Istihsan (Yuridical Preference) berdasarkan Maqasid. Selama ini, Istihsan dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas. Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat (sebab), melainkan pada Maqasidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqasidnya secara langsung. Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum perampok, setelah ia terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat untuk menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah seorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum? Contoh ini menunjukkan dengan jelas , bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan memahami dulu Maqasid dalam penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau mengggunakan Istihsan, dapat mewujudkan Maqasid melalui metode lain yang menjadi pilihannya.
2. Fath Dharai’ (Opening the Means) untuk mencapai Maqasid/tujuan yang lebih baik. Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath Dharai’ di samping Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang dilarang harus diblokir (Sadd Dharai’) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke tujuan yang baik harus dibuka (Fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas harus didasarkan pada maqasid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak membatasi diri pada sisi konsekwensi negatifnya saja, tetapi memperluas ke sisi pemikiran positif juga.
3. ‘Urf (Customs) dan Tujuan Universalitas. Ibn Ashur menulis Maqasid Shari’ah.Dalam pembahasan tentang ‘Urf, ia menyebutnya sebagai ‘universalitasdalam Islam’. Dalam tulisan itu, ia tidak menerapkan ‘urfpada sisi riwayat,melainkan lebih pada Maqasidnya. Argumen yang ia kemukakan sebagaiberikut. Hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan bahwahukum Islam dapat diterapkan untuk semua kalangan, di manapun dankapanpun, sesuai dengan pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis. Nabi memang berasal dari Arab, yang saat itumerupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang kemudianberinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi,maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal (baca: Arab) tidak dibawake kancah tradisi internasional. Jika demikian maka kemaslahatan tidakdapat dicapai dan tidak sesuai dengan Maqasid al-Syariah. Oleh sebab itu,kasus-kasus tertentu dari ‘urftidak boleh dianggap sebagai peraturanuniversal. Ibn Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsirkanteks/nass melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian,Ibn Ashur membaca riwayat dari sisi tujuan yang lebih tinggi, dan tidakmembacanya sebagai norma yang mutlak.
4. Istishab (Preassumption of Continuity)berdasarkan Maqasid.Prinsip Istishabadalah bukti logis(dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan prinsip ini harus sesuai dengan Maqasidnya. Misalnya, penerapan asas “praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah” (al-Aslu Bara’at al-Dhimmah), Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan Keadilan. Penerapan “Praduga kebolehan sesuatu sampai terbukti ada dilarang (al-aslu fi al-ashya’i al-ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-ibahah) Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuankemurahan hati dan kebebasan memilih.[2]
Akhirnya Jasser Auda setelah mendekomposisi teori hukum Islam Tradisional dengan memperbandingkannya dengan teori hukum Islam era Modern dan era Postmodern serta menggunakan kerangka analisis Systems yang rinci mengusulkan perlunya pergeseran paradigma Teori Maqasid lama (Klasik) ke teori Maqasid yang baru. Pergeseran dari teori Maqasid lama yang disusun oleh al-Syatibi ke teori Maqasid baru yang diusulkan, dengan mempertimbangkan perkembangan pemikirann tata kelola dunia dalam bingkai negara-bangsa (nation-states). Berikut adalah usulannya seperti yang ditulis oleh Amin Abdullah:
Tabel Pergeseran Paradigma Teori Maqasid Klasik Menuju Kontemporer[3]
No.
|
Teori Maqasid
Klasik
|
Teori Maqasid
Kontemporer
|
1.
|
Menjaga
Keturunan (al-Nasl)
|
Teori yang
berorientasi kepada perlindungan keluarga; kepedulian yang lebih terhadap
institusi Keluarga
|
2.
|
Menjaga Akal
(al-Aql)
|
Melipatgandakan
pola pikir dan research ilmiah; mengutamakan perjalanan untuk mencari
ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas kerumunan
gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak.
|
3.
|
Menjaga
kehormatan; menjaga jiwa (al-‘Irdh)
|
Menjaga dan
melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi
manusia.
|
4.
|
Menjaga agama
(al-Diin)
|
Menjaga,
melindungi dan menghormati kebebasan beragama atau berkepercayaan.
|
5.
|
Menjaga harta
(al-Maal)
|
Mengutamakan
kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan
ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin
dan kaya.
|
Perubahan paradigma dan teori Maqasid lama ke teori Maqasid baru terletakpada titik tekan keduanya. Titik tekan Maqasid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan; pelestarian) sedang teori Maqasidbaru lebih menekankan pada development (pembangunan; pengembangan) danright(hak-hak). Dalam upaya pengembangan konsep Maqasid pada era baruini, Jasser Auda mengajukan ‘human development’sebagai ekspresi obsesinya dantarget utama dari maslahah (public interest) masa kini; maslalahinilah yang mestinyamenjadi sasaran dari Maqasid al-Syari’ahuntuk direalisasikan melalui hukumIslam. Selanjutnya, realisasi dari Maqasidbaru ini dapat dilihat secara empirikperkembangannya, diuji, dikontrol, dan divalidasi melalui human development index dan human development targets yang dicanangkan dan dirancang oleh badan dunia, seperti PBB.[4]
Sumber :
[1] Amin Abdullah, Epistemologi,hlm. 143.
[2] Ibid., hlm. 143-144
[3] Ibid., hlm. 146.
[4] Jasser Auda, Maqasid as Philosophy, hlm. 248.
0 Response to "Maqasid Syariah Paradigma Baru "
Post a Comment