Epistemologi Maqasid Syariah dalam Sistem

Terdapat 6 (enam) fitur epistemologi hukum Islamkontemporer, yang menggunakan pendekatan filsafat sistem menurut Jasser Auda. Keenam fiturini dimaksudkan untuk mengukur dan sekaligus menjawab pertanyaan bagaimana Maqasid al-Syari’ah diperankan secara nyata dalam metodepengambilan hukum dalam berijtihad di era sekarang. Bagaimana kita dapat menggunakan Filsafat Sistem Islam (Islamic Systems Philosophy) dalam teori dan praktik yuridis, agar supaya hukum Islam tetap dapat diperbaharui(renewable) dan hidup (alive) dimanapun berada? Bagaimana pendekatan filsafat Systems yang melibatkan cognition, holism, openness, interrelated hierarchy danmultidimensionality dan purposefulness dapat diaplikasikan dan dipraktikkan dalamteori hukum Islam ? Bagaimana kita dapat mencermati dan menemukan kekurangan-kekurangan yang melekat pada teori-teori penafsiran teks, teoridan praktik hukum pada era Klasik (Tradisional), Modern dan Post-modern dalam hukum Islam dan berupaya untuk menyempurnakan dan memperbaikinya ? Secara intelektual, upaya ini sangat penting artinya karena keberhasilan dan kegagalannya akan berpengaruh secara langsung terhadap dunia pendidikandan pengajaran, proses menjaga rasa keadilan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di setiap lapis dan jenjangnya, rumusan teori, metode danpendekatan yang biasa berlaku dan digunakan dalam pendidikan Islam, dakwahIslam, budaya dan sosial-politik, kegiatan researchdan pengembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat Muslim dimanapun mereka berada. 

1. Kognisi (Cognitive Nature) 
http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/biografi-jasser-auda.htmlBerdasarkan perspektif teologi Islam, fiqh adalah hasil penalaran dan refleksi(ijtihad) manusia terhadap nass(teks kitab suci) sebagai upaya untuk menangkap makna tersembunyi maupun implikasi praktisnya. Jasser Auda berpendapat bahwa ijtihad tidak harus dilihat sebagai perwujudan perintah-perintah Allah, meskipun didasarkan pada konsensus (ijma') atau penalaran analogis (qiyas). Posisi ini mirip dengan pandangan al-musawwibah [1], yang didasarkan adanya 'kognisi' dari hukum Islam.[2]

2. Utuh (Wholeness) 
Adapun pandangan holistik dari sistem hukum Islam dalam buku ini menelusuri dampak pemikiran yuridis yang didasarkan pada prinsip sebab-akibat dengan menggunakan keprihatinan Al-Razi dengan mengklaim 'kepastian' dalam bukti tunggal. Namun, al-Razi tidak mengatasi masalah utama dari pendekatan atomistik, yaitu kurangnya kelengkapan di dasar “sebab” mereka.[3]Sedangkan pada era sekarang ini, penelitiandi bidang ilmu alam dan sosial telah bergeser secara luas dari ‘piecemeal analysis’,classic equationsdan logical statements, menuju pada penjelasan seluruh fenomenadalam istilah-istilah yang bersifat holistic sistem.[4]

3. Openness (Self-Renewal) 
Dalam Fitur keterbukaan (opennes) dan pembaruan diri (self-renewal) sistem hukum Islam, Jasser Auda menunjukkan perubahan keputusan dengan perubahan pandangan ahli hukum atau budaya kognisi sebagai mekanisme keterbukaan dalam sistem hukum Islam, dan keterbukaan filosofis sebagai mekanisme pembaruan diri dalam sistem hukum Islam. Secara tradisional, implikasi praktis dari bukti al-'urf sangat terbatas, dan hukum Islam terus didasarkan pada kebiasaan Arab. Dengan demikian, 'pandangan ahli hukum' diusulkan sebagai perluasan ke pertimbangan ‘urf, dalam rangka mencapai 'universalitas' tujuan hukum. Keterampilan yang diperlukan untuk ijtihad, yang oleh ahli hukum disebut 'fiqh al-waqi'' (memahami status quo), harus dikembangkan yang berarti seorang ahli hukum harus mempunyai 'pandangan luas yang kompeten’ dalam 'keterbukaan' sistem hukum Islam untuk kemajuan dalam ilmu alam dan ilmu sosial.[5]

4. Interrelated Hierarchy 
Menurut ilmu Kognisi (Cognitive science), ada 2 alternasi teori penjelasan tentangkategorisasi yang dilakukan oleh manusia, yaitu ‘feature-based categorisations’dan‘concept-based categorisations’. Jasser Auda lebih memilih kategorisasi yangberdasarkan konsep untuk diterapkan pada Usul-al Fiqh.Kelebihan ‘concept based categorisations’ adalah tergolong metode yang integratif dan sistematik.Selain itu, yang dimaksud ‘concept’ di sini tidak sekedar fitur benar atau salah,melainkan suatu kelompok yang memuat kriteria multi-dimensi, yang dapatmengkreasikan sejumlah kategori secara simultan untuk sejumlah entitas-entitas yang sama.Salah satu implikasi dari fiturinterrelated –hierarchyini adalah baik daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama pentingnya. Lain halnya dengan klasifikasial-Syatibi (yang menganut feature-based categorizations), sehingga hirarkhinyabersifat kaku. Konsekwensinya, hajiyyat dan tahsiniyyat selalu tunduk kepadadaruriyyat. Contoh penerapan fiturInterrelated–hierarchy adalah baik salat (daruriyyat), olah raga (hajiyyat) maupun rekreasi (tahsiniyyat) adalah sama-samadinilai penting untuk dilakukan.[6]

5. Multi-dimensionality 
Jasser Auda mengajak para pembacanya untuk secara sungguh-sungguh mulaimempertimbangkan dan menggunakan pendekatan kritis dan multi-dimensiterhadap teori hukum Islam di era kontemporer, agar supaya terhindar daripandangan yang bercorak reduksionistik serta pemikiran klasifikatoris secarabiner. Hanya dengan cara seperti itu, para pembaca dan pemerhati hukumIslam akan sadar bahwa hukum Islam sesungguhnya melibatkan banyakdimensi, antara lain sumber-sumber (sources), asal-usul kebahasaan (linguistic derivations), metode berpikir, aliran-aliran atau madhhab-madhhab berpikir,harus ditambah pula dimensi budaya dan sejarah, atau ruang dan waktu. Jikasegmen-segmenatau elemen-elemen tadi yang tidak terhubung dan‘terdekonstruksi’, maka ia tidak akan dapat membentuk gambaran realitashukum Islam yang utuh, kecuali jika kita mampu menjelaskannya kembalilewat skema keterhubungan yang sistemik dan keterhubungan secara strukturalantar berbagai segmen dan elemen tersebut. Jasser berkeyakinan bahwapendekatan yang kritis, multi-dimensi, berpikir berbasiskan sistem sertaberorientasi kepada tujuan akan mampu memberi jawaban kerangka beripikryang memadai untuk keperluan analisis serta pengembangan teori hukum Islam,melebihi yang ditawarkan oleh kalangan postmodernis yang dilihatnya masihsedikit berbau oposisi biner, reduksionis dan uni-dimensional. [7]

6. Purposefulness 
Kelima fitur yang dijelaskan di depan, yaitu kognisi (Cognitive Nature), utuh(Wholeness), Keterbukaan (Openness), hubungan hirarkis yang saling terkait,(Interrelated Hierarchy), mulidimensi (Multidimensionality), dan sekarang ditambahPurposefulnes sangatlah saling saling berhubungan satu danlainnya. Semua fitur lainnya dibuat untuk mendukung fitur 'purposefulness' dalam sistem hukum Islam, yang merupakan fitur yang paling mendasar bagi sistem berpikir, sebagaimana buku ini tegaskan.Dengan demikian, pendekatan maqasid mengambil isu-isu yuridis ke tanah filosofis yang lebih tinggi, dan karenanya, mengatasi perbedaan atas politik antara mazhab hukum Islam, dan mendorongdibutuhkannya budayadamai dan hidup berdampingan. Selain itu, realisasi tujuan (maqasid) harus menjadi tujuan inti dari semua metodologi linguistik dan rasional dasar ijtihad, terlepas dari berbagai nama dan pendekatan mereka. Oleh karena itu, validitas ijtihad pun harus ditentukan berdasarkan tingkat mencapai 'purposefulness,' atau mewujudkan maqasid al-syariah.[8]

Sumber :
[1] Dalam ushul fiqih istilah ini dibahas berkaitan dengan masalah ijtihad. Ushul fiqih mengartikan Al-Musawwibah sebagai kelompok yang berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka. Adapun Al-Mukhatti’ah didefinisikan oleh ulama ushul fiqih sebagai kelompok yang berpendapat bahwa kebenaran itu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lainnya tidak mencapai kebenaran. Maksudnya, hukum yang benar di sisi Allah SWT hanya satu, karena itu para mujtahid berusaha untuk menemukannya. 
[2]Jasser Auda, Maqasid as Philosophy, hlm. 254. 
[3]Ibid., hlm. 255-256 
[4]Amin Abdullah, Hak,hlm. 22. 
[5]Jasser Auda, Maqasid as Philosophy, hlm. 256. 
[6]Amin Abdullah, Hak, hlm. 28. 
[7]Ibid., hlm. 31. 
[8]Jasser Auda, Maqasid as Philosophy, hlm. 257-258.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Epistemologi Maqasid Syariah dalam Sistem"

Post a Comment