Kenapa Bunga Bank Haram?
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Barangkali karena keterbatasan dalam memahami syariah, ada sebagian kalangan umat Islam yang bertanya-tanya tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam banyak transaksinya.
Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang berusah mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak, memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak mampu atau -mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secara jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya.
Kami akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban atas kelemahannya.
1. Alasan Pertama: Darurat
Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi. Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi [adhdharuratu tubihul mahzhurat] artinya dharurat itu membolehkan mahzurot/yang dilarang.
Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat orang yang dengan terpaksa membolehkannya.
Jawaban:
Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu [adhdharuratu tuqaddar biqadriha] artinya bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.
As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat, kita tidak akan celaka atau mati.
Sedang Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah menghalalkan dengan dua batasan.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah: 173).
Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati tidak ada makanan, justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat sudah tidak relevan lagi.
Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu:
- Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991
- Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan 20 cabangnya.
- Konversi bank konvensional kepada bank syariah :
- Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)
- Bank Niaga (akan membuka cabang syariah)
- Bank BNI 46 (telah memiliki 5 cabang )
- Bank BTN (dalam perencanaan)
- Bank Mega (akan menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)
- Bank BRI (akan membuka cabang syariah)
- Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di Aceh)
- BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di Bandung)
- BPD Aceh
2. Alasan Kedua: Yang Haram Adalah yang Berlipat Ganda
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. (QS Ali Imran: 130)
Jawaban:
Memang sepintas ayat ini hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih dalam serta dikaitkan dengan ayat-ayat lain secara lebih komprehensip, maka akan kita dapat kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak diharamkan. Paling tidak ada dua jawaban atas argumen di atas:
Kata adh'afa yang berarti berlipat ganda itu harus dii'rab sebagai [haal] yang berarti sifat riba dan sama sekali bukan syarat riba yang diharamkan. Ayat ini tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secara umum punya kecendrungan untuk berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Hal seperti itu diungkapkan oleh Syeikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk, penulis buku Ar-Riba wal Mua'amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah al-Islamiyah.
Perlu direnungi penggunaan mafhum mukholafah dalam ayat ini salah kaprah, tidak sesuai dengan siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu maupun sabda Raulullah SAW. Secara sederhana bila kita gunakan mafhum mukholafah yang berarti konsekuensi terbalik secara sembarangan, akan melahirkan penafsiran yang keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak boleh mendekati, berarti zina itu sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging babi, yang dilarang makan dagingnya, sedang kulit, tulang, lemak tidak disebutkan secarar eksplisit. Apakah berarti semuanya halal? Tentu tidak.
Secarara linguistik kata adh'afa adalah jamak dari dhi'f yang berarti kelipatan-kelipatan. Bentuk jama'ah itu minimal adalah tiga. Dengan demikian adh'afa berarti 3x2 = 6. Adapun mudha'afa dalam ayat itu menjadi ta'kid atau penguat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat atau bunga 600 %. Secarara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
3. Alasan Ketiga: Yang Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum
Bank adalah sebuah badan hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat beban (taklif) dari Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf antara lain: akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan tamyiz. Artinya bukanlah mukallaf. Sehingga praktek bank tidak termasuk berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat riba turun di jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan. Dengan demikian bank LIPPO, BCA, Danamon dan lainnya tidak terkena hukum taklif, karena pada saat Nabi hidup belum ada.
Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah Workshop on Bank and Banking Interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990.
Jawaban:
Argumen ini memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu:
a. Tidak benar bahwa pada zaman nabi tidak ada badan keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.
b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhshiyyah hukmiyah. Juridical personality ini sah secarara hukum dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
c. Bank memang bukan insan mukallaf, tetapi melakukan amal mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs dan narkotika tidak berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah lembaga dan bukan insan mukallaf. Demikian juga lembaga keuangan, apa bedanya dengan seorang rentenir pemakan darah masyarakat? Bedanya, yang satu seorang individu yang beroperasi tingkat RT dan RW, sedang yang lainnya adalah kumpulan dari individu-individu yang secara terorganisis dan modal raksasa melakukan operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala nasional bahkan internasional dan mendapat aspek legalitas dari hukum sekuler.
4. Alasan Keempat: Yang Haram adalah yang Konsumtif
Pendapat ini mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanya bersifat konsumtif saja. Sedangkan riba yang bersifat produktif tidak haram. Alasan yang digunakan adalah 'illat dari riba yaitu pemerasan. Dan pemerasan ini hanya dapat terjadi pada bentuk pinjaman yang konsumtif saja. Sebab debitur bermaksud menggunakan uangnya untuk menutupi kebutuhan pokoknya saja seperti makan, minum, pakaian, rumah dan lain-lain. Debitur melakukan itu karena darurat dan tidak punya jalan lain. Maka mengambil untung dari praktek konsumtif seperti ini haram.
Dewasa ini telah terjadi perubahan pandangan karena terjadinya perubahan pada bentuk pinjaman setelah berdirinya bank. Debitur (peminjam) tidak lagi dipandang sebagai pihak lemah yang dapat diperas oleh kreditur dalam hal ini bank. Selain itu kreditur tidak pula memaksakan kehendaknya kepada debitur. Yang terjadi justru sebaliknya, debiturlah yang menjadi pihak yang kuat yang dapat menentukan syarat dan kemauannya kepada kreditur. Jadi bank menjadi debitur karena meminjam uang kepada nasabah. Sedangkan nasabah menjadi kreditur karena meminjaminya. Namun bank bukan lagi peminjam yang lemah, justru menjadi pihak yang kuat.
Karena cara-cara yang sekarang berjalan sama sekali berbeda dengan sebelumnya, maka harus dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif hukumnya halal dan pinjaman konsumtif hukumnya haram.
Pendapat ini didukung oleh Dr. Muhammad Ma'ruf Dawalibi dalam Mukatamar Hukum Islam di Perancis bulan Juli 1951 yang berkata, "Pinjaman yang diharamkan hanyalah pinjaman yang berbentuk konsumtif, sedangkan yang berbentuk produktif tidak diharamkan. Karena yang dilarang Islam hanyalah yang konsumtif."
Jawaban:
Orang yang beranggapan bahwa pemerasan itu hanya ada pada pinjaman konsumtif dan tidak ada pada pinjaman produktif adalah tidak beralasan. Sebab pinjaman produktif pun juga bersifat pemerasan. Sebagai bukti bahwa bank-bank dewasa ini memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Tetapi memberikan porsi yang sangat kecil dari keuntungannya itu kepada deposan.
Para ulama menetapkan bahwa pinjaman yang diharamkan Al-Quran adalah pinjaman jahiliyah. Ketika mereka melakukan peminjaman sesama mereka tentu untuk usaha mereka dalam skala besar. Tidak mungkin bagi mereka yang termasuk tokoh saudagar besar dan pemilik modal seperti Abbas bin Abdul Muttalib atau Khalid bin Walid melakukan pemerasan kepada orang yang lemah dan miskin. Mereka terkenal sebagai dermawan besar dan bangga disebut sebagai dermawan. Mereka punya kebiasaan menyantuni orang lapar dan memberi pakaian. Pinjaman yang bersifat konsumtif tidak terjadi antar mereka. Justru pinjaman produktif yang di dalam Al-Quran mereka memang dikenal sebagai pedagang yang melakukan perjalanan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Masyarakat Quraisy umumnya adalah pedagang dan pemodal sehingga pinjaman-pinjaman waktu itu memang untuk kebutuhan perdagangan yang bersifat produktif dan bukan konsumtif.
Pendapat yang mengharamkan bunga bank
Untuk lebih lengkapnya, kami kutipkan juga fatwa dari berbagai lembaga fatwa dan liga fiqih Islam baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Di antaranya adalah:
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c:
Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
Bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.2. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat.
3. Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal :
Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Mufti Negara Mesir
Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.
5. Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.
Hukum Bekerja di Bank Ribawi
Dr. Yusuf Al-Qoradawi dalam Fatwa Kontemporernya menuliskan tentang hukum bekerja di bank ribawi :
"Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah s.a.w.:
'Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.' (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.
Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada di antaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya, 'Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.' (HR Bukhari).
Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT, "Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173).
ijin menyimak dan salam persaudaraan dari pengrajin kulit broockleather
ReplyDelete