PadaMu Kami Berserah Diri
penulis: Hendra Pakpahan, SHI
Setelah selesai shalat berjamaah di musholla kecil, ketika sedang berjalan-jalan perlahan menelusuri selasar menuju gedung pertokoan utama, sepasang lelaki dan perempuan menghampiri saya dan suami. Di sisi pasangan tersebut, terdapat seorang anak yang wajahnya amatlah mirip dengan wanita yang ujung kemejanya terus digayuti oleh tangan mungil anak tersebut. Rambutnya keriting, sangat keriting, matanya bulat jernih dengan bola mata berwarna coklat. Kulit wajahnya berwarna kuning langsat (baru kali ini saya melihat warna kulit wajah yang benar-benar kuning langsat… tidak cenderung kecoklatan, tidak juga ke arah putih kekuningan). Wajah anak tersebut amatlah polos dan ada sisa air mata di sudut bola matanya yang sebelah kiri. Menggantung bertahan di pojok matanya yang bulat tersebut.
“Ma, aku cape, mau pulang.” Ujarnya sambil menarik ujung kemeja ibunya. Ibunya hanya tersenyum tanpa komentar ke arah anak tersebut. Wajah perempuan ini sama lelahnya dengan wajah pria yang mendampinginnya. Mereka mengenakan jaket jeans yang amatlah dekil warnanya. Entah kapan terakhir kali mereka mencucinya. Atau mungkin bisa jadi kemarin mereka telah cuci jaket tersebut, hanya saja karena dipakai naik motor seharian, tentu kotoran di sepanjang jalanan Jakarta telah menempel dengan lekat di jaket tersebut. Siapa yang bisa menghindari debu dan polusi di kota Jakarta yang memang amat galak dan tak pernah pilih-pilih orang.
“Maaf bu, pak, mengganggu sebentar.“ Si pria dengan wajah malu-malu mendekati diriku dan suamiku. Kami terhenti dan saliong berhadapan dengan keluarga kecil tersebut.
“Saya ingin minta bantuan. Anak saya sakit. Sudah dua bulan tidak sembuh-sembuh. Kata dokter, dia harus dirawat ke rumah sakit, tapi kami tidak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit. Bahkan kini kami pun tidak punya biaya untuk sekedar membelikannya obat. Padahal obat itu harus dia makan setiap harinya.”
Tanpa basa basi, tanpa kalimat pembukaan bahkan tanpa kata perkenalan, pria tersebut terus berbicara dihadapanku. Membuatku terdiam dan langsung mengamati keluarga kecil tersebut. Suamiku langsung menatapku dan rasanya dia tahu bahwa telah terbit keraguan dalam kepalaku untuk mempercayai begitu saja pengakuan pria tersebut. Keraguan yang terbaca oleh suamiku ini, ternyata terbaca juga oleh pria tersebut. Dengan sigap, dia merogoh sebuah album photo dari dalam saku jaketnya. Ada dua buah album photo di sana. Dia juga menyodorkan KTP yang dia miliki. Juga KTP milik istrinya.
“Nama saya Karyo.” (sebut saja seperti ini).
“Dulu, saya adalah atlet senam mewakili DKI Jakarta. Dan ini istri saya, Jessy.” (sebut saja juga seperti ini).
“Dia juga atlet senam mewakili DKI Jakarta. Saya mendalami senam dengan penghalang, sedangkan istri saya senam lantai.“
Aku langsung melihat mereka. Tubuh mereka berdua memang sama semampainya. Sikap berdiri yang mereka tampilkan pun sama sempurna dan lentiknya. Saya sedikit percaya bahwa mereka bekas atlet. Setidaknya, mereka yang pernah rajin berolah raga (tubuh mereka terlalu kurus seperti kurang gizi, jadi masih sedikit ragu untuk dikatakan atlet aktif). Suami saya akhirnya menghentikan penilaian tanpa bicara dan hanya mengandalkan tatapan mata saja. Kami menanyakan penyakit yang diderita oleh anak mereka. Dengan wajah sedih, mereka bercerita tentang gambaran penyakit tersebut dan segala usaha yang telah dilanjutkan. Suasana melankolis segera menghampiri selasar yang tidak seberapa ramai tersebut.
Aku segera berinisiatif untuk mengalihkan pembicaraan yang sedih dan mulai cenderung menyesali nasib tersebut. Terus terang, paling tidak nyaman rasanya berhadapan dengan mereka yang jujur menyalahkan nasib dan pada akhirnya menghujat Tuhan karena merasa lelah dengan kemalangan nasib yang terus menimpa mereka. Tapi terkadang kondisi ini tidak dapat dihindari. Bahkan kekhawatiran tersebut telah dikatakan akan terjadi pada suatu kaum, dimana sebuah kefakiran akan mendatangkan kekufuran pada mereka yang mengalaminya. Akhirnya, singkat cerita, kami mengambil sikap untuk berprasangka baik bahwa mereka adalah keluarga baik-baik yang memang sedang membutuhkan pertolongan.
Ada beberapa pertimbangan hingga kami pada akhirnya mengambil sikap ini. Pertama, bisa jadi mereka berbohong dan mereka termasuk orang-orang yang memiliki rencana jahat di balik ini semua. Kecurigaan ini harus kami hilangkan karena satu keyakinan. Bahwa di atas segala sesuatunya, pada akhirnya Allah-lah yang Maha Berkuasa. Biarpun seluruh dunia saling bekerja sama untuk mengadakan sebuah kejahatan untuk ditimpakan pada seseorang, jika Allah tidak menghendakinya, maka insya Allah kejahatan tersebut tidak akan terjadi.
Kedua, bisa jadi tidak pernah ada musibah yang sedemikian buruknya sedang menimpa mereka. Mungkin anak mereka yang lain saat ini bertubuh gemuk sehat, sedang tertawa sambil makan ayam goreng keluaran rumah makan cepat saji sambil berdecak nikmat kekenyangan. Tak ada penyakit, bahkan satu bisulpun di tubuhnya. Isi dompet keluarga ini mungkin saja kosong, tapi isi rekening tabungan mereka di bank-bank penuhnya melebihi uang di dalam dompet kami dan saat ini mereka sedang mencari jalan untuk menambah pundi-pundi tabungan mereka tanpa harus keluar keringat setetespun. Tapi sekali lagi, kecurigaan ini harus dihilangkan. Bagaimana jika mereka jujur dan mengatakan hal yang sebenarnya. Bagaimana jika betul mereka termasuk orang-orang yang memang memerlukan pertolongan disertai keyakinan bahwa Allah akan selalu membantu hamba-Nya yang berkata jujur dan telah berbuat baik.
Mengisahkan musibah yang dialami oleh diri sendiri adalah sebuah kejujuran yang terkadang menjadi sangat berat untuk mereka yang telah berusaha untuk senantiasa menyembunyikan amal kebajikan. Karenanya, siapapun harus menghargainya dan tidak berhak menaruh prasangka buruk. Dan jika betul musibah tersebut telah terjadi atas diri mereka, terlebih karena mereka mengaku sebagai seorang muslim dan muslimah, maka persaudaraan Islam haruslah ditegakkan. Prasangka baik dan persaudaraan Islam, dua hal yang harus tetap disemai dalam hati kita. Adapun hasilnya, jika ternyata mereka tak lain hanyalah menggunakan topeng untuk mengelabui kita, Allah Maha Mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Keadilan akan selalu ditegakkan. Yang penting, niat baik sudah dicatat dalam catatan amal.
Sekali lagi, dalam ketidak tahuan atas realita di balik ini semua, keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Berkuasa atas segalanya akan diuji.
Ketiga, ada sebuah tugas tak langsung yang tersandang di pundak setiap muslim dan muslimah yang mengenakan pakaian takwanya di manapun dia berada di atas muka bumi ini. Yaitu, berdakwah tidak hanya melalui perkataan tapi juga perbuatan. Kenyataan yang kami hadapi saat ini adalah, sebuah keluarga yang berdiri tepat di depan mata kami dengan menampilkan suasana putus asa akan rahmat Allah, kecewa pada pemerintahan, dan kecewa pada masa lalu yang telah terjadi.
Tiga hal ini tentu saja harus diperbaiki dengan segera. Putus asa akan rahmat Allah, bisa jadi karena posisi mereka berada saat ini, menyebabkan mereka tidak dapat melihat sudut solusi lain dari masalah mereka. Sebagai saudara mereka, atas nama persaudaraan Islam karena Allah semata, juga karena posisi kita yang berdiri berlainan tempat dengan posisi mereka saat ini, menjadi tugas kita untuk tidak sekedar mengingatkan mereka bahwa Allah tidak pergi meninggalkan mereka saat ini (dan memang tidak pernah terjadi). Membangkitkan kesadaran bahwa Allah tidak akan menimpakan sesuatu di luar kemampuan hamba-Nya haruslah terus dilakukan. Jika tidak, bisa jadi mereka berprasangka buruk pada Allah, pada Islam, dan akhirnya berbalik menjadi musuh dari Islam sendiri. Kecewa pada pemerintah pun demikian. Mereka yang kecewa pada pemerintah, suatu saat akan, yaitu ketika rasa kecewa itu kian menumpuk bisa jadi akan merencanakan sebuah tindakan yang bukan hanya merugikan diri mereka sendiri, tapi juga merugikan orang banyak, merugikan negara secara keseluruhan dan pada akhirnya, merugikan keberlangsungan nama baik Islam di negara ini. Sedangkan kecewa pada masa lalu, adalah ciri-ciri dari mereka bisa masuk ke dalam kelompok mereka yang akan sulit menjalani taubat. Inilah salah satu ciri dari mereka yang ingkar pada nikmat Allah atas diri mereka.
Pada akhirnya, kami sepakat untuk membantu mereka, dengan segala prasangka baik yang menyertai sikap waspada. Yaitu, tidak serta merta memberikan bantuan uang seperti yang mereka minta. Tapi memberi rekomendasi nama teman-teman yang bisa mereka hubungi untuk mendapatkan bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, serta bantuan lain yang berhubungan.
Satu hari ditunggu kabar, tidak ada kabar apapun. Tiga hari kemudian pun demikian juga. Hingga satu bulan kemudian, kami mencoba mengontak nama-nama teman yang telah kami rekomendasikan pada keluarga muda tersebut. Hasilnya? Tidak ada kabar. Entah apa yang terjadi pada keluarga muda tersebut. Mungkin anaknya sudah sembuh. Atau ekonomi keluarga tersebut telah membaik atas izin Allah. Wallahu’alam. Dalam kondisi seperti inipun, kita tetap harus berprasangka baik dan tetap memberikan doa pada saudara kita tersebut.
Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sekali lagi Dia telah menunjukkan pada kami kekuasaan-Nya yang Maha Besar atas segala sesuatunya. Semoga Allah senantiasa melindungi keluarga muda tersebut, juga pada kami dan kalian semua, agar tidak terjerumus kepada kesesatan dan kejahatan. Aamiin
0 Response to "Berserah diri Kepada Allah"
Post a Comment