PEGADAIAN

PEGADAIAN PADA MASA VOC
Sejarah Pegadaian dimulai pada abad XVII, ketika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) suatu maskapai perdagangan dari negeri Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang. Karena melihat penduduk Indonesia waktu itu masih terbelakang dalam segala hal, terpisah-pisah tetapi tanahnya subur, mereka tergoda untuk mencengkeramkan kekuasaannya di Bumi Nusantara ini demi untuk menguasai perekonomian penduduk dan persaingan perdagangan dengan Negara Eropa Barat lain yang sama-sama berkeliaran kawasan Asia seperti Spanyol dan Portugal. Dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomiannya, VOC mendirikan Van Leening yaitu lembaga kredit yang memberikan kredit dengan system gadai. Bank Van Leening yang sudah ada di negeri Belanda, baru didirikan pertama di Batavia (Jakarta) pada tanggal 20 Agustus 1946 berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Van Imhoff.

PAGADAIAN PADA MASA PEMERINTAHAN BELANDA
Pada tahun 1800 setelah VOC dibubarkan, selanjutnya Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintah Belanda. Keberadaan lembaga kredit Bank Van Leening bentukan VOC tersebut semakin tersebut dipertegas. Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan peraturan yang merinci jenis barang yang dapat digadaikan seperti emas, perak, kain, dan sebagian perabot rumah tangga, yang dapat disimpan dalam waktu yang relative singkat.
Ketika Inggris, mengambil alih kekuasaan atas di Indonesia dari tangan Belanda, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang menjadi penguasa saat itu sependapat bahwa suatu Bank semacam itu harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Ia berpendapat bahwa usaha gadai cukup dilaksanakan oleh perorangan saja.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Bank Van Leening dibubarkan pada tahun 1811. sebagai gantinya pada saat itu juga dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa setiap orang boleh mendirikan usaha pegadaian dengan ijin (Licentie) dari pemerintah daerah setempat. Dari penjualan lisensi ini diharapkan pemerintah memperoleh tambahan pendapatan. Namun ada dampak buruk dengan adanya licentie Stelsel ini. Para pemegang lisensi mempergunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan yang sangat besar dengan menetapkan bunga pinjaman tinggi alias menjalankan praktek rentenir secara terselubung. Dengan demikian pola Licentie Stelsel dianggap menumbuhkan praktek-praktek lintah darat dan dirasakan kurang menguntungkan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk membatasi pemegang hak usaha gadai dengan mengganti Licentie Stelsel dengan Pacth Stelsel, yaitu bahwa hak mendirikan Pegadaian diberikan kepada umum yang mampu memberikan pembayaran sejumlah uang yang tertinggi kepada pemerintah.
Ketika Belanda kembali berkuasa di Indonesia pada tahun 1816, keberadaan Pacth Stelsel tetap dipertahankan, bahkan terus berkembang di Indonesia. Dalam perkembangannya itu, ternyata pola Pacth Stelsel membawa dampak yang sama dengan pola Licentie Stelsel. Pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewangan, mengeruk keuntungan untuk diri sendiri yaitu dengan cara menetapkan bungan pinjaman dengan sewang-wenang. Untuk mengatasi praktek penyelewengan tersebut pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang lebih menekankan system dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Disamping itu, praktek riba berselubung Pegadaian seperti mendapat kritikan juga dari tokoh-tokoh humanis Belanda. Tokoh-tokoh mengaitkan kegiatan Pegadaian dengan beratnya kehidupan rakyat kecil dan menyarankan agar kegiatan Pegadaian dijalankan oleh pemerintah saja. Saran ini sebenarnya berada dalam kerangka gerakan moral yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh mereka yaitu pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat miskin yang selama itu banyak diperas tenaganya dan dikuras kekayaan alamnya. Para humanis yang merasa malu dengan tindakan pemerintah Hindia Belanda mengusulkan kebijakan yang terkenal dengan sebutan Cultur Stelsel.
Kebijakan ini meminta pemerintah agar kekayaan yang telah diperoleh dari cucuran keringat rakyat Hindia Belanda dan selama puluhan tahun diangkut ke negerinya itu dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Filosofi dari gerakan ini kemudian terkenal dengan sebutan ethiesce politiek.
Team peneliti ii bertugas untuk meneliti keberadaan, perkembangan serta menetapkan kebijakan pemerintah dibidang lembaga keuangan. Salah satu tugas team ini adalah mengadakan penelitian mengenai dapat tidaknya Pegadaian diusahakan sendiri oleh pemerintah. Kesimpulan dari penelitian antara lain bahwa Pagadaian dapat memberi manfaat kepada pinjaman (dalam hal ini masyarakat kecil) dan merupakan suatu sarana pemberantasan lintah darat (rentenir). Saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan Pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat peminjam.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah mengeluarkan Staatsblad (STBL) No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang pada prinsipnya mengatur bahwa pendirian Pegadaian merupakan monopoli dan karena itu hanya biasa dijalankan oleh pemerintah. Berdasarkan undang-undang ini maka didirikanlah Pegadaian Negara pertama dikota Sukabumi (jawa Barat) pada tanggal 1 April 1901.
Kehadiran Pegadaian Negara ini mendapat sambutan yang baik dari masyarakat kecil. Daya tarik Pegadaian saat itu adalah karena prosedur perolehan pinjaman yang demikian sederhana, bunga (rente) yang rendah dan taksiran terhadap barang jaminan yang mendekati yang mendekati kebutuhan mereka. Dalam menetapkan prosedur pelayanan, disesuaikan dengan sikap dan perilaku masyarakat Indonesia yang tingkat kehidupannya dianggap masih sederhana. Oleh karena itu, pemerintah menghindarkan perbuatan prosedur pelayanan yang berbelit-belit.
Selanjutnya pada tahun 1902 dibuka Pegadaian Cianjur, Tahun 1903 di Purworejo, Bogor, Tasikmalaya, Sikakak (Bandung), dan Cimahi. Tahun-tahun berikutnya pegadaian-pegadaian Negeri semakin bertambah dan tumbuh dengan cepat.
Pada tahun 1917 semua Pegadaian di Jawa dan Madura sudah berada ditangan pemerintah. Di daerah luar Jawa dan Madura, orang masih mempunyai kesempatan untuk mendirikan Pegadaian swasta denga mendapat lisensi dari pemerintah. Tidak lama kemudian, dengan Stbl. 1921 No. 28 jo No. 420 ditetapkan bahwa penyelenggara seluruh pegadaian di Jawa dan luar Jawa menjadi monopoli pemerintah.
Aturan dasar Pegadaian (Pandhuis Reglement) mula-mula ditetapkan pada tahun 1905 dengan Stbl. Tahun 1905 No. 490 yang kemudian diubah dengan Stbl. No. 81, jo No. 82 dan Stbl. Tahun 1935 No. 596. Pandhuis Reglement tersebut mula-mula ditetapkan dengan Ordonantie, yang kemudian dengan Stbl. Tahun 1928 No. 64 diubah penetapannya dalam bentuk regeerings verordening. Untuk meningkatkan peran dan efektivitasnya, Pegadaian dietapkan sebagai suatu jawatan yaitu suatu lembaga resmi yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Ketetapan Pegadaian sebagai lembaga resmi jawatan ini tentang dalam Stbl. Tahun 1930 No. 266.
Jawatan Pegadaian (Pandhuis Dienst) dipimpim oleh seorang kepala Jawatan (Hoofd van den Dienst) yang dibantu oleh seorang Kepala Muda (Onderhoofd) dan 7 (tujuh) staf bagian (afdeeling zaken).
Untuk urusan operasional cabang (pandhuis) yang pada tahun 1932 berjumlah 468 cabang, dibentuklah daerah inspeksi yang dikepalai oleh seorang Kepala Daerah Inspeksi (Inspecteur). Jumlah Inspektur pada saat itu ada 6 (enam) yang berkedudukan di Medan mengkoordinasikan cabang Pegadaian yang tersebar di wilayah Sumatera dan Kalimantan Barat.
Untuk mengawasi dan membina jalannya cabang Pegadaian, maka setiap Inspektur dibantu oleh beberapa orang pemeriksa (Controleur), yang berkedudukan disuatu kota. Pada umumnya, satu orang controleur membawahi 10 sampai 16 cabang Pegadaian.
Dalam kenyataannya, controleur inilah yang sangat berperan dan memiliki kekuasaan tinggi atas operasional cabang. Setiap bulan controleur mengadakan kunjungan pemeriksaan ke cabang Pegadaian. Setiap kesalahan yang diperbuat oleh pegawai Pegadaian seketika itu juga mendapat hukuman dari controleur. 
Perlu dikemukakan bahwa pegawai  cabang Pegadaian umumnya adalah orang Indonesia (pribumi) bahkan pimpinan cabangpun (disebut beheerder) dipegang oleh orang pribumi. Jabatan kontrolir ke atas tetap dipegang oleh orang Belanda. Peralihan secara bertahap kepada orang Indonesia (pribumi) barulah terjadi pada masa kemerdekaan.
Setiap kantor inspeksi juga ditempatkan seorang technische Instructeur (Ahli Taksir) yang tugasnya terutama mengawasi nilaian atau taksiran (taxatie) barang jaminan yang ada di cabang-cabang  Pegadaian diwilayahnya.
Ahli taksir dicabang Pegadaian disebut schater (penaksiran). Seorang pegawai hanya boleh mengerjakan taksiran jika telah mengikuti dan dinyatakan lulus dari kursus menaksir. Schatter berhak memperoleh matrijs stempel berisi kode pemilik yang digunakan untuk menyegel pembungkus (Kantong) barang jaminan.
Pada zaman Belanda bahkan sampai awal zaman kemerdekaan, kedudukan seseorang baheerder dan schatter tergolong tinggi. Mereka dianggap sebagai priyayi kelas menengah yang terpandang baik dilingkungan kedinasan (bestuur) maupun dilingkungan kedinasan (bestuur) maupun lingkungan pergaulan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baheerder dan schatter disapa dengan “ndoro”, di Jawa Barat dengan sapaan “Juragan”. Didaerah Pantura (pantai utara jawa) biasa dipanggil “Mantri” atau Mantri Pak”.
Nama Pegadaian sendiri dilafazkan berbeda-beda. Di Jakarta disebut “pegadean”, di Jawa Barat “pakgade” atau “pagaden” di Jawa Tengah “gaden”, di Sumatera Barat “pasar gadai” di Sumatera Utara “pajak gadai” sementara orang dari kalangan atas menyebutnya “rumah gadai” yaitu terjemahan dari “pandhuis”.

Subscribe to receive free email updates: