Penyebaran Islam di Tapanuli

Syawal 1233 Hijriah atau sekitar tahun 1816 Masehi. Tak kurang dari lima ribu orang pasukan berkuda Tentera Paderi masuk ke Mandailing, yang merupakan daerah perbatasan Sumatera Utara (Sumut) dengan dengan Sumatera Barat sekarang. Seperti semua penunggang kuda, Tuanku Rao yang bernama Fakih Muhammad, pemimpin pasukan ini mengenakan jubah putih dengan serban di kepala, khas Tuanku Imam Bonjol.

Mereka masuk melalui Muara Sipongi dan menaklukkan Penyambungan dan terus bergerak ke utara. Misi utama penyerangan itu untuk mendirikan Islam yang kaffah, yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist sesuai dengan paham Islam Wahhabi yang dianut Paderi. (lihat Andil Paderi di Tanah Batak)

Tidak begitu sulit proses penegakan syariat Islam ini karena ternyata sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan di Sumut) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.

Usai menaklukkan Mandailing, pasukan dengan pedang di pinggang ini, bergerak lebih ke utara. Rencananya mereka akan menaklukkan tanah Batak yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme.

Di Sipirok, kini salah satu kecamatan di Tapanuli Selatan, mereka berhenti untuk menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao lalu merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan/telah masuk islam dalam pasukannya. Pasar Sipirok yang sekarang dahulunya merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.

Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X yang bernama Ompu Tuan Nabolon.

Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan (Kampung Halaman yang punya Blog Ini Hendra Pakpahan), Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X. Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Naas, dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X tewas dengan leher terputus.

Menurut Ompu Buntilan alias Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, Sisingamangaraja X yang lahir pada tahun 1785, meninggal dunia pada tahun 1819 dalam usia 34 tahun. Waktu dia baru berkuasa sebagai raja selama empat tahun saja.

Satu hal yang pasti, penyerangan itu memakan banyak korban. WA Braasem dalam bukunya Proza en Poëzie om her Heilige Meer der Bataks menulis, “Pada permulaan abad yang lalu maka oleh apa yang dinamakan Penyerbuan Paderi (mazhab Islam ortodoks yang datang dari Minangkabau untuk menyebarkan Islam dengan api dan ujung pedang) ke pusat Tano Batak yang menurut tafsiran Junghuhn lebih dari 200 ribu orang yang mati terbunuh, di mana rakyat toh tidak menjadi Islam.”

Kesan agak berlebihan tentang serangan itu tertulis dalam Sedjarah HKBP yang ditulis Dr J Sihombing. Disebutkan, pasukan Tuanku Rao membakar rumah-rumah penduduk, ternak dipotong, barang-barang berharga dirampas. Rakyat berlarian, bersembunyi di hutan-hutan dan dalam gua-gua. Mulut anak kecil disumpal dengan kain, agar tidak terdengar suara atau tangisannya.

Perlawanan memang dilakukan rakyat Batak, tetapi Paderi sangat kuat. Mereka pun kalah. Penyerangan itu mengakibatkan tanah Batak banjir darah dan mayat. Perang ini juga mengakibatkan rakyat Batak miskin luar biasa. Lalu muncul dampak baru, penyakit kolera yang bersumber dari gelimpangan mayat-mayat. Belum ada obat penyembuh. Setiap orang yang terjangkit, paling lama dalam dua atau tiga hari dan akhirnya meninggal dunia.

Wabah kolera itu turut menjadi alasan keluarnya Paderi dari Batak. Mereka kembali ke Minangkabau untuk menghadapi Belanda yang semakin menancapkan kukunya. Dalam sebuah pertempuran di Air Bangis, Kab. Pasaman, Sumatera Barat, pada Januari 1833, Tuanku Rao akhirnya meninggal dunia. Mayatnya tidak ditemukan, kemungkinan dicampakkan Belanda ke tengah laut.

Usai Tuanku Rao memimpin pasukan ke Batak, datang lagi satu pasukan Paderi lainnya ke Mandailing, dipimpin Tuanku Tambusai. (lihat Rao dan Tambusai Jadi Rebutan)

Berbeda juga dengan Tuanku Rao yang masuk ke Mandailing melalui Muara Sipongi, maka pasukan masuk melalui Sibuhuan, Padang Lawas, Padang Bolak, walau akhirnya juga ke Sipirok. Di sini pula dibangun cikal-bakal mesjid pertama di Sipirok secara sederhana. Mesjid bernama Mesjid Raya Sori Alam Dunia Sipirok Mashalih yang pemugarannya dalam ujud yang sekarang dibangun sejak 16 Juli 1926 itu secara resmi dimasuki pada 16 Juli 1933 dan masih dipergunakan hingga sekarang.

Kendati sama-sama berasal dari Paderi, namun dalam pengislaman pola Tuanku Tambusai sudah lebih lembut dibanding Tuanku Rao. Namun yang pasti kedua misi pengislaman tersebut pada akhirnya menjadikan Mandailing masa kini, yakni Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan sebagai daerah dengan persentase pemeluk Islam terbesar di Sumut.

Subscribe to receive free email updates:

15 Responses to "Penyebaran Islam di Tapanuli"

  1. Sayangnya, blog ini tidak mencantumkan sumber pengutipab tulisannya dari mana.

    | rara, medan

    ReplyDelete
    Replies
    1. He,he,he,gk ada sejarah islam disebarkn dgn darah gk ada tapi kalo belanda yg bikin sejarah bisa aja menjelek2 kn islam toh apa yg dilakukan di spanyol,philifina,

      Delete
  2. Adakah sumber data yang menjadi acuan tulisan, Anda? Di mana? Karena Tulisan tanpa data adalah dongeng yang belum tentu benar, dan setiap berita yang tidak benar adalah kebohongan, dan kebohongan adalah dosa yang sangat besar....!!!

    ReplyDelete
  3. pantas aja ga mati tuh pasukan dari mandailing,,sok sokan menyebar agama islam ke tanah yang ga percaya dan samasekalai tidak ingin masuk islam.........

    ReplyDelete
  4. Memang peristiwa ini adalah catatan kelam dari penyebaran agama Islam di Tanah Batak. Seharusnya keyakinan apapun yang disebarkan harus disebarkan secara damai bukan dengan peperangan. Tentang sumbernya, sejarah ini sudah turun-temurun diceritakan oleh orang tua ke anak-anak dan keturunannya. HKBP (gereja Batak) mencatat ini dengan jelas, sebab peristiwa ini hampir bersamaan dengan perkembangan Kristen di tanah Batak. Sejarawan Indonesia, Asvi Marwan Adam (yang kalau saya tidak keliru adalah orang Minangkabau) malahan pernah melontarkan statement keras agar Tuanku Imam Bonjol tidak diakui lagi (dihapuskan) sebagai pahlawan nasional, karena memerangi sesama bangsanya. Comment ini bukan untuk menebarkan kebencian kepada pihak manapun, tetapi lebih kepada mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi. Mudah2an kita bisa menanggapi sejarah secara bijaksana.

    ReplyDelete
  5. orang batak sebelum masuknya agama kristen dan masih menganut paham animisme memang kejam, bahkan penyebar agama kristen pertama di sumatera utara pun dimakan oleh penguasa setempat (hal ini dikatakan oleh pendeta hkbp).
    saya merasa ngeri mendengar sejarah tersebut. tapi saya lebih ngeri mendengar kisah penyebaran agama islam di sumatera utara ini, karena ternyata orang yang sudah memeluk agama islam dapat bertindak lebih kejam dan keji dibanding orang yang masih menganut animisme dan dinamisme.

    ReplyDelete
  6. Kalau tidak lupa ini saya kutip dari Koran Harian.......

    ReplyDelete
  7. semua cerita pembantain berdasarkan tulisan bangsa eropa yg jelas-jelas adalah penjajah yang menggunakan politik devide et impera untuk menguasai daerah yang ingin dijajajahnya ,dan untuk keabsahannya sangat sangat diragukan dan apalagi Bangsa Eropa dimasa itu terkenal dgn 3G(Gold,Glory,Gospel) sangat membenci Islam sehingga menghalalkan berbagai cara dan selalu memutarbalikkan fakta untuk menyerang Islam(contohnya : bagaimana mereka melakukan tipu daya untuk menghancurkan dan membantai umat Islam hingga tak bersisa di semenanjung Andalusia Spanyol) dan semenjak itu mereka selalu menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan "Gold & Glory(kejayaan) dan "Gospel(Missionary)".Jadi,cerita pembantaian oleh pasukan Paderi tak lebih dari karangan dan muslihat Penjajah Eropa dan Belanda demi mencapai tujuannya yakni 3G(Gold,Glory dan Gospel) di tanah Tapanuli (Tano Batak) dan kemudian cerita karangan Penjajah ditiupkan terus-menerus baik lewat catatan (memutar balikkan fakta sejarah) dan melalui penyampaian mulut kemulut melalui para missionary agar kelak keturunan suku Batak percaya dengan cerita dusta itu...Tapi bisakah kita percayai para penjajah yg menggunakan segala tipu muslihat untuk menguasai negeri ini????...Berfikirlah dengan Menggunakan LOGIKA....Bahkan sampai sekarang saja,bangsa asing masih menggunakan berbagai tipu muslihat agar negeri kita ini terjajah secara Ekonomi (menguras sumber daya Indonesia) dan takkan membiarkan negara kita Maju secara Ekonomi dan Teknologi(IPTN ditutup atas permintaan IMF yg notabene dikuasai AS DAN EROPA)...

    ReplyDelete
  8. Iya jangan percaya dengan cerita bohong toh di mAndailing ,angkola,barus sudah ada yg memeluk islam sebelum jaman paderi dimulai. Sampe kapan kita orang tapsel,taput mau diadu domba kami orang tapsel sudah banya k mengalah kok toh buat apa percaya pada satu cerita saja yg di tutur mop

    ReplyDelete
  9. Kalau kuitpan sejarah dikutip dari penulis Kolonial yg datangnya ke nusantara untuk menjajah, pastinya tidak terlepas dari devide et impera alias politik pecah belah. Jadi sumber sejarah seperti itu jika dikaitkan dengan islam pasti berat sebelah dan cenderung islam adalah agama yg disebarkan dengan pedang dan bukan kenyataan yg sebaliknya dari misi kedatangan kaum penjajah itu ke nusantara. Mungkin bangsa kita sekarang sudah lebih arif dan pintarlah dalam menyikapi keberagaman dinegeri ini.

    ReplyDelete
  10. Saya percaya Orang orang padri punya peran dalam menyebarkan Islam di Tanah mandailing, Namun jika dikatakan penyebaran nya menggunakan pedang dan pembantaian, saya katakan. itu Mustahil. kenapa saya katakan demikian, islam tidak mengajarkan penyebaran islam dengan perang. namun potongan cerita diatas yang mengutip seakan akan tuanku rao menyebarkan islam dengan kekerasan. itu adalah propaganda, dari pihak belanda yang misionaris mereka kalah telak dalam merebut pengaruh untuk memasukkan agama, Wallahu alam.

    ReplyDelete