Perkembangan Pemikiran Hukum Islam

Berbicara tentang filsafat keilmuan hukum Islam saat ini tidak bisa terlepas dari peta sejarah perkembangan pemikiran Islam dengan teliti mulai dari era Islam Tradisionalis, Islam Modern sampai Islam Postmodern. Jasser Auda membuat peta perkembangan pemikiran Islam dalam bukunya tersebut. Pertama Islamic Traditionalism. Ada empat varian disini. 
  1. Scholastic Traditionalism, dengan ciri berpegang teguh pada salah satu madhhab fiqhtradisional sebagai sumber hukum tertinggi, dan hanya membolehkan ijtihad, ketika sudah tidak ada lagi ketentuan hukum pada madhhab yang dianut. 
  2. Scholastic NeoTraditionalism, bersikap terbuka terhadap lebih dari satu madhhab untuk dijadikan referensi terkait suatu hukum, dan tidak terbatas pada satu madhhab saja. Ada beberapa jenis sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh madhhab fiqh dalam Islam, hingga sikap terbuka pada madhhab Sunni atau Shia saja. 
  3. Neo-Literalism, kecenderungan ini berbeda dengan aliran literalism klasik (yaitu mazhab Zahiri). Neo-literalismini terjadi pada Sunni maupun Shia. Perbedaannya dengan literalism lama adalah jika literalism klasik (seperti versi Ibn Hazm) dengan neo-Literalism adalah literalismklasik lebih terbuka pada berbagai koleksi hadis, sedangkan neo-literalismhanya bergantung pada koleksi hadis dalam satu mazhab tertentu. Namun demikian, neo-literalismini seide dengan literalisme klasik dalam hal sama-sama menolak ide untuk memasukkanpurposeataumaqasid sebagai sumber hukum yang sah (legitimate). Contoh neo-literalismsaat ini adalah aliran Wahabi. 
  4. Ideology-Oriented Theories. Ini adalah aliran traditionalismyang paling dekat dengan post-modernismdalam hal mengkritik modern ‘rationality’ dan nilai-nilai yang bias ‘euro-centricity’, ‘west-centricity’. Salah satu sikap aliran ini adalah penolakan mereka terhadap demokrasi dan sistem demokrasi, karena dinilai bertentangan secara fundamental dengan sistem Islam. [1]

http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/keluarga-berencana-dalam-perspektif.htmlKedua, Islamic Modernism. Ciri umum para tokoh corak pemikiran ini adalah mengintegrasikan pendidikan Islam dan Barat yang mereka peroleh, untuk diramu menjadi tawaran baru bagi reformasi Islam dan penafsiran kembali (re-interpretation). Ada lima varian disini. 
  1. Peformist Reinterpretation. Dikenal juga sebagai ‘contextual exegesis school’ atau atau menggunakan istilah Fazlur Rahman ‘systematic inter pretation’. Contoh, Muhammad Abduh, Rashid Rida dan al-Tahir Ibn Ashur telah memberi kontribusi berupa mazhab tafsir baru yang koheren dengan sains modern dan rasionalitas. 
  2. Apologetic Reinterpretation. Perbedaan antara reformist reinterpretations dan apologetic reinterpretations adalah reformist memiliki tujuan untuk membuat perubahan nyata dalam implementasi hukum Islam praktis; sedangkan apologetic lebih pada menjustifikasi status quo tertentu, ‘Islamic’ atau ‘non-Islamic’. Biasanya didasarkan pada orientasi politik tertentu.seperti Ali Abdul Raziq dan Mahmoed Mohammad Taha. 
  3. Dialogue-Oriented Reinterpretation/Science-Oriented Reinterpretation. Ini merupakan aliran modernis yang menggunakan pendekatan baru untuk reinterpretasi. Mereka memperkenalkan ‘a scientific interpretation of the Qur’an and Sunnah’. Dalam pendekatan ini, ‘rationality’ didasarkan pada ‘science’, sedangkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis direinterpretasi agar selaras dengan penemuan sains terbaru. 
  4. Interest-Oriented Theories. A Maslahah-based approach ini berusaha untuk menghindari kelemahan sikap apologetic, dengan cara melakukan pembacaan terhadap nass, dengan penekanan pada maslahah yang hendak dicapai. Contoh, seperti Mohammad Abduh dan al-Tahir ibn Ashur yang menaruh perhatian khusus pada maslahah dan maqasid dalam hukum Islam, sehingga mereka menginginkan reformasi dan revitalisasi terhadap hukum Islam yang terfokus pada metodologi baru yang berbasis maqasid. 
  5. Usul Revision. Tendensi ini berusaha untuk merevisi Usul al-Fiqh, mengesampingkan keberatan dari neotradisionalis maupun fundamentalist lainnya. Bahkan para tokoh yang tergolong Usul Revisionist menyatakan bahwa ‘tidak ada pengembangan signifikan dalam hukum Islam yang dapat terwujud, tanpa mengembangkan Usul a-Fiqh dari hukum Islam itu sendiri. Beberapa nama disebut sebagai contoh, antara lain Mohammad Abduh (1849-l905), Mohammad Iqbal (1877-1938), Rashid Rida, al-Tahir ibn Ashur, al-Tabtabai, Ayatullah al-Sadir, Mohammad al-Ghazali, Hasan al-Turabi, Fazlur Rahman, Abdullah Draz, Sayyid Qutb, Fathi Osman . 
Juga Ali Abdul Raziq, Abdulaziz Sachedina, Rashid Ghannouchi, Mohammad Khatami. Ketiga,Post-modernism. Metode umum yang digunakan tendensi ini adalah ‘deconstruction’, dalamstyleDerriida. 
  1. Post Structuralism. Berusaha membebaskan masyarakat dari otoritas nassdan menerapkan teori semiotic( Teori yang menjelaskan bahwa “Bahasa sesungguhnya tidak menunjuk kepada realitas secara langsung”(Language does not refer directly to the reality)terhadap teks al-Qur’an, agar dapat memisahkan bentuk implikasi yang tersirat (separate the implication from the implied). 
  2. Historicism. Menilai al-Qur’an dan hadis sebagai ‘cultural products’ dan menyarankan agar deklarasi hak-hak asasi manusia modern dijadikan sebagai sumber etika dan legislasi hukum. 
  3. Critical –Legal Studies (CLS). Bertujuan untuk mendekonstruksi posisi‘power’ yang selama ini mempengaruhi hukum Islam, seperti powerfulsuku Arab dan “male elitism’. 
  4. Post-Colonialism. Mengkritik pendekatan para orientalis klasik terhadap hukum Islam, serta menyerukan pada pendekatan baru yang tidak berdasarkan pada ‘essentialist fallacies’(prejudices) terhadap kebudayaan Islam. 
  5. Neo-Rationalism. Menggunakan pendekatan historis terhadap hukum Islam dan mengacu pada madhhab mu’tazilah dalam halrational reference untuk mendukung pemahaman mereka. Banyak nama yang disebut. Antara lain Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi, al-Tahir al-Haddad dan juga Ebrahim Moosa dengan buku-buku atau artikel yang disebut dalam bab Bibliograpi. Juga Ayatullah Shamsuddin, Fathi Osman, Abdul Karim Soroush, Mohammad Shahrur dan yang lain-lain.[2]
Jasser Auda kemudian mengajukan pendekatan Systemsuntuk membangun kerangka pikir baru untuk pengembangan hukum Islam di era global-kontemporer. Hasil penelitian terhadap ke tiga trend hukum Islam diatas dinyatakan sebagai berikut: “Current applications (or rather, mis-applications) of Islamic Law are reductionist rather than holistic, literal rather than moral, one-dimensional rather than multidimensional, binary rather than multi-valued, deconstructionist rather than reconstructionist, and causal rather than teleological”.[3]

(Penerapan - atau lebih tepat disebut kesalah-penerapan – hukumIslam di era sekarang adalah karena penerapannya lebih bersifat reduktif (kurangutuh) dari pada utuh, lebih menekankan makna literal dari pada moral, lebihterfokus pada satu dimensi saja dari pada multidimensi, nilai-nilai yang dijunjungtinggi lebih bercorak hitam-putih dari pada warna-warni pelangi, bercorakdekonstruktif dari pada rekonstruktif, kausalitas dari pada berorientasi padatujuan (teleologis)).


Sumber :
[1]Abdullah, Idem: Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Pendekatan Filsafat Sistem dalam Usul Fikih Sosial, Media Syariah, Vol. 14 No. 1 Januari - Juni 2011, hlm. 15.
[2]Ibid., hlm. 17.
[3] Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), hlm. xxvii.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perkembangan Pemikiran Hukum Islam"

Post a Comment