Perkembangan Islam di Sumatra

Abad ke-13, di Sumatra telah berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh (sekarang=Kab. Lhokseumawe).           2 Tahun 1514 di ujung utara pulau Sumatera berdiri kesultanan Aceh dikenal dengan nama Aceh Darussalam. Kemunculan kerajaan samudera pasai adalah hasil islamisasi daerah pesisir pantai yang dilakukan pedagang muslim pada abad ke-7. 

Samudera pasai memiliki hubungan dengan Sultan Delhi India (tahun 746H/1345M) Ibnu Batutah pengembara dari Maroko yang sempat singgah ke samudera pasai Samudera Pasai merupakan tempat pusat studi agama Islam dan berkumpulnya para ulama’. Tahun 1521 samudera pasai ditaklukkan Portugis dan mendudukinya selama 3 tahun.

Aceh Darussalam
Tahun 1514 Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Islam Aceh yang dikenal dengan nama Aceh Darussalam. Puncak kejayaan kerajaan ini pada masa Sultan Iskandar Muda, yakni kemajuan dibidang ekonomi dan pemerintahan dan menjalin hubungan dengan kerajaan Turki Usmani (Ottoman). Adat Mahkota Alam adalah undang-undang yang disusun dan diberlakukan di kerajaan itu. Selain itu, hukum Islam dilaksanakan dengan tegas.  Ulama dari gujarat yang menulis di kesultanan Aceh adalah Syeh Nuruddin ar Raniri menulis kitab Sirat al Mustaqim dan Bustan at Salatin.  “Mati anak ada makamnya, mati hukum kemana lagi kan dicari keadilannya”.

Kemunduran kerajaan ini adalah setelah Sultan wafat, diganti oleh menantunya dan diteruskan oleh sultanah (sultan wanita) 4 periode berturut-turut. Tahun 1874 Belanda menyatakan Aceh dan daerah taklukkannya menjadi milik Belanda. 

Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Syeh Maghribi panggilan akrabnya, karena berasal dari daerah Magribi, Afrika Utara. Adalah orang Islam pertama yang masuk Jawa. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. 

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. 

Sunan Ampel
Pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Camboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim

Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Suanan Ampel menginginkan masyarakat menganut keyakinan Islam yang murni. 

Sejarah dakwahnya

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi istri Sunan Kalijaga. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang
Beliau dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makamnya berada di kota Gresik. Memusatkan dakwahnya di Tuban Metode dakwahnya menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari wayang dan musik gamelan. Nama-nama dewa diganti dengan nama-nama Malaikat. Beliau wafat di Tuban 1525.

Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang. Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.



Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLI K di bawah ini :

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perkembangan Islam di Sumatra"

Post a Comment