Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan pendaftaran tanah mempunyai
sistem yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya namun yang
banyak diikuti adalah sistem pendaftaran yang berlaku di Australia yang lazim disebut sistem Torrens . Torrens ketika menjadi anggota First Colonial Ministry dari Provinsi South Australia mengambil inisiatif
untuk mengintroduksi pendaftaran tanah, yang di Australia terkenal sebagai real Property
Act Nomor 15 Tahun 1857-1858, sistem ini kemudian dikenal di dunia dengan
sistem Torrens atau torrens system
(Supradi, 2007: 166).
Penerapan sistem
ini berawal dari cita suatu ketentuan bahwa manakala seorang mengklaim sebagai
pemilik fee simple baik karena
undang-undang atau sebab lain harus mengajukan suatu permohonan agar lahan yang
bersangkutan diletakkan atas namanya. Permohonan ini kemudian diteliti oleh Barrister and conveyancer yang terkenal
sebagai examiner of title
(pemeriksaan alas hak) dan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 di sebut Panitia
Tanah A/B atau Panitia Ajudikasi oleh PP No.24 Tahun 1997.
Dalam memeriksa
kelayakan sebuah permohonan yang diajukan oleh pemohon maka lahan tersebut akan
diuji dan berkesimpulan (Supriadi, 2007: 167) :
1.
Bahwa lahan yang dimohon didaftarkan tersebut baik dan
jelas.
2. Bahwa atas permohonan tidak ada sengketa
dalam pemilikan tersebut.
3. Bahwa atas permohonannya secara meyakinkan
dapat diberikan.
4. Bahwa atas bukti dari alas hak tidak ada
orang yang berprasangka dan berkebaratan terhadap kepemilikan pemohon.
Pendaftaran tanah berdasarkan sistem torrens mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keuntungan sistem
torrens ini yaitu :
1.
Menetapkan biaya-biaya yang tak dapat diduga
sebelumnya.
2. Meniadakan pemeriksaan yang
berulang-ulang.
3.
Meniadakan kebanyakan rekaman.
4.
Secara tegas menyatakan dasarnya
5.
Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak
tersebut dalam sertifikat.
6. Meniadakan (hampir tak mungkin) pemalsuan.
7. Tetap memelihara sistem
tersebut tanpa menambahkan kepada teks asli yang menjengkelkan oleh karena yang
memperoleh kemanfaatan dari sistem tersebut yang membayar biaya.
8.
Meniadakan alas hak pajak.
9. Dia memberikan suatu alas hak yang abadi
oleh karena negara menjamin nya tanpa batas.
Di samping keuntungan yang
terdapat dalam sistem pendaftaran torrens tersebut terdapat juga kerugian dari
penggunaan pendaftaran tersebut yaitu :
1. Dia mengganti kepastian dan ketidak
pastian.
2. Dia silang dan waktu penyelesaian dari
bulan menjadi harian.
3. Dia mengubah menjadi singkat dari
kejelasan dan ketidak jelasan dan bertele-tele (Supradi, 2007: 166).
Selain torrens dalam
pendaftaran tanah dikenal juga sistem sistem pendaftaran yang lazim disebut
pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. A.Parlindungan (1999: 36) menyatakan
bahwa sejarah pemilikan tanah secara individual jika hanya mengandalkan kepada
ingatan atau keterangan saksi, pasti tidak diteliti karena ingatan bisa saja
kabur dan saksi-saksi hidup satu masa akan meninggalkan dunia. Apalagi seperti
di Indonesia tanah sudah ada sejak dahulu dalam artian bahwa hubungan manusia
dengan tanah telah ada sejak dahulu, namun karena tidak tertulis apalagi tidak
terdaftar hanya secara lisan diketahui tanah itu milik siapa dan batas-batasnya
atau setidak-tidaknya satu bidang tanah itu umum diketahui adalah milik
seseorang ataupun warisan seseorang pada ahli warisnya.
Selanjutnya A. Parlindungan (Ali, 1985: 66-67),
mengatakan bahwa sungguhpun oleh sistem torrens hal ini juga diinsafi dengan
adanya lembaga examiner of title
(panitia tanah), sehingga memberi kesempatan kepada orang atau pihak yang
merasa haknya lebih benar/kuat dari yang terdapat dalam sertifikat untuk
mengklaim hal ini, dengan mengajukan kepada pengadilan negeri setempat dengan
dugaan siapa yang merasa berhak harus mengajukan bukti-buktinya. Jika hal-hal
ini meyakinkan hakim pengadilan berhak menyatakan bahwa sertifikat itu batal
dan menyatakan bahwa orang mengajukan perkara tersebut lebih berhak dan
meyakinkan kelihatannya PP Nomor 24 Tahun 1997 menganut stelsel negatif yang
berbatas 5 (Lima) tahun.
Memperhatikan kedua sistem di atas timbul
pertanyaan di Indonesia sistem pendaftaran mana yang dianut. Menelusuri
beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) tentang kasus yang timbul berkaitan dengan
tanah di Indonesia mengarah pada pengakuan sistem stelsel negatif. Hal ini
dapat dibuktikan dengan beberapa putusan pengadilan sebagai berikut (Soerodjo,
2003: 161-162) :
1. Putusan MA tanggal 18 September 1975 No.
459 K/Sip/1975 menentukan “Mengingat stelsel negatif tentang pendaftaran tanah
yang berlaku di Indonesia maka pendaftaran nama seseorang di dalam register
bukanlah, berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidak
absahan dapat dibuktikan oleh pihak lain.”
2. Putusan MA tanggal 2 Juli 1974 No. 480K
/Sip/1973 menentukan pengoperan hak atas tanah menurut Pasal 26 UUP jo. PP No.
10 Tahun 1961 harus dibuat dihadapan pejabat pembuat akta tanah, dan tidak
dapat dilaksanakan seseorang dibawah tangan, seperti halnya sekarang cara yang
harus ditempuh oleh penggugat kalau pihak tergugat tidak mau memenuhi
perjanjian tersebut, dengan suka rela penggugat dapat memohon agar kedua akta
di bawah tangan, itu oleh pengadilan dinyatakan sah dan berharga serta memohon
agar tergugat dihukum untuk bersama-sama dengan penggugat menghadap kepada
seorang pejabat pembuat akta tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua
bidang perihal tersebut.
3. Putusan MA No. 2339/K/Sip/1982 menentukan
menurut UUPA Pasal 5 bagi tanah berlaku hukum adat hal mana berarti rumah dapat
diperjual belikan terpisah dari tanah (pemisahan horizontal).
Kepastian hukum terhadap
pemilik atau yang menguasai tanah untuk melakukan pendaftaran tanah berdasarkan
PP No. 24 Tahun 1997, hal ini terlihat dengan adanya sistem pendaftaran tanah
secara sporadis dan sistem sistematik, dimana dalam pendaftaran tanah yang
dilakukan dengan cara sporadis pemilik tanah yang aktif untuk melakukan
pendaftaran tanah.
Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan
pendaftaran tanah yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional),
sebagai pelaksana dibantu oleh sebuah panitia independen. Hal ini sesuai
ketentuan dalam Pasal 8 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa : (1)
dalam melaksanakan pendaftaran secara sistematik Kepala Kantor Pertanahan
dibantu oleh sebuah Panitia Ajudikasi, yang dibentuk oleh menteri atau pejabat
yang ditunjuk; (2) susunan Panitia Ajudikasi sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas :
1. Seorang ketua panitia merangkap anggota
yang di jabat oleh seorang pegawai BPN.
2. Beberapa orang anggota yang terdiri dari
seorang pegawai BPN yang mempunyai kemampuan di bidang pendaftaran tanah,
seseorang pegawai BPN yang mempunyai kemampuan di bidang hak atas tanah, kepala
desa/kelurahan yang bersangkutan dan atau seorang pamong desa/kelurahan yang
ditunjuknya.
3. Keanggotaan panitia ajudikasi dapat
ditambah dengan seorang anggota yang sangat diperlukan dalam penilaian
kepastian data yuridis mengenai bidang-bidang tanah yang wilayah desa/kelurahan
yang bersangkutan.
4. Dalam melaksanakan tugasnya panitia
ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan satuan tugas
pengumpul data yuridis dan satuan administrasi yang tugas dan susunannya diatur
oleh menteri.
Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti
dalam pendaftaran tanah menurut PP No. 10/1961 yaitu sistem negatif yang
mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yaitu bukan
sistem publikasi negatif yang murni sebab sistem publikasi negatif murni tidak
akan menggunakan sistem pendaftaran hak juga tidak akan ada pernyataan seperti
dalam pasal-pasal UUPA tersebut.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur
pengumpul sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta
pemeliharaan nya dan penerbitan sertifikat haknya, biarpun sistem publikasi nya
negatif tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama
agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
a.
Benda tetap/tak bergerak.
Barang tak bergerak adalah
:
1.
Tanah pekarangan dan apa yang didirikan di atasnya;
2.
Penggilingan, kecuali yang dibicarakan dalam Pasal
510;
3.
Pohon dan tanaman ladang yang dengan akarnya
menancap dalam tanah, buah pohon yang belum dipetik, demikian pula
barang-barang tambang seperti batu bara, sampah bara dan sebagainya, selama barang-barang
itu belum dipisahkan dan digali dari tanah;
4.
Kayu belukar dari hutan tebangan dan kayu dari pohon
yang tinggi, selama belum ditebang;
5.
Pipa dan salurán yang digunakan untuk mengalirkan
air dari rumah atau pekarangan; dan pada umumnya segala sesuatu yang tertancap dalam
pekarangan atau terpaku pada bangunan.(Pasal 506 KUHPdt)
Yang termasuk barang tak bergerak
karena tujuan adalah:
1. Pada
pabrik; barang hasil pabrik, penggilangan, penempaan besi dan barang tak bergerak semacam itu, apitan besi, ketel kukusan, tempat api,
jambangan, tong dan perkakas-perkakas sebagainya yang termasuk bagian pabrik,
sekalipun barang itu tidak terpaku;
2. Pada
perumahan: cermin, lukisan dan perhiasan lainnya bila dilekatkan pada papan
atau pasangan batu yang merupakan bagian dinding, pagar atau plesteran suatu
ruangan, sekalipun barang itu tidak terpaku;
3. Dalam
pertanahan: lungkang atau tumbuhan pupuk yang dipergunakan untuk merabuk tanah;
kawanan burung merpati; sarang burung yang biasa
dimakan, selama belum dikumpulkan; ikan yang ada di dalam kolam;
4. Runtuhan bahan bangunan yang dirombak,
bila dipergunakan untuk pembangunan kembali; dan pada umumnya semua barang yang
oleh pemiliknya dihubungkan dengan barang tak bergerak guna dipakai selamanya.
.(Pasal 507 KUHPdt)
Pemilik dianggap telah menghubungkan barang-barang itu
dengan barang tak bergerak guna dipakai untuk selamanya, bila barang-barang itu
dilekatkan padanya dengan
penggalian,
pekerjaan
perkayuan
dan
pemasangan
batu
semen, atau bila barang-barang itu tidak dapat dilepaskan tanpa membongkar atau
merusak barang itu atau bagian dari barang tak bergerak di mana barang- barang
itu dilekatkan.
Yang juga merupakan barang tak bergerak adalah hak-hak sebagai
berikut;
1. Hak pakai hasil dan hak pakai barang tak bergerak.
2. Hak
pengabdian tanah;
3. hak
Numpang karang;
4. Hak guna
usaha;
5. Bunga tanah, baik dalam bentuk uang
maupun dalam bentuk barang;
6. Hak
sepersepuluhan;
7. Bazar
atau
pasar
yang
diakui
oleh
pemerintah
dan
hak
Istimewa
yang
berhubungan dengan itu;
8. Gugatan
guna menuntut pengembalian atau penyerahan barang tak
bergerak. .(Pasal 508 KUHPdt)
Pembagian kedua jenis benda
tersebut bukan hanya dilakukan tanpa tujuan tetapi justru memiliki konsekuensi
yuridis yaitu :
1. Dalam hal jaminan benda bergerak
digadaikan sebaliknya benda tak bergerak dihipotikkan.
2. Dalam hal peralihan (jual beli, hibah,
tukar menukar) benda bergerak diserahkan secara fisik, sebaliknya benda tak
bergerak dilakukan dengan cara membuat akta otentik dihadapan pejabat tertentu.
3. Asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal
1977 KUHPerdata hanya berlaku terhadap benda bergerak, sebaliknya benda tak
bergerak tidak berlaku.
Asas yang terkandung dalam
ketentuan Pasal 1977 yaitu sebagai berikut : Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak
harus dibayar kepada sipembawa maka barang siapa yang menguasainya dianggap
sebagai pemiliknya.
Dari uraian tersebut di atas ada yang menjadi
anggapan/sangkaan hukum bahwa setiap yang menguasai benda bergerak harus
dianggap ia sebagai pemilik, konsekuensinya ialah barang siapa yang menyatakan
bahwa benda yang dikuasai orang tersebut sebagai miliknya maka dialah yang
dibebani pembuktian. Yang patut di garis bawahi disini ialah
sangkaan/anggapan hukum tersebut hanya
berlaku terhadap benda bergerak berarti kalau kita menggunakan metode
konstruksi hukum Argument a Contrario
kita dapat menarik kesimpulan bahwa terhadap benda tetap (termaksud tanah)
tidak berlaku.
Hubungan antar asas tersebut dengan penerbitan sertifikat hak milik atas
tanah dapat dijelaskan karena asas dimaksud tidak berlaku terhadap benda tak
bergerak maka bagi yang menguasai benda tak bergerak (termaksud tanah) belum
dianggap sebagai pemilik , sehingga dengan kata lain membuktikan kepemilikan
terhadap suatu bidang tanah tertentu tidak cukup dengan cara menguasainya
secara defacto melainkan diperlukan
bukti tertentu sebagai pendukungnya. ( Abdurrahman,1995: 109)
Bukti tersebut tidak lain adalah sertifikat hak
milik atas tanah. Sebagai bukti alas hak yang sah dan dimiliki kekuatan
pembuktian sempurna. Dengan diterbitkannya sertifikat, kepastian hukumnya akan
lebih terjamin yang meliputi :
1. Kepastian hukum tentang subyeknya,
maksudnya adalah dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah secara
yuridis telah terjamin bahwa orang yang namanya tersurat di dalam sertifikat
sebagai pemilik atas tanah tertentu.
2. Kepastian tentang obyeknya, maksudnya
dengan diterbitkannya sertifikat hak milik atas tanah, baik letak, luas maupun
batas-batas tanah lebih terjamin karena didalam sertifikat hal-hal yang
berkenaan dengan suatu bidang tanah termaksud gambar situasi termuat
didalamnya.
Dengan
terciptanya kedua kepastian hukum di atas kita mengharapkan sengketa atau
konflik di bidang pertanahan lambat laun akan semakin berkurang dan inilah
sebenarnya tujuan akhir dari penerbitan sertifikat. ( Abdurrahman,1995: 120)
menyatakan bahwa :
Lebih parah
lagi adalah timbulnya dua atau lebih sertifikat tanda bukti hak atas tanah yang
sama. Kondisi demikian tidak hanya menciptakan ketidak pastian hukum melainkan
juga merugikan bagi pemegang bukti hak sebab diantara sekian banyak sertifikat
mungkin hanya satu yang sah, selebihnya cacat hukum dan ini akan teruji kalau
antara mereka telah terjadi sengketa di pengadilan.
3. Fungsi Sertifikat Bagi Pemegangnya
Sebagai konsekuensi dari terciptanya
kepastian hukum mengenai subyek dan obyek maka dengan diterbitkannya sertifikat
tersebut dapat menimbulkan beberapa fungsi bagi pemiliknya yaitu :
a.
Nilai ekonomisnya (harga jual) lebih tinggi
Dalam jual beli pada umumnya pembeli (konsumen) memilik pandangan, lebih
baik kalah dalam membeli tetapi menang dalam pemakaian daripada menang membeli
tetapi kalah dalam memakai. Bertolak dari pandangan seperti itulah sehingga
tanah yang telah bersertifikat memiliki harga yang jauh lebih tinggi ketimbang
tanah yang belum bersertifikat. Kenapa demikian, karena tanah yang telah
bersertifikat telah memiliki jaminan kepastian hukum baik subyek maupun obyeknya.
Kepastian hukum mengenai subyek, dalam hal ini ada jaminan oleh hukum bahwa
penjual adalah pemilik tanah yang sesungguhnya. Dengan begitu telah menepiskan
keragu-raguan dari pembeli atas gangguan pihak ketiga. Kepastian hukum mengenai
obyek, bahwa luas dan batas-batas tanah tidak perlu diragukan lagi karena kedua
hal tersebut telah tersurat di dalam sertifikat tanah. (Efendi, 1983: 73)
b. Tanah lebih mudah dijadikan sebagai
jaminan utang
Tidak setiap orang memiliki
kemampuan ekonomi yang cukup, sering ditemukan orang dalam mempertahankan
hidupnya harus meminjam uang dari pihak/orang lain. Demikian juga halnya dengan
para pelaku usaha, bahwa tidak setiap pelaku usaha memiliki modal yang cukup
untuk tetap bertahan atau mengembangkan usahanya, terkadang harus membutuhkan
dana yang cukup besar, sementara dana dimaksud tidak dimilikinya. Suatu
alternatif yang dapat ditempuh ialah dengan cara meminjam dana dari orang/pihak
lain.
Bertolak dari kenyataan
tersebut pemerintah bahkan pihak swasta membentuk lembaga-lembaga keuangan
misalnya, lembaga perbankan dimana salah satu fungsinya memberi kredit bagi
setiap orang yang membutuhkannya.
Suatu keraguan lalu muncul,
bagaimana kalau debitur terlambat atau tidak mengembalikan uang pinjaman nya,
kalau ini terjadi kreditur akan menderita kerugian. Untuk mengatasi hal ini
lalu kreditur membuat persyaratan bahwa dalam perkreditan disyaratkan adanya
jaminan (garansi) maksudnya para debitur hanya akan diberi kredit jika ada
barang yang dijaminkan.
Barang yang menjadi obyek jaminan
tersebut meliputi segala macam barang yang memiliki nilai ekonomi, termasuk
tanah. Dengan adanya barang yang dijaminkan kreditur tidak perlu ragu akan
pengembalian uang pinjaman sebab sekalipun debitur wanprestasi barang dimaksud
dapat dijual lelang dan hasil penjualannya digunakan untuk pelunasan utang.
Keraguan yang muncul berikutnya adalah bagaimana kalau barang yang dijaminkan
tersebut bukan milik debitur, kalau ini terjadi proses pelelangan akan
terhambat oleh gangguan pihak ketiga sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya.
Konsekuensinya ialah pelelangan tidak dapat dilakukan sehingga uang pinjaman
tidak dapat dikembalikan oleh debitur
apa bila secara yuridis pihak ketiga itu mampu membuktikan bahwa barang
jaminan sebagai miliknya.
Terbayang oleh dampak terburuk
itu lalu muncul pemikiran bahwa kalau sebidang tanah yang dijadikan sebagai
jaminan pelunasan utang disyaratkan dengan sertifikat tanah dimaksud agar ada
kepastian hukum, bahwa debitur adalah benar-benar sebagai pemilik atas tanah
yang dijaminkan itu .(Efendi, 1983: 74)
c. Potensi untuk menang dalam berperkara
lebih terbuka
Ada pepatah dalam bahasa latin
yang berbunyi “Sivis Pacem Para Bellum” yang
berarti hendak damai siapkan perang.
Rupanya pepatah tersebut tidak hanya dapat diterapkan pada perang dalam arti
yang sesungguhnya tetapi justru cukup memberi inspirasi dalam dunia hukum,
dalam hal ini berperkara di pengadilan. (Harsono, 1997: 431)
Sertifikat hak milik atas
tanah dapat diklasifikasikan dalam golongan alat bukti tertulis/surat. Bagi kita di idonesia hingga kini alat bukti
primer (utama) lebih khusus lagi akta otentik. Apa yang dinamakan akta otentik
tidal lain adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
untuk itu. Berdasarkan rumusan diatas maka sertifikat memenuhi syarat untuk
digolongkan kedalam akta otentik karena dibuat oleh pejabat tertentu.
Akta otentik dinamakan alat
bukti primer karena memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki alat
bukti lain. Suatu keunggulan bagi akta otentik dibanding dengan alat bukti lain
ialah dari segi kekuatan pembuktiannya (Vis Probandi) bahwa akta otentik
memiliki kekuatan pembuktian sempurna (Volledige Bewijs Kracht) artinya
kekuatan pembuktian yang memberikan kepastian hukum yang cukup, kecuali
terbukti sebaliknya. Sehingga menurut hukum akta otentik (termasuk sertifikat
hak milik atas tanah) untuk sementara harus dianggap sebagai suatu yang benar
sepanjang belum terbukti kepalsuan nya. Konsekuensinya ialah barang siapa yang
membantah keaslian nya pihak inilah yang harus membuktikan nya bahwa akta itu
palsu, berarti kalau tidak terbukti kepalsuan nya maka pihak ini harus kalah
dalam perkaranya. .(Harsono,
1997: 432)
d. Dapat memberi proteksi yuridis bagi
pemegangnya
Seseorang yang bukan pemilik
tanah menerbitkan sertifikat hak milik terhadap tanah tersebut atas namanya
tanpa seizing pemilik sesungguhnya jika keduanya terlibat sengketa di
pengadilan dimana sertifikat dijadikan sebagai alat bukti hampir dapat
dipastikan pemegang sertifikat ini akan memenangkan perkara, sebab paling tidak
secara yuridis ia telah membuktikan hak-haknya terhadap tanah tersebut.
Kebenaran hukum itu terkadang tidak mencapai kebenaran yang sesungguhnya,
dengan kata lain “pengertian yang benar” menurut hukum ialah pihak yang mampu
membuktikan dalil-dalilnya dan mampu membuktikan dalil-dalil sangkalannya yang
diajukan pihak lawan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah. Sebaliknya
bagi pihak lawannya sekalipun ia sebagai pemilik tanah yang sesungguhnya tetapi
karena dalam perkara, para pihak mampu membuktikan haknya atas tanah yang
dipersengketakan. .(Harsono,
1997: 428)
Sertifikat
sebagai salah satu bukti kepemilikan hak, menjadi salah satu hal penting dalam
pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu penerbitan sertifikat,
menjadi sangat penting dalam sebuah negara hukum.
0 Response to "Cara-Cara Pendaftaran Sertifikat Hak Milik"
Post a Comment