Merindukan Sosok Umar bin Abdul Aziz
Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz mendatangi beberapa ulama untuk meminta nasehat. Salah satu ulama tersebut, Hasan Al Bashri, menasehatinya seperti ini : Anggaplah rakyat seperti ayahmu, saudaramu, dan anakmu. Berbaktilah kepada mereka seperti engkau berbakti pada ayahmu, peliharalah hubungan baik dengan mereka seperti dengan saudaramu, dan sayangilah mereka seperti engkau menyayangi anakmu" Nasehat ini diingat dan dijalankan dengan baik oleh Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul khalifah yang kita kenal dengan kezuhudannya, yang terkenal dengan kehati-hatiannya dalam mengggunakan harta milik rakyatnya, sampai-sampai beliau pernah menutup hidung saat melintas di Baitul Mal yang kala itu sedang merebak bau harum kesturi di sana.
Seorang petugas Baitul Mal terheran-heran dan bertanya, "Wahai khalifah, kenapa engkau menutup hidungmu?" Umar bin Abdul Aziz menjawab, "Aku tak mau memakan harta rakyatku sedikit pun, walau hanya dengan menghirup harum kesturi ini"
Ialah khalifah yang dijuluki oleh para ulama sebagai Khulafaur Rasyidin ke-5, saking akhlaknya yang mendekati para Khulafaur Rasyidin yang empat itu.
Sekarang? susah rasanya berharap, hanya sekedar berharap pemimpin-pemimpin kita mau meniru Khalifah Umar bin Abdul Aziz apalagi kita selalu mengingat dan menjalankan nasehat dari Hasan Al Bashri. Kita, rakyat, seperti kata Goenawan Muhamad, bahkan cuma dianggap ada 5 tahun sekali, ketika masa pemilu tiba dan masa kampanye mulai digelar. Kita, rakyat, cuma diingat, diperhatikan, didatangi, dan didengarkan 5 tahun sekali. Kita, rakyat, cuma dianggap sebagai ayah, saudara, dan anak 5 tahun sekali.
Dan jika masa pemilu lewat, lewat pulalah masa-masa 'bulan madu' antara rakyat dan pemimpin itu. Lupalah para pemimpin kita dengan janji-janjinya, dengan program-programnya, Kalau orang Jawa bilang, "Masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, daripada tidak sama sekali" Ya, memang masih untung bisa ingat rakyat 5 tahun sekali, tapi sayangnya dalam 'masa ingat rakyat' yang cuma sekali-kalinya dalam 5 tahun itu pun, masih saja pemimpin-pemimpin kita tega merendahkan dan menghina harga diri rakyatnya.
Suara kita, hak pilih kita yang tak ternilai itu, konon dalam demokrasi kedudukannya setara dengan suara Tuhan, tega mereka beli dan hargai hanya dengan beberapa ratus atau bahkan puluh ribu rupiah. Dan kita, yang lebih sering berpikir pendek dan hanya bisa berpikir besok makan apa dengan senang hati menggadaikan masa depan negeri ini yang sebenarnya adalah juga masa depan kita bersama di tangan pemimpin-pemimpin yang sebenarnya tak lebih dari sekedar tukang sogok, demi uang yang tak seberapa itu.
Sungguh luar biasa negeri ini. Yang tak pernah berkaca dari kesalahan-kesalahan masa lalu hingga selalu terperosok ke dalam lubang kedzaliman, yang tak pernah mengambil teladan dari sikap orang-orang besar di masa lalu, yang selalu salah memilih pemimpin-pemimpinnya. Sungguh luar biasa negeri ini yang hanya untuk menangani anak-anaknya yang protes dengan kebijakan-kebijakan aneh yang kerap diambil ibunya, merasa perlu untuk menurunkan puluhan bahkan ratusan aparat bersenjata pentungan dan peluru karet, menjewer anak-anak nakal itu dengan mendoakan mereka bahkan kalau perlu menjebloskan mereka ke penjara dengan tuduhan ini dan itu.
Sungguh luar biasa negeri ini, yang ketika rakyatnya di daerah sampai harus mengorbankan nyawa demi kehormatan dan harga diri partainya, pemimpinnya di atas malah sibuk menjual aset-aset negara.
Sungguh, kita hidup di sebuah negeri yang luar biasa. Sebuah negeri yang menyamakan kejujuran dengan barang antik yang hanya pantas ditaruh di museum. Hanya bisa dilihat, dibayangkan, dan dikenang, meski kadang bisa disentuh. Ketika seorang anggota dewan mengembalikan uang suap yang ratusan juta jumlahnya, ketika ada yang menolak dana kadeudeuh ia malah dianggap sebagai pengkhianat atau pencari simpati rakyat. Sebagian lain menganggapnya bodoh dan munafik.
Ketika ada anggota dewan yang mengaku pada wartawan bahwa ia disodori amplop yang tak jelas maksud pemberiannya dan ia mengembalikannya, ia malah dimusuhi rekan-rekannya, dituduh mengumbar aib partai atau fraksi, dan ujung-ujungnya di-recall atau dipecat.
Dan sekarang, masa ingat rakyat itu hampir tiba. Saksikan saja, betapa sebentar lagi (atau mungkin sudah?) suara kita akan didengar, betapa pertanyaan-pertanyaan kita akan dijawab meski tak jelas, dan betapa-betapa yang lain.
Dan sekarang, ketika harus memilih wakil kita yang akan duduk di dewan, ketika presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat, sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi sangat kita rindukan untuk menjadi sosok yang akan kita pilih.
Sebuah kerinduan yang mungkin akan ditertawakan oleh sebagian orang, sebagai buah dari rasa pesimis yang sebenarnya wajar karena dikecewakan terus-menerus, kekecewaan rakyat kecil kepada pemimpinnya.
Sebuah kerinduan yang harus kita yakini akan dijawab oleh Allah. Pasti ada, walau segelintir, orang-orang yang dianggap aneh, bodoh, munafik, pengkhianat, atau apalah karena keteguhan mereka memegang kebenaran di antara berbagai kebobrokan yang menyergap tanpa ampun, menyusup di segala lini kehidupan.
Pasti ada, segelintir orang yang ingin dan berusaha meneladani kezuhudan, kehati-hatian, dan keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang telah dicontohkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ya, kita semua rakyat yang bisa memupus kerinduan ini. Kitalah yang akan memilih Umar-Umar baru sebagai wakil kita, sebagai pemimpin kita. Pada akhirnya, kita jualah yang menentukan masa depan bangsa. (Fatma)
0 Response to "Umar bin Abdul Aziz"
Post a Comment