Fenomena kemalasan masyarakat umum untuk membaca, menelaah, dan mendiskusikan berbagai permasalahan aktual atau mengenai dalil-dalil yang valid, seringkali kita jumpai. Seseorang lebih memilih bertanya kepada orang lain yang dianggap cukup ilmunya dengan menerima begitu saja dan merasa cukup dengan jawaban yang diberikan. Atau ketika terjadi pro-kontra dalam suatu persoalan, panduan dan pegangannya adalah persepsi dan interpretasi dari seseorang dan menepis persepsi lain yang bersebrangan. Sikap seperti ini disebut Taklid.
Sikap Taklid terkadang tidak disadari dan dimengerti oleh orang yang mengerjakannya karena berbatasan dengan Ittiba. Ittiba adalah sikap mengikuti apa yang datang dari Nabi Muhammad saw dan para sahabat (Ahmad). Dapat dikatakan pula sebagai apa yang ditetapkan berdasarkan argumentasi yang valid.
Sedangkan Taklid menurut syariat adalah kembali kepada pendapat yang tidak argumentatif bagi yang mengucapkannya kepadanya (Abu Abdullah bin Khawwaar Mindad Al Bashari Al Maliki).
Imam Ibn Qayyim memaknakan taklid sebagai tindak menirukan sesuatu yang bersifat mengagungkan pembawa sesuatu itu sendiri.
Sampai saat ini taklid masih menjadi masalah yang kontroversial di kalangan para ulama. Segolongan orang bertaklid dengan berlandaskan pada firman Allah SWT :
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)
Sedangkan segolongan dari para ulama fiqih dan ahli-ahli teoritis menyanggah pendapat-pendapat orang yang memperbolehkan taklid. Bahkan empat imam madzhab yang ditaklidkan melarang untuk bertaklid kepada mereka dan mengecam orang yang mengambil pendapat-pendapat dan persepsi-persepsi mereka tanpa argumen yang valid.
Imam Syafi'I berkata : "Perumpamaan orang yang mencari ilmu dengan hujjah, seperti pencari kayu bakar pada malam hari, ia membawa seikat kayu bakar dan di dalamnya terdapat seekor ular yang mematuknya, namun ia tidak mengetahuinya".
Imam Abu Hanifah berkata : "Tidak halal bagi seseorang yang berkata menurut ucapan kami, terkecuali ia mengetahui sumber persepsi kami".
Imam Ahmad berkata : "Janganlah kamu bertaklid kepada seseorang dalam agamamu ".
Beberapa argumen para ulama terhadap orang yang bertaklid :
Persepsi-persepsi dan pendapat-pendapat para ulama terbatas dan tidak melingkupi seluruh bidang. Selain itu, kesuciannya tidak terjamin kecuali ada mufakat di antara mereka dan tidak ada perselisihan (untuk hal-hal yang beresensikan kebenaran). Allah menyerahkan ilmu berdasarkan apa yang sanggup seseorang kuasai (berarti ada ilmu yang tidak dikuasai) sehingga tidak ada jaminan bahwa sesuatu itu terbebas dari kesalahan karena tidak ada indikator bahwa salah satu dari orang-orang yang mengeluarkan persepsi itu lebih pantas untuk dipegang daripada yang lain.
Pada masa Rasulullah, tidak ada seorangpun yang dijadikan sebagai tauladan bagi seseorang yang lain dari mereka untuk ditaklidkan dalam segala persepsi agama. Dan hal ini juga terjadi pada masa para ulama tabi'in dan tabi'it-tabi'in. Taklid sendiri mulai ada pada abad ke 4, yaitu ketika para pengikut–pengikut para Imam menjadikan madzhab dari Imamnya sebagai standar atas Al-qur'an dan Sunnah Nabi. Sebagai contoh: Ibn Wahab yang bertaklid kepada Imam Malik; Abu Yusuf dan Muhammad yang bertaklid kepada Abu Hanifah; Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Atsrom yang bertaklid kepada Imam Ahmad.
Taklid sendiri menjadi masalah yang sangat penting manakala bersifat membuta, di mana seseorang menelan mentah-mentah sebuah argumen tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Dalam masalah syariah, dapat ditemui ketika seseorang menempatkan agamanya kepada orang lain. Argumen atas suatu permasalahan didasarkan atas satu pendapat terhadap pendapat yang lain, satu madzhab atas madzhab yang lain, dan mengingkari orang yang bertentangan dengan suatu madzhab tertentu.
Sesungguhnya sikap taklid ini dapat menyebabkan orang terjebak dalam berbagai pro-kontra, pendapat yang kontradiktif, dan persoalan yang semakin memuncak, yang pada akhirnya menceraiberaikan agama dan membagi para pengikut para Imam ini ke dalam golongan-golongan dan menjadikannya menyeru kepadanya dan mencela pihak yang bertentangan dengannya. Sehingga seakan mereka memeluk agama yang berbeda. Dikatakan : "Bagi mereka kitab-kitab mereka dan bagi kami kitab-kitab kami, bagi mereka Imam-Imam mereka dan bagi kami Imam-Imam kami, bagi mereka madzhab-madzhab mereka dan bagi kami madzhab-madzhab kami.
Rasulullah sendiri mengecam orang-orang yang menceraikan agama dengan haditsnya: "Bahwasanya siapa saja di antara kalian yang hidup setelah (kematianku) maka ia akan melihat pertentangan yang banyak." (HR. Imam Tirmidzi).
Dalam taklid ada tiga bahasan penting, yaitu :
1.Taklid yang Diharamkan
Beberapa jenis taklid yang diharamkan adalah :
a) Berpaling dan tidak mengindahkan ajaran Allah SWT karena merasa cukup dengan bertaklid kepada (ajaran) bapak-bapaknya (nenek moyangnya).
b) Taklid yang dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui tentang apa yang ia ikuti, seakan ia seorang yang ahli di mana pendapatnya harus diambil (diikuti)
c) Taklid setelah mengemukakan berbagai argumentasi dan menjelaskan dalil yang bertentangan dengan pendapat ulama yang ia ikuti.
Taklid yang pertama dikecam dan diharamkan karena telah berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah SWT dengan bertaklid kepada nenek moyangnya yang tidak berakal sedikitpun dan tidak mendapat hidayah.
Firman Allah SWT :
"Dan apabila dikatakan kepada mereka; ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah. Maka mereka menjawab; tidak, akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak pula mendapat petunjuk" (Al Baqarah: 170).
Taklid yang ke dua didasarkan atas tidak adanya pengetahuan terhadap kemufakatan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan. Berarti bersikap taklid sebelum mampu mengetahui ilmu dan argumentasinya.
Firman Allah SWT :
"Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (Al Isra : 36)
Sedangkan taklid ketiga adalah yang lebih pantas untuk dikecam dan dianggap telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya karena bersikap taklid setelah ilmu dan argumentasi-argumentasi telah jelas datang kepadanya.
Firman Allah SWT :
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu, dan janganlah engkau mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia." (Al-A'raaf : 3)
Allah SWT melarang kita untuk bertaklid kepada selain-Nya dan selain Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan gugurnya sikap taklid buta yang berdalih: "Bahwa sesungguhnya kami hanya mengembalikannya kepada Imam yang kami bertaklid atasnya."
2.Taklid yang diwajibkan
Sikap taklid dikecam manakala merujuk pada seseorang yang menyesatkan dari jalan yang benar. Adapun sikap yang merujuk pada jalan yang benar, di mana senantiasa berusaha keras untuk mendasarkan segala sesuatu pada apa yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, adalah wajib.
Firman Allah:
"Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-quran) dan Rasul-Nya (Sunnah-Nya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi mereka berdua yang tengah berbeda pendapat) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa : 59)
3.Taklid yang dibolehkan tanpa diwajibkan
Masalah taklid kepada selain Allah dan Rasulnya tidak diperkenankan sama sekali. Akan tetapi, karena keterbatasaan pengetahuan, seseorang akhirnya mengikuti orang lain yang lebih berpengetahuan. Demikianlah tindakan para ahli ilmu, karena sesungguhnya, taklid hanya diperbolehkan bagi orang yang terdesak (darurat). Intinya, tidak menerima perkataan orang lain kecuali dengan dalil atau pada saat yang bersifat darurat (emergensi).
Beberapa contoh taklid yang berlaku disepakati manusia (dengan ijma' ulama) :
Taklid seorang tuna netra kepada para Imam madzhab dalam berkiblat; Taklid umat Islam kepada para Imam madzhab dalam bersuci, membaca fatihah; Taklid seorang suami kepada istrinya bahwa haidlnya telah berhenti sehingga diperbolehkan untuk disentuh; Taklid umat manusia kepada para muadzdzin dalam hal masuknya waktu-waktu shalat fardhu; Taklid seorang hakim kepada seorang saksi; Taklid orang yang bodoh kepada orang yang alim; dan lain-lain.
Mencari persepsi-persepsi para ulama, menelitinya dengan seksama, memikirkannya dan mengembalikannya kepada Al quran dan sunnah yang tetap dari Rasulullah saw dan para khulafa ?urasyidin. Apa yang sesuai diterima, dan dijadikan sebagai fatwa dan rujukan dalam mengambil keputusan. Apa yang bertentangan tidak diterima dan ditolak. Dan apa yang tidak jelas, dilakukan ijtihad di mana tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mengikuti atau tidak mengikutinya. Inilah metode para alim ulama terdahulu dan sekarang.
Disadur dari buku : "Risalah At-Taqlid" Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
0 Response to "T a k l i d "
Post a Comment