Hijrah secara bahasa memang memiliki pengertian yang luas. Secara umum, hijrah berarti perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Sehingga, hijrah bisa saja dalam bentuk prilaku, ideologi, moral, hukum, kebudayaan dan lain sebagainya.
Akan tetapi hijrah menurut istilah yang lazim (masyhur) adalah bermakna pindahnya Rasulullah Saw dan para sahabat dari kota Makkah ke Madinah (yang sebelumnya bernama Yatsrib). Mengapa hijrah ke Madinah itu sedemikian istimewa, sampai mendominasi istilah hijrah itu sendiri yang sedemikian luas, dan lagi pula sebelum itu pun sudah ada hijrah yaitu hijrah ke Habasyah dan Tha’if? Bahkan tak sebatas itu, hijrah ke Madinah, secara historis nabawi menjadikan adanya dua periode dalam perjalanan risalah Nabi Saw: Yaitu Periode Makkah (qoblal hijrah) dan Periode Madinah (ba’dal hijrah).
Alqur’an pun secara garis besar, surat-suratnya, diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu: Surat-surat Makkiyah (artinya surat-surat yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah) dan Surat-surat Madaniyah (artinya yang diturunkan setelah hijrah ke Madinah, sekalipun turun di Makkah). Dan, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab Hijrah ditetapkan sebagai kalender resmi Ummat Islam, sehingga kita punya Kalender Hijriyah.
Prof. Ismail R. Al Faruqi menjelaskan, bahwa hijrah ke Madinah merupakan puncak dari upaya yang lama dalam mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai titik tolak pengembangan keimanan baru ini dan sekaligus untuk menata masyarakat Muslim, baik sebagai tatanan sosial maupun negara. Hijrah pertama (ke Habasyah), kata Al Faruqi lebih lanjut, sungguh baru merupakan pelarian pasif menuju keselamatan, sedang hijrah kedua merupakan suatu langkah dalam mengubah dunia dan menagarahkan sejarahnya ke arah baru. (Hakekat Hijrah, Mizan, hal. 10).
Adalah memang realita, bahwa Nabi dan kaum Muslimin di Makkah tidak lebih dari sekedar rakyat jelata dan masyarakat lemah yang tertindas; tak punya kekuatan apa-apa, kecuali keimanan yang membaja dan kesabaran yang prima. Itu, tak lebih. Baru setelah hijrah, di Madinah, Islam secara resmi eksis, kaum Muslimin mendapat kedudukan (makanah) dan kemudian bisa menjalankan perannya sebagai ummatan wasathan, yaitu ummat pertengahan yang memimpin peradaban dunia.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang hijrahnya Nabi ke Madinah, minimal ada tiga fenomena besar yang sangat jelas sebagai buah hijrah, sehingga hijrah ini menjadi betul-betul sangat penting: Tonggak kebangkitan ummat Islam.
Pertama: Eksisnya agama Islam di atas semua sistem yang ada (dhuhurul Islam ‘ala ad-diini kullih). Di Makkah, selama 13 tahun Islam dianggap sebagai suatu gagasan yang menentang arus, merombak tradisi nenek moyang, mengancam ideologi bangsa dan merusak persatuan dan kesatuan yang sudah mapan. Ini berbeda dengan di Madinah. Di sana Islam justru dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan yang selama ini menimpa dan mengancam kehidupan mereka, karena kondisi mereka yang serba majemuk. Maka tatkala Islam datang, mereka menyambutnya denga penuh antusias dan mereka pun lalu menyiapkan segala sesuatu untuk membela dan memperjuangkannya.
Setelah itu, baru Islam benar-benar menjadi rujukan utama, eksis berada di atas dan dominan tanpa harus menghapus agama lainnya. Di sinilah janji Allah terwujud, sebagai hasil (natijah) hijrah, bahwa Islam pasti dhuhur ‘ala ad-diini kullih (eksis di atas semua sistem atau pandangan hidup yang ada). “Dialah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama, meskipun orang-orang kafir itu tidak suka.” (QS. 61:9).
Kedua, berdirinya negara Islam (qiyamud Daulah al-Islamiyah). Islam sebagai minhajul hayah, sistem hidup, yang lengkap menata dan mengatur kehidupan manusia secara totalitas baik masalah sosial, politik, hukum, da’wah, jihad, ibadah, aqidah dan seterusnya, semuanya itu tak mungkin bisa diwujudkan tanpa adanya suatu daulah. Oleh karena itu Nabi Saw tak mungkin bertahan terus di Makkah sebagai sub sistem, apalagi illegal. Sehinga tak berlebihan jika Al Faruqi mengatakan, bahwa segi terpenting hijrah adalah terciptanya daulah. Negara adalah tujuan hijrah, dan hijrah merupakan puncak dari persiapan di Makkah melalui wahyu, pengajaran dan pengislaman pria serta wanita dan akhirnya perjanjian Aqobah. (Al Faruqi, 32).
Rasulullah Saw sendiri, sejak awal, setelah tiba di Madinah langsung sibuk mencurahkan perhatiannya untuk meletakkan dasar-dasar Daulah yang dibangunnya. Berkaitan dengan ini ada tiga langkah besar yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu: membangun masjid, mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor, dan menetapkan undang-undang dasar (yang terkenal dengan Piagam Madinah) yang menggariskan tata cara hidup bernegara secara internal bagi kaum Muslimin maupun secara eksternal bersama dengan kaum Yahudi (non Islam). (Fiqhus Siirah, Al-Buthi, D. Fikr, hal 193). Untuk yang terakhir ini, beliau tetapkan secara tertulis yang beliau diktekan sendiri dan disetujui oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi. (Lihat: Piagam Nabi Muhammad SAW. Konstitusi Pertama Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, oleh H.Z. Abidin Ahmad, Bulan Bintang).
Maka, menurut Al Faruqi, penandatanganan perjanjian ini merupakan berdirinya negara Islam pertama yang pengesahannya dengan konstitusi tertulis dan lengkap. Bahkan seorang Robert N. Bella mengakui, bahwa Nabi sebenarnya telah membuat lompatan yang amat jauh ke depan. Dimulai dengan “proyek” Madinah yang dilandasi pada permulaan berdirinya oleh “Konstitusi Madinah” ini, menurut Bella, telah melahirkan sesuatu yang untuk zaman dan tempatnya adalah sangat moderen. (lihat: Islam dan Masalah Kenegaraan, Syafii Maarif, LP3ES, hal. xi-xii).
Ketiga: tampil memimpin peradaban dunia (sebagai ummatan wasathan). Rasululah Muhammad Saw adalah diutus untuk membawa rahmat kepada seluruh manusia dan sekalian alam. “Tidaklah Kami mengutus kamu melainkan sebagai pembawa rahmat bagi sekalian alam.” (QS. 21: 107) “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk seluruh manusia dengan membawa berita gembira dan peringatan.” (QS. 34: 28).
Oleh karena itu, negara yang didirikan oleh Nabi bukan saja moderen tapi sungguh sangat unik. Sebuah negara yang tanah airnya tak punya batas- batas geografis yang sempit, dan yang menjadi rakyatnya pun tak didasarkan atas kelahiran, warna kulit, bahasa, bangsa, suku atau kebudayaan. Tetapi, yang menjadi tanah airnya adalah jagad raya yang pemilik sesungguhnya hanya Allah dan rakyatnya adalah siapa saja yang penting beriman kepada Allah atau mau tunduk kepada hukum-hukum-Nya. (Lihat, Masyarakat Islam, Sayid Quthb, Al Ma’arif, hal. 70).
Dengan wujud seperti itulah, daulah yang dibangun oleh Rasulullah menjadikan ummatnya yang note bene khoiru ummah sebagai ummatan wasathan (ummat pertengahan) yang tampil memimpin peradaban dunia, menyerukan yang makruf dan mencegah segala bentuk kemunkaran (termasuk pelanggaran HAM) sekaligus menjadi saksi atau penjaga atas seluruh pola tingkah ummat manusia.
“Kamu adalah adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu perintahkan yang makruf dan kamu cegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (QS. 3:110). “Demikianlah Kami menjadikan kamu sebagai ummat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.” (QS. 2:143).
Tak kurang dari 14 abad lamanya ummat Islam mengemban tugas sebagai ummatan wasathan, sejak pertama berdirinya daulah Islamiyah di Madinah yang langsung dipimpin Nabi hingga runtuhnya khilafah Islamiyah di Turki tahun 1924, dimana dunia dan ummat manusia secara keseluruhan merasa aman dan dapat berkahnya. Kini, setelah mundurnya ummat Islam dan tidak adanya negara Islam sebagaimana yang dibangun oleh Rasulullah melalui hijrahnya yang monumental itu, dunia menjadi tercabik-cabik, kehidupan menjadi gelap kembali seperti jaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi dan manusia jatuh ke dasar lumpur kenistaan serta krisis di segala bidang.
Akhirnya tak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan kembali ummat Islam adalah satu-satunya alternatif sangat dinantikan. Tapi, bagaimana caranya? Sederhana saja. Itu tak mungkin, kecuali dengan cara yang telah dicontohkan oleh Nabi. Wallahu a’lam.
0 Response to "Hijrah dan Kebangkitan Ummat Islam "
Post a Comment