Menurut ulama, tidak selayaknya kita iri hati dengan derajat yang diperoleh para nabi. Sebab, ketinggian derajat mereka sebanding lurus dengan beratnya cobaan yang mereka hadapi. Cobaan atau bala yang dihadapi para nabi bukan hanya yang berwujud penderitaan, tapi juga berupa karunia kenikmatan. Dan, mereka, para nabi itu, sangatlah layak memperoleh derajat tinggi di sisi Allah karena keteguhan mereka dalam menghadapi setiap ujian dari Allah.
Nabi Sulaiman, misalnya, meskipun diberi kekuasaan besar oleh Allah, tidak lantas menjadi lalai dan silau. Ia setiap harinya menerima tamu dan memberi mereka makan berupa tepung halus. Sedangkan keluarganya sendiri, yakni istri-istri dan anak-anaknya, diberi makan tepung kasar. Sementara itu, ia sendiri setiap harinya hanya makan gandum yang belum ditumbuk.
Demikian pula Nabi Yusuf, sang bendaharawan Mesir itu, selama hidupnya tidak pernah kenyang. Ketika ditanya alasannya, ia selalu menjawab, ''Aku takut, jika perutku sampai kenyang, maka aku akan melupakan orang-orang yang lapar.''
Nabi Muhammad SAW juga tak jauh berbeda dengan mereka. Suatu ketika Jibril sedang bersama beliau, dan tiba-tiba datang seorang malaikat yang lain. ''Aku khawatir, jangan-jangan ia membawa sebuah tugas untukku,'' kata Jibril. Tetapi, sang malaikat terus berjalan menuju Rasulullah, dan kemudian berkata, ''Salam dari Allah untukmu, ya Muhammad. Saya membawa kunci-kunci perbendaharaan bumi untuk Anda. Jika Anda mau, ambillah, niscaya semua yang ada di bumi ini akan menjadi emas dan perak. Semua itu akan abadi bersamamu hingga hari kiamat, dan tidak mengurangi sedikit pun dari apa yang akan engkau peroleh di sisi Allah SWT.''
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW tidak silau oleh tawaran duniawi dari Allah lewat malaikat tersebut. Beliau menjawab, ''Biarlah saya terkadang lapar dan terkadang merasa kenyang.'' Karenanya, Allah SWT berfirman, ''Dan janganlah kamu tergiur oleh kesenangan yang Kami berikan kepada beberapa keluarga di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia. Kami hendak menguji mereka dengan kesenangan itu.'' (Thaha: 131).
Para nabi dan rasul tersebut senantiasa menghindarkan diri jangan sampai menikmati kelezatan yang mungkin mereka raup dari karunia Allah. Mereka berkeyakinan, segala bentuk nikmat yang datang adalah medan ujian yang mahaberat dari Allah. Mereka lebih suka menikmati dzikir dan ibadah pada-Nya. Mereka tidak pernah terpikat dengan kekayaan yang mereka miliki, sehingga tak pernah pula merasa berduka jika kekayaan itu lenyap dari tangan mereka. Juga tak merasa gembira dengan kekayaan tersebut, sehingga tak perlu berpikir panjang jika hendak memberikannya kepada orang lain.
Menurut ahli tafsir Abu Said Kharraz, mereka adalah sebagaimana yang difirmankan Allah, ''Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah jalan petunjuk yang mereka lalui itu. (Al An'am: 90). Wallahu a'lam
Nabi Sulaiman, misalnya, meskipun diberi kekuasaan besar oleh Allah, tidak lantas menjadi lalai dan silau. Ia setiap harinya menerima tamu dan memberi mereka makan berupa tepung halus. Sedangkan keluarganya sendiri, yakni istri-istri dan anak-anaknya, diberi makan tepung kasar. Sementara itu, ia sendiri setiap harinya hanya makan gandum yang belum ditumbuk.
Demikian pula Nabi Yusuf, sang bendaharawan Mesir itu, selama hidupnya tidak pernah kenyang. Ketika ditanya alasannya, ia selalu menjawab, ''Aku takut, jika perutku sampai kenyang, maka aku akan melupakan orang-orang yang lapar.''
Nabi Muhammad SAW juga tak jauh berbeda dengan mereka. Suatu ketika Jibril sedang bersama beliau, dan tiba-tiba datang seorang malaikat yang lain. ''Aku khawatir, jangan-jangan ia membawa sebuah tugas untukku,'' kata Jibril. Tetapi, sang malaikat terus berjalan menuju Rasulullah, dan kemudian berkata, ''Salam dari Allah untukmu, ya Muhammad. Saya membawa kunci-kunci perbendaharaan bumi untuk Anda. Jika Anda mau, ambillah, niscaya semua yang ada di bumi ini akan menjadi emas dan perak. Semua itu akan abadi bersamamu hingga hari kiamat, dan tidak mengurangi sedikit pun dari apa yang akan engkau peroleh di sisi Allah SWT.''
Mendengar hal itu, Rasulullah SAW tidak silau oleh tawaran duniawi dari Allah lewat malaikat tersebut. Beliau menjawab, ''Biarlah saya terkadang lapar dan terkadang merasa kenyang.'' Karenanya, Allah SWT berfirman, ''Dan janganlah kamu tergiur oleh kesenangan yang Kami berikan kepada beberapa keluarga di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia. Kami hendak menguji mereka dengan kesenangan itu.'' (Thaha: 131).
Para nabi dan rasul tersebut senantiasa menghindarkan diri jangan sampai menikmati kelezatan yang mungkin mereka raup dari karunia Allah. Mereka berkeyakinan, segala bentuk nikmat yang datang adalah medan ujian yang mahaberat dari Allah. Mereka lebih suka menikmati dzikir dan ibadah pada-Nya. Mereka tidak pernah terpikat dengan kekayaan yang mereka miliki, sehingga tak pernah pula merasa berduka jika kekayaan itu lenyap dari tangan mereka. Juga tak merasa gembira dengan kekayaan tersebut, sehingga tak perlu berpikir panjang jika hendak memberikannya kepada orang lain.
Menurut ahli tafsir Abu Said Kharraz, mereka adalah sebagaimana yang difirmankan Allah, ''Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah jalan petunjuk yang mereka lalui itu. (Al An'am: 90). Wallahu a'lam
0 Response to "Ketika Karunia adalah Ujian "
Post a Comment