Islam Agama Peradaban
Keterlibatan agama dalam ranah sosial menjadi isu menarik untuk dicermati belakangan ini. Munculnya persepsi bahwa realitas sosial tak lagi humanis, kemungkaran terjadi di mana-mana, saling membunuh antar sesama, begitu pula bunuh diri, merupakan dampak dari keberadaan umat yang tak lagi mempunyai spirit keimanan. Pun, ritual keagamaan hanya dijadikan hal yang formal. Pada gilirannya, umat manusia bercerai-berai dan mengingkari fitrahnya sebagai umat yang satu (ummah wahidah).
Rasulullah SAW pernah bersabda :Akan datang pada manusia suatu zaman ketika Tuhan-Tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka adalah seks, agama mereka adalah uang, kemuliaan mereka adalah kekayaan. Tidak tersisa dari iman kecuali namanya, tidak tersisa dari Islam kecuali upacaranya. Masjid-masjid mereka ramai tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Mereka tidak mengenal ulama kecuali dari pakaian keulamaan yang bagus. Mereka tidak mengenal al-Quran kecuali bacaan yang bagus, mereka duduk rapat di Masjid tetapi dzikirnya dunia dan kecintaannya dunia (Kitab Jami Al-Akhoar).
Sebuah refleksi terhadap hadits di atas bisa jadi membuat kita gelisah, tepatnya jika disandarkan pada realitas sosial yang saat ini boleh dikata membenarkan apa yang termaktub di dalamnya. Namun, kiranya kurang tepat jika realitas sosial yang tergambar dalam hadits tersebut dianggap sebagai sesuatu yang given. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa penganut keagamaan (umat Islam) tak lagi mengedepankan urusan ukhrawi, lantaran mereka lebih sibuk mengurusi persoalan duniawi. Padahal, urusan ukhrawi tidak serta merta meninggalkan urusan duniawi. Sinergitas inilah yang ditegaskan dalam Al-quran.
Anehnya, ketika segala peristiwa tentang kemanusiaan selalu dikorelasikan pada teks hadist maupun al-Quran, inilah yang dalam teologi Islam disebut sebagai teologi Asyariyah-Jabbariyah, di mana segala sesuatu yang terjadi di muka bumi sudah ditentukan oleh Tuhan sejak zaman azali. Sejatinya, hadist di atas tidak menjadi alat legitimasi terhadap kondisi umat yang secara implisit telah kehilangan ruh keimanannya. Namun, lebih dari itu, sebab-sebab turunnya (asbabul wurud) hadist tersebut juga harus dikaji secara jernih dan komprehensif. Bagaimanapun, secara sosial dan kultural, kondisi umat saat ini berbeda dengan ketika hadist itu disampaikan oleh Nabi. Maka kurang relevan jika hadist itu menjadi hal yang dominan serta menjadi alat justifikasi atas realitas umat Islam saat ini, tanpa ada upaya untuk mengkontekstualisasikan pesan teks tersebut.
Sebenarnya, problem yang menimpa umat Islam saat ini adalah bagian dari ketidakpahaman mereka terhadap substansi ajaran agama. Tragisnya, ketika teks agama dijadikan satu-satunya pijakan dalam mengatasi segala persoalan kemanusiaan, pada akhirnya ritual-transendental dijadikan jurus ampuh untuk memerangi ketidakadilan sosial.
Meminjam istilah Robert N Bellah, agama sesungguhnya merupakan cara manusia memahami dunia. Sementara Clifford Geertz mendifinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol yang berperan membangun suasana dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan suatu aura faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik.
Konsepsi itu meletakkan agama pada sangat posisi urgen dan mempunyai peran signifikan dalam kehidupan sosial-politik maupun budaya manusia. Di manapun dan kapanpun, kehadiran agama menjadi sesuatu yang integral dalam membangun peradaban manusia. Lebih lanjut Frank Whalling ketika berusaha mendifinisikan agama, menyatakan bahwa sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satunya adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial-politik (involvemen in social and political contexts). Bahkan Whalling menyebut bahwa Islam adalah agama yang keterlibatan sosial-politiknya paling tinggi. Ungkapan ini tidak sekadar datang dari luar Islam. Farid Esack, seorang pemikir liberal Islam, meyakini hal itu.
Menghadirkan Islam sebagai agama peradaban menjadi mutlak adanya. Dengan demikian, aura keagungan Islam tidak akan layu sampai kapanpun. Hal ini akan terjadi manakala umat Islam tidak terkooptasi dan terhegemoni oleh teks al-Quran yang kaku, karena teks bukan satu-satunya yang dominan dalam mencari kebenaran sebagaimana yang diungkapkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Farid Esack dalam Qur’an Liberation and Pluralism, memberikan tawaran kepada umat Islam dewasa ini untuk melakukan reinterpretasi terhadap istilah-istilah agama yang telah mengalami pembakuan.
Dengan pembakuan itu,akan sulit menciptakan keadilan. Justru yang terjadi adalah, istilah itu akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Islam, iman,dan kufr, menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis. Sebagai catatan terakhir, penulis ingin menggarisbawahi bahwa kondisi umat dewasa ini bukanlah kutukan Tuhan atau imbas dari sabda Nabi, sebagaimana yang secacar tekstual tertera dalam hadis Nabi itu, akan tetapi meminjam istilah Munir Mulkhan realitas ini menjadi bagian dari hidup manusia dalam proses ber-Islam.
Wallahu alam bissawab.
0 Response to "Islam Agama Peradaban "
Post a Comment