BAB
III
HIBAH MENURUT MAZHAB
SYAFI’I DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hibah Menurut Mazhab Syafi’i
Kata hibah
diambil dari kata “wahaba” yang artinya pemberian atau memberi[1].
Ini dapat dilihat di dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, sebagai berikut:
من هب ا مسر ور ها مسن يدالى
اخس
Artinya : “Orang
yang berhibah berarti telah lewat bagi yang diliwatkan akannya dari tangan satu
ke tangan lainnya”[2].
Kemudian kata hibah juga dipakai dalam arti memberikan
(pemberian), di dalam al-Qur’an kata hibah juga
ditemukan pada surat Maryam ayat 5, yang berbunyi :
Artinya : “Maka berikankah kepadaku
dari sisi Engkau seorang putra[3].
|
“Kata hibah
berasal dari Bahasa Arab yaitu “wahaba”, yang menurut bahasa adalah memberi
kelebihan kepada orang lain, baik berupa (harta) ataupun bukan barang (harta)[4].
Sementara hibah
menurut istilah mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Secara
umum adalah pemindahan pemilikan barang kepada orang lain dikala masih hidup,
sedangkan secara khusus adalah pemindahan milik sesuatu yang bukan wajib kepada
orang lain dikala hidup dengan ijab dan qabul bukan karena mengharapkan pahala
atau bukan karena menutupi kebutuhan”[5].
Sedangkan
pengertian menurut syara’ banyak ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i
antara lain :
1.
Abdul Rahman al-Jaziri
mengungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut :
الهبة وهوتمليله تطوع فى حياة لا لاكرام ولا لاجل ثواب
اب او احتيا ج با يجاب و قبو ل
Artinya : Pemberian barang milik
dimasa hidup tanpa untuk mencari kemuliaan dan bukan untuk mencari pahala atau
kebutuhan dengan ijab dan qabul.[6]
2.
Muhammad Syata
ad-Dimyati, memberikan defenisi hibah sebagai berikut:
الهبة هى تمليله
عين بل عوض
Artinya : “Hibah yaitu memberikan
sesuatu dengan tidak memakai tukaran (ganti)”.[7]
3.
Abu Zakaria al-Amsari
juga memberikan pengertian hibah, sebagai berikut:
الهبة هى تمليله
تطوع فى حيا
Artinya : “Hibah yaitu memberikan
sesuatu harta (benda) pada masa hidup”[8].
4.
M. Hasbi Ash Shiddieqy
dalam bukunya Hukum-hukum Fiqh Islam juga menyebutkan bahwa : Hibah adalah
memberikan harta secara suka rela di masa masih hidup kepada seseorang, shah
dengan ada ijab, qabul dan qabdl (menerima barang)[9].
5.
Drs. H. Asymuni A.
Rahman menyebutkan bahwa hibah itu semacam aqad atau perjanjian yang menyatakan
pemindakan dan merupakan pemindahan secara langsung hak milik sendiri kepada
orang lain tanpa pemberian balasan yang dilakukan diwaktu ia masih hidup[10].
Dari
beberapa defenisi yang telah diuraikan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa
hibah adalah pemindahan hak milik atau
berupa barang (harta) dari kekayaan yang ada dari seseorang kepada orang lain
dengan sukarela tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Imam Syafi’i
menganggap bahwa hadiah sama dengan hibah secara umum[11].
Oleh sebab itu harta tentang anjuran untuk saling memberi juga ditujukan kepada
anjuran agar melakukan hibah.
1. Rukun dan
Syarat Hibah
Dalam
melaksanakan suatu hal baik itu yang berkaitan dengan Ibadah, Mua’malah dan
juga hal-hal yan lain yang mengandung perbuatan hukum mestilah mempunyai
beberapa rukun, dimana apabila salah satunya rukun tersebut tidak terpenuhi
maka tidak sah melakukan sesuatu tersebut. Begitu juga dengan masalah Hibah ini
mempunyai rukun yang telah ditetapkan terlebih oleh Imam Syafi’i adalah sebagai
berikut :
1.
Pemberi hibah (wahib),
yaitu orang yang akan memberikan hibah.
2.
Harta hibah (mauhub)
yaitu harta yang akan dihibahkan.
3.
Sighat (Ijab Qabul)
yaitu pernyataan serah terima dari wahib kepada mauhublah.
4.
Penerima hibah
(mauhublah) yaitu orang yang akan menerima pemberian hibah tersebut.
Keempat komponen
ini merupakan rukun yang mesti ada dalam pelaksanaan hibah. Apabila satu saja
dari rukun tersebut tidak ada maka pelaksanaan hibah tidak akan terjadi,
misalnya tidak ada ijab dan qabul.
Ijab dan qabul
merupakan pernyataan serah terima antara pemberi dan penerima, contoh : “saya
hibahkan (berikan) kepadamu rumah ini”. “Ya, saya terima rumah ini”. Maka sejak
pernyataan tersebut berpindahlah pemilikan rumah itu dari pemberi kepada
penerima hibah.
Abdurrahman
Al-Jaziri dalam kitabnya membuat rukun hibah sebagai berikut :
1. Aqid (orang yang memberikan dan orang yang diberi)
atau Wahib dan mauhub lahu.
2. Mauhub (barang yang diberikan) yaitu harta.
3. Shighat (ijab dan qabul[12])
Masing-masing
rukun tersebut mempunyai syarat-syarat tersendiri. Menurut hibah mempunyai satu
macam rukun saja, yaitu shighat[13].
Mazhab hanafi berbeda pendapat tentang apakah yang menjadi rukun hanya ijab
saja atau ijab dan qabul sekaligus. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa hibah
dinilai sah dengan semata-mata adanya pernyataan memberikan (ijab), sebagai
argumentasinya ialah apabila ada seseorang yang bersumpah tidak akan memberikan
sesuatu pun dari hartanya kemudian dia memberikannya, sedangkan pihak orang
yang diberi tidak menyatakan menerima, maka ia telah melanggar sumpahnya.
Seandainya praktek seperti itu tidak dianggah sah, maka harta yang diambil
seseorang tersebut berstatus hukum sebagai hibah[14].
Syarat
harta yang dihibahkan (mauhub), yaitu :
1.
Barang yang mau
dihibahkan suci
2.
Mempunyai manfaat
3.
Dapat diserahkan pada
waktu aqad
4.
Barang tersebut milik
yang sah
5.
Diketahui ukuran dan
sifatnya[15]
Dari kelima
syarat yang dikemukakan tersebut, dapat dijadikan bahwa harta atau barang yang
sah dihibahkan mestilah suci, dengan demikian najis tidak atau tidak boleh
untuk dihibahkan. Selanjutnya harta atau barang yang hendak dihibahkan mestilah
ada manfaatnya. Barang atau harta yang tidak bermanfaat seperti sehelai rambut
tidak boleh dihibahkan. Kemudian barang-barang atau harta yang dihibahkan
tersebut sah menghibahkan harta yang masih di tangan orang lain. Dan juga tidak
sah menghibahkan harta yang masih milik orang lain. Harta yang dihibahkan
mestilah diketahui ukuran dan sifatnya,
hal ini supaya tidak menjadi permasalahan dikemudian hari tentang kepemilikan
harta tersebut.
Syarat-syarat
sighat (ijab dan qabul)
Sighat atau ijab
qabul adalah merupakan pernyataan serah terima antara si pemberi dengan si
penerima hibah, yang mana harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Bahwa isi ucapan
penerimaan sesuai dengan apa yang terkandung dalam penyerahan.
2.
Ucapan penerimaan hibah
tidak diselingi dengan ucapan lain
3.
Isi dari sighat
tersebut tidak dikaitkan dengan syarat-syarat lain.
Ketiga ungkapan
ini merupakan syarat sahnya sighat yang bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan
atau permasalahan mengenai harta hibah tersebut, misalnya isi ucapan si
penerima tidak sama dengan ucapan si pemberi : “saya berikan sepeda ini”, lalu
dijawab sipenerima “Ya saya terima mobil ini”. Apabila terjadi sighat seperti
ini, maka sighat tersebut tidak sah. Dengan demikian hibahnya juga tidak sah.
2. Orang yang
berhak Memberi dan Menerima
Hibah
Adapun
persyaratan bagi orang yang boleh member atau menerima hibah dapat diuraikan
secara terperinci dan akan menguraikan tentang syarat-syarat hibah yang mana
syarat-syarat ini lahir dari bahagian-bahagian atau komponen rukun hibah yang
telah disebutkan di atas.
b.
Syarat orang yang
memberikan hibah (wahib)
Sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj,
sebagai berikut :
فيشترط فى الواهب الطلك وا طلا
ق الصر ف فى ماله
Artinya : “Maka disyaratkan
terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki, mempunyai hak untuk
mentasarrufkan hartanya”[16].
Dari pernyataan
ini dipahami ada dua pernyataan bagi orang yang akan menghibahkan hartanya :
1.
Orang yang memiliki,
yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap harta yang dihibahkan, baik
secara hakikat maupun secara hukum, jadi tidak sah menghibahkan sesuatu yang
belum jelas kepemilikannya seperti menghibahkan ikan di laut atau hutan
belantara, dan sebagainya.
2.
Orang yang mempunyai
hak mentasarrufkan hartanya. Jadi orang gila, anak-anak, orang yang masih dalam
perwalian tidak sah atau tidak boleh menghibahkan hartanya.
c.
Syarat orang yang
menerima hibah (mauhublah)
Dalam hal ini
juga tidak jauh berbeda dengan syarat orang yang memberi hibah, sebagaimana
yang diungkapkan juga oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya, sebagai
berikut :
ويثترط فى الموهوب له ان يكون فيه اهبة المك لمايوهب
له
Artinya : “dan disyaratkan bagi orang
yang menerima hibah itu adalah orang yang ahli memiliki apa yang dihibahkan
baginya[17].
Dari pernyataan
ini dipahami bahwa orang yang boleh menerima hibah itu adalah ahli milik, yaitu
orang-orang yang benar-benar mampu dalam mmelihara atau mengurus harta yang
dihibahkan kepadanya. Dengan demikian tidak sah hibah ditujukan atau diberikan
kepada anak-anak, dan seumpamanya.
Karena anak-anak dan orang gila dianggap bukanlah orang yang mampu
memelihara atau mengurus hartanya.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa seseorang dibolehkan member hibah
apabila memenuhi empat syarat. Adapun empat syarat tersebut adalah:
1. Merdeka
Seorang hamba tidak sah
member hibah, sebab menurut hukum ia tidak mempunyai harta, dan dia sendiri
adalah milik tuannya.
2. Berakal dan tidak dibawah pengampuan
Seorang gila tidak sah
member hibah, begitu pula anak-anak, orang bodoh dan pemboros yang ditaruh
dalam pengampuan. Pendapat ini disepakati oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah. Sebutan “berakal” disini menurut ulama Hanafiyah berakal secara umum.
Karenanya, seorang yang mabuk disebabkan karena minum khamar misalnya, tetap
sah member hibah. Ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang menyatakan orang
mabuk tidak sah member hibah, sebab bagaimanapun pemberian itu adalah di luar
kesadarannya sehingga kerelannya tidak dapat dipercaya sepenuhnya.
3. Baligh
Anak-anak tidak sah member
hibah
4. Ia pemilik barang yang dihibahkan
Seseorang tidak sah
menghibahkan sesuatu yang bukan miliknya. Sekalipun sedang berada di dalam
tangannya. Karenanya, seorang pencuri tidak sah menghibahkan barang curiannya[18].
Dan bagi orang yang berhak menerima
hibah menurut Ulama Hanafiyah memberikan persyaratan bagi seseorang yang boleh
menerima hibah, menurut pendapat mereka siapa saja boleh menerima hibah. Baik
orang baligh, berakal, maupun gila, anak-anak ataupun orang ditaruh di bawah
pengampuan. Syarat-syarat yang diberlakukan terhadap si penghibah tidak berlaku
bagi sipenerima hibah[19].
Pendapat ini tidak disepakati oleh
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa seseorang baru sah
menerima hibah apabila telah dipenuhi syarat taklif[20].
Dengan demikian pendapat mereka, orang gila dan anak-anak ataupun orang
yang ditaruh di bawah pengampuan, tidak sah menerima hibah. Karena orang-orang
yang demikian tidak ahliah al-milk (diakui kemampuannya untuk mengurusi
harta benda miliknya), ataupun ahlu al-tasarruf (diakui kemampuannya
untuk mentransaksikan harta benda miliknya).
3.
Penarikan Kembali Harta yang Dihibahkan
Dalam hal penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan, terjadi
beberapa permasalahan. Hal ini dilihat dari segi kepada siapa barang yang
dihibahkan tersebut diberikan. Apakah kepada anak sendiri atau kepada orang
lain, kalau penghibahan itu dilakukan kepada orang lain sudah jelas penarikan
itu tidak dibolehkan. Ini disebabkan bahwa disaat terjadinya pelaksanaan
hibah tersebut, maka terjadi pulalah perpindahan kepemilikan terhadap harta
tersebut. Jadi jelas bahwa si pemberi hibah tidak ada keterikatan lagi terhadap
apa yang telah diberikannya.
Namun kalau penghibahan harta itu
antara seorang ayah dan anaknya, maka hibah tersebut dapat ditarik kembali
sebab keterikatan atau hubungan antara ayah dan anak tidak dapat dipisahkan
kecuali antara keduanya berbeda agama.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengenai
di atas yaitu tentang penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan orang tua
kepada anaknya adalah dibolehkan, hal ini terlihat dari ungkapan beliau sebagai
berikut :
قال الثافعى ولواتصل حديش طاوش انه لايحل لواهب ان
يرجع فيما وهب ا لا الوالدفيماوهب لوالده
Artinya : Syafi’i berkata : Jikalau dihubungkan
dengan hadis Taus bahwasannya tidak halal bagi si penghibah untuk menarik
kembali apa yang telah dihibahkan, kecuali orangtua terhadap apa yang telah ia
hibahkan kepada anaknya[21].
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa
bagi semua orang tidak diperkenankan menarik kembali harta yang telah
dihibahkan kecuali orangtua kepada anaknya.
Didalam kitab yang lain juga
ditemukan pendapat Imam Syaifi’i yaitu sebagai berikut :
قال الثافعى له الر جوع فى هبت كل من يقع عليه اسم
ولد حقيقة اومجا زاكوالده لطبه ولده من اولادا لخين اوالبنات ولارجوع فى هبته الا
جنبى
Artinya : Syafi’i berkata :
ia berhak mengambil kembali harta setiap orang yang disebut dengan anaknya
secara hakikat atau majaz, seperti anak kandung atau cucunya baik dari pihak
anak laki-laki dan anak perempuan, dan tidak boleh menarik kembali hibah yang
diberikan kepada orang lain[22].
Dari keterangan-keterangan di atas
dapat diketahui bahwa Imam Syafi’i membolehkan orangtua untuk menarik kembali
harta yang telah dihibahkan kepada anak cucunya. Sedangkan jika harta yang
telah dihibahkan itu ditujukan kepada orang lain, maka bagi si penghibah tidak
boleh menariknya kembali.
Tetapi kebolehan orangtua untuk
menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak atau cucunya juga harus
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu sebagai berikut :
1. Orangtua harus berstatus merdeka, jika tidak maka dia
tidak boleh menarik hibahnya kembali, hal ini dikaitkan dengan penghibah yang
menerima kepada budak yang seharusnya untuk tuannya, sedangkan ia adalah orang
lain maka tidak boleh menarik kembali pemberian daripadanya.
2. Yang diberikan itu adalah benda, bukan hutang, jika
penghibah memberikan hutang, maka orangtua tidak boleh menariknya kembali.
3. Benda tersebut berada jelas pada si anak, seandainya
benda tersebut telah ditasarrufkan, maka orangtua tidak diperkenankan untuk
menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena kekuasaan anak telah
terputus sejak harta tersebut ditasarrufkan.
4. Orang tua tidak berada dalam pengampuan si anak, jika
orangtua berada pada pengampuan si anak maka orangtua tidak diperbolehkan
menarik harta yang telah dihibahkan.
5. Benda yang diberikan itu mudah rusak, sepeti telur
ayam.
6. Orang tua tidak menjual benda yang diberikan, jika di
menjualnya, maka dia tidak boleh menariknya kembali[23].
Imam
Syafi’i selain berpendapat dengan pendapat di atas, juga mengambil sandaran
dari hadist Nabi SAW yaitu sebagai berikut :
َوَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمْ- , عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِيَ اَلْعَطِيَّةَ, ثُمَّ يَرْجِعَ فِيهَا ; إِلَّا اَلْوَالِدُ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِم ُ
Artinya : Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
r.a dari Nabi SAW bersabda : Tidak halal bagi seorang laki-laki yang memberi
sesuatu pemberian kemudian ditarik kembali, kecuali oleh orangtua terhadap apa
yang ia berikan kepada anaknya[24].
Hadist-hadist di
atas inilah yang menjadi sumber dalil dari pendapat Imam Syafi’i yang
mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang menarik kembali harta yang sudah
dihibahkan kecuali hibah orangtua kepada anaknya atau cucunya.
B. Pengertian Hibah Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Sebelum
penulis membahas tentang pengertian hibah menurut Kompilasi Hukum Islam, ada
baiknya penulis mengemukakan latar belakang terbentuknya Kompilasi Hukum Islam
yaitu sebagai berikut : Kompilasi Hukum Islam terbentuk berdasarkan Keputusan
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 24 Maret 1985 No.
07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 185 tenteng Penunjukan Pelaksanaan proyek
Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan meng apa
proyek ini diadakan, yaitu :
a.
Bahwa sesuai fungsi pengaturan Mahkamah
Agung RI terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan di Indonesia,
khususnya dilingkungan peradilan Agama, perlu mengadakan yang kompilasi Hukum
Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.
b.
Bahwa guna mencapai maksud tersebut,
demi menngkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, singkronisasi dan tertib
administrasi dalam proyek pembangunan Kompilasi Hukum Islam melalui
Yurisprupensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya
terdiri dari pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.
Inilah yang
menjadi sebab dari latar belakang terbentuknya Kompilasi Hukum Islam. Selain
hal diatas juga kelihatannya hukum islam begitu kaku berhadapan dengan
masalah-masalah perekonomian, menteri-menteri yang termaktub di dalam buku-buku
fiqh tidak atau belum sempat disistematikan sehingga ia dapat disesuaikan
dengan masa sekarang. Masalah yang dihadapi bukan saja berupa perubahan
struktur sosial, tetapi juga perubahan kebutuhan dalam berbagai bentuknya,
banyak masalah baru yang belum ada padanannya pada masa Rasulullah dan pada
masa para Mujtahid di masa Mazhab-mazhab terbentuk[25].
Berbagai
bentuk permasalahan yang timbul tersebut salah satu diantaranya adalah
permasalahan tentang hibah. Pada hakikatnya pelaksanaan hibah pada masa
Rasulullah SAW dan masa sekarang ini sangat berbeda sekali. Itulah sebabnya
penulis mengambil suatu perbandingan antara Mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan kumpulan dan kodifikasi antara kitab-kitab dan buku-buku
yang berkaitan dengan pembinaan hukum islam dari kitab-kitab klasik maupun dari
undang-undang.
Kompilasi Hukum
Islam memandang bahwa hibah tersebut adalah sebagai berikut : “Pemberian suatu
benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki[26]”.
Menurut Helmi
Karin bahwa hibah adalah : Pemberitahuan juga bermakna bahwa penghibah bersedia
melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, dikaitkan dengan perbuatan hukum,
maka hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik. Pihak penghibah
dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak penerima hibah tanpa ada
kewajiban dari penerima untuk mengembalikan harta tersebut kepada pihak pemilik
pertama[27].
Dan juga Bakr
Jabir Al-Jaziri mengatakan bahwa hibah ialah pemberian oleh orang yang berakal
sempurna dengan asset yang dimilikinya, harta atau perabotan yang mudah[28].
Dalam KUH
Perdata dinyatakan bahwa hibah adalah “Suatu persetujuan dengan mana
sipenghibah diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali menyerahkan sesuatu benda dengan keperluan dari sipenerimah hibah yang
menerima penyerahan itu[29].
Dari defenisi
diatas dapat disimpulkan bahwa hibah
dalam Kompilasi Hukum Islam adalah suatu pemberian yang dilaksanakan secara
sukarela kepada seseorang atau suatu badan tertentu atau kepada khalayak ramai
tanpa imbalan sesuatu apapun. Dan ini dilakukan ketika si penghibah masih hidup[30].
1. Rukun dan
Syarat Hibah
Hibah
yang berfungsi sebagai salah satu jembatan antara kesenjangan yang terjadi bagi
orang yang tergolong mampu dengan orang yang tidak mampu, juga merupakan sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial dan salah satu cara untuk menolong kaum yang
lemah serta menghidupkan rasa kebersamaan, maka perli ditentukan syarat-syarat
untuk melakukan hibah kepada orang yang dimaksud agar jangan terjadi hal-hal
yang tidak dikehendaki pada masa yang akan datang.
Didalam
Kompilasi Hukum Islam tidak dijumpai secara terperinci yang menjelaskan rukun
dan syarat hibah, namun hanya dapat dipahami dari pasal-pasal yang ada,
terutama sekali dari bunyi pasal 2010 ayat (1), sebagaimana berikut :
“Orang
yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahu, berakal sehat tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga lembaga dihadapan dua orang saksi untuk
dimiliki”[31].
Dari
ketentuan pasal ini dapat dikemukakan bahwa rukun hibah menurut Kompilasi Hukum
Islam tidak jauh berbeda dengan rukun hibah di dalam Fiqh Syafi’i yaitu :
1.
Pemberi hibah yaitu
orang yang akan memberikan hibah.
2.
Harta hibah yaitu harta
yang akan dihibahkan
3.
Penerima hibah yaitu
orang atau badan yang akan menerima hibah.
4.
Serah terima atau ijab
qabul.
Keempat rukun
ini mesti ada dalam pelaksanaan hibah, apabila satu komponen saja tidak ada
maka pelaksanaan hibah tidak akan terjadi. Kemdian berikut ini akan diuraikan
syarat-syarat hibah yang juga dipahami dari bunyi pasal 210 yang telah disebut
diatas.
1.
Orang yang berhibah
mesti berumur minimal 21 tahun.
Dalam
hal ini anak-anak atau orang yang masih berumur dibawah 21 tahu belumlah
dianggap cakap bertindak dalam mempergunakan hartanya, oleh karena itu belum
boleh menghibahkan hartanya.
2.
Tidak adanya unsur
paksaan dalam hibah
Orang
yang menghibahkan hartanya haruslah dengan kemauan sendiri, tidak ada unsur paksaan
dari pihak manapun. Konsekwensinya adalah hibah itu dilakukan karena adanya
rasa sosial yang tinggi serta keikhlasan yang tulus tanpa adanya imbalan.
3.
Mempunyai akal yang
sehat
Disyaratkan
bagi orang yang akan memberikan hibah mempunyai akal yang sehat. Dengan
demikian orang gila atau seumpamanya dalam pandangan Kompilasi Hukum Islam
tidak sah memberikan atau menyerahkan hartanya kepada orang lain. Akan tetapi
bagi orang yang sakit keras masih
dibolehkan memberikan hibah dengan syarat mesti mendapat persetujuan dari pihak
ahli waris. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 213 Kompilasi Hukum Islam “Hibah
yang diberikan pada saat pemberian hibah dalam keadaan sakit yang terdekat kepada
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris”[32].
4.
Harta yang dihibahkan
itu sebanyak-banyaknya 1/3 harta.
Dalam
permasalahan batasan harta yang dihibahkan ini pada dasarnya tidak terkait
dengan masalah warisan kecuali apabila ternyata hibah itu mempengaruhi
kepentingan-kepentingan hak-hak pada ahli waris, maka dalam hal demikian itu
perlu diadakan batas maksimal dilaksanakannya hibah, yaitu hibah tersebut tidak
boleh lebih dari 1/3 harta seseorang. Batasan ini memang perlu, mengingat
apabila hal ini tidak ditetapkan hukumnya maka akan mempengaruhi kepada harta
yang diwarisi oleh ahli waris. Bila harta seseorang dihibahkan semuanya akan
mendatangkan dan menimbulkan masalah kepada ahli waris bahkan kepada penerima
hibah tersebut akan memenuhi kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
5.
Pelaksanaan hibah
tersebut harus disaksikan dua orang saksi
Pelaksanaan
hibah menurut kompilasi hukum islam mengandung hal-hal yang positif, seperti
halnya diajukan dua orang saksi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal
yang tidak diinginkan dimasa yang akan datang, seperti adanya pihak-pihak
keluarga yang menghibahkan tersebut. Jadi olehkarenanya dengan disaksikan dua
orang saksi dalam penghibahan itu maka besar kemungkinan pihak-pihak keluarga
yang lain tidak akan dapat mengambilnya.
6.
Harta hibah itu
merupakan hak milik dari orang yang berhibah.
Hal
ini juga jelas bahwa harta yang akan diberikan (dihibahkan) mestilah merupakan
hak milik pribadi orang yang akan memberikan hibah. Tidak sah menghibahkan
milik orang lain atau menghibahkan harta yang sedang digadaikan. Ketentuan ini
juga dapat dilihat pada pasal 120 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam “Harta benda
yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah”[33].
Ketentuan-ketentuan yang telah dikemukakan ini merupakan
syarat-syarat dalam pelaksanaan hibah, untuk itu bagi seseorang yang akan
melaksanakan hibah mestilah sesuai dengan apa yang disyaratkan agar
pelaksanaannya dianggap sah dan berlaku dimata hukum.
Kemudian juga di
dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ketentuan atau syarat yang menerima
hibah. Maka dengan demikian dapatlah dipahami bahwa siapa saja baik itu
anak-anak, orang gila atau orang yang masih dalam pengampuan, mestilah walinya
yang memelihara harta yang diberikan (dihibahkan) kepada mereka.
2. Orang yang
berhak Memberi dan Menerima
Hibah
Menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171: g mendefinisikan hibah sebagai berikut :
“Hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki”[34].
Didalam
KUH Perdata juga disebutkan dalam pasal 1676 bahwa :
“Setiap orang diperbolehkan
memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap untuk itu”[35].
Hibah merupakan
pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalan. Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan, maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu
kepada orang lain dan usaha-usaha dibatasi oleh
sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata harta hak milik berarti bahwa yang
diserahkan adalah materi dari harta tersebut.
Kata “di
waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan,
berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa
mengharapkan apa-apa[36].
Di
dalam Ilmu Fiqh disebutkan bahwa syarat-syarat orang yang akan menghibahkan
hartanya adalah sebagai berikut :
1.
Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan
milik karena itu mustahil orang yang tidak
memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.
2.
Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi
persoalan atau perkara yang berkaitan
dengan pengadilan mengenai harta tersebut.
3.
Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus
orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.
Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.
5.
Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam
melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau
keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar
pilihannya bukan karena pilihan orang lain,
tentu saja setelah memikirkan dengan matang[37].
Maka dari
persyaratan di atas jelaslah bahwa orang yang akan memberikan hibah itu
mestilah orang dewasa dan memang betul mempunyai harta dalam arti hartanya
sendiri dan sebaliknya bagi anak-anak atau orang yang belum dewasa tidak
dibenarkan memberikan hibah karena anak-anak dianggap kurang kemampuannya
Oleh karena itu
di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya
21 (dua puluh satu) Tahun dan mempunyai 2 (dua) orang saksi[38].
Dalam
fikih Sunnah dinyatakan bahwa orang yang diberi hibah disyaratkan: Benar-benar ada di waktu
diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya
dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah
itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih kecil atau gila, maka
hibah itu diambil oleh walinya, atau pemeliharanya, atau orang yang mendidiknya
sekalipun dia orang asing[39].
Kesimpulannya
adalah bahwa orang yang berhak menerima hibah adalah benar-benar ada di waktu
menerima hibah, masih hidup, tidak dalam bentuk janin. Jika orangnya tidak ada,
sudah mati, atau ada dalam bentuk janin, maka hibahnya tidak sah/tidak boleh.
Jika orang yang mau diberi hibah masih kecil atau gila, maka ia tetap berhak
menerima, tetapi yang berhak mengambil dan mengurusnya adalah walinya,
pemeliharanya atau yang mendidiknya.
3. Penarikan Kembali
Harta yang di Hibahkan
Di
dalam al-Qur’an ada dijelaskan bahwa apabila kita memberikan sesuatu janganlah
mengharapkan balasan atau imbalan yang lebih banyak dari apa yang kita berikan.
Firman Allah dalam surat al-Muddasir ayat 6 yang
berbunyi :
Artinya : “Dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak[40].
Ayat di atas menjelaskan bahwa untuk
memberikan sesuatu barang atau harta, sehingga dengan demikian tidak akan
timbul hal-hal yang tidak dinginkan baik bagi sipemberi harta atau si penerima
hibah.
Benda
yang dihibahkan dapat menjadi hak milik si penerima hibah apabila harta
tersebut telah diserahterimakan oleh yang menghibahkannya. Jika benda tersebut
belum diserahkan, maka si penerima hibah tidak mempunyai hak sama sekali atas
benda yang dihibahkan itu[41].
Bila orang tua memberikan suatu
hibah kepada anaknya berupa harta benda hendaklah ia berlaku adil terhadap
anak-anaknya itu dengan tidak membeda-bedakan pemberian di antara mereka.
Keadilan disini berdasarkan dari situasi dan kondisi anak itu atau berdasarkan
dari kesulitan dan kebutuhan anak, Rasulullah SAW bersabda dalam hadistnya
sebagai berikut :
عَنْ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنِّي نَحَلْتُ اِبْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكُلُّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا ? فَقَالَ : لَا . فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَارْجِعْهُ ) وَفِي لَفْظٍ : ( فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ : أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ? قَالَ : لَا قَالَ: اِتَّقُوا اَللَّهَ , وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي, فَرَدَّ تِلْكَ اَلصَّدَقَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ قَالَ : ( فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي ثُمَّ قَالَ : أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي اَلْبِرِّ سَوَاءً? قَالَ : بَلَى قَالَ : فَلَا إِذًا
Artinya : Dari Nu'man Ibnu Basyir
bahwa ayahnya pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
berkata: Aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap anakmu
engkau berikan seperti ini?" Ia menjawab: Tidak. Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau begitu, tariklah kembali." Dalam
suatu lafadz: Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
agar menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: "Apakah
engkau melakukan hal ini terhadap anakmu seluruhnya?". Ia menjawab: Tidak.
Beliau bersabda: "Takutlah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap
anak-anakmu." Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu.
Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi lain
selain diriku dalam hal ini." Kemudian beliau bersabda: "Apakah
engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti kepadamu?". Ia
Menjawab: Ya. Beliau bersabda: "kalau begitu, jangan lakukan."[42].
Menurut
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal 212 bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah
orangtua kepada anaknya, begitu juga di dalam pasal-pasal sebelumnya, yaitu
pada pasal 211 dinyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai harta warisan[43].
Dari
ungkapan pasal di atas dapat diketahui bahwa antara Kompilasi Hukum Islam dan
Mazhab Syafi’i sama-sama berpendapat bahwa hibah yang dilakukan orangtua
tehadap anaknya itu boleh ditarik kembali.
Di
dalam Mazhab Syafi’i secara jelas dinyatakan bahwa orangtua dibolehkan menarik
kembali harta yang telah dihibahkannya kepada anak-anaknya, sedangkan kepada
orang lain hal itu tidak dibolehkan. Alas
an Imam Syafi’i ini berdasarkan kepada pemahaman hadist Tawus. Sedangkan di
dalam Kompilasin Hukum Islam juga demikian, yaitu bagi orangtua dibolehkan
menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anaknya. Tetapi dasar dan
alasannya tidak tampak jelas, karena yang membicarakan hal ini hanya terdapat
dalam satu pasal saja, yaitu pasal 212. Namun begitupun Kompilasi Hukum Islam
melihat kepada maslahat amah yang menjadi dasar pemikiran. Maslahat merupakan
hasil dari tinjauan tentang ide-ide yang mempengaruhi sisi kebaikan umat.
Sehingga dengan demikian mengambil suatu kebaikan dari pada meninggalkannya
adalah tuntutan dari nas. Ini berarti hal-hal yang tidak diinginkan yang akan
timbul sedikit demi sedikit akan terhapus dan akhirnya hilang.
Daftar Bacaan
Daftar Bacaan
[1]Ahmad Warson munawir Al-Munawir, Kamus
Arab Indonesia ,Yogyakarta Pondok
Pesantren “ Al-Munawir,” 1984, hlm. 1692.
[2]
Syamsuddin Muhammad bin Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, Juz V Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, Beirut t.t, h. 104
[3]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab
Suci al-Qur’an, Jakarta, 1934, h. 462.
[4]
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Anda Utama, Jakarta, 1993 h. 360.
[5]
Ibid.
[6]
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. III
at-Tijariyah al-Kubro, Mesir, t.t h. 291.
[7]
Muhammad Syata ad-Dimyati, I’anat at-Talibin, Juz. III, al-Ma’arif, Bandung, t.t h. 142.
[8]
Abu Zakaria al-Amsyari, As-Syarqawi at-Tahrir, Juz. I, Dar al-Fikr, Beirut, t,t. h. 259.
[9]
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Hukum-hukum Fiqh Islam, Penyebar Buku-buku, Jakarta, Indonesia, h
848.
[10]
Drs. H. Asymuni A. Rahman, Ilmu Fiqh, Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana, PT. Agama Islam IAIN, Jakarta, 1986, h. 198-199.
[11]
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. III
at-Tijariyah al-Kubro, Mesir, t.t h. 291
[12]
Abdul Rahman al-Jaziri, op,cit. 293
[13] Ibid
[14] Ibid
[15]
Abdul Rahman al-Jaziri, op.cit, h. 300
[16]
Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, Juz. II, Dar al-Fikr,
Beirut, 1978, h. 397.
[17]
Muhammad Syarbaini Khatib, Al-Igna’, Juz. II, al-Fikr, t.t h. 86
[18]
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh “Ala al-Mazahib al-Arba’ah, III, Mustafa
al-babi al-Halabi, Mesir, t.t h. 297
[19]
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh “Ala al-Mazahib al-Arba’ah, III, Mustafa
al-babi al-Halabi, Mesir, t.t h, h. 294
[20]
Ibid, Taklif berarti pembebanan
atau pemugaran. Al-Qur’an menyebutkan
taklif dengan pengertian sebagaimana dalam Surat al-baqarah ayat 286 yang
artinya “Allah tidak membebankan kepada seseorang
kecuali atas kemampuannya”. Departemen Agama
Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta, 1993, h. 1181.
[21]
Muhammad bin Idris as-Syafi’i , Op.cit.
Juz VIII, h. 519
[22]
As-Sya’rani, Mizan al-Kubra, Juz
I. Maktabah al-Matba’ah mar’i, Kuala Lumpur, Singapura, h. 2
[23] Abdul Rahman al-Jaziri, op.cit, h. 309
[24] Muhammad Ibn Ismalil al-Kahlany, Subul
as-Salam, Juz. III, Dalan, Bandung, h. 90
[25]
Abdulrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1 Akademika Presinda, Jakarta, 1992, h. 15
[26] Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992,
hlm.156.
[27]
Helmi Karim, Fiqh
Mu’amalah, Raja grafindo Persada, Jakarta, 1993, h.
74.
[28]
Bakr Jabir Al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim, Minhajul Muslim, Darul Falah,
h. 568
[29]
R. Subekti, R. Tjitrisudibio, KUH Perdata Pradnya Paramita, Jakarta,
1983, h. 387
[30]
Muhammad Daul Ali, Sistem ekonomi Islam Zakat dan wakaf, UI, Press, Jakarta,
1988 h. 24
[31]
Departemen Agama RI, KHI, Op.cit.
[32]
Departemen Agama RI, KHI, Op.cit.
[33]
Ibid
[34] Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992,
hlm. 156.
[35]
Prof. R. Subekti, SH, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, PT. Pradnya
Pratama, h. 438
[36] Amir Syarifudin, Pelaksana Hukum Waris Islam dalam
Lingkungan Minangkabau,
Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 252.
[37] Departemen Agama
Republik Indonesia Ilmu Fiqih, jilid III, Jakarta Proyek Pembinaan Prasarana
Akan Sarana Perguruan
Tinggi Agama Islam, 1986, hlm 201-203.
[38] Departmen
Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2000, h. 94-95
[39] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 14, diterjemah oleh Drs. Mudzakir A.S, Cet. 2,
Bandung, Alma’arif, 1988, h.168.
[40]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur;an, Jakarta, 1984, h. 992
[41] Ibrahim Lubis, Ekonomi
Islam Suatu Pengantar, Kalam Mulia, Jakarta, 1994, h. 282.
[42] Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subulu as-Salam,
Juz. III, Dahlan, Bandung. h. 89
[43]
Departemen Agama RI, KHI, Op.cit, h. 105