Batasan Usia Pemberi Hibah dan Jumlah Saksi


BAB  II
HIBAH MENURUT ULAMA SYAFI’IYAH

A. Biografi Imam Syafi’i
Imam syafi’I bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn Al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi ibn As-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf.[1] Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan Quraisy dan masih berkeluarga jauh dengan Rasulullah SAW dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga dari Rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Palestina. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sebagai anak yatim. Saat imam syafi’I lahir, dua orang ulama besar meninggal dunia, seorang di Baghdad, yaitu Imam Abu Hanifah (pembangun mazhab Hanafi), dan seorang lagi bernama Imam Malik.
As-Syafi’I lahir pada zaman dinasti bani Abbas. Tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far Al-Mansur (137-159 H/754-774 M). Ketika As-Syafi’I mencapai umur 9 tahun, Abu Ja’far Al-Mansur diganti oleh Muhammad Al-Mahdi (159-169 H/775-785 M) . Dan pada masa Asy-Syafi’I berusia dewasa, yakni 19 tahun, Muhammad Al-Mahdi diganti oleh Musa Al-Mahdi (169-170 H/785-786 M). Ia hanya berkuasa satu tahun. Kemudian , ia diganti oleh Harun Ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M). Pada awal kekuasaan Harun Ar-Rasyid, Asy-Syafi’I berusia 20 tahun. Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H/809-813 M), dan Al-Amin digantikan oleh Al-Makmun (198-218 H/813-833 M).
Pada usia 30 tahun, Imam Syafi’I menikah dengan seorang wanit dari Yaman bernama Hamidah binti Nafi’ seorang putrid dari keturunan khalifah Ustman bin Affan. Dari pernikahannya, ia mendapat tiga orang anak ; satu orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama Muhammad bin Syafi’I yang menjadi Qadhi di Jazirah Arab (w. 240 H).
Kecerdasan Imam Syafi’I telah terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu, telah menghapal ayat qur’an dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Qur’an dalam perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihapalnya diluar kepala. Imam Syaf’I juga menekuni bahasa dan sastra arab di dusun Badui Bani Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar Fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekah pada saat itu, yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Namun demikian, Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam ia menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum ia mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i sangat banyak, sama dengan banyak muridnya. Meskipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’I lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari Nashiru Sunnah (pembela sunnah Nabi).
Setelah 6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan dan sesudah mengarang kitab Ar-risalah (dalam ushul fiqh) dan beberap kitab lainnya, ia meninggal dunia. Rabi bin Sulaiman (murid imam syafi’i) berkata, “ Imam Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada usia 54 tahun, malam jum’at, bertepatan tanggal 28 juni 819 M”.

B. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
Kata hibah diambil dari kata “wahaba” yang artinya melalui atau melewati. Ini dapat dilihat di dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, sebagai berikut :
من هب ا مسر ور ها مسن يدالى اخس
Artinya : “Orang yang berhibah berarti telah lewat bagi yang diliwatkan akannya dari tangan satu ke tangan lainnya”[2].
            Kemudian kata hibah juga dipakai dalam arti memberikan (pemberian), di dalam al-Qur’an kata hibah juga  ditemukan pada surat Maryam ayat 5, yang berbunyi :
Artinya : “Maka berikankah kepadaku dari sisi Engkau seorang putra[3].
Di dalam ensiklopedi Islam dijelaskan defenisi hibah yaitu sebagai berikut:
“Kata hibah berasal dari Bahasa Arab yaitu “wahaba”, yang menurut bahasa adalah memberi kelebihan kepada orang lain, baik berupa (harta) ataupun bukan barang (harta)[4].
Sementara hibah menurut istilah mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Secara umum adalah pemindahan pemilikan barang kepada orang lain dikala masih hidup, sedangkan secara khusus adalah pemindahan milik sesuatu yang bukan wajib kepada orang lain dikala hidup dengan ijab dan qabul bukan karena mengharapkan pahala atau bukan karena menutupi kebutuhan”[5].

            Sedangkan pengertian menurut syara’ banyak ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i antara lain :
1.      Abdul Rahman al-Jaziri mengungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut :
الهبة وهوتمليله تطوع فى حياة لا لاكرام ولا لاجل ثواب اب او احتيا ج با يجاب و قبو ل

Artinya : Pemberian barang milik dimasa hidup tanpa untuk mencari kemuliaan dan bukan untuk mencari pahala atau kebutuhan dengan ijab dan qabul.[6]
2.      Muhammad Syata ad-Dimyati, memberikan defenisi hibah sebagai berikut:
الهبة هى تمليله عين بل عوض
Artinya : “Hibah yaitu memberikan sesuatu dengan tidak memakai tukaran (ganti)”.[7]
3.      Abu Zakaria al-Amsari juga memberikan pengertian hibah, sebagai berikut:
الهبة هى تمليله تطوع فى حيا
Artinya : “Hibah yaitu memberikan sesuatu harta (benda) pada masa hidup”[8].
4.      M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Hukum-hukum Fiqg Islam juga menyebutkan bahwa : Hibah adalah memberikan harta secara suka rela di masa masih hidup kepada seseorang, shah dengan ada ijab, qabul dan qabdl (menerima barang)[9].

            Dari beberapa defenisi yang telah diuraikan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa hibah adalah pemindahan hak  milik atau berupa barang (harta) dari kekayaan yang ada dari seseorang kepada orang lain dengan sukarela tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
            Dalam hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Muddatsir ayat 6 yang berbuyi :
  Artinya : “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak”[10].
            Dari ayat diatas, jelaslah bahwa pemberian itu harus dengan penuh kerelaan tanpa paksaan dari pihak-pihak tertentu, dan tidak akan mengharapkan sesuatu imbalan yang lebih banyak.
            Adapun dasar hukum tentang disyari’atkannya hibah secara umum dapat dilihat di dalam al-Qur’an maupun hadis, antara lain sebagai berikut :
1.      Dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi :
Artinya : “dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya...”[11]

2.      Surat Ali Imran asyat 92, yang berbunyi :


Artinya : “kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktin (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya.[12]
3.      Sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang berbunyi :



Artinya : “Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang menarik kembali apa yang diberikan kepada anaknya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim[13].

Dari beberapa dalil yang telah dikemukakan baik di dalam al-Qur’an maupun hadist diatas, maka jelaslah kita dituntut untuk saling memberi, baik itu melalui sadaqah, hadiah maupun hibah.
Imam Syafi’i menganggap bahwa hadiah sama dengan hibah secara umum[14]. Oleh sebab itu harta tentang anjuran untuk saling memberi juga ditujukan kepada anjuran agar melakukan hibah.

C. Rukun dan Syarat Hibah
            Dalam melaksanakan suatu hal baik itu yang berkaitan dengan Ibadah, Mua’malah dan juga hal-hal yan lain yang mengandung perbuatan hukum mestilah mempunyai beberapa rukun, dimana apabila salah satunya rukun tersebut tidak terpenuhi maka tidak sah melakukan sesuatu tersebut. Begitu juga dengan masalah Hibah ini mempunyai rukun yang telah ditetapkan terlebih oleh Imam Syafi’i adalah sebagai berikut :
1.      Pemberi hibah (wahib), yaitu orang yang akan memberikan hibah.
2.      Harta hibah (mauhub) yaitu harta yang akan dihibahkan.
3.      Sighat (Ijab Qabul) yaitu pernyataan serah terima dari wahib kepada mauhublah.
4.      Penerima hibah (mauhublah) yaitu orang yang akan menerima pemberian hibah tersebut.
Keempat komponen ini merupakan rukun yang mesti ada dalam pelaksanaan hibah. Apabila satu saja dari rukun tersebut tidak ada maka pelaksanaan hibah tidak akan terjadi, misalnya tidak ada ijab dan qabul.
Ijab dan qabul merupakan pernyataan serah terima antara pemberi dan penerima, contoh : “saya hibahkan (berikan) kepadamu rumah ini”. “Ya, saya terima rumah ini”. Maka sejak pernyataan tersebut berpindahlah pemilikan rumah itu dari pemberi kepada penerima hibah.
Selanjutnya penulis akan menguraikan tentang syarat-syarat hibah yang mana syarat-syarat ini lahir dari bahagian-bahagian atau komponen rukun hibah yang telah disebutkan di atas.
a.       Syarat orang yang memberikan hibah (wahib)
Sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj, sebagai berikut :


Artinya : “Maka disyaratkan terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki, mempunyai hak untuk mentasarrufkan hartanya”[15].
Dari pernyataan ini dipahami ada dua pernyataan bagi orang yang akan menghibahkan hartanya :
1.      Orang yang memiliki, yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap harta yang dihibahkan, baik secara hakikat maupun secara hukum, jadi tidak sah menghibahkan sesuatu yang belum jelas kepemilikannya seperti menghibahkan ikan di laut atau hutan belantara, dan sebagainya.
2.      Orang yang mempunyai hak mentasarrufkan hartanya. Jadi orang gila, anak-anak, orang yang masih dalam perwalian tidak sah atau tidak boleh menghibahkan hartanya.
b.      Syarat orang yang menerima hibah (mauhublah)
Dalam hal ini juga tidak jauh berbeda dengan syarat orang yang memberi hibah, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya, sebagai berikut :

Artinya : “dan disyaratkan bagi orang yang menerima hibah itu adalah orang yang ahli memiliki apa yang dihibahkan baginya[16].
Dari pernyataan ini dipahami bahwa orang yang boleh menerima hibah itu adalah ahli milik, yaitu orang-orang yang benar-benar mampu dalam mmelihara atau mengurus harta yang dihibahkan kepadanya. Dengan demikian tidak sah hibah ditujukan atau diberikan kepada anak-anak, dan seumpamanya.  Karena anak-anak dan orang gila dianggap bukanlah orang yang mampu memelihara atau mengurus hartanya.
c.       Syarat harta yang dihibahkan (mauhub), yaitu :
1.      Barang yang mau dihibahkan suci
2.      Mempunyai manfaat
3.      Dapat diserahkan pada waktu aqad
4.      Barang tersebut milik yang sah
5.      Diketahui ukuran dan sifatnya[17]
Dari kelima syarat yang dikemukakan tersebut, dapat dijadikan bahwa harta atau barang yang sah dihibahkan mestilah suci, dengan demikian najis tidak atau tidak boleh untuk dihibahkan. Selanjutnya harta atau barang yang hendak dihibahkan mestilah ada manfaatnya. Barang atau harta yang tidak bermanfaat seperti sehelai rambut tidak boleh dihibahkan. Kemudian barang-barang atau harta yang dihibahkan tersebut sah menghibahkan harta yang masih di tangan orang lain. Dan juga tidak sah menghibahkan harta yang masih milik orang lain. Harta yang dihibahkan mestilah  diketahui ukuran dan sifatnya, hal ini supaya tidak menjadi permasalahan dikemudian hari tentang kepemilikan harta tersebut.

d.      Syarat-syarat sighat (ijab dan qabul)
Sighat atau ijab qabul adalah merupakan pernyataan serah terima antara si pemberi dengan si penerima hibah, yang mana harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.      Bahwa isi ucapan penerimaan sesuai dengan apa yang terkandung dalam penyerahan.
2.      Ucapan penerimaan hibah tidak diselingi dengan ucapan lain
3.      Isi dari sighat tersebut tidak dikaitkan dengan syarat-syarat lain.
Ketiga ungkapan ini merupakan syarat sahnya sighat yang bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan atau permasalahan mengenai harta hibah tersebut, misalnya isi ucapan si penerima tidak sama dengan ucapan si pemberi : “saya berikan sepeda ini”, lalu dijawab sipenerima “Ya saya terima mobil ini”. Apabila terjadi sighat seperti ini, maka sighat tersebut tidak sah. Dengan demikian hibahnya juga tidak sah.

D. Batasan Usia si Penghibah dan Saksinya
Setelah kita melihat uraian-uraian mengenai rukun dan syarat-syarat dalam pelaksanaan hibah terdahulu, dapat dipahami bahwa Fiqh Syafi’i menyamakan hibah dengan jual beli. Dimana syarat dan rukun didalam jual beli juga tidak jauh berbeda dengan syarat dan rukun di dalam hibah.

E. Penarikan Kembali Harta yang dihibahkan
            Dalam hal penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan, terjadi beberapa permasalahan. Hal ini dilihat dari segi kepada siapa barang yang dihibahkan tersebut diberikan. Apakah kepada anak sendiri atau kepada orang lain, kalau penghibahan itu dilakukan kepada orang lain sudah jelas penarikan itu tidak dibolehkan. Ini disebabkan bahwa disaat terjadinya pelaksanaan hibah tersebut, maka terjadi pulalah perpindahan kepemilikan terhadap harta tersebut. Jadi jelas bahwa si pemberi hibah tidak ada keterikatan lagi terhadap apa yang telah diberikannya.
            Namun kalau penghibahan harta itu antara seorang ayah dan anaknya, maka hibah tersebut dapat ditarik kembali sebab keterikatan atau hubungan antara ayah dan anak tidak dapat dipisahkan kecuali antara keduanya berbeda agama.
            Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengenai di atas yaitu tentang penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan orang tua kepada anaknya adalah dibolehkan, hal ini terlihat dari ungkapan beliau sebagai berikut :
Artinya : Syafi’i berkata : Jikalau dihubungkan dengan hadis Taus bahwasannya tidak halal bagi si penghibah untuk menarik kembali apa yang telah dihibahkan, kecuali orangtua terhadap apa yang telah ia hibahkan kepada anaknya[18].
            Ungkapan di atas menjelaskan bahwa bagi semua orang tidak diperkenankan menarik kembali harta yang telah dihibahkan kecuali orangtua kepada anaknya.
            Didalam kitab yang lain juga ditemukan pendapat Imam Syaifi’i yaitu sebagai berikut :
  Artinya : Syafi’i berkata : ia berhak mengambil kembali harta setiap orang yang disebut dengan anaknya secara hakikat atau majaz, seperti anak kandung atau cucunya baik dari pihak anak laki-laki dan anak perempuan, dan tidak boleh menarik kembali hibah yang diberikan kepada orang lain[19].
            Didalam kitab yang lain juga dikatakan bahwa :
 Artinya : Dan jika ia menghibahkan kepada anak atau anak sampai ke bawah boleh baginya mengambil kembali (apa yang diberikannya) berdasarkan hadist[20].
            Dari keterangan-keterangan di atas dapat diketahui bahwa Imam Syafi’i membolehkan orangtua untuk menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak cucunya. Sedangkan jika harta yang telah dihibahkan itu ditujukan kepada orang lain, maka bagi si penghibah tidak boleh menariknya kembali.
            Tetapi kebolehan orangtua untuk menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak atau cucunya juga harus memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu sebagai berikut :
1.      Orangtua harus berstatus merdeka, jika tidak maka dia tidak boleh menarik hibahnya kembali, hal ini dikaitkan dengan penghibah yang menerima kepada budak yang seharusnya untuk tuannya, sedangkan ia adalah orang lain maka tidak boleh menarik kembali pemberian daripadanya.
2.      Yang diberikan itu adalah benda, bukan hutang, jika penghibah memberikan hutang, maka orangtua tidak boleh menariknya kembali.
3.      Benda tersebut berada jelas pada si anak, seandainya benda tersebut telah ditasarrufkan, maka orangtua tidak diperkenankan untuk menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena kekuasaan anak telah terputus sejak harta tersebut ditasarrufkan.
4.      Orang tua tidak berada dalam pengampuan si anak, jika orangtua berada pada pengampuan si anak maka orangtua tidak diperbolehkan menarik harta yang telah dihibahkan.
5.      Benda yang diberikan itu mudah rusak, sepeti telur ayam.
6.      Orang tua tidak menjual benda yang diberikan, jika di menjualnya, maka dia tidak boleh menariknya kembali[21].
Imam Syafi’i selain berpendapat dengan pendapat di atas, juga mengambil sandaran dari hadist Nabi SAW yaitu sebagai berikut :
Artinya : Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bersabda : Tidak halal bagi seorang laki-laki yang member sesuatu pemberian kemudian ditarik kembali, kecuali oleh orangtua terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya[22].

Hadist-hadist di atas inilah yang menjadi sumber dalil dari pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang menarik kembali harta yang sudah dihibahkan kecuali hibah orangtua kepada anaknya atau cucunya.
F. Tujuan dan Hikmah Hibah
             Segala perbuatan yang ditujukan kepada diri sendiri atau orang lain mmepunyai tujuan dan hikmah. Begitu juga halnya dengan perbuatan hibah. Hibah merupakan pemberian berupa harta kepada seseorang yang mempunyai tujuan untuk membersihkan diri, harta  serta menambah amal untuk belaj di akhirat kelak. Selain daripada itu hikmah diberikan hibah tersebut untuk menjaga agar tetap utuh dan bermanfaat bagi yang punya serta bermanfaat bagi orang lain. Pada umumnya harta hibah ini adalah merupakan harta yang mempunyai manfaat. Oleh karena itu bagi orang yang menerimanya akan merasa senang sekali dan akan menimbulkan kasih sayang yang mendalam di dalam hatinya.
            Jika ditinjau dari kemaskahatan umum, perbuatan hibah mengandung nilai-nilai social yang tinggi yang dapat menimbulkan dampak positif baik itu bagi pemberi hibah itu sendiri. Dengan memberikan hibah berarti telah memanfaatkan harta yang telah dianugerahkan Allah kepada hal-hal yang baik dan positif, dengan demikian harta itu tidak mubazir dan sia-sia.
            Rasulullah SAW senantiasa menganjurkan kepada ummatnya ahar sering berbuat kebajikan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid yang berbunyi :
Artinya : Dari Usamah Ibn Zaid dia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW : barang siapa yang mendapatkan kebajikan lalu dia mengatakan kepada orang yang membuat kebajikan itu jazakumullahu khairun (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka cukup besarlah pujiannya itu[23].
            Dari hadist di atas dapat diketahui bahwa Rasulullah memuji kepada orang yang selalu berbuat kebajikan. Dengan tujuan agar ditempatkan ditempat yang layak pada hari kiamat nanti. Seseorang yang memberikan hibah kepada orang lain juga merupakan amal kebajikan yang dapat menunjang aktivitasnya dalam mengabdi kepada Allah SWT.

Daftar Bacaan

[1] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991, cet. 5), h. 13-15
[2] Syamsuddin Muhammad bin Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Juz V Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, Beirut t.t, h. 104
[3] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Jakarta, 1934, h. 462.
[4] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Anda Utama, Jakarta,  1993 h. 360.
[5] Ibid.
[6] Abdul Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. III at-Tijariyah al-Kubro, Mesir, t.t h. 291.
[7] Muhammad Syata ad-Dimyati, I’anat at-Talibin Juz. III, al-Ma’arif, Bandung, t.t h. 142.
[8] Abu Zakaria al-Amsyari, As-Syarqawi at-Tahrir Juz. I, Dar al-Fikr, Beirut, t,t. h. 259.
[9] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Hukum-hukum Fiqh Islam,  Penyebar Buku-buku, Jakarta, Indonesia, h 848.
[10] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, h. 992
[11] Ibid, h. 43
[12] Ibid. h. 91
[13] Abu Husein Muslim, al-Jami’ as-Shahih, Juz. II al-Ma’arif, Bandung, t.t h. 64.
[14] Abdul Rahman al-Jaziri op.cit. h. 291
[15] Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, Juz. II, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, h. 397.
[16] Muhammad Syarbaini Khatib, Al-Igna’, Juz. II, al-Fikr, t.t h. 86
[17] Abdul Rahman al-Jaziri, op.cit, h. 300
[18] Muhammad bin Idris as-Syafi’i , Op.cit. Juz VIII, h. 519
[19] As-Sya’rani, Mizan al-Kubra, Juz I. Maktabah al-Matba’ah mar’i, Kuala Lumpur, Singapura, h. 2
[20]Mahyuddin Ibn Syarfi an-Nawawi, Al-Majmu’, Syarah al-Muhazzab, Jilid XIV, Matba’ah al-Asimah al Halaby al-Qahirah, h. 286.
[21] Abdul Rahman al-Jaziri, op.cit, h. 309
[22] Muhammad Ibn Ismalil al-Kahlany, Subul as-Salam, Juz. III, Dalan, Bandung, h. 90
[23] Ibid, h. 170

Subscribe to receive free email updates: