BAB II
HIBAH MENURUT ULAMA SYAFI’IYAH
A. Biografi Imam Syafi’i
Imam
syafi’I bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn Al-‘Abbas ibn
Utsman ibn Syafi ibn As-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd
al-Muthalib ibn ‘Abd Manaf.[1]
Lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767-820 M), berasal dari
keturunan bangsawan Quraisy dan masih berkeluarga jauh dengan Rasulullah SAW
dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga dari
Rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin Abi Thalib r.a.
Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya meninggalkan Mekah menuju Palestina.
Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian
diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sebagai anak yatim. Saat imam syafi’I lahir,
dua orang ulama besar meninggal dunia, seorang di Baghdad, yaitu Imam Abu
Hanifah (pembangun mazhab Hanafi), dan seorang lagi bernama Imam Malik.
As-Syafi’I
lahir pada zaman dinasti bani Abbas. Tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far
Al-Mansur (137-159 H/754-774 M). Ketika As-Syafi’I mencapai umur 9 tahun, Abu
Ja’far Al-Mansur diganti oleh Muhammad Al-Mahdi (159-169 H/775-785 M) . Dan
pada masa Asy-Syafi’I berusia dewasa, yakni 19 tahun, Muhammad Al-Mahdi diganti
oleh Musa Al-Mahdi (169-170 H/785-786 M). Ia hanya berkuasa satu tahun.
Kemudian , ia diganti oleh Harun Ar-Rasyid (170-194 H/786-809 M). Pada awal
kekuasaan Harun Ar-Rasyid, Asy-Syafi’I berusia 20 tahun. Harun Ar-Rasyid
digantikan oleh Al-Amin (194-198 H/809-813 M), dan Al-Amin digantikan oleh
Al-Makmun (198-218 H/813-833 M).
Pada
usia 30 tahun, Imam Syafi’I menikah dengan seorang wanit dari Yaman bernama
Hamidah binti Nafi’ seorang putrid dari keturunan khalifah Ustman bin Affan.
Dari pernikahannya, ia mendapat tiga orang anak ; satu orang anak laki-laki dan
dua orang anak perempuan. Anaknya yang laki-laki bernama Muhammad bin Syafi’I
yang menjadi Qadhi di Jazirah Arab (w. 240 H).
Kecerdasan
Imam Syafi’I telah terlihat ketika berusia 9 tahun. Saat itu, telah menghapal
ayat qur’an dengan lancar, bahkan sempat 16 kali khatam Al-Qur’an dalam
perjalanannya dari Mekah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab al-Muwaththa’
karangan Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihapalnya diluar
kepala. Imam Syaf’I juga menekuni bahasa dan sastra arab di dusun Badui Bani
Hundail selama beberapa tahun, kemudian kembali ke Mekah dan belajar Fiqh dari
seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekah pada saat itu, yaitu Imam Muslim
bin Khalid Azzanni. Kecerdasan inilah yang membuat dirinya dalam usia yang
sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekah.
Namun
demikian, Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena semakin dalam ia
menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum ia mengerti, sehingga tidak
mengherankan bila guru Imam Syafi’i sangat banyak, sama dengan banyak muridnya.
Meskipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’I lebih dikenal
sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang
ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari
Nashiru Sunnah (pembela sunnah Nabi).
Setelah
6 tahun tinggal di Mesir mengembangkan mazhabnya dengan jalan lisan dan tulisan
dan sesudah mengarang kitab Ar-risalah (dalam ushul fiqh) dan beberap
kitab lainnya, ia meninggal dunia. Rabi bin Sulaiman (murid imam syafi’i)
berkata, “ Imam Syafi’i berpulang ke rahmatullah sesudah shalat maghrib, pada
usia 54 tahun, malam jum’at, bertepatan tanggal 28 juni 819 M”.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Hibah
Kata hibah
diambil dari kata “wahaba” yang artinya melalui atau melewati. Ini dapat
dilihat di dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, sebagai berikut :
من هب ا مسر ور ها مسن يدالى
اخس
Artinya : “Orang
yang berhibah berarti telah lewat bagi yang diliwatkan akannya dari tangan satu
ke tangan lainnya”[2].
Kemudian kata hibah juga dipakai dalam arti memberikan
(pemberian), di dalam al-Qur’an kata hibah juga
ditemukan pada surat Maryam ayat 5, yang berbunyi :
Artinya : “Maka berikankah kepadaku
dari sisi Engkau seorang putra[3].
Di dalam
ensiklopedi Islam dijelaskan defenisi hibah yaitu sebagai berikut:
“Kata hibah
berasal dari Bahasa Arab yaitu “wahaba”, yang menurut bahasa adalah memberi
kelebihan kepada orang lain, baik berupa (harta) ataupun bukan barang (harta)[4].
Sementara hibah
menurut istilah mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Secara
umum adalah pemindahan pemilikan barang kepada orang lain dikala masih hidup,
sedangkan secara khusus adalah pemindahan milik sesuatu yang bukan wajib kepada
orang lain dikala hidup dengan ijab dan qabul bukan karena mengharapkan pahala
atau bukan karena menutupi kebutuhan”[5].
Sedangkan
pengertian menurut syara’ banyak ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i
antara lain :
1.
Abdul Rahman al-Jaziri
mengungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut :
الهبة وهوتمليله
تطوع فى حياة لا لاكرام ولا لاجل ثواب اب او احتيا ج با يجاب و قبو ل
Artinya : Pemberian
barang milik dimasa hidup tanpa untuk mencari kemuliaan dan bukan untuk mencari
pahala atau kebutuhan dengan ijab dan qabul.[6]
2.
Muhammad Syata
ad-Dimyati, memberikan defenisi hibah sebagai berikut:
الهبة هى تمليله
عين بل عوض
Artinya : “Hibah yaitu
memberikan sesuatu dengan tidak memakai tukaran (ganti)”.[7]
3.
Abu Zakaria al-Amsari
juga memberikan pengertian hibah, sebagai berikut:
الهبة هى تمليله
تطوع فى حيا
Artinya : “Hibah yaitu
memberikan sesuatu harta (benda) pada masa hidup”[8].
4.
M. Hasbi Ash Shiddieqy
dalam bukunya Hukum-hukum Fiqg Islam juga menyebutkan bahwa : Hibah adalah
memberikan harta secara suka rela di masa masih hidup kepada seseorang, shah
dengan ada ijab, qabul dan qabdl (menerima barang)[9].
Dari
beberapa defenisi yang telah diuraikan di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa
hibah adalah pemindahan hak milik atau
berupa barang (harta) dari kekayaan yang ada dari seseorang kepada orang lain
dengan sukarela tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Dalam hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Muddatsir ayat 6 yang berbuyi :
Artinya : “Dan janganlah kamu memberi
dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak”[10].
Dari
ayat diatas, jelaslah bahwa pemberian itu harus dengan penuh kerelaan tanpa
paksaan dari pihak-pihak tertentu, dan tidak akan mengharapkan sesuatu imbalan
yang lebih banyak.
Adapun
dasar hukum tentang disyari’atkannya hibah secara umum dapat dilihat di dalam
al-Qur’an maupun hadis, antara lain sebagai berikut :
1.
Dalam surat al-Baqarah
ayat 177 yang berbunyi :
Artinya : “dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir dan orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba
sahaya...”[11]
2.
Surat Ali Imran asyat 92, yang berbunyi
:
Artinya : “kamu sekali-kali tidak
sampai pada kebaktin (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah
mengetahuinya.[12]
3.
Sabda Nabi Muhammad
SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang berbunyi :
Artinya : “Dari
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak halal bagi seorang muslim memberikan suatu pemberian kemudian
menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang menarik kembali apa yang
diberikan kepada anaknya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim[13].
Dari beberapa
dalil yang telah dikemukakan baik di dalam al-Qur’an maupun hadist diatas, maka
jelaslah kita dituntut untuk saling memberi, baik itu melalui sadaqah, hadiah
maupun hibah.
Imam Syafi’i
menganggap bahwa hadiah sama dengan hibah secara umum[14].
Oleh sebab itu harta tentang anjuran untuk saling memberi juga ditujukan kepada
anjuran agar melakukan hibah.
C. Rukun dan Syarat Hibah
Dalam
melaksanakan suatu hal baik itu yang berkaitan dengan Ibadah, Mua’malah dan
juga hal-hal yan lain yang mengandung perbuatan hukum mestilah mempunyai
beberapa rukun, dimana apabila salah satunya rukun tersebut tidak terpenuhi
maka tidak sah melakukan sesuatu tersebut. Begitu juga dengan masalah Hibah ini
mempunyai rukun yang telah ditetapkan terlebih oleh Imam Syafi’i adalah sebagai
berikut :
1.
Pemberi hibah (wahib),
yaitu orang yang akan memberikan hibah.
2.
Harta hibah (mauhub)
yaitu harta yang akan dihibahkan.
3.
Sighat (Ijab Qabul)
yaitu pernyataan serah terima dari wahib kepada mauhublah.
4.
Penerima hibah (mauhublah)
yaitu orang yang akan menerima pemberian hibah tersebut.
Keempat komponen
ini merupakan rukun yang mesti ada dalam pelaksanaan hibah. Apabila satu saja
dari rukun tersebut tidak ada maka pelaksanaan hibah tidak akan terjadi,
misalnya tidak ada ijab dan qabul.
Ijab dan qabul
merupakan pernyataan serah terima antara pemberi dan penerima, contoh : “saya
hibahkan (berikan) kepadamu rumah ini”. “Ya, saya terima rumah ini”. Maka sejak
pernyataan tersebut berpindahlah pemilikan rumah itu dari pemberi kepada
penerima hibah.
Selanjutnya
penulis akan menguraikan tentang syarat-syarat hibah yang mana syarat-syarat
ini lahir dari bahagian-bahagian atau komponen rukun hibah yang telah
disebutkan di atas.
a.
Syarat orang yang
memberikan hibah (wahib)
Sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj,
sebagai berikut :
Artinya
: “Maka disyaratkan terhadap orang yang menghibahkan adalah memiliki, mempunyai
hak untuk mentasarrufkan hartanya”[15].
Dari pernyataan
ini dipahami ada dua pernyataan bagi orang yang akan menghibahkan hartanya :
1.
Orang yang memiliki,
yaitu orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap harta yang dihibahkan, baik
secara hakikat maupun secara hukum, jadi tidak sah menghibahkan sesuatu yang
belum jelas kepemilikannya seperti menghibahkan ikan di laut atau hutan belantara,
dan sebagainya.
2.
Orang yang mempunyai
hak mentasarrufkan hartanya. Jadi orang gila, anak-anak, orang yang masih dalam
perwalian tidak sah atau tidak boleh menghibahkan hartanya.
b.
Syarat orang yang
menerima hibah (mauhublah)
Dalam hal ini
juga tidak jauh berbeda dengan syarat orang yang memberi hibah, sebagaimana
yang diungkapkan juga oleh Muhammad Syarbaini Khatib dalam kitabnya, sebagai
berikut :
Artinya : “dan disyaratkan bagi orang
yang menerima hibah itu adalah orang yang ahli memiliki apa yang dihibahkan
baginya[16].
Dari pernyataan
ini dipahami bahwa orang yang boleh menerima hibah itu adalah ahli milik, yaitu
orang-orang yang benar-benar mampu dalam mmelihara atau mengurus harta yang
dihibahkan kepadanya. Dengan demikian tidak sah hibah ditujukan atau diberikan
kepada anak-anak, dan seumpamanya.
Karena anak-anak dan orang gila dianggap bukanlah orang yang mampu
memelihara atau mengurus hartanya.
c.
Syarat harta yang
dihibahkan (mauhub), yaitu :
1.
Barang yang mau
dihibahkan suci
2.
Mempunyai manfaat
3.
Dapat diserahkan pada
waktu aqad
4.
Barang tersebut milik
yang sah
5.
Diketahui ukuran dan
sifatnya[17]
Dari kelima
syarat yang dikemukakan tersebut, dapat dijadikan bahwa harta atau barang yang
sah dihibahkan mestilah suci, dengan demikian najis tidak atau tidak boleh
untuk dihibahkan. Selanjutnya harta atau barang yang hendak dihibahkan mestilah
ada manfaatnya. Barang atau harta yang tidak bermanfaat seperti sehelai rambut
tidak boleh dihibahkan. Kemudian barang-barang atau harta yang dihibahkan
tersebut sah menghibahkan harta yang masih di tangan orang lain. Dan juga tidak
sah menghibahkan harta yang masih milik orang lain. Harta yang dihibahkan
mestilah diketahui ukuran dan sifatnya,
hal ini supaya tidak menjadi permasalahan dikemudian hari tentang kepemilikan
harta tersebut.
d.
Syarat-syarat sighat (ijab
dan qabul)
Sighat atau ijab
qabul adalah merupakan pernyataan serah terima antara si pemberi dengan si
penerima hibah, yang mana harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Bahwa isi ucapan
penerimaan sesuai dengan apa yang terkandung dalam penyerahan.
2.
Ucapan penerimaan hibah
tidak diselingi dengan ucapan lain
3.
Isi dari sighat
tersebut tidak dikaitkan dengan syarat-syarat lain.
Ketiga ungkapan
ini merupakan syarat sahnya sighat yang bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan
atau permasalahan mengenai harta hibah tersebut, misalnya isi ucapan si
penerima tidak sama dengan ucapan si pemberi : “saya berikan sepeda ini”, lalu
dijawab sipenerima “Ya saya terima mobil ini”. Apabila terjadi sighat seperti
ini, maka sighat tersebut tidak sah. Dengan demikian hibahnya juga tidak sah.
D. Batasan Usia si Penghibah dan
Saksinya
Setelah kita
melihat uraian-uraian mengenai rukun dan syarat-syarat dalam pelaksanaan hibah terdahulu,
dapat dipahami bahwa Fiqh Syafi’i menyamakan hibah dengan jual beli. Dimana
syarat dan rukun didalam jual beli juga tidak jauh berbeda dengan syarat dan
rukun di dalam hibah.
E. Penarikan Kembali Harta yang
dihibahkan
Dalam hal penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan, terjadi
beberapa permasalahan. Hal ini dilihat dari segi kepada siapa barang yang
dihibahkan tersebut diberikan. Apakah kepada anak sendiri atau kepada orang
lain, kalau penghibahan itu dilakukan kepada orang lain sudah jelas penarikan
itu tidak dibolehkan. Ini disebabkan bahwa disaat terjadinya pelaksanaan
hibah tersebut, maka terjadi pulalah perpindahan kepemilikan terhadap harta
tersebut. Jadi jelas bahwa si pemberi hibah tidak ada keterikatan lagi terhadap
apa yang telah diberikannya.
Namun kalau penghibahan harta itu
antara seorang ayah dan anaknya, maka hibah tersebut dapat ditarik kembali
sebab keterikatan atau hubungan antara ayah dan anak tidak dapat dipisahkan
kecuali antara keduanya berbeda agama.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa
mengenai di atas yaitu tentang penarikan kembali harta yang sudah dihibahkan
orang tua kepada anaknya adalah dibolehkan, hal ini terlihat dari ungkapan
beliau sebagai berikut :
Artinya : Syafi’i
berkata : Jikalau dihubungkan dengan hadis Taus bahwasannya tidak halal bagi si
penghibah untuk menarik kembali apa yang telah dihibahkan, kecuali orangtua
terhadap apa yang telah ia hibahkan kepada anaknya[18].
Ungkapan di atas menjelaskan bahwa
bagi semua orang tidak diperkenankan menarik kembali harta yang telah
dihibahkan kecuali orangtua kepada anaknya.
Didalam kitab yang lain juga
ditemukan pendapat Imam Syaifi’i yaitu sebagai berikut :
Artinya :
Syafi’i berkata : ia berhak mengambil kembali harta setiap orang yang disebut
dengan anaknya secara hakikat atau majaz, seperti anak kandung atau cucunya
baik dari pihak anak laki-laki dan anak perempuan, dan tidak boleh menarik
kembali hibah yang diberikan kepada orang lain[19].
Didalam kitab yang lain juga dikatakan bahwa :
Artinya : Dan
jika ia menghibahkan kepada anak atau anak sampai ke bawah boleh baginya
mengambil kembali (apa yang diberikannya) berdasarkan hadist[20].
Dari keterangan-keterangan di atas
dapat diketahui bahwa Imam Syafi’i membolehkan orangtua untuk menarik kembali
harta yang telah dihibahkan kepada anak cucunya. Sedangkan jika harta yang
telah dihibahkan itu ditujukan kepada orang lain, maka bagi si penghibah tidak
boleh menariknya kembali.
Tetapi kebolehan orangtua untuk
menarik kembali harta yang telah dihibahkan kepada anak atau cucunya juga harus
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, yaitu sebagai berikut :
1. Orangtua harus berstatus merdeka, jika tidak maka dia
tidak boleh menarik hibahnya kembali, hal ini dikaitkan dengan penghibah yang
menerima kepada budak yang seharusnya untuk tuannya, sedangkan ia adalah orang
lain maka tidak boleh menarik kembali pemberian daripadanya.
2. Yang diberikan itu adalah benda, bukan hutang, jika
penghibah memberikan hutang, maka orangtua tidak boleh menariknya kembali.
3. Benda tersebut berada jelas pada si anak, seandainya
benda tersebut telah ditasarrufkan, maka orangtua tidak diperkenankan untuk
menarik kembali benda yang telah dihibahkan, karena kekuasaan anak telah
terputus sejak harta tersebut ditasarrufkan.
4. Orang tua tidak berada dalam pengampuan si anak, jika
orangtua berada pada pengampuan si anak maka orangtua tidak diperbolehkan
menarik harta yang telah dihibahkan.
5. Benda yang diberikan itu mudah rusak, sepeti telur
ayam.
6. Orang tua tidak menjual benda yang diberikan, jika di
menjualnya, maka dia tidak boleh menariknya kembali[21].
Imam
Syafi’i selain berpendapat dengan pendapat di atas, juga mengambil sandaran
dari hadist Nabi SAW yaitu sebagai berikut :
Artinya : Dari
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW bersabda : Tidak halal bagi seorang
laki-laki yang member sesuatu pemberian kemudian ditarik kembali, kecuali oleh
orangtua terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya[22].
Hadist-hadist
di atas inilah yang menjadi sumber dalil dari pendapat Imam Syafi’i yang
mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang menarik kembali harta yang sudah
dihibahkan kecuali hibah orangtua kepada anaknya atau cucunya.
F. Tujuan dan Hikmah
Hibah
Segala
perbuatan yang ditujukan kepada diri sendiri atau orang lain mmepunyai tujuan
dan hikmah. Begitu juga halnya dengan perbuatan hibah. Hibah merupakan
pemberian berupa harta kepada seseorang yang mempunyai tujuan untuk
membersihkan diri, harta serta menambah
amal untuk belaj di akhirat kelak. Selain daripada itu hikmah diberikan hibah
tersebut untuk menjaga agar tetap utuh dan bermanfaat bagi yang punya serta
bermanfaat bagi orang lain. Pada umumnya harta hibah ini adalah merupakan harta
yang mempunyai manfaat. Oleh karena itu bagi orang yang menerimanya akan merasa
senang sekali dan akan menimbulkan kasih sayang yang mendalam di dalam hatinya.
Jika ditinjau dari kemaskahatan
umum, perbuatan hibah mengandung nilai-nilai social yang tinggi yang dapat
menimbulkan dampak positif baik itu bagi pemberi hibah itu sendiri. Dengan
memberikan hibah berarti telah memanfaatkan harta yang telah dianugerahkan
Allah kepada hal-hal yang baik dan positif, dengan demikian harta itu tidak
mubazir dan sia-sia.
Rasulullah SAW senantiasa
menganjurkan kepada ummatnya ahar sering berbuat kebajikan, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid yang berbunyi :
Artinya : Dari
Usamah Ibn Zaid dia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW : barang siapa yang
mendapatkan kebajikan lalu dia mengatakan kepada orang yang membuat kebajikan
itu jazakumullahu khairun (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan),
maka cukup besarlah pujiannya itu[23].
Dari hadist di atas dapat diketahui
bahwa Rasulullah memuji kepada orang yang selalu berbuat kebajikan. Dengan
tujuan agar ditempatkan ditempat yang layak pada hari kiamat nanti. Seseorang
yang memberikan hibah kepada orang lain juga merupakan amal kebajikan yang
dapat menunjang aktivitasnya dalam mengabdi kepada Allah SWT.
Daftar Bacaan
[1] Siradjuddin
Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’I, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1991, cet. 5), h. 13-15
[2] Syamsuddin Muhammad bin
Abi ‘Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Juz V Dar
Al-Kitab Al-Ilmiyah, Beirut t.t, h. 104
[3] Departemen Agama RI,
al-Qur’an dan Terjemahannya, Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Jakarta,
1934, h. 462.
[4] Departemen Agama RI,
Ensiklopedi Islam, Anda Utama, Jakarta,
1993 h. 360.
[5] Ibid.
[6] Abdul Rahman al-Jaziri,
Al-fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. III at-Tijariyah al-Kubro, Mesir, t.t
h. 291.
[7] Muhammad Syata
ad-Dimyati, I’anat at-Talibin Juz. III, al-Ma’arif, Bandung, t.t h. 142.
[8] Abu Zakaria al-Amsyari,
As-Syarqawi at-Tahrir Juz. I, Dar al-Fikr, Beirut, t,t. h. 259.
[9] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Hukum-hukum Fiqh Islam, Penyebar Buku-buku, Jakarta, Indonesia, h
848.
[10] Departemen Agama RI,
al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit, h. 992
[11] Ibid, h. 43
[12] Ibid. h. 91
[13] Abu Husein Muslim,
al-Jami’ as-Shahih, Juz. II al-Ma’arif, Bandung, t.t h. 64.
[14] Abdul Rahman al-Jaziri
op.cit. h. 291
[15] Muhammad Syarbaini Khatib,
Mughni al-Muhtaj, Juz. II, Dar al-Fikr, Beirut, 1978, h. 397.
[16] Muhammad Syarbaini
Khatib, Al-Igna’, Juz. II, al-Fikr, t.t h. 86
[17] Abdul Rahman al-Jaziri,
op.cit, h. 300
[18] Muhammad bin Idris
as-Syafi’i , Op.cit. Juz VIII, h. 519
[19] As-Sya’rani, Mizan
al-Kubra, Juz I. Maktabah al-Matba’ah mar’i, Kuala Lumpur, Singapura, h. 2
[20]Mahyuddin Ibn Syarfi an-Nawawi, Al-Majmu’,
Syarah al-Muhazzab, Jilid XIV, Matba’ah al-Asimah al Halaby al-Qahirah, h. 286.
[21] Abdul Rahman al-Jaziri, op.cit, h. 309
[22] Muhammad
Ibn Ismalil al-Kahlany, Subul as-Salam, Juz. III, Dalan, Bandung, h. 90
[23] Ibid, h. 170