Persoalan dakwah merupakan salah satu persoalan ummat Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari kita semua sebab persoalan dakwah merupakan persoalan masa depan ummat Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa perkembangan agama Islam ke seluruh penjuru dunia adalah dibawa dan disampaikan oleh para juru dakwah sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu.
Penyampaian dakwah agama Islam pada masa dahulu tentu akan sangat berbeda dengan pada masa sekarang ini, sebab kondisi dan situasi yang dihadapi pada masa lalu berbeda dengan situasi yang dihadapi pada masa kini. Untuk itu perlu dilakukan semacam evaluasi kritis dan mendasar terhadap penyampaian, metode dan materi dakwah sehingga dapat mencapai dan mengatasi persoalan yang dihadapi ummat islam.
Secara real kita mengakui bahwa DI Jawa Timur dan sekitarnya, ceramah-ceramah agama dalam bentuk Majlis Taklim dan pengajian-pengajian rutin sangat semarak dilakukan dan dihadiri secara antusias oleh para jama’ahnya. Namun seberapa besar dampak positif dari Majlis Taklim dan Pengajian-Pengajian itu terhadap pembentukan seorang muslim sejati, saya kira perlu dievaluasi. Ceramah-ceramah agama tetap dilaksanakan tetapi kualitas ummat tidak mengalami peningkatan, artinya banyaknya pengajian-pengajian tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kualitas ummat Islam.
Persoalan ini saya kira bukan hanya merupakan persoalan para muballigh saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab para para pemimpin dan organisasi Islam (termasuk Muslimat NU) sebab para pengurus dan pemimpin inilah yang menyiapkan sarana dan prasarana dalam pengajian-pengajian tersebut dan bahkan mereka-mereka inilah yang ditugasi oleh jama’ah untuk mencari para penceramah untuk mengisi pengajian. Atas dasar pemikiran di atas, maka diperlukan reorientasi secara kritis terhadap kegiatan dakwah yang selama ini dilakukan, hususnya oleh organisasi Muslimat NU.
Secara umum kegiatan dakwah tersebut sebenarnya secara tersurat telah dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an : Artinya : Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat-nasehat yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya, dan Dialah yang mengetahui siapa yang terpimpin. (Q.S. An-Nahl : 125).
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengimplementasikan dakwah dengan “hikmah, nasehat yang baik dan bertukar pikiran dengan cara yang lebih baik” itu dalam kegiatan kongkrit di lapangan kehidupan kita. Nah di sinilah kita dituntut untuk menentukan strategi, metode, dan pemilihan materi yang tepat, sehingga tujuan dakwah akan terlaksana secara efektif dan berdayaguna secara maksimal.
Tantangan Dakwah Di Era Modern
Globalisasi dan kemajuan dunia modern, telah mempertemukan banyak manusia dengan segala kepentingan, baik dalam bentuk ideologi, etnis dan politik. Hal ini merupakan wilayah dan sekaligus tantangan dakwah Islam yang tak dapat dihindari. Tentu saja tantangan ini, harus direspon dengan dakwah yang bijaksana, simpati, santun dan teladan yang baik. Jika Islam disebarkan dengan caci maki, permusuhan, dan paksaan, maka Islam akan kehilangan rahmatnya dan dijauhi penganutnya.
Era global yang ditandai dengan ledakan informasi telah menjadikan dunia ini sebagai “kampung besar / global vilage”. Dengan teknologi informasi yang serba canggih, tidak ada lagi sekat pemisah antara satu individu dan individu lainnya, di negara mana pun ia berada. Komunikasi yang terjalin tidak hanya dalam bentuk audio tetapi juga audio-visual.
Melalui sistem informasi jaringan, kita dapat mengakses berbagai informasi kapan dan di mana pun. Peristiwa demi peristiwa bisa kita simak secara “live”. Semua sendi kehidupan manusia, bisa kita ketahui, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Koran-koran, majalah, buku-buku, radio, televisi, telepon, internet, dan jenis alat informasi lainnya, bisa kita gunakan dengan mudah untuk berbagai keperluan.
Kemudahan-kemudahan itu tidak hanya berdampak positif dalam membantu mempermudah aktivitas, tetapi juga berdampak negatif. Beragam kejahatan kriminal hampir terjadi di mana-mana. Globalisasi memberi ruang baru tindak kejahatan, seperti pencurian, penodongan, perjudian, pelacuran, perzinaan, pemerkosaan, minum-minuman keras, hingga penggunaan obat-obatan terlarang. Cafe-cafe dan diskotik-diskotik yang menyajikan tarian-tarian erotis para penari malam adalah bagian dari kemunkaran-kemunkaran yang mucul di era konsumerisme dan hedonisme ini.
Ketika sebagian orang kena “virus” konsumerisme dan hedonisme, giliran sikap hidup berikutnya adalah permisifsme. Orang cenderung bersikap “serba boleh” selama menurut pandangannya tidak merugikan pihak lain. Perilaku dan tindakan manusia tidak lagi mengacu kepada norma baik dan buruk, layak atau tidak, sopan atau norak, menurut norma moral dan etika Islam, tetapi yang menjadi ukuran adalah happy atau tidak.
Dengan kondisi demikian maka efek berikutnya yang muncul adalah lahirnya permasalahan kehidupan sosial, budaya, pendidikan, ekologis dan kesehatan. Daftar permasalahannya dapat berupa: Output pendidikan yang rendah, budaya yang lepas dari nilai-nilai santun, hukum yang tak mampu berbuat adil, angka kejahatan yang semakin tinggi (sehingga menurunkan rasa aman masyarakat), kemaksiatan yang semakin terbuka dan merajalela, kejahatan politik yang terang-terangan, sampai pada konflik-konflik horisontal yang terjadi maupun yang ‘diciptakan’. Di sisi ekologis kita juga saksikan terjadinya terus menerus perusakan hutan, pencemaran air, laut dan udara, kesemerawutan tata kota dan lalu lintas, ketidak-mampuan mengelola limbah, tumbuhnya pemukiman liar yang tak terkendali, musim kemarau dan musim hujan yang keduanya mendatangkan bencana akibat kelalaian kita (secara kolektif), dan segudang permasalah lingkungan lainnya. Kondisi yang demikian buruk kemudian diperparah dengan buruknya moral para penelola negara, pemain industri/usaha, termasuk para aparat penegak hukum.
Secara garis besar, tantangan dakwah yang kita hadapi di tengah-tengah masyarakat kita, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Derasnya arus informasi global dengan muatan budaya asing yang sangat kental, sementara masyarakat (ummat) belum siap memfilter informasi yang datang.
- Krisis ekonomi yang melanda masyarakat (ummat) memperkecil peluang belajar, yang artinya memperlambat pembinaan SDM ummat.
- Wawasan masyarakat yang masih sempit membuat mereka mudah dipermainkan oleh issue jangka pendek, lupa agenda jangka panjang. Kepentingan pendidikan bangsa misalnya mudah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat.
Materi Dakwah
Dari penjelasan di atas, maka tantangan dakwah Islam sekarang sangat kompleks. Oleh karena itu, maka materi dakwah yang harus disampaikan kepada ummat, tidak cukup hanya menyangkut ibadah dan akhlak saja, tetapi menyangkut “hablum min Allah dan min al-nas” secara kaffah. Dengan begitu maka strategi dan kegiatan dakwah-pun secara otomatis harus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi.
Pada dasarnya materi dakwah adalah ajaran Islam (QS. Yusuf: 108, Qs. A-nahl: 125) yang memiliki karakter sejalan dengan fitrah manusia dan kebutuhannya (QS. ArRum: 30), Kaamil (sempurna) (Qs. Al-Maidah: 3 dan QS. Al-A’raf 157) Sirah nabawaiyah mengajarkan kepada kita bahwa materi pertama yag menjadi ladasan utama ajaran Islam, yang disampaikan Rasulullah Saw kepada umat manusia adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akhlak mulya, keimanan yang benar, status dan tujuan hidup manusia di dunia, dan tujuan akhir yang harus dicapainya, al-musawah, persamaan manusia dihadapan Allah Swt dan al-'adalah, keadilan yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia dalam menata kehidupannya. Persamaan dan keadilan ini pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari akidah Islam.
Selama ini Islam seringkali dipahami hanya sebagai persoalan ibadah saja, yang pemaknaannya masih terbatas pada pola hubungan hamba dengan Tuhan (vertikal). Sehingga penyebaran dakwah yang terjadi di masyarakat lebih banyak menyoroti persoalan ibadah kepada Allah SWT secara ekslusif, tanpa memaknainya secara luas. Padahal, Islam memiliki spirit pembebasan, yang meniscayakan pola hubungan yang tidak saja vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pola hubungan yang horisontal terhadap sesama manusia. Islam sebagai agama memiliki tanggung jawab sosial agar masyarakat memiliki perilaku sosial yang bertanggungjawab, transparan, dan berkeadilan.
Islam sebagai agama yang membebaskan semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan, kewenang-wenangan, dan kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga Islam tidak kehilangan orientasi horisontalnya dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia. Belum lagi problem sosial tentang maraknya praktik korupsi yang terjadi di masyarakat dan sistem penyelenggaraan negara (birokrasi). Islam yang hanya memiliki orientasi vertikal merupakan karakter Islam yang ekslusif dan tidak memiliki semangat perubahan. Padahal, sejak dari awal, Islam didakwahkan memiliki orientasi kemanusiaan yang sangat kuat agar terjadi keseimbangan sosial dalam masyarakat.
Atas dasar penjelasan di atas, maka yang perlu disadari oleh para pengemban dakwah adalah bahwa akidah yang diajarkan itu bukanlah semata-mata berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah Swt, karena itu merupakan fitrah manusia , akan tetapi menumbuhkan kesadaran yang dalam, bagaimana memanifestasikan akidah dalam ucapan, pikiran dan tindakan sehari-hari. Akidah yang diajarakan adalah akidah yang bersifat “muharrikah”, yang menggerakkan kesadaran sebagai hamba dan sekaligus khalifah Allah fil ardl.
Dengan demikian , orientasi yang dilakukan dalam kegiatan dakwah, di samping pembentukan akidah dan akhlak, isu dan meteri dakwah yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah menyangkut pemenuhan kebutuhan primer sasaran dakwah, seperti sandang, pangan, papan,dan pendidikan. Kenyataan menunjukkan adanya orang atau kelompok orang yang secara rela ataupun terpaksa mengorbankan akidah, akhlak, maupun kehormatan untuk memenuhi tuntutan primernya. Peringatan Rasulullah Saw abad 14 yang lalu, "Kekafiran akan membawa kepada kekufuran", kini mulai terbukti. Ada beberapa contoh di Jawa Tengah tentang bagaimana kedhaifan dan kefakiran dimanfaatkan untuk menyebarkan agama dan memurtadkan umat Islam. Jika basic need (kebutuhan dasar) tidak dapat dipenuhi, maka seseorang akan mudah dipengaruhi oleh mereka yang mampu memenuhinya, meski dalam ukuran yang minimun. Yang pandai memanfaatkan momentum itu adalah kelompok Nasrani. Mereka menggunakan empat jaluar propaganda. Pertama, jalur ekonomi, yaitu dengan memanfaatkan kefakiran seseorang. Kedua, jalur pendidikan, yang meskipun hasilnya baru dapat diraih dalam jangka panjang, tetapi sangat strategis. Ketiga, jalur pelayan masyarakat. Kita tahu bagaimana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berorientasi kesana. Keempat, jalur politik, yang dapat disimak dari sikap mereka terhadap RUUPA, dan lain sebagainya.
Dakwah dalam rangka pembentukan dan pembinaan akidah salimah disertai penanganan kebutuhan primer secara serius dan sungguh-sungguh harus menjadi garapan utama para pengemban dakwah pada saat ini. Dan itu pulalah pelajaran yang dapat disimak dari sirah nabawiyah
Dalam konteks ini, maka materi dakwah ke depan perlu diarahkan kepada tiga hal pokok sebagai berikut :
- Mempertebal dan memperkukuh iman kaum muslimin, sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengarus negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, atau paham-paham yang membahayakan negara, bangsa dan agama. Juga berusaha agar ummat Islam terpanggil untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan mereka atas ajaran Islam.
- Meningkatkan tata kehidupan ummat dalam arti yang luas, dengan menggubah dan mendorong mereka untuk menyadari bahwa agama mewajibkan mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih baik dari hari ini. Ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras serta kesadaran akan keseimbangan hidup dunia dan akhirat.
- Meningkatkan pembinaan akhlak ummat Islam, sehingga memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dengan itu dapat terwujud etos kerja dan ukhuwah islamiyah dalam rangka mewujudkan kerukunan ummat beragama.
Strategi Pengembangan Dakwah
Untuk mewujudkan kegiatan dakwah Islam yang kaffah, maka diperlukan pola dakwah yang kontekstual dan transformatif, yaitu merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, , tetapi juga harus menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat seperti isu-isu pendidikan, korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan problem kemanusiaan lainnya.
Dalam konteks ini, Para juru dakwah memainkan peran penting sebagai penyebar agama dan pengayom masyarakat. Sehingga hubungan antara juru dakwah dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat yang menjauhkan antara keduanya. Inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal untuk menarik simpati dari masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halal-haram, melainkan memberikan spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemuduian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.
Sejarah telah menunjukkan, bahwa juru dakwah pada awalnya merupakan cultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran kyai sekaligus sebagai juru dakwah tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas , dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan .
Berdasarkan fungsi ini, para juru dakwah memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi perubahan sosial melaui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Contoh yang paling konkret adalah ketika KH. Basith mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk Madura. KH. Basith sebagai kyai dan juru dakwah mampu memainkan peran ganda; sebagai ahli agama sekaligus sebagai pendamping masyarakat yang sedang mengalami problem sosial. Ini adalah bentuk dari peran juru dakwah sebagai agen perubahan sosial.
Ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam dakwah transformatif. Pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para juru dakwah sudah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga para juru dakwah tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrowi. Dari aspek materi juga ada perubahan dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi sasaran dakwah yang belum taat. Oleh karena itu, materi dakwah yang inklusif mesti menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif.
Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Para juru dakwah sudah berubah cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan sudah melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.
Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain, karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang kuat.
Keempat, ada wujud keberpihakan pada mustad’afin. Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya semisal kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.
Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyaraat.
Dalam konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasai oleh visi yang benar tentang Islam, pesan moral ibadah, kesalehan sosial, dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan mencerahkan. Di sinilah, para aktivis dakwah (daí) memiliki peranan yang strategis dalam merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (ustadz, daí, kyai). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam di Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.
Untuk mengembangkan materi dakwah sesuai dengan tantangan di atas, maka Muslimat NU secara kelembagaan harus memantapkan posisinya dalam hidmat kerakyatan. Artinya Muslimat NU dalam berkiprah, secara institusional, harus berhidmat kepada konstituennya. Dengan kata lain Struktural Muslimat NU merupakan alat yang diperuntukkan bagi kesejahtraan konstituen supaya memiliki andil dalam menbangun cita-cita bangsa. Untuk itu , Muslimat NU harus mampu memerankan bebrapa posisi sebagai berikut:
Pertama, Muslimat NU harus mampu berperan sebagai payung budaya dan komunitasnya yang memiliki pilihan politik beragam. Dengan posisi ini seluruh anggota Muslimat NU(bahkan simpatisannya) akan terasa “et home” di dalamnya, meskipun pilihan politiknya berbeda. Dari sini diharapkan seluruh komponen Muslimat, mulai dari elite dan warganya tetap memiliki solidaritas yang tinggi untuk berhidmat bagi kemajuan jam’ah dan jam’iyah Muslimat NU.
Kedua, Muslimat NU memposisikan diri sebagai perajut, penghubung dan pemersatu baerbagai jaringan social yang telah ada di Muslimat NU, baik komponen pendidikan, pertanian, nelayan perdagangan dst. Dalam tingkat tertentu Muslimat NU dapat menjadi fasilitator bagi usaha keluar maupun ke dalam, untuk kesejahtraan Jama’ah Muslimat NU. Dengan kata lain organisasi ini dapat bertindak mengkoordinasi, mengusahakan jaringan-jaringan untuk kesejahtraan jama’ah. (Sesuai amanat anggaran dasar dan rumah tangga, dan amanat Muktamar)
Ketiga, Mualimat NU berposisi sebagai lembaga kontrol terhadap negara atas ketidak adilan kebijakannya, dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan bangsa yang mempengaruhi hajat orang banyak. Posisi ini harus diperankan jika negara telah mendlalimi warganya.
Jika posisi ini dapat siperankan dengan maksimal secara baik, maka Muslimat NU akan berwibawa dan diapresiasi dengan baik oleh seluruh warganya, sebab secara instutusional, Muslimat akan memiliki andil kepeloporan bagi terbentuknya masyarakat adi dan sejahtra di ranah kebangsaan.
Strategi ini, memerlukan usaha sungguh-sungguh dan ketulusan yang tinggi, sebab paradigma ini agak berbeda dengan tradisi yang selama ini berjalan. Jika selama ini Muslimat NU digunakan dan dieksploitasi oleh figure-figur elite NU ditingkat pusat dan daerah untuk mendukung kepentingan politik para elite tersebut, maka dengan strategi ini Muslimat harus menjadi alat menyejahtrakan jama’ahnya, terutama yang marginal dan mustadl’afin.
Selanjutnya pada tingkat praksis ada lima ‘Pekerjaan Rumah’ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.
Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.
Kedua, Muslimat NU perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.
Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions, speak louder than word.
Keempat, media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air.
Kelima, merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria.
0 Response to "Kontekstualisasi Materi Dakwah"
Post a Comment