Penelitian ini berjudul Hak Politik Perempuan Perspektif
Islam dalam kajian Tafsir Mawdû`î, Sementara ini, pandangan yang
berkembang dalam masyarakat, masih terjadi dua kutub yang berseberangan. Satu pandangan menyatakan perempuan harus di
dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik dan
tidak boleh berpolitik. Pandangan lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan
untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang
politik. Hal tersebut terjadi karena belum difahaminya konsep tentang hak
politik perempuan secara murni, juga karena dalam memahami teks ayat al-Qur`an
masih bias jender.
Perbedaan
pandangan tersebut terkait dengan perbedaan dalam memahami sumber-sumber ajaran
Islam terutama ayat al-Qur`an
yang berbicara tentang politik. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi
kejelasan bagaimana sebenarnya hak politik perempuan dalam Islam dengan kajian
Tafsir Mawdû`î, diharapkan masyarakat akan memahami dan tidak menganggap
tabu terhadap perempuan yang terjun di dunia politik.
Langkah-langkah
yang ditempuh dalam penelitian ini, sesuai dengan metode mawdû`î yang
banyak digunakan penulis, diawali dengan melakukan identifikasi dan
klasifikasi ayat-ayat tentang politik dalam al-Qur`an, kemudian dilakukan
analisis mendalam terhadap ayat yang berhubungan dengan politik tersebut dengan
disempurnakan dengan hadis-hadis yang berhubungan dengan hak politik perempuan.
Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa perempuan
mempunyai hak dalam berpolitik menurut Islam. Laki-laki dan perempuan
berkewajiban untuk amar makrûf nahî munkar melalui beberapa cara
termasuk diantaranya dengan media politik Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam
hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun
demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan
dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.
Masalah perempuan
tampaknya akan menjadi persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya
pencarian solusi bagi keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah
keberadaan perempuan, melainkan membangun kembali, khususnya berkenaan dengan
isu kodrati yang mengakibatkan perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang
memprihatinkan.
Tidak mustahil
apabila ada sebagian kalangan yang menganggap keterlibatan perempuan dalam aktivitas politik tidak mencerminkan sosok
perempuan ideal dalam Islam. Hal itu karena kuatnya asumsi masyarakat tentang
pembagian peran perempuan bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah.
Demikian pula, wacana pemimpin
perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal
ini terjadi karena satu sisi ditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara
tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada
yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah
perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan
untuk menjadi pemimpin. Mengenai perempuan berpolitik terdapat
dua pendapat ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
a. Perempuan
berpolitik dilarang.
Pendapat yang melarang perempuan
berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut:
1.Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki
menjadi pemimpin atas perempuan, karena
Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34).
Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288).
Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS.
Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi
menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada
perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang
akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
3 .Sebagian kitab
tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya,
pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki
lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir
Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah
(asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal)
laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql),
kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah
al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh
karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah),
persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh
menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah laki-laki, demikian juga
Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan
penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.
b. Bolehnya Perempuan berpolitik
Sedanmgkan
pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya sebagai berikut
:
1. Pernyataan al-Qur’an tentang orang-orang
yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong atau
ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan
mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71). Sesungguhnya aku
menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an surat al-Naml/27:23),
seorang perempuan adalah Ratu Balqis yang memerintah di negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak
akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan” perlu
diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk hadis ahad. Kalaupun
dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada konteks pengucapan Nabi yang
berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas,
patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan
berpolitik, sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam
berpolitik dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti
secara cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis akan
memaparkan beberapa hal, sehingga dapat dipahami secara tepat.
Pertama tentang surah al-Nisa’ ayat 34 :
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم…
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan
dari sebagian harta mereka…”
Kata الرجال itu umum, النساء
juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada
sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah
laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.
Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah
naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4: 2202).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn
berarti laki-laki sebagai penjaga,
penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang
bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu
tafsir dibuat yang sangat merendahkan
kedudukan kaum perempuan. Berbeda dengan mufassir
terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
Menurut Fazlur Rahman, laki-laki
adalah bertanggung jawab atas perempuan
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena
mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki
melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat
berdiri sendiri dan memberikan sumbangan
bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan
berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the
Quran, terj. Anas Mahyuddin: 72)
Sedangkan pendapat
Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa
superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan,
tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki,
sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan
memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak
menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran and Woman: 73).
Demikian juga Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam
realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan
domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya
unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada
perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif,
seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya
akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan
semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. (Ashgar Ali
Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi:.179).
Demikianlah
diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap
surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada,
maka yang terlihat sekarang posisi kaum
laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas
masing-masing individu.
Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada
laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki
peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
Dalam surat lain disebutkan, yaitu surat Al-Baqarah/2: 228 :
… وللرجال عليهن درجة…
“…Dan bagi laki-laki
(suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”
Derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat
ini berhubungan dengan masalah talak,
karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai
hak, bukan masalah politik dan kepemimpinan.
Disamping itu kata الرجال pada ayat tersebut
menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas
tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi
daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر
بالمعروف عليهن درجة, karena jika
demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi
daripada perempuan.” (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif
Al-Qur`ân: 149-150).
Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata
ال
dalam الرجال menjadi نعت atau بيانkalau ال menjadi بيان berarti لتعريف
الحضور menunjukkan yang datang, bukan
jenis, kalau ال
menjadi نعت
berarti للعهد menunjukkan pembatasan. (Jamal al-Dîn bin
Hisyâm al-Ansârî, Mugnî al-Labîb,: 49). Dari sini menjadi jelas bahwa, laki-laki
dalam surat al-Baqarah ayat
228 berarti tidak semua laki-laki,
tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Sedangkan menurut Al-Râgib al-Asfihâniy, الرجل
menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun dapat juga perempuan disebut رجلة apabila dalam sebagian ahwalnya menyerupai laki-laki. (Al-Râgib
al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân: 194).
Jadi, ayat 34 dari surat al-Nisa` bersifat fungsional, artinya laki-laki
bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang
berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan,
tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan
memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena
kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan menunjukkan fenomena yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil
pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 %
perempuan Indonesia
harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat kenyataan
ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto
sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau
keluarga.(Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,
h. 10, kol.5-9)
0 Response to "Hak Politik Perempuan Perspektif Islam"
Post a Comment