Bagaimana caranya shalat Ghaib ? [Jabir Al-'Adl, Belanda]
Jawaban
Shalat Ghaib sama caranya dengan shalat jenazah atas mayat yang hadir di hadapan kita. Karena itu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan berita kematian Najasyi, beliau menyuruh orang-orang agar menuju tempat shalat. Lalu dibuatnya beberapa shaf shalat dan bertakbir empat kali sebagaimana biasanya.
Tetapi perlukan shalat ghaib dilakukan bagi setiap mayat ? Masalah ini menjadi perselisihan ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat perlu dilakukan bahkan sebagiannya menganggap perlu dilakukan setiap petang dengan niat ditujukkan kepada setiap muslim yang wafat pada hari itu, dari jihat timur sampai barat. Menurut sebagian lainnya, shalat ghaib perlu dilaksanakan bila diketahui mayat tersebut belum dishalatkan. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa mayat yang perlu dishalatkan itu ialah mayat yang berjasa kepada kaum muslimin, umpamanya ilmu bermanfaat atau jasa lainnya. Maka pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat ghaib perlu dilakukan bagi mayat yang belum dishalatkan.
Alasannya, pada masa Khulafa' al-Rasyidin, banyak orang-orang berjasa dari kalangan muslimin meninggal dunia, tetapi tak seorangpun ada yang disahalat ghaibkan, sebab pada prinsipnya pelaksanaan suatu ibadah harus menunggu perintah (tauqif) sampai ada dalil yang memerintahnya.
[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, Gema Risalah Press, hal 125-126]
Kedua :
Saya salinkan secara ringkas penjelasan dari Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dalam kitab Ahkaamul-Janaa'iz wa bid'ihaa.
Barangsiapa yang meninggal di suatu negeri dan ternyata tidak ada orang yang menshalatinya, maka hendaklah sekelompok kaum muslimin menshalatinya secara ghaib.
Tapi ada pendapat lain mengatakan, "Bukanlah merupakan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan shalat ghaib. Sebab, terbukti telah banyak dari kalangan muslimin yang mati di negeri lain, namun beliau tidak menshalatinya. Memang benar ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menshalati secara ghaib raja Habasyah". Dan mengenai ini muncul tiga pendapat para ulama.
Sementara itu, yang menjadi pilihan bagi sebagian penyelidik di kalangan madzhab Syafi'i adalah seperti yang saya kemukakan berikut. Al-Khithabi mengatakan dalam Ma'alimus-Sunnan. "An-Najasyi adalah seorang muslim. Dia telah beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membenarkan kenabiannya. Hanya saja ia merahasiakan ke-Islamannya. Dan apabila seorang muslim meninggal maka wajib bagi kaum muslimin lain menshalatinya. Termasuk bila yang mati itu berada di tengah-tengah masyarakat kafir dan tidak ada yang menshalatinya. Oleh karena itu, Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan dirinya untuk menshalatinya, disamping beliau adalah sebagi Nabi dan panutan bagi umatnya juga karena beliau adalah walinya dan lebih berhak atas mereka". Dan ini, wallahu 'alam barangkali yang menyebabkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan dan menganjurkan untuk menshalati mayat secara ghaib.
Atas dasar inilah, apabila seorang muslim meninggal di suatu negeri dan telah dishalati oleh sejumlah penduduk setempat maka tak ada keharusan bagi penduduk negeri yang lain untuk menshalatinya secara ghaib. Terkecuali, jika diketahui di negeri tempat orang meninggal itu tidak ada orang yang menshalatinya atau karena adanya suatu halangan, maka merupakan ajaran As-Sunnah untuk menshalatinya sekalipun jaraknya sangat jauh.
Diakhir penjelasannya, Al-Imam Al-Albani menjelaskan sbb.
Sebaliknya, kita temui pendapat yang mendukung tidak disyariatkannya melakukan shalat ghaib setiap ada seseorang meninggal. Mereka beralasan bahwa ketika para Khulafa Ar-Rasyidin meninggal, juga yang lainnya, kaum muslimin tidak melakukan shalat ghaib atas mereka. Kalau saja mereka melakukan shalat ghaib, pastilah akan diriwayatkan kepada kita lewat pemberitaan yang mutawatir.
Kenyataan sebaliknya adalah apa yang banyak dilakukan kaum muslimin di masa sekarang, yang sering melakukan shalat ghaib bagi setiap orang yang meninggal di tempat lain. Terlebih lagi bila yang mati itu orang terpandang atau mempunyai kedudukan. Padahal boleh jadi, mereka hanya bersandar pada kenyataan bahwa misalnya yang mati adalah seorang politikus yang tidak diketahui sejauh mana pengabdiannya bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Atau sekalipun orang itu meninggalnya di Tanah Haram, yang dishalati oleh ribuan muslimin di hadapan Ka'bah (misalnya meninggal pada musim haji, penj). Dari kenyataan ini dapatlah dipastikan akan bid'ahnya apa yang dilakukan kebanyakan orang di masa kini yang sangat jauh menyalahi dan menyimpang dari ajaran As-Sunnah serta apa yang dilakukan kaum Salaf, radhiyallaahu 'anhum ajmain.
[Ahkaamul-Janaa'iz wa Bid'ihaa, edisi Indonesia Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, oleh Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Gema Insani Press, hal 95-98]
Jawaban
Shalat Ghaib sama caranya dengan shalat jenazah atas mayat yang hadir di hadapan kita. Karena itu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan berita kematian Najasyi, beliau menyuruh orang-orang agar menuju tempat shalat. Lalu dibuatnya beberapa shaf shalat dan bertakbir empat kali sebagaimana biasanya.
Tetapi perlukan shalat ghaib dilakukan bagi setiap mayat ? Masalah ini menjadi perselisihan ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat perlu dilakukan bahkan sebagiannya menganggap perlu dilakukan setiap petang dengan niat ditujukkan kepada setiap muslim yang wafat pada hari itu, dari jihat timur sampai barat. Menurut sebagian lainnya, shalat ghaib perlu dilaksanakan bila diketahui mayat tersebut belum dishalatkan. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa mayat yang perlu dishalatkan itu ialah mayat yang berjasa kepada kaum muslimin, umpamanya ilmu bermanfaat atau jasa lainnya. Maka pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat ghaib perlu dilakukan bagi mayat yang belum dishalatkan.
Alasannya, pada masa Khulafa' al-Rasyidin, banyak orang-orang berjasa dari kalangan muslimin meninggal dunia, tetapi tak seorangpun ada yang disahalat ghaibkan, sebab pada prinsipnya pelaksanaan suatu ibadah harus menunggu perintah (tauqif) sampai ada dalil yang memerintahnya.
[Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, Gema Risalah Press, hal 125-126]
Kedua :
Saya salinkan secara ringkas penjelasan dari Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dalam kitab Ahkaamul-Janaa'iz wa bid'ihaa.
Barangsiapa yang meninggal di suatu negeri dan ternyata tidak ada orang yang menshalatinya, maka hendaklah sekelompok kaum muslimin menshalatinya secara ghaib.
Tapi ada pendapat lain mengatakan, "Bukanlah merupakan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan shalat ghaib. Sebab, terbukti telah banyak dari kalangan muslimin yang mati di negeri lain, namun beliau tidak menshalatinya. Memang benar ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menshalati secara ghaib raja Habasyah". Dan mengenai ini muncul tiga pendapat para ulama.
- Riwayat tersebut merupakan aturan syari'at sekaligus sunnah bagi umat Muhammad untuk melakukan shalat ghaib bagi setiap muslin yang meninggal di negeri asing. Pendapat inilah yang dipahami Asy-Syafi'i dan Ahmad.
- Sementara Abu Hanifah dan Malik menyatakan bahwa kasus tersebut bersifat khusus, dan bukan merupakan aturan pensyariatan bagi yang lain.
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Yang benar adalah dilaksanakannya shalat ghaib apabila ada seorang muslim yang meninggal di tempat (negeri) yang tidak ada orang yang menshalatinya. Ini seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menshalati An-Najasyi, karena ia meninggal di lingkungan masyarakat kafir sehingga tidak ada yang menshalatinya. Namun, meski seseorang meninggal di negeri yang penduduknya kafir, selama ada yang menshalatinya, maka tak perlu untuk dishalati secara ghaib. Sebab, dalam keadaan demikian telah gugur hak kewajiban kaum muslimin untuk menshalatinya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya dan sering meninggalkannya. Sedangkan yang makruf, apapun yang dilakukan Nabi adalah sunnah, baik menjalankan maupun meninggalkannya". Mengenai hal ini akan dibahas dalam kesempatan yang lain. Wallahu 'alam
Sementara itu, yang menjadi pilihan bagi sebagian penyelidik di kalangan madzhab Syafi'i adalah seperti yang saya kemukakan berikut. Al-Khithabi mengatakan dalam Ma'alimus-Sunnan. "An-Najasyi adalah seorang muslim. Dia telah beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membenarkan kenabiannya. Hanya saja ia merahasiakan ke-Islamannya. Dan apabila seorang muslim meninggal maka wajib bagi kaum muslimin lain menshalatinya. Termasuk bila yang mati itu berada di tengah-tengah masyarakat kafir dan tidak ada yang menshalatinya. Oleh karena itu, Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan dirinya untuk menshalatinya, disamping beliau adalah sebagi Nabi dan panutan bagi umatnya juga karena beliau adalah walinya dan lebih berhak atas mereka". Dan ini, wallahu 'alam barangkali yang menyebabkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan dan menganjurkan untuk menshalati mayat secara ghaib.
Atas dasar inilah, apabila seorang muslim meninggal di suatu negeri dan telah dishalati oleh sejumlah penduduk setempat maka tak ada keharusan bagi penduduk negeri yang lain untuk menshalatinya secara ghaib. Terkecuali, jika diketahui di negeri tempat orang meninggal itu tidak ada orang yang menshalatinya atau karena adanya suatu halangan, maka merupakan ajaran As-Sunnah untuk menshalatinya sekalipun jaraknya sangat jauh.
Diakhir penjelasannya, Al-Imam Al-Albani menjelaskan sbb.
Sebaliknya, kita temui pendapat yang mendukung tidak disyariatkannya melakukan shalat ghaib setiap ada seseorang meninggal. Mereka beralasan bahwa ketika para Khulafa Ar-Rasyidin meninggal, juga yang lainnya, kaum muslimin tidak melakukan shalat ghaib atas mereka. Kalau saja mereka melakukan shalat ghaib, pastilah akan diriwayatkan kepada kita lewat pemberitaan yang mutawatir.
Kenyataan sebaliknya adalah apa yang banyak dilakukan kaum muslimin di masa sekarang, yang sering melakukan shalat ghaib bagi setiap orang yang meninggal di tempat lain. Terlebih lagi bila yang mati itu orang terpandang atau mempunyai kedudukan. Padahal boleh jadi, mereka hanya bersandar pada kenyataan bahwa misalnya yang mati adalah seorang politikus yang tidak diketahui sejauh mana pengabdiannya bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Atau sekalipun orang itu meninggalnya di Tanah Haram, yang dishalati oleh ribuan muslimin di hadapan Ka'bah (misalnya meninggal pada musim haji, penj). Dari kenyataan ini dapatlah dipastikan akan bid'ahnya apa yang dilakukan kebanyakan orang di masa kini yang sangat jauh menyalahi dan menyimpang dari ajaran As-Sunnah serta apa yang dilakukan kaum Salaf, radhiyallaahu 'anhum ajmain.
[Ahkaamul-Janaa'iz wa Bid'ihaa, edisi Indonesia Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, oleh Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Gema Insani Press, hal 95-98]
0 Response to "SHALAT GHAIB"
Post a Comment