Perjalanan
Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat
al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu
sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah al-Quran disodorkan oleh
Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm
(pengetahuan) dan qudrah (kekuasaan) Tuhan meliputi dan menjangkau,
bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak
terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum
empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja
menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya,
kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat
dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui
oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh
beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik
bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum
alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan
oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak
peristiwa ini.
Memang,
pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah
yang ditempuh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya:
“Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu,
uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai
kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh al-Quran.
Salah
satu hal yang menjadi pusat pembahasan al-Quran adalah masa depan ruhani
manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj
merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti
jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan al-Quran, baik
dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh
bagian pertama al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai
pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam
bagian kedelapan sampai keempat belas, al-Quran menekankan pembangunan manusia
seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima
belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai
tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil
(manusia sempurna). Dan karena itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan awal
bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah
para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah
perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut
sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan
tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian,
kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan al-Quran,
sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala
sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam
as-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam al-Quran adalah uraian
yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat dipahami
dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh al-Biqai’i. Dengan demikian, maka
pengantar uraian peristiwa Isra’ adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan
an-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa
lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan
hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang
bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada
sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi
enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau
bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang
dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit.
Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang
penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang
berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa
sang ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, telah
menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu
anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu
ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara
mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh
seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah
dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar
keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih
sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena
manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah “bagaikan lebah, tidak
makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak
menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang
dihasilkan lebah itu.”
Dalam
cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama
surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman:
Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu
janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya. (QS an-Nahl, 16: 1)
Dunia
belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan
“telah datang ketetapan Allah,” mengapa dinyatakan-Nya juga “jangan meminta
agar disegerakan datangnya”? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar
bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga
kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali
tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia
tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya
dalam surat pengantar ini dengan kalimat:
Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya “kun” (jadilah), maka jadilah
ia (QS an-Nahl, 16: 40).
Di
sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak
mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda
padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan
para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya,
ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang
dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang
Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut al-Quran,
mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan
sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut al-Quran. Apa yang
diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau
berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang
mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan
filosofis.
Bahwa
sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat
dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. “Cahaya yang terlihat sebelum
terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula
penyebab telontarnya peluru,” kata David Hume. “Ayam yang selalu berkokok
sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar,” kata al-Ghazali jauh
sebelum David Hume lahir. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke
C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa
pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B,” demikian
kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau
demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali “a summary
o f statistical averages” (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga,
sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan
“kebetulan” dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu
kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa
semua apa yang terjadi diwujudkan oleh “superior reasoning power”
(kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa al-Quran, “Al-’Aziz
Al-’Alim“, Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang
ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu
dengan firman-Nya:
Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di
bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak
menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka
dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS an-Nahl, 16: 49-50).
Pengantar
berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa.
Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika
menceritakan peristiwa Isra’ ini,
Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa
untuk kebaikan. dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS al-Isra’, 17:11).
Ketergesa-gesaan
inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang
mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang
bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan
(c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari
segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang
peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, dalam surat Isra’ sendiri, berulang kali
ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus
diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut:
Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak
mengetahuinya (QS
an-Nahl, 16: 8);
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS an-Nahl, 16: 74); dan (QS
al-Isra’. 17: 36)
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.
Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya:
Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan
maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut;
karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan
dimintai pertanggungjawaban (QS al-Isra’, 17: 36).
Apa
yang ditegaskan oleh al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini
diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika
kenamaan Prancis, menyatakan: “Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan
kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak
pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu
segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun.” Sementara itu, teori Black
Holes menyatakan bahwa “pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai
3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia.”
Kalau
demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau
tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini;
kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka
tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara “ilmiah” menjadi tidak
ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari
ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan
eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat
dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra’ dan Mi’raj hanya terjadi
sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan
eksperimentasi.
Itulah
sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: “Seseorang
harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu.” Dan itu pula
sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: “Saya terpaksa menghentikan
penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya.” Dan itu
pulalah sebabnya mengapa “oleh-oleh” yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra’
dan Mi’raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana
terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita
percaya kepada Isra’ dan Mi’raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang
terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu
diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum
al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya
peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak
mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman:
Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan
dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran)
mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka
tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang
berbuat kebajikan.
(QS an-Nahl, 16:127-128). Inilah pengantar al-Quran yang disampaikan sebelum
diceritakannya peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Agaknya,
yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra’ dan Mi ‘raj
terjadi, tetapi mengapa Isra’ dan Mi ‘raj.
Seperti
yang telah dikemukakan pada awal uraian, al-Quran, pada bagian kedelapan sampai
bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai
klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar
pada pribadi hamba Allah yang di-isra’-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta
nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam
kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat al-Isra’), ditemukan
sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama,
ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat QS al-Isra’,
17: 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan
Mi’raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk
mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia,
sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan
oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena
ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang
menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di
bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta
yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang
Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka
tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang
tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia
melaksanakan shalatnya.
Shalat
juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan
hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya,
sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang
Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral,
apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat
dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat
juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya
yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak
keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli,
juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan:
“Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta
disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita
telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.” Dan, untuk
diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan
agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas
hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan,
menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang
pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX
ini.
Apa
yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan al-Quran yang ditemukan
dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra’ dalam QS an-Nahl, 16: 26. Di
situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan
dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan
mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan
datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS an-Nahl,
16: 26).
Kedua,
petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang
menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah:
Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka
menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka
sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan
negeri itu sehancur-hancurnya (QS al-Isra’, 17: 16).
Ditekankan
dalam surat ini bahwa
“Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah
saudara-saudara setan” (QS
al-Isra’, 17: 27).
Dan
karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada
lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu
tidak menjadi tercela dan menyesal. (QS al-Isra’, 17: 29).
Bahkan,
kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga
dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya
tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima
kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat
al-Isra’ ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan
shalat:
Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya. (QS al-Isra’, 17: 110).
Jalan
tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi,
pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan
dengan “jalan tengah” itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang
gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim,
yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun
bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan
ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan
masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan
tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa
mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan
firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, “Hendaklah tiap-tiap orang
berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing.” Tuhan lebih mengetahui
siapa yang lebih benar jalannya (QS al-Isra’, 17: 84).
Akhirnya,
sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat
yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:
“Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi
Tuhan).” Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila
disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil
bersujud (QS
al-Isra’, 17: 107).
Itulah
sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing
dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat an-Nahl, dan surat
al-Isra’ sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj
ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang
adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta
ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus
mengabdi kepada-Nya.
(Disadur
dari materi pengajian Ustadz A. Salim dan beberapa sumber dalam situs-situs
internet untuk kepentingan ceramah pengajian)
0 Response to "Makna Isra’ Mi’raj"
Post a Comment