Khutbah Arafah (Bagian II)
oleh : KH Abdullah Gymnastiar
Saudara-saudaraku jangan sampai sepulang haji ini kita termasuk orang yang khianat terhadap amanah yang Allah berikan pada kita. Mengemban amanah menjadi seorang suri tauladan, begitu pula dengan haji yang dijamu oleh Allah. Rasulullah Saw memulai merubah segala dengan memberi tauladan "laqodkana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah".
Sebaik-baik haji yang mabrur adalah haji yang memberi teladan. Bagaimana mungkin merubah bangsa kalau merubah diri sendiri tidak bisa? Bagaimana kita merubah lingkungan? Kita merubah kata-kata saja tidak sanggup. Bagaimana mungkin kita merindukan negeri yang berubah kalau diri kita tidak pernah mengawali seni merubah diri? Keteladanan adalah kekuatan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh menjadi tauladan, dia adalah orang yang amanah terhadap nikmat haji yang Allah berikan.
Saudara-saudaraku, pastikanlah pulang ke tanah air kita menjadi tauladan dalam ibadah. Sehingga setiap saat panggilan Allah tidak pernah kita khianati dan tidak pernah ada waktu shalat yang pernah kita abaikan. Jadikanlah tidak mau shalat sendiri karena Allah memuliakan 27 kali lipat orang yang berjamaah, tapi masjid memberikan tempat mulia yang paling indah bukankah itu rumah Allah.
Saudaraku kalau kita bisa ibadah ajaklah keluarga kita menjadi ahli ibadah, ajaklah sahabat-sahabat kita menjadi ahli ibadah. Tidak inginkah kita melihat rumah tangga kita penuh ketentraman buah dari keberkahan. Ibadah kalau kepada Allah sudah meremehkan, apalagi yang tersisa pada diri kita, pastikanlah saudaraku kita menjadi teladan dilingkungan kita. Jangan sampai ada haji yang pulangnya tidak mengenal shalat, jangan sampai ada haji yang tidak pernah menyentuh masjid, jangan pernah ada haji seluruh keluarganya tidak mengenal sujud. Naudzubillah mindzalik.
Saudaraku, haji yang mabrur adalah haji yang menjadi teladan di dalam akhlak, setidaknya kita seorang haji yang mabrur jangan pernah terlintas pikiran, perkataan, yang menjurus pada perbuatan nista, zina, naudzubillah mindzalik. Bagaimana mungkin orang yang dimuliakan dihadapan para malaikat kalau dia berkata zina, berfikir zina, dan melumuri tubuhnya dengan perbuatan zina, adalah haji yang tertutup. Haji yang awalnya dimuliakan Allah kemudian dia lumuri dirinya dengan perbuatan nista, jauhi saudaraku, jauhi saudaraku apapun yang mendekatkan kita kepada zina. Orang yang zina layaknya dirajam. Naudzubillah mindzalik tidak pernah orang dirajam senista-nista makhluk kecuali diantaranya adalah pezina. Saudaraku jauhi-jauhi apapun yang mendekatkan diri kepada perbuatan nista. Sekarang kalau anak-anak kita dizinahi orang lain, sekarang kalau istri kita dizinahi orang lain, sekarang kalau orang tua kita dizinahi orang lain.
Bahkan jika berzina di luar negeri, jauhilah saudaraku sekuat tenaga dan berhati hatilah terhadap perbuatan fasik itulah yang terlarang dalam ibadah haji. Muslim tapi perbuatannya seperti orang yang ingkar kepada Allah dengan menipu, berdusta dan korupsi itu adalah perbuatan-perbuatan fasik. Pastikanlah pulang dari tanah suci ini tidak pernah rela mulut kita yang tetap basah oleh kemuliaan kita nodai dengan dusta. Dusta tidak akan pernah memuliakan kita sama sekali. Dusta adalah penjara yang membuat kita tidak pernah merdeka menjadi manusia. Ketidak jujuran tidak akan mendatangkan apa pun selain menjadi makhluk yang tidak pernah bahagia. Tidak ada kefasikan saudaraku, pastikan anda disini menjadi orang yang jujur. Perkataan jujur, sikap jujur, biarlah orang menghina kita yang penting kita tidak hina karena ketidakjujuran.
Saudara-saudaraku sekalian, tutur kata kita mencerminkan siapa diri kita. Semakin, kotor semakin tidak bermutu itu menunjukkan siapa diri kita. Maka pastikanlah seorang haji yang mabrur, teladan dalam memilih kata dari sikapnya. Perkataan seseorang, menentukan nilai pribadi seseorang. Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang berbicaranya benar, sedikit bermakna dan bernilai. Sepatutnya seorang haji yang mabrur sangat memilih kata yang akan dia ucapkan. Tidak ada lagi bagi kita kegemaran menjadi orang yang berdebat, mengumbar emosi, memprovokasi, naudzubillah mindzalik.
Seorang haji yang mabrur benar-benar akan menjaga dirinya tidak menjadi bagian dari masalah tetapi menjadi bagian menyelesaikan masalah. Saudaraku tidak usah hiasi rumah kita dengan kata-kata saling menyakiti, bertengkar untuk apa? Bangunan seindah apapun tidak nyaman oleh orang yang berkata kotor dan kasar, untuk apa? Dengan teman-teman dikantor saling menyakiti dengan kata-kata yang menyakiti, alangkah baiknya fal yaqul khairan au liyashmut, (barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam/ HR Bukhari Muslim). Pastikan seorang haji adalah seorang teladan dalam berkata yang baik atau diam.
Dan yang terakhir saudara-saudaraku seklian, adalah salah satu tanggungjawab besar. Yaitu keluarga kita, kita terlalu sibuk mengejar obsesi dan keinginan. Sampai sejauh mana tanggungjawab kita kepada ibu dan bapak kita. Ada orang yang saking sibuk sekolah, sudah sekolah kemudian menikah dan mengurus rumah tangga. Sesudah berumah tangga dia sibuk dengan karir dan bisnisnya. Sampai dia tidak sadar orang tuanya kian kriput, kian tua, kian rapuh, tidak sempat menyampaikan senyum atau salam salam kepada ibu bapaknya. Dia baru sadar ketika orang tuanya telah terbungkus kain kafan.
Berapa banyak biaya yang orangtua kita keluarkan waktu kita kecil, tapi berapa banyak kita mengecup kedua tangannya. Kita hampir tidak punya waktu. Kita tidak tahu orang tua kita sudah terbujur kaku. Wahai saudara-saudaraku seorang haji yang mabrur adalah haji yang bertanggungjawab kepada ibu bapaknya. Bagaimana mungkin anak-anak kita bisa memuliakan kita, kalau kita durhaka kepada orang tua? Tidak ingatkah ibu kita mengandung 9 bulan kita, menghisap darah ibu kita, keluar menyemburkan darahnya. Dua tahun kita menghisap air susu ibu, ayah membanting tulang, memeras keringat, berhutang kiri kanan agar kita bisa tumbuh menjadi bayi yang sehat, anak yang cerdas kita di sekolahkan tetapi apa balasannya ketika kita sudah besar.
Melirikpun jarang, bersilaturahmi tidak ada waktu, apakah seperti ini akhlak kita kepada orang yang paling berjasa saja kita tidak bertanggungjawab? Bukankah kita rindu melihat ibu bapak tersenyum di surga kelak apa yang kita lakukan untuk memuliakannya? Bangkitlah saudaraku kita menjadi anak yang menjadi barisan yang paling depan untuk membahagiakan ibu bapak kita. Tidak akan terbayar pengorbanannya. Lalu kita terima tanggungjawab kepada keluarga kita. Karena orang begitu sibuk bekerja, karena anak-anaknya tumbuh menjadi besar, tidak punya waktu untuk bercengkrama, tidak ada waktu untuk membelai kepala anaknya karena sibuk. Anak kita menjadi besar yang tidak tahu mau kemana dalam hidupnya, tiba-tiba ia menjadi orang yang tertekan, sekarang aib, betapa tidak bertanggungjawab nya kita sebagai orang tua? Kalau tidak menghantar anak-anak dalam mengenal arti hidup. Tiba-tiba sudah persiapkan kita mereka menjadi ahli surga.
Saudara-saudaraku, kesuksesan tidak berarti menjadi kaya, atau karir yang menjulang tinggi di kantor. Justru itu cobaan kita. Mengapa anak-anak kita merasa tidak punya ayah? Tidak merasa punya ibu, karena kita jarang bertemu dan jarang menyapa. Tidak mau membelai mereka, bukan seperti itu kehidupan manusia mukmin yang baik. Setiap kita lihat wajah anak-anak kita seperti apakah masa depan mereka? Apakah mereka menjadi cahaya di akhirat atau mereka terbenam ke dalam neraka jahanam ? Naudzubillah min dzalik. Kita bertanggungjawab menjadi seorang haji yang mabrur, sehingga bertanggunjawab pula kepada keluarga kita. Harus berbuat apa saja yang disukai Allah. Begitu pula kepada anak-anak kita, agar anak-anak kita bisa mengarungi hidup ini secara benar.
Saudara-saudaraku sekalian, tanggungjawab adalah ciri dari seorang haji yang mabrur. Orang-orang yang disekitar kita, tetangga, orang-orang fakir dan miskin, apa yang kita lakukan? Kalau kita hanya sekedar menghina dan merendahkan? Bukan itu yang seharusnya kita lakukan, kita punya tanggungjawab dari tenaga, harta, pikiran kita, agar kita bisa membantu orang lain menjadi lebih baik Insya Allah.
Andaikata kita bisa melihat orang lain dengan perasaan berhutang: apa yang bisa saya lakukan untuk anak-anak jalanan? Apa yang bisa saya lakukan untuk orang yang cacat? Apa yang bisa saya lakukan untuk orang-orang yang miskin? Yakin kita merasa berhutang, semakin kita bertanggung jawab. Maka semakin berarti hidup kita itulah haji yang mabrur.
Haji yang kehadirannya bagai cahaya matahari menerangi yang gelap, menumbuhkan yang layu, menyuburkan yang humus dan gambut. Seharusnya haji mabrur adalah kekuatan yang bisa membangunkan keluarga dan masyarakat, dimana kehadiran kita, seharusnya orang merasakan manfaat yang luar biasa.Saudaraku sekalian, saudaraku yang dimuliakan Allah di tempat ini kita hutang, hutang kita harus buktikan sepulangnya dari sini, menjadi manusia yang benar-benar bertanggungjawab.
Saudaraku sekalian, ketika kita memiliki anak dan karena kita sulit mencari suri tauladan, kitalah yang tampil menjadi teladan dirumah. Jadikan anak-anak kita sangat memiliki ayah dan ibu seperti kita, jadilah teladan di tetangga kita, sehingga mereka menjadi semangat dan bahagia dengan kehadiran kita di sekitarnya. Jadilah kita teladan dikantor kita walapun kita tidak bisa membagikan harta, kedudukan, karena kita hanya sebagai pegawai biasa, tetapi buatlah orang-orang merasa nyaman dengan kehadiran diri kita, " khairun naas anfa uhum linaas "sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaat. Sebaik-baik haji yang mabrur adalah haji yang paling banyak manfaatnya.
Mudah-mudahan Allah Yang Maha Menatap mengabulkan doa kita ini. Amiin.
0 Response to "Khutbah di Bulan Haji"
Post a Comment