Hanya Iman
Pada suatu pagi hari buta Ali bangun, lalu ia dan istrinya, Fathimah, mencari sesuatu untuk di makan. Akan tetapi, keduanya tidak menemukan sesuatu pun. Ali mengenakan mantel bulu karena cuaca saat itu sangat dingin, lalu keluar mencari sesuatu. Ia pergi menuju pinggiran kota Madinah. Selanjutnya, ia teringat dengan seorang Yahudi yang memiliki lahan pertanian, maka Ali pun segera menuju kepadanya dan langsung masuk ke dalam pintu lahan pertanian yang sempit lagi kecil.
Melihat kedatangan Ali, orang Yahudi itu berkata: “Hai orang Arab, kemarilah dan bantulah aku menimba air. Aku akan mengupahmu untuk setiap timba dengan sebiji kurma.” Timba yang dimaksud berukuran besar, lalu air yang ditimbanya dinaikkan ke punggung unta. Ali bekerja kepada lelaki Yahudi itu beberapa saat hingga kedua tangannya bengkak dan tubuhnya terasa pegal-pegal. Setelah itu orang Yahudi tersebut memberinya kurma sesuai dengan bilangan timba yang telah diangkatnya. Selanjutnya, Ali pulang dengan membawa kurma hasil upah kerjanya. Dalam perjalanannya ia mampir dahulu ke rumah Rasul SAW, lalu berbagi buah kurma dengan beliau. Sisanya yang tidak begitu banyak ia bawa pulang untuk ia makan bersama Fathimah, istrinya, sepanjang hari itu.
Itulah profil kehidupan mereka. Sekalipun demikian, mereka merasakan bahwa rumah tangga mereka penuh dengan kebahagiaan, keceriaan, cahaya, dan kegembiraan. Ali bukanlah orang kaya harta. Ketika hendak meminang Fathimah, Rasulullah SAW bertanya: “Apakah kamu punya sesuatu (maskawin)?” Ali menjawab: “Demi Allah, aku tidak punya apa-apa.”
Rasul SAW bertanya: “Dikemanakankah baju besi Huthamiyyahmu?” Ali melanjutkan kisahnya: “Aku pun menyerahkannya dalam keadaan telah patah-patah, tidak senilai dengan dua dirham pun.” dan beliau menikahkannya dengan maskawin itu. (HR. Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Wahai sahabat…
Jangan engkau turuti hawa nafsumu dengan merongrong keinginanmu yang berlebih untuk mendapatkan seseorang yang ideal menurut pandangan duniamu. Sesungguhnya matahari masih akan terus bersinar bersama sebuah ikatan suci yang dijalin karena Allah. Allah memilih: hendaklah manusia menikahi seseorang karena agamanya, bukan karena harta, kedudukan, nasab, atau pun wajahnya.
Sesungguhnya Hasan dan Husain berayah miskin harta namun takwa, Umar bin Abdul Aziz beribu pemeras susu namun jujur, Imam Abu Hanifah berayah seorang musafir namun zuhud, Imam Ali Zainal Abidin beribu budak namun wara’, Imam Hasan Al Banna berayah tukang jam namun ahli hadits.
Wahai sahabat…
Lihatlah kesudahan dari sebuah rumah tangga yang dibina karena memperturuti hawa nafsunya, dikalangan artis misalnya. Rumah tangga mereka berakhir dengan tragis dan tangis. Karena sejak semula niat mereka tidak lurus. Mereka tidak menganggap bahwa pernikahan itu sesuatu yang sangat sakral. Wahai sahabat, Apakah peristiwa-peristiwa itu tidak membuatmu berpikir?
Wahai ibu, wahai ayah…
Janganlah kalian merongrong anak kalian untuk menikahi seseorang dengan standar materi, karena materi akan sirna bersama putaran roda, bersama tenggelamnya matahari, bersama redamnya ombak di lautan. Apabila sekarang dia cantik atau tampan, maka besok kecantikan atau ketampanan itu akan hilang. Jika hilang, akan dibawa kemana anakmu?!
Apabila sekarang dia kaya raya, maka besok dia bisa miskin. Siapakah engkau yang bisa menebak arah panah rezeki manusia, yang mengatakan “anakku akan tetap kaya hingga maut datang menjemputnya”?
Kebahagiaan sebuah rumah tangga bukan diukur dengan banyaknya harta dan tampan atau cantiknya wajah, tetapi ia hadir bersama turunnya hidayah, cinta kebenaran, dan tulus dalam berkasih sayang. Sesungguhnya hanya iman yang dapat melanggengkan bahtera pernikahan, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
0 Response to "IMAN KEPADA ALLAH DAN PARA NABI"
Post a Comment