Anak adalah amanat Sang Pencipta pada orang tua, keluarga dan masyarakat. Ia harus dibimbing dan dipelihara sebagai aset masa depan. Wajah masa depan sebuah negeri dapat dilihat dari bagaimana kualitas anak-anak masa kini.
Saudaraku, yang namanya anak tidak sebatas anak kecil saja, tetapi juga remaja bahkan dewasa sepanjang mereka masih menjadi bagian dari tanggung jawab orang tuanya (baca: belum menikah). Permasalahan anak bukan permasalahan sepele karena menyangkut tanggung jawab kepada Allah Swt. sebagai Pemberi Amanah. Allah Swt. menjadikan anak sebagai ujian bagi kedua orang tuanya sekaligus sebagai anugerah penerus keturunan dan tabungan kebaikan manakala orang tuanya sudah meninggal.
Kedudukan anak sebagai ujian terjadi tatkala orang tua harus berhadapan dengan bagaimana cara memperlakukan, membina dan membimbingnya agar ia tumbuh menjadi bagian dari generasi unggul. Keunggulan di sini meliputi keunggulan secara moral, keilmuan serta fisiknya dan tidak menjadi generasi yang hanya membebani orang lain.
Tanggung jawab ini menjadi ladang bagi ibu-bapak dalam menanamkan akhlak yang baik sebagai landasan bertindak dan berprilaku ke depannya. Karena itu, Islam sangat menekankan arti penting hubungan positif antara anak dengan orang tuanya sebelum yang bersangkutan berhubungan baik kepada dirinya sendiri dan orang lain.
Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat memengaruhi kualitas mental dan spiritual anak, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial budaya yang berhubungan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku di masyarakat, termasuk di dalamnya pengaruh televisi, buku dan media massa.
Ketiga lingkungan tersebut saling menopang dalam memengaruhi perkembangan dan pembentukan karakter anak. Sebenarnya, lingkungan kedua dan ketiga dapat dikontrol pengaruhnya jika lingkungan pertama yakni orang tua-dalam hal ini keluarga-mampu memaksimalkan perhatiannya terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak.
Kita sangat paham bahwa anak adalah makhluk aktif yang tengah dalam penjelajahan mencari dunianya. Ia membutuhkan pemandu agar ia tidak salah dalam memilih jalan hidupnya. Pemandu itu tidak lain adalah orang tua dan para pendidik (guru). Karena itu, orang tua ataupun guru, sebagai pendidik normal, perlu memahami bagaimana cara menumbuh kembangkan anak, serta memahami pula teknik-teknik bagaimana berinteraksi dengan anak yang sesuai dengan aqidah dan syariat Islam serta fleksibel dengan tuntutan jaman.
Saudaraku, mendidik anak bukanlah sebuah prosedur khusus atau sebuah kursus dengan kurikulum tertentu yang menjadikan anak sebagai peserta wajibnya. Jika cara pandangnya seperti itu, perlakuan kita kepada anak menjadi tidak "manusiawi" lagi. Anak sepertinya harus tumbuh sesuai dengan 'keinginan' orang tua sehingga kreativitasnya terhambat. Padahal setiap anak memiliki potensi yang berbeda.
Masalahnya sekarang, bagaimana para pendidiknya (baca: orang tua dan guru) mampu mendampingi anak menemukan dirinya. Caranya tentu tidak sekaku arena pendidikan formal seperti halnya sebuah kursus, melainkan lewat peristiwa sehari-hari yang mampu memasukkan unsur-unsur pendidikan di dalamnya.
Ada beberapa hal yang dapat kita terapkan saat mendidik anak, di antaranya:
1. Membantu anak berfikir kreatif
Kita bisa melatih anak berpikir kreatif dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu, dan anak diminta untuk memberikan alasan tentang apa-apa yang kita tanyakan. Misal, kenapa kita harus mandi tiap hari. Biarkan anak bereksplorasi dengan jawaban-jawabannya. Jangan menyalahkan jawabannya sekalipun itu salah. Ajaklah anak mengembangkan pikirannya dengan mencari alternatif jawaban lainnya, seperti pertanyaan, "Terus apa lagi?" dan seterusnya.
2. Melatih anak berdikusi
Ketika anak mengungkapkan sebuah pendapat, ajaklah dia untuk menemukan alasan kenapa ia mengungkapkan hal tersebut. Perlihatkan keingintahuan kita terhadap apa yang diungkapkannya. Tapi jangan menggiringnya pada jawaban yang 'seharusnya' atau diinginkan orang tua, seperti dengan menyudutkannya untuk memberikan alasan yang jelas. Hal tersebut akan mengakibatkan anak mencari alasan yang lain yang bisa menyenangkan (memuaskan) orang tua padahal itu bukan alasannya.
3. Menanamkan kebiasaan membaca
Untuk menumbuhkan minat baca pada anak, kita tidak perlu menunggu dia berumur dua hingga enam tahun. Kita bisa melakukannya saat anak masih berusia empat bulan! Tujuannya tentu bukan agar si anak memahami isi bacaan, akan tetapi merangsang aspek-aspek psikisnya. Bukunya pun lebih yang berbentuk buku bergambar yang berwarna warni dan sedikit kata. Hal tersebut penting untuk merangsang kemampuan kognisi, komunikasi, sosial dan afeksi anak. Keikutsertaan anak memegam buku pun akan membuat ia terlibat secara emosional.
4. Menghindari kesalahan memotivasi anak
Membuat anak bersalah ketika ia tidak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua dengan harapan anak termotivasi untuk berbuat lebih baik (baca: menurut orang tua), justru akan membuat anak tidak percaya diri. Demikian juga jika kita membandingkan anak dengan orang lain yang dianggap lebih. Alih-alih termotivasi untuk berbuat seperti orang lain tersebut, anak akan merasakan bahwa dirinya lemah dan tidak berharga. Pendampingan, sikap terbuka dan mau mendengarkan dari orang tua, jauh lebih berharga bagi anak daripada memotivasi dengan cara yang salah.
Semoga Allah Swt. mengaruniakan kita anak yang shalih dan mengaruniakan pula kemampuan untuk mendidiknya secara benar. Wallahu alam bish-shawab
0 Response to "Bahagia Mendidik Anak"
Post a Comment