Persidangan Anggota Militer


PEMBERLAKUAN PERSIDANGAN PENGADILAN UMUM BAGI ANGGOTA MILITER

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Militer Merupakan salah satu lembaga peradilan Indonesia dari empat lembaga lainnya, yakni Peradilan Agama, Peradilan Umum, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Militer ini khusus mengatur mengenai perkara-perkara yang dilakukan oleh para anggota militer, yakni TNI dan Polri. Jika di antara prajurit tersebut melakukan pelanggaran maka prajurit tersebut hanya bisa disidangkan di Peradilan Militer yang para penegak hukumnya juga anggota militer sendiri. Sehingga peradilan lain tidak bisa menembus wilayah tersebut, artinya peradilan seperti Peradilan Umum tidak berhak untuk menyidangkan perkaranya kecuali pada perkara koneksitas. Misalkan, seorang anggota TNI dan pegawai negeri/rakyat biasa bekerja sama untuk melakukan kejahatan. Di sini akan dipertimbangkan, peradilan mana yang harus menyelesaikan perkara tersebut, apakah Peradilan Umum atau Militer. Jika dampaknya lebih cenderung pada masyarakat umum maka Peradilan Umumlah yang bertindak.



B. Arti Pentingnya Tulisan

Dalam penulisan ini mengenai problem penegakan hukum peradilan militer yang terjadi Indonesia, diharapkan para masyarakat mengetahui masalah hukum yang terjadi di Indonesia agar bila terjadi persengketaan dengan anggota militer dapat diselesaikan dengan adil tanpa adanya pembedaan antara masyarakat umum dan anggota militer.

C. Permasalahan

Dari latar belakang di atas sebetulnya ada permasalahan serius mengenai penegakan hukum yang terjadi. Dalam prakteknya, seorang prajurit yang melakukan tindak pidana tidak akan disidangkan pada Peradilan Umum tetapi hanya bisa di Peradilan Militer, karena perkara yang terjadi bukanlah perkara koneksitas. Untuk itu, apakah relevan jika seorang prajurit juga diberlakukan UU yang mengikat masyarakat pada umumnya yakni hukum pidana dan nantinya bisa disidangkan melalui pengadilan umum?



II. PEMBAHASAN

A. Ringkasan Berita

JAKARTA, SELASA - Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Perubahan Terhadap Undang-Undang Peradilan Militer, Andreas Pareira, melihat pemerintah terkesan tidak punya itikad baik dan bahkan ingin mencoba mengulur waktu penuntasan pembahasan revisi UU Peradilan. Salah satu Rancangan Undang-undang tersebut adalah mengenai ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit dapat disidangkan dalam Peradilan Umum. Namun, hal itu dibantah oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Menurutnya pemerintah berpendapat proses perubahan KUHP harus lebih dahulu dilakukan sebagai syarat revisi tadi. Hal itu disampaikan Juwono usai hadir dalam diskusi meja bundar terkait isu pertahanan dan keamanan nasional di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta. Menurutnya, dalam KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit TNI bisa dituntut atau diproses hukum di peradilan umum. Supaya tuntutan umum itu sah berlaku, dalam KUHP harus ada ketentuan seorang prajurit TNI aktif bisa diadili di peradilan umum. Kalau tidak, jika terjadi suatu kasus, maka siapa bisa menangkapnya. tentu polisi tidak bisa sementara Polisi Militer pun sama saja tidak bisa. Jadi harus ada peraturan peralihan mengenai KUHP.

Azas koneksitas yang dituding sebagai bagian dari mekanisme impunitas oleh pegiat HAM, menjadi salah satu agenda perubahan yang diusung DPR untuk mengakhiri fungsi Pengadilan Militer memeriksa perkara yang melibatkan warga sipil. Sikap awal DPR terhadap koneksitas ini cukup keras; bila ada pengakuan dan kewajiban untuk tunduk kepada Peradilan Umum, maka koneksitas tidak lagi diperlukan. Adapun masyarakat sipil mengemukakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selaras untuk mengadili setiap pelanggaran pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI.

Pakar hukum acara pidana T. Nasrullah berpendapat bahwa masyarakat dan pemangku kepentingan di bidang hukum perlu mengubah persepsi atau sudut pandang mereka mengenai koneksitas. Seharusnya tak lagi dilihat siapa pelakunya. Kini, yang harus dilihat adalah siapa yang dirugikan oleh tindak pidana itu. “Kalau merugikan kepentingan umum, maka diadili di peradilan umum,” ujarnya.

Sebagai contoh, jika seorang oknum militer melakukan penipuan atau korupsi, maka sudah selayaknya diadili di peradilan umum. Begitu pula jika seorang sipil membantu desertir militer melakukan tindak pidana, maka diadili di peradilan militer. Selama ini sering terjadi kerancuan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan militer bersama sipil. Pelaku disidik oleh dua penyidik yang berbeda. Oknum miliet disidik Puspom, warga sipil disidik polisi atau kejaksaan. Itu sebabnya, KUHAP mengatur koneksitas.

Latar belakang penyusunan RUU Peradilan Mi liter atas inisiatif DPR itu adalah pandangan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, tidak ada perkecualian termasuk bagi anggota TNI. Dahulu apabila ada prajurit yang melakukan tindakan kriminal, kasusnya akan ditangani oleh Polisi Militer. Namun seiring dinamika yang berkembang saat ini, ada tuntutan apabila ada prajurit TNI yang melakukan tindakan kriminal maka harus ditangani oleh kepolisian dan diproses serta dikenakan hukuman sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

B. Problematika Hukum yang Muncul dan Solusinya

Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa peradilan umum tidak akan mampu mengadili para perwira, TNI, Polisi, dan yang sejenisnya. Jika dilihat, ini sangat dirasa tidak adil bagi masyarakat. Dalam prakteknya, kita bisa lihat bahwa dalam suatu kesatuan, mereka selalu menjunjung tinggi nama baik kesatuannya. Jika terjadi suatu kasus, kadang para atasan tidak mempersoalkannya. Dan jika sampai pada pengadilan kadang hukuman yang diberikannya cenderung ringan. Suatu contoh, jika ada perwira yang menganiaya masyarakat sipil, tidak serta merta kasus itu dapat langsung ditangani bahkan pihak kesatuan berupaya untuk menyelesaikannya secara damai. Berbeda jika kasus itu berada pada lingkungan peradilan umum, pertanggungjawaban mengenai penganiayaan hanya bisa diselesaikan di muka sidang pengadilan.

Hal ini jelas menimbulkan sikap ketidakadilan perundang-undangan mengenai asas berlakunya UU bagi seluruh warga Indonesia. Solusi dari masalah ini tentunya tidak bisa diungkapkan secara langsung. Tidak bisa, jika peradilan umum harus mempunyai wewenang untuk mengadili para prajurit TNI maupun Polri. Sebab, perlu adanya mekanisme yang panjang untuk mengubah ketidakadilan hukum tersebut. Pembenahan terhadap Undang-undang antara KUHP dan Undang-undang Militer dalam hal ini sangat diperlukan meskipun itu memiliki kendala yang besar. Namun pada intinya, jika diberlakukan kesetaraan hukum antara militer dan masyarakat sipil tentunya bisa memberikan hal positif dalam tata perundang-undangan di Indonesia.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Persidangan Anggota Militer"

Post a Comment