Uang Saku

“Pokoknya mulai besok aku mau diberi uang saku seribu setiap hari!” hambur anak pertama saya yang berusia 10 tahun ketika masuk rumah. Wajahnya nampak kesal dan ia tidak bisa menahannya. Ia jadi lupa bahwa ia seharusnya mengucapkan salam ketika masuk. Meski agak terkejut dengan berondongannya yang tiba-tiba tersebut saya berusaha untuk tidak langsung menanggapi. Pelan-pelan saya letakkan koran yang saya baca. Saya harus menanggapinya serius. 


Anak-anak saya memang cenderung ekspresif dalam menyampaikan kekesalannya, pada orang tuanya terutama. Alangkah bedanya dengan jaman ketika saya masih anak-anak dulu, pikir saya. Betapapun kesalnya saya pada ayah atau ibu saya tidaklah mungkin saya akan mengungkapkannya secara terbuka seperti itu. Kami tidak berani. Tapi sekarang….. anak-anak dengan ringan memprotes apapun yang dianggapnya tidak sesuai dengan keinginannya. Dan kamipun berusaha dengan sabar untuk menerimanya.

Kadang-kadang saya mempertanyakan efektifitas metode ‘pendidikan modern’ yang kami lakukan. Apa nggak terlalu longgar ya? Saya berpikir kembali.

“Pokoknya mulai besok aku harus diberi uang saku,” ia kembali menuntut sambil berusaha untuk membuka sepatunya dengan susah payah. Hati kesal memang membuat pekerjaan jadi sulit untuk dikerjakan. 

Ini bukan pertamakalinya ia menuntut untuk diberi uang saku. Ia sudah berkali-kali minta uang saku tapi kami selalu menolaknya. Kami selalu menyampaikan bahwa ia tidak butuh uang saku karena ia telah mendapat makan siang di sekolah. Ia juga mendapat ‘snack’ pada saat jeda sekolah. Ia selalu menjawab bahwa semua teman-temannya selalu membawa uang saku dan hanya dia yang tidak. Ia juga ingin sekali-sekali berbelanja seperti teman-temannya. Tapi ketika ia kami ingatkan bahwa makanan kecil yang dijual di luar sekolahnya tidaklah sehat ia jadi kehilangan argumen. Selama ini kami selalu berhasil mematahkan keinginannya untuk minta uang saku. Tapi sekarang ia memajukan ‘proposal’nya lagi. Lebih keras daripada semula. 

“Masak teman-temanku semuanya diberi uang saku sama orang tuanya. Aku aja yang nggak. Aku nggak mau!” 

Argumen yang sama. Tapi nampaknya ia akan bersikeras kali ini jika saya menyampaikan argumen lama saya. Diam-diam saya mempertimbangkan kembali kemungkinannya untuk memperoleh uang saku.

Selama ini saya selalu menyampaikan bahwa ‘it’s OK to be different’ dan ia tidak perlu harus selalu sama dengan teman-temannya, termasuk tidak membawa uang saku. Ia bisa menerimanya kadang-kadang, meskipun dengan menggerutu. Tapi saya juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mudah. ‘Peer pressure’ terkadang memang sangat kuat dan kita harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. 

‘To be different’ memang bisa menunjukkan ciri pribadi tapi ini juga berarti ‘you don’t belong to us’ alias bisa dikucilkan dari kelompok. Kita bisa merasakannya karena kita juga pernah mengalami hal yang sama. 

Sepanjang masa kanak-kanak dan remaja saya berusaha untuk bisa eksis di antara kawan-kawan dengan segala ‘perbedaan’ yang saya punyai. And it’s not easy. Saya harus menahan diri ketika teman-teman jajan di kantin dan menerimanya sebagai ‘perbedaan’. Not easy, of course. Saya katakan “Tidak, terima kasih!” ketika teman-teman menyodorkan bir, Topi Miring dioplos dengan Cap Kuntul, ‘gelek’ asli dari Aceh, dan berbagai ‘kenikmatan hidup’ yang menjadi ciri kehidupan remaja.

“Tidak…tidak…tidak!” kata saya. Nurani saya bertempur hebat dengan keinginan untuk ‘sekedar’ mencoba dan menyenangkan hati teman. Sungguh tidak mudah but I survived. “But how can you become one of us if you don’t act and do like us ?”

Persoalan klasik ini memang menjadi masalah ketika kita ingin tampil berbeda dengan kelompok dimana kita bergabung. Beberapa kelompok bahkan dengan tegas mengucilkan anggota kelompok yang tidak ‘mematuhi’ norma-norma dan ciri yang berlaku di kelompok tersebut. 

Bagaimana mungkin Anda bisa masuk dalam geng ‘Hell’s Angels’ kalau Anda datang dengan tunggangan Honda bebek? Syukur-syukur kalau Anda tidak ditabrak mereka begitu mendekat dan bilang mau masuk jadi anggota mereka. Beberapa waktu yang lalu saya nonton pemilihan ‘Ratu Funky’ di kota saya sebagai tamu kehormatan dan tak bisa menahan ketawa ketika ada seorang peserta yang diteriaki oleh penonton “Tuhak…tuhak…!” yang artinya ‘Tua….tua..!’. Kebetulan peserta yang satu ini wajahnya nampak ‘dewasa’ dan tidak ‘match’ dengan dandanannya yang ‘funky’. Diam-diam saya menasehati diri saya agar tidak bertingkah dibawah usia saya agar tidak diteriaki siapapun waktu itu. It hurts, you know.

Balik ke masalah anak saya. nampaknya tekanan kelompok sudah demikian kuatnya dan ia sudah tidak tahan lagi menerimanya. Saya tentu tidak ingin anak saya merasa tersisih atau tertekan karena tidak mampu mengikuti permintaannya yang semestinya wajar-wajar saja. Lagipula keinginan ‘to be different’ memang harus muncul dari diri sendiri supaya kuat. Saya tidak ingin ia justru menjadi kehilangan percaya diri karena ‘perbedaan’ tersebut.

“Oke! Mulai besok kamu akan Bapak beri seribu rupiah setiap hari dengan kondisi dan syarat tertentu.” jawab saya akhirnya, tak lupa ‘menyelipkan’ klausa terakhir untuk berjaga-jaga.

Ia masih berdiam diri meski air mukanya telah berubah. Pindah ‘suasana’ dari kesal menjadi gembira memang tidak mudah baginya.

“Ayo, bilang apa..?” sambung saya mengingatkannya akan kewajibannya.

“Terima kasih, Bapak!” akhirnya dan wajahnya pun cair sama sekali. Tentu saja. Bagaimana mungkin kita berterimakasih dengan wajah cemberut.

Tapi ketika hal ini saya sampaikan pada teman saya ia jadi ketawa. “Masih untung anak kamu cuma minta seribu rupiah. Anak saya paling sedikit minta lima ribu rupiah setiap harinya untuk uang saku.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Uang Saku"

Post a Comment