Sebuah Kado

Kado Buat Nti 
Penulis: Melati Salsabila 



Teng ! Dentang jam dinding tua di ruang tamu, menghentakan tidurku. Pukul satu dini hari. 

“Nti ,bangun!” suara hatiku berteriak memekakan telinga. 

“Eh, hooaahhmmm...he-eh” sahutku, cuma beringsut sedikit. Ngantuk. 

“Yuk, katanya mau evaluasi diri, ayo lah...”

Hening sesaat, aku terlelap . 

“Lho, kemarin kan sudah janji sama Mbak Sita” 

Cerewet! Tapi iya sih, aku ingat janjiku pada Mbak Sita, seniorku yang sering memberi ceramah pekanan di musholla kampus. Aku janji mengevaluasi diri, setelah dua hari lalu Mbak Sita berupaya menyelesaikan konflik antara aku dan Maya, sahabatku. 

“Sebentar lagiiii...aja ya, jangan bawel gitu dong!” 

Aku malah mencari letak bantal yang nyaman, dan sesaat kemudian pulas lagi. 

“Hey, bangun! Bangun..bangun..banguuunnnn!!!” 

Hiihh, berisiknya! Akhirnya aku bangun juga. Dengan mata masih menyipit, tanganku mencari-cari kacamata minusku diatas meja, sementara kakiku berusaha menemukan sepasang sandal jepit tua di bawah tempat tidur. Terseok, aku berjalan menuju wastafel di ruang makan. Masih dengan mata digayuti kantuk, kutabrak motor bapak yang diparkir dekat pintu ruang tengah. Gubrakk!! Ups, mudah-mudahan tidak ada yang terbangun. Aku diam, mencoba memastikan. Cuma suara dengkur bapak yang keras terdengar dari kamar depan. Aman. Bbrrr...Air kran yang dingin akhirnya bisa membuat mataku lepas dari kantuknya. 

ooo000ooo 

Kuakhiri sholat tahajudku, dan mulai duduk menekur. Berusaha mengingat-ingat kembali perjalanan hidupku beberapa waktu belakangan. Untuk memudahkan daya ingatku, kubuka juga buku harian serta buku catatan kegiatan ibadah harianku. Hey, hari ini 26 April, pas hari ulang tahunku! Tapi, siapa yang peduli? Aku membatin. Setiap tahun juga sama saja, semua berlalu seperti hari-hari biasa. Bapak dan ibu tidak pernah mengadakan perayaan ulang tahun untuk kami, anak-anaknya. Teman-teman sekolahku sejak SD sampai SMU pun tidak pernah ada yang ingat hari lahirku. Aku juga tidak pernah menghitung-hitung kapan hari yang katanya istimewa itu datang. Hhmmm, 19 tahun usiaku kini. 

“Lihat, sholatmu masih bolong-bolong. Puasa ramadhan belum dibayar 4 hari. Puasa senin - kamis nggak pernah. Infak, pas ada musibah kebakaran di kampung sebelah dua minggu lalu, ingat kan kamu cuma menceplung beberapa koin rupiahmu di kencleng musholla. Tilawah quran sejak dua tahun kemarin masih belum khatam dan ikut ngaji di mushola kampus semaunya saja datang....Wah! Ini sih jauh dari kategori baik,” suara hatiku mulai ramai berceloteh. Mendaftar prestasi ibadahku. 

Dari buku harianku, catatan hasilnya juga tidak lebih menggembirakan. Minggu lalu aku merengek minta dibelikan motor bebek pada bapak, dengan alasan capek jalan kaki ke kampus dan supaya cepat kalau di suruh ibu bolak-balik ke pasar. Bapak diam saja, tapi karena aku merengek terus akhirnya bapak marah, karena cicilan motornya sendiri pun belum lunas. Tiga hari aku menghindar bertemu muka dengan bapak, aku juga marah. Dengan Mbak Rie, kakakku, lebih parah lagi. Beberapa kali kami bertengkar soal bersih-bersih kamar dan tugas-tugas rumah lainnya. Aku juga sering beralasan ada ujian dan sibuk belajar kalau Ibu menyuruh menyediakan teh untuk tamu yang datang. Bisa ditebak, Mbak Rie yang jadi tumbalnya. Ah, betapa kekanak-kanakannya aku ini! Manja, keras kepala dan malas. 

Aku juga sudah mulai berani menelantarkan kuliahku, tak heran beberapa mata kuliah yang kuambil semester kemarin cuma dapat nilai pas-pasan. Sering bolos dan TA (titip absen) karena sedang gandrung ikut rapat ini itu, maklumlah setelah tahun kedua kuliah, aku baru dipercayakan ikut bantu-bantu di beberapa kegiatan Senat. Meskipun tidak lebih menempati posisi cecéré alias anak buah, tapi aku jadi terlihat lebih sibuk dari penanggungjawab kegiatannya sendiri. Untung bapak belum sempat menanyakan transkrip nilaiku, biasanya jika aku nagih uang bayaran kuliah, pasti bapak juga akan menagih transkrip nilai semesteranku. Bapak selalu paling perhatian untuk urusan prestasi belajar anak-anaknya. 

Dan yang belakangan, aku “perang dingin” dengan Maya sahabatku. Selama sebulan aku tak menyapanya dan berusaha menghindar darinya. Garing! Dia sering menasehatiku dan kerjanya cuma menyuruh-nyuruh, bossy banget! Dia bilang, “Nti, kamu jangan suka gosip” Lha, aku kan cuma ingin konfirmasi isu-isu hangat yang marak beredar, gosip Bayu Ketua Senat yang lagi kesengsem berat sama Dewi sekretarisnya atau Pak Pujo SekJur yang tiba-tiba pakai mobil BMW padahal sebelumnya cuma Suzuki Carrie mini. Maya juga bilang, “Jangan terlalu dekat gaul dengan laki-laki nanti terjerumus dalam fitnah” Ih, aku kan memang ada perlu sama mereka, dan kalau aku sedikit mengagumi beberapa yang cute boleh dong... Dia juga tak bosan-bosan menagih beberapa tugas di musholla seperti mading dan laporan kegiatan seminar Islam yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, juga soal jilbabku yang model “cekik leher”, lalu soal aku jarang datang ke pengajian kampus juga tidak lepas diungkitnya. Siapa sih dia ini? Lha wong kakakku aja nggak pernah kayak begitu, kok! Aku sewot membela diri sebelum suara hatiku sempat berkomentar lagi. 

“Iya, tapi kamu juga cerita kesana kesini tentang kejelekan Maya. Menjegalnya dengan sengaja lalai membuat tugas dan laporan-laporan. Kirim-kirim email artikel Islam, yang ada ayat dan haditsnya segala ke milis musholla, padahal intinya nggak lebih dari upaya untuk menyindirnya, iya kan?” sergah suara hatiku. 

Wuih, terbongkar deh semua! Wajahku memerah. Selama dua bulan itu aku asyik surfing di website warnet kampus, mencari artikel-artikel Islam, dan kukirim ke milis mushola meng-counter email- email artikel yang dikirim Maya. Kami jadi seperti perang email, balas membalas. Meskipun tidak ada satu hurufpun tulisanku kecuali pesan “Baca deh, artikel ini bagus untuk direnungi” tapi jauh di lubuk hatiku, porsi niatku mengirim artikel-artikel Islam itu lebih besar untuk menyindir Maya, ketimbang berbagi nasehat dengan teman-teman yang lain. Jahat ya... Makanya kemudian Maya berupaya untuk menyelesaikan masalah ini melalui Mbak Sita, senior kami. Karena aku dan dia nggak pernah mau berusaha mencairkan kebekuan diantara kami. 

Aku terus membaca dan merenungi catatan harianku. Sampai tak terasa adzan subuh berkumandang dari surau di belakang rumahku. Beberapa bunyi-bunyian rutin pagi hari juga sudah terdengar, itu tandanya orang rumah sudah mulai beraktivitas. Kubuka sejadahku lagi, sepertinya kali ini sholat subuhku jauh terasa lebih nyaman. 

ooo000ooo 

Assalamualaikum! May, makan siang di mana? Ngebakso di Pak Tarmin, yuk! Aku yang bayarin. Ada yang mau aku sampaikan ke kamu. Wass. Nti 

Pagi-pagi sekali pesan singkat itu aku tempel di papan pengumuman mushola kampus. Hari ini aku cuma ikut satu mata kuliah, makanya aku bisa berkali-kali datang melongok ke mushola, berharap Maya membalas suratku. Tapi kutunggu sampai lewat dzuhur, belum juga ada balasan. Aku mulai cemas. Ah, Maya benar-benar nggak mau diajak rujuk rupanya. Tapi seharian ini aku memang tidak melihat sosok mungil dengan kerudung pink yang biasanya beredar diseputar koridor kampus, mushola atau di perpustakaan. Akupun segera beranjak pulang. Nanti malam saja aku akan telepon ke rumahnya, pikirku. 

ooo000ooo 

Jarak kampus ke rumahku cuma menghabiskan waktu 20 menit berjalan kaki. Tapi tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena ingin buru-buru menempel pesan itu di mushola dan rencana makan bakso dengan Maya akhirnya pun batal, jadilah perutku gegap gempita ,mengumandangkan lagu lapar. Ah, masak apa ya ibu hari ini. Terbayang tempe mendoan, nasi panas, sambal terasi, ikan goreng, sayur asem dan segelas es teh manis lengkap dengan perasan jeruk nipis kegemaranku. Ibuku pandai memasak, bahan apapun pasti menjadi lezat ditangannya. Tempe mendoan favoritku juga selalu tersedia diantara hidangan lainnya. Begitu perhatiannya beliau padaku, padahal aku sering menghindari permintaannya mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang ringan sekalipun. 

Dari pintu halaman, kulihat rumahku agak ramai. Biasanya sih teman-teman Mbak Rie yang datang. Aku mengucap salam, dan membuka pintu yang terkuak sedikit. Mataku membelalak, terkejut, karena kulihat Maya, Mbak Sita, Fitri, Tiara dan Meili, teman-teman dekatku, sudah berada di ruang tamu. Ibu sibuk menata piring dan hidangan di meja makan, Mbak Rie membawakan es teh manis jeruk nipis untuk teman-temanku. 

“Selamat ulang tahun ya, Nti” 

Bergantian mereka menyalami dan mencium pipiku. Aku masih sedikit terbengong-bengong ketika giliran Maya memberi selamat dan mewakili teman-teman menyerahkan bungkusan kado berwarna biru laut, warna kesukaanku. 

“Heh, jangan salah ya. Persoalan kita belum selesai, Nti!” bisiknya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Mbak Sita. Aku nyengir, segera segala rasa sebalku pada Maya luruh, kami berpelukan erat. 

“Dibuka, kadonya, Nti” pinta teman-temanku. 

Hati-hati kubuka sampulnya. Muncul sebentuk kotak kardus biru dengan kartu ucapan mungil berwarna senada diatasnya. Di dalam kotak itu, terlipat rapi sehelai kerudung berwarna biru laut dari bahan katun halus dengan motif bordir bunga, ukurannya lebih besar dari kerudung yang kupakai sehari-hari. Cantik. 

Bapak tampak sibuk merogoh saku jaket dinasnya, disodorkannya dua buah kunci, lho itu kan kunci motor bapak! 

“Ini untuk kamu, Nti ” 

Aku terkejut. 

“Lalu bapak mau naik apa ke tempat kerja?” 

“Mulai pekan depan, perusahaan menyediakan jemputan mobil untuk karyawannya. Tapi jangan kegirangan dulu, sebab bapak akan memotong 10 persen uang sakumu untuk mengangsur cicilan motor ini dan kamu janji tidak malas-malasan lagi kalau disuruh ibu ke pasar. Ngomong-ngomong, mana, bapak mau lihat nilai semesteranmu yang kemarin?” 

Mukaku merah padam. Tapi hari ini aku begitu bahagia karena orang-orang terdekatku ternyata begitu menyayangi dan memperhatikanku. Kejutan terakhir, ibu datang membawa sepiring penuh mendoan tempe. 

Terima kasih ya Allah, atas limpahan rezekimu dan atas izinMu aku bisa berada ditengah-tengah mereka. Tak ada tekad lain setelah ini, aku harus berubah! 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sebuah Kado"

Post a Comment