Sastra Kado Pilihan Anisha

Penulis : Ade Anita 


Sambil tersenyum, Anisha menunjukkan kartu kecil bergambar tokoh kartun di tangannya padaku.

“Lihat Ma. Temanku ulang tahun besok.” Senyum Anisha megembang, begitu ceria dan tanpa beban.

“Boleh aku datang Ma?” Mata jenaka Anisha menatapku dengan sejuta harapan bergayutan di bola matanya yang bening dan bundar. Aku mengangguk, lebih karena tak ingin menghancurkan kegembiraan hatinya memperoleh undangan yang ditujukan bagi dirinya sendiri. Selama ini, undangan yang sampai ke rumah kami memang tidak ada yang ditujukan untuk dirinya. Meski pada akhirnya Anisha ikut repot mempersiapkan diri menghadiri sebuah acara undangan, meski Anisha pada akhirnya ikut cerewet mengajak orang tuanya bergegas hadir di acara undangan tersebut diselenggarakan. Kali ini, daatang undangan mungil yang bertuliskan hanya nama Anisha di sampul depannya. Isinya pun hanya ditujukan untuk dirinya saja. Tentu saja aku bisa memahami kegembiraan hatinya yang tentu kini telah merasa bahwa kehadirannya selama ini diakui oleh orang lain. Setidaknya pengakuan yang tertuang dengan ditorehkannya nama Ansiha di sampul undangan mungil tersebut.

“Siapa yang berulang tahun Nis?” Aku tahu Anisha yang baru duduk dibangku TK kelas A (dulu lazim disebut Nol Kecil) belum dapat membaca. Tapi setelah mendengar pertanyaan yang diajukan tadi, spontan Anisha memasang raut wajah serius dan membolak-balik undangan di tangannya dengan alis bertaut dan bibir terkatup rapat. Dalam sekejap, wajahnya tiba-tiba sumringah gembira karena menemukan sesuatu yang tertulis di undangan tersebut (entah apa).

“Ohh…. Ini ma… Kakak Bela yang berulang tahun.” Katanya dengan yakin dan senyum lebar. Aku tersenyum.

Lalu kesibukan baru dimulai. Aku dan Anisha mulai mempersiapkan kado apa yang akan dia bawa dan berikan untuk temannya itu. Di pasar, kami berdua laksana seperti turis manca negara. Keluar masuk toko untuk melihat-lihat apa yang sekiranya cocok untuk diberikan. 

Ah. Jujur saja. Daripada banyak memikirkan apa yang akan diberikan untuk Bela, kami berdua sebenarnya lebih asyik melihat-lihat pernak-pernik lucu yang terpajang di berbagai toko yang menjual pernak-pernik kado. Mungkin ini memang sifat perempuan yang senang melihat segala sesuatu yang mungil, menyilaukan mata, menyenangkan pikiran, mencerahkan suasana hati meski sebenarnya sesuatu itu bisa dipastikan hanya memberi manfaat yang sangat sedikit. Alias lebih banyak bersifat mubazirnya ketimbang berdaya guna tinggi. Meski begitu, kami tetap asyik bertukar pikiran dan mengamat-amati segala sesuatunya. Hampir tidak ada satu potong pernikpun yang terlewatkan oleh sepasang mata kami, bahkan bisa dibilang tak ada satupun pernik yang tak tersentuh oleh jamahan tangan kami yang gatal selalu ingin tahu dan merasakan memegang segala yang menarik pandangan mata kami.

Dalam hal ini, aku dan Anisha memang benar-benar team yang kompak. Meski usianya masih sangat muda, yaitu 5 tahun, Anisha telah aku ajari arti penting memperlakukan uang secara lebih bijaksana. Lontaran pilihan yang menggambarkan prioritas selalu aku usung agar dia mampu memilih dengan akal sehatnya. “Kalau kamu jajan es, maka uang mama untuk membeli lauk hari ini akan berkurang seharga es yang kamu beli. Itu artinya, kamu memakan hak Papa, Mama dan Nenek untuk memakan lauk sebagai teman makan nasi. Bagaimana. Kamu tetap ingin membeli es tersebut atau lebih baik kita membeli ayam yang bisa digoreng agar bisa dinikmati semua orang yang makan di rumah kita?” Seringnya pertanyaan berisi pilihan yang harus dipilihnya itu membuat Anisha alhamdulillah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang kritis dan punya toleransi tinggi.

“Ma. Ini bagus deh ma.” Ujarnya di tengah toko mainan. Di tangannya telah terpegang sebuah boneka Barbie dengan rok pendek dan rambut panjang sebatas pinggul berwarna keemasan.

“Iyah, bagus.” Aku mengangguk setuju. Lalu sebagai tindakan balasan, aku menyodorkan padanya sebuah dompet mungil dengan gambar tokoh Disney berwarna Merah muda.

“Kalau yang ini, bagus tidak?” Anisha mengangkat alisnya dan mengamati dompet di tanganku. Tampak dia mulai berpikir keras.

“Lumayan. Bagus juga.“ Diambilnya dompet di tanganku dan dipersandingkan dengan boneka barbie pilihannya. Dia tampaknya sedang berpikir keras untuk memilih salah satu di antara keduanya ketika tiba-tiba telepon genggamku berdering. Dari Mas Her, suamiku. Bertanya apakah aku sudah membeli sesuatu ataukah tidak. 

“Belum mas. Ini masih bingung, mau beli boneka atau dompet. Anisha masih memilihnya.” Aku berkata sambil melirik putriku Anisha yang masih mempersandingkan kedua pilihan di tangannya tersebut.

“Beri telepon ini padanya, aku ingin bicara.” Suara Mas Her tampak tegas meminta. Segera aku berikan teleponku pada Anisha setelah sebelumnya aku mengambil dompet dan boneka Barbie di tangannya agar dia leluasa berbicara dengan papanya. Mereka berdua tampak berbicara akrab. Diam-diam aku mundur dan melihat-lihat bagian toko yang lain. Mencari-cari kalau saja ada alternatif pilihan lain yang bisa dijadikan pilihan allternatif.

“Ma. Ini HP-nya.“ Anisha tiba-tiba suah ada di sampingku sambil menyodorkan Hpku padaku. Aku menerimanya dan memasukkan HP itu ke dalam tasku.

“Ma. Yang ini nggak usah deh.” Tiba-tiba boneka Barbie di tanganku diambil oleh Anisha dengan sekali renggutan. 

“Loh? Kenapa?”

“Iyah. Kata papa, kalau mau ngasih ke orang lain, harus sesuatu yang berguna bagi orang tersebut. Terus kata papa, selain berguna juga harus sesuatu yang tidak boleh bertentangan dengan Islam.”

“Jadi?” Aku berjongkok tepat di depan Anisha sambil menahan senyum melihat wajahnya yang sangat serius. 

“Barbie tidak pakai jilbab Ma, juga roknya pendek. Nanti kalau Kakak Bela berpakaian seperti Barbie, kata papa, Anisha ikut dosa karena sudah memberi contoh buruk lewat pilihan kado pemberian Anisha di hari ulang tahun kakak Bela. Anisha mau ngasih dompet ini saja ma.” Senyum Anisha terkembang. Aku merasa kini senyum Anisha jauh lebih lebar dan lebih ceria dari senyumnya di hari-hari yang lalu. Secerah hatiku yang dipenuhi kebanggaan yang menggelembung memiliki Anisha sebagai permata hati. Subhanallah, Alhamdulillah. Semoga akhlak mulianya tetap terjaga hingga Anisha besar, lalu tua dan akhirnya menghadap Ilahi. Aamiin.

Untuk Putriku yang tersayang, di hari ulang tahunnya yang ke-5. Semoga engkau menjadi muslimah yang senantiasa menjadi Qurrata Ayyun bagi semua orang dan salah seorang yang punya kemampuan untuk turut serta menegakkan panji Islam di muka bumi ini serta berguna bagi orang banyak dalam menyiarkan kebajikan. Aamiin. Selamat Ulang Tahun, sayang. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sastra Kado Pilihan Anisha"

Post a Comment