Mutiara di Hatiku

Mama ana bahibik alasyan albik maliatul hub kullu hanan, hudnik dafi' albik shofi, watsiq inik fia aman……

Lagu sederhana yang dilantunkan oleh anak-anak dalam suatu acara televisi Mesir menyambut hari ibu beberapa hari lalu menyentak hati nuraniku, syair yang sangat sederhana tapi sangat mengena, ungkapan cinta dan ungkapan terimakasih atas dekapan, rasa aman, kesucian hati sang ibu. Ku ingat-ingat sudah berapa kali kuucapkan cinta dan terimakasihku pada orang tuaku? Khususnya mama, begitu aku memanggil ibuku. Aku berusaha mengingatnya.

Aneh, menjalari perasaanku. Kenapa aku masih harus bertanya dan mengingat-ingat? tanpa sadar akupun meneteskan air mata. Dalam kamus cinta tak pernah orang tua melupakan anaknya. Tapi sebaliknya anak dengan sangat mudah melupakan orang tuanya. 

Hampir enam tahun usia perpisahanku dengan orang tua. Tak jarang, fantasiku tersendat-sendat membayangkan wajah keduanya. Selama tenggang waktu lima tahun terakhir ini Allah mempertemukanku dengan seorang perempuan sederhana yang bermental baja. Persis sosok mama. Aku yakin doa orang tuaku ditanah air diijabah tuhan karena sewaktu berangkat mama berkata "nak semoga disana kamu dapat orang tua angkat, yang menyayangimu" begitu kira-kira ungkapannya. Belum genap setahun, Allah mempertemukanku dengan seorang ibu, disebuah minibus yang membawa kami pulang dari Atabah sebuah pasar besar di kota kairo, menuju apartement tempat tinggal kami. Pertemuan yang singkat itulah awal hubungan silaturahim kami. 

Selalu, bila bersamanya, hatiku teringat orang tua ditanah air. Darinya aku belajar mencintai tanpa pamrih, cinta tanpa karena, dan cinta sejati. "Nak cinta itu adalah memberi" katanya pada kami suatu hari, sudah menjadi acara wajib kami mengunjungi mama farida, begitu kami memangilnya. Setiap bulannya pada salah satu hari jum'at yang notabene adalah hari libur di Negara-negara islam. Menurutnya "Orang yang memberi tanpa mengharap adalah orang yang mempunyai cinta sejati. Karena kebahagiaan seorang pencinta adalah saat melihat orang yang dicintainya bahagia". Kulihat binar indah dimatanya.

"Nak betapa kami takut kehilanganmu, tapi kami senantiasa berdoa untuk kesuksesan belajarmu" akunya. Saat kuadukan kesedihanku tatkala studyku tersendat. "Kamu tahu apa yang dikatakan baba (panggilan untuk suaminya) tentangmu nak? Dia tak tahu apa yang terjadi dengannya bila kamu telah pulang ketanah airmu" ungkapnya. "Dan dia selalu berdoa untuk kebahagianmu". 

Hatiku didera rasa bersalah, sungguh Allah ingin mengungkapkan semua perasaan orang tuaku lewat cinta mereka. Kekhawatiran dan keresahan orang tuaku melalui perhatian mereka. Bila mereka yang bukan orang tua kandungku mencintaiku dengan sepenuh hati apa lagi orang tuaku di tanah air. Lantunan doa tulus untukku pastinya menjadi makanan jiwa mereka setiap detiknya.

Aku ingat, akhir-akhir ini isi suratku mulai berubah. Kekakuan mulai mencair. Kultur mesir mulai menyatu dengan aliran darahku ungkapan emosiku mulai tampak, aku belajar mengungkapkan cinta dengan kata-kata. walau dampak negatifnya emosiku yang berupa amarah pun jadi gampang terpancing. Di negeri para nabi ini aku diajar mencintai sesama tanpa pamrih oleh seorang perempuan yang melahirkanku dari hatinya. 

Darinya aku belajar berhusnudzan terhadap sesama, meski sangat sulit. Dalam kamus hidupnya tidak ada kebencian, meskipun pada orang yang telah menyakitinya. Subhanallah, aku sering terkagum-kagum dengan prinsip hidupnya. Semua yang dilakukannya senantiasa mengingatkanku pada sosok orang tuaku. 

Baba, suaminya adalah lelaki yang berprinsif kuat. Beliau rela melepas jabatannya sebagai orang kedua disebuah perusahan minyak demi mempertahankan kejujurannya. Dan aku sangat yakin, kalaulah bukan karena disampingnya berdiri perempuan mulia itu. Keputusan itu takkan pernah diambilnya. Menurutku ungkapan pepatah yang mengatakan "Di belakang setiap orang besar adalah wanita (isteri)" adalah benar. Mereka berdua salah satu buktinya.

Halusinasiku semakin menerawang, membayangkan perjuangan ibu kandungku, saat melahirkanku 23 tahun lalu. Menurut ceritanya aku lahir pada usia kandungan yang ke 10 bulan. Dan lucunya aku lahir sebelum dokter sempat memakai sarung tangan. Tampaknya dari sebelum melihat duniapun aku sudah nakal. Namun cintanya tak jua pupus oleh waktu.

Selalu, tangannya terulur disaat aku terjatuh, tak pernah bosan mengalirkan kekuatan pada tubuh dan jiwa ini yang seringkali terasa lemah. menjadi konsultan, menjadi kawan. 

Selalu, ibu selalu menjadi apa saja yang kita inginkan dan butuhkan kedua perempuan hebat itu adalah mutiara dihatiku. yang senatiasa berkilauan tak kan habis dimakan waktu. manusia-manusia mulia yang melahirkanku dari hati dan rahimnya.

Terimakasih ma, kau telah mengenalkanku pada dunia yang indah. namun yang tersisa kini satu tanda tanya dihatiku, "bila aku jadi ibu dan istri mampukah aku seperti mereka? " 

Ya Allah ampunilah dosa orang tua kami. Sayangilah mereka sebagaimana mereka senantiasa menyayangi kami. Dan berikan kepada mereka kebahagiaan dunia dan akkhirat, amin.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mutiara di Hatiku"

Post a Comment