KOMUNIKASI DENGAN ANAK


Miskomunikasi: Mengubah Enak Jadi 'Eneg'


Cekcok lagi, cekcok lagi, bosen aah! Ungkapan itu merujuk pada kasus-kasus "perang dalam negeri" yang kerap terjadi pada kehidupan pasangan suami istri (pasutri). Penyebabnya tentu macam-macam, mulai dari hal sepele hingga hal-hal prinsip. Namun dalam tulisan ini, kita hanya membatasi kasus "perang dingin" oleh sebab-sebab yang dianggap sepele. Tapi hati-hati, ia mungkin bisa berubah menjadi masalah serius lantaran buruknya komunikasi antara pasutri.

Ani, sebut saja begitu, seorang ibu rumah tangga muda yang baru dikarunia seorang anak. Dikenal hobi masak. Ia tipikal wanita "editorial", pribadi yang sangat ingin keterusterangan orang lain dalam menilai dirinya. Begitupun sebaliknya. Apapun perasaan senang-puas, tidak senang dan tidak puas orang lain (dalam hal ini suami) terhadap dirinya, ia ingin hal itu diungkapkan secara verbal.

Belakangan ini, ia mulai merajuk pada suaminya, lantaran suaminya tak pernah bilang "sepatah katapun" soal masakannya. Tidak seperti dulu-dulu ketika awal-awal pernikahan. "Ni.., masakan kamu jempol deh!" Begitu ungkapan yang dulu kerap didengar dari lisan suaminya. Tapi entah kenapa, lantaran sibuk barangkali, setiap habis sarapan pagi atau makan malam, ungkapan itu jarang atau bahkan hampir tak pernah didengarnya lagi. Ani penasaran, ia terus berusaha melacak penyebabnya, yang ia sangka soal ketidaknikmatan masakannya. Tapi ia yakin, masakan-masakannya tetap seperti dulu, sebagaimana yang disenangi suaminya.

"Mas, masakanku kurang enak atau gimana sih? Koq enggak pernah bilang terus terang seperti dulu, apa kurang manis, kurang asin, atau kurang apa kek? Bilang dong terus terang!" rajuk Ani suatu hari.

Tapi yang dirajuk cuma menanggapi sambil lalu. "Sudahlah Ni, kita jangan kayak seperti pengantin baru terus dong. Sudah biasa saja lah. Yang penting aku masih senang masakanmu, ya kan?" jawab suami Ani santai.

Tapi Ani tidak puas dengan jawaban suaminya. Ia malah jauh berpretensi kalau-kalau suaminya sekarang sudah senang masakan "orang lain". Padahal suaminya sama sekali tidak seperti dugaan Ani. Bagi sang suami, soal ia masih menyenangi masakan istrinya, cukup ia perlihatkan dengan makan nambah. Itu dianggapnya cukup sebagai simbol ia menyenangi hidangan yang dimasak istrinya, tanpa perlu diungkapkan secara verbal. Dalam benak sang suami, "zamannya" kini sudah lain, tidak seperti masa-masa awal pernikahan dulu, romantis. Apalagi tipikal suami Ani adalah tipe "visual" yang tak menyenangi hal-hal verbal-formal. Kalaulah pada masa awal-awal pernikahan dulu ia ungkapkan rasa senangnya secara verbal, itu dianggapnya sebagai "tuntutan zaman". Sekarang menurutnya, sudah bukan zamannya lagi.

Akibat miskomunikasi yang terjadi pada keluarga muda itu, lama-kelamaan hubungan pasutri itu mulai tidak hangat.

Kasus di atas cuma contoh. Bahwa bukan tak mungkin kasus-kasus sepele, jika saling tidak dipahami masing-masing pasutri, lama-kelamaan bisa menjadi besar. Dalam kasus yang menimpa Ani, wanita itu adalah pribadi yang senang keterusterangan, verbarlisme. Ia ingin romantisme rumah-tangga tak perlu sirna ditelan usia pernikahan. Maka ia mengharapkan suaminya tak menghilangkan "kebiasaan memuji masakannya", walaupun usia pernikahan mereka kian bertambah.

Sayangnya sang suami tak peka membaca jalan pikiran atau kemauan istrinya. Baginya mencintai istri, atau menyenangi karya istrinya cukup dengan menikmatinya. Lewat simbolisasi gerak atau visual, ekspresi cinta atau rasa senang kepada pasangannya, dalam paradigma pemikiran sang suami, sudah cukup. Padahal Ani menuntut, rasa cinta atau senang itu, tidak sebatas visual, tapi juga diungkapkan secara verbal.

Sayangnya suami Ani menganggap ungkapan verbal semacam itu cuma basa-basi cinta. Padahal bagi Ani, pujian itu sangat ia harapkan. Karena ketidakpahaman dan ketidakingin tahuan sang suami membaca kemauan Ani, terjadilah misunderstanding itu. Miskomunikasi, dalam hal ini, menjadi sebab utama terjadinya kesalahpahaman pasangan Ani dan suaminya.

Jadi? Misunderstanding yang disebabkan oleh masalah-masalah sepele, sangat mungkin terjadi dalam kehidupan pasutri, yang yunior maupun senior. Soal penanganan terhadap anak-anak kita yang rewel atau nakal misalnya. Acapkali antara kita dengan pasangan kita (suami atau istri) terjadi kebijakan yang tidak padu. Kita ingin anak diajar keras, sementara pasangan kita tidak. Atau juga menyangkut kasus-kasus lain yang menuntut penanganan segera. Akibat ketidakpaduan penanganan, terjadilah cekcok. Syukur-syukur cekcoknya tidak berkepanjangan. Tapi jika terus berlarut-larut, apa jadinya?

Atau kasus "cadangan devisa" di rumah habis, tak jarang istri langsung membeberkannya secara vulgar ketika suami baru saja pulang kerja. "Mas, beras habis, susu si kecil juga tinggal untuk satu kali minum, anak-anak belum bayar SPP." Ungkapan itu acapkali dicetuskan oleh kaum ibu dengan tanpa perasaan di depan suami. Padahal penat suami belum lagi hilang sepulang kerja. Tidakkah hal itu akan lebih baik jika dibicarakan dengan lemah-lembut, dalam timing yang tepat?

Yakinlah, segala persoalan rumah tangga bisa diselesaikan dengan penuh arif tanpa perlu ribut-ribut. Asal, keduanya saling mengkomunikasikan masalahnya secara terbuka dan bijak.

Karena itu, alangkah baiknya jika terjadi perbedaan-perbedaan dalam kehidupan kita, hendaknya dikomunikasikan secara baik-baik masalahnya. Lalu dibicarakan jalan keluarnya secara arif. Jangan sampai kasus-kasus sepele dibiarkan dan didiamkan berlarut-larut. Soalnya kasus-kasus besar, acapkali disebabkan oleh masalah-masalah kecil. Karena itu, berkomunikasilah kita dengan pasangan kita secara bijak dan penuh kesabaran. Agar rumah tangga kita tetap harmonis dan romantis sampai tua. Bisa kan?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KOMUNIKASI DENGAN ANAK"

Post a Comment