Ma'rifatullah

oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad waala aalihi washaabihii ajmai'iin.

Saudaraku yang budiman, seorang muslim selayaknya memahami, bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah kita mencintai Allah SWT. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut adalah dengan mengenal Allah (Ma'rifatullah). 

Bagi seorang muslim Ma'rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-tingginya. Ma'rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah seseorang akan menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapa pun kecuali hanya untuk Allah SWT. 

Jika seorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip Ma'rifatullah ini, maka Insya Allah, alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Dengan fasilitas itulah, dia kemudian akan memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapinya. Wallahu'alam. 


Ma'rifatullah Sebagai Pondasi Kehidupan 

Secara fitrah, manusia memiliki kebutuhan standar. Dalam salah satu bukunya, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderunagn untuk mencintai dirinya, mencintai kesempurnaannya, serta mencintai eksistensinya. Dan sebaliknya, manusia cenderung memberi hala-hal yang dapat menghancurkan, meniadakan, mengurangi atau menghancurkan kesempurnaan itu.

Orang besar tekenal banyak dipuji-puji, memiliki pengaruh dan kekayaan yang melimpah, pengikutnya beribu-ribu, akan takut setengah mati jika takdir mendadak merubahnya menjadi miskin, lemah, bangkrut, terasing atau ditinggalkan manusia. Begitulah tabiat manusia. Padahal, kecintaan kita kepada selain Allah sampai begitu banyak, maka cinta itu pasti akan musnah.

Seharusnya kebutuhan kita akan kebahagiaan duniawi, membuat kita berpikir bahwa Alalahlah satu-satunya yang memiliki semua itu. Adapun kekhawatiran tentang standar kebutuhan kita, mestinya membuat kita berlindung dan berharap kepada Allah dengan mengamalkan apa-apa yang disukainya. Jadi, kebutuhan pada diri kita itu seharusnya menjadi jalan supaya kita mencintai Allah.

Seorang muslim selayaknya memahami, bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah kita mencintai Allah SWT. Dan pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim untuk menggapai keindahan cinta tersebut adalah dengan mengenal Allah (ma'rifatullah). Bagi seorang muslim ma'rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-tingginya. Sebaliknya, tanpa ma'rifatullah seorang muslim memiliki keyakinana dan keteguhan hidup.

Ma'rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapa pun kecuali hanya untuk Allah SWT. Jika seorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip ma'rifatullah ini, maka insya Allah, alam semesta ini akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Dengan fasilitas itulah, dia kemudian akan memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapinya.

Maka berbahagialah orang yang senantiasa berusaha mengenal Allah, sehingga kedekatannya dengan Allah senantiasa dipisah oleh tabir yang semakin tipis. Bagi orang yang dekat dengan Allah, dia akan dianugrahi ru'yah shadiqah (penglihatan hati yang benar).

Di sisi lain, ma'rifatullah juga menjadi sangat penting dalan merevolusi pribadi seseorang untuk berubah ke arah kebaikan. Dengan kata lain, perubahan yang dahsyat dan hakiki itu bisa terjadi ketika seseorang mempunyai keyakinan pribadi yang sangat kuat kepada sang Khalik.

Dengan kekuatan iman, seorang pengecut seketika berubah menjadi seorang pemberani. Seorang pemalas tiba-tiba berubah menjadi bersemangat. Sehingga siapa pun yang menginginkan perubahan positif yang cepat dalam dirinya kuncinya adalah membangun kayakinan yang kuat kepada Allah SWT. Banyak contoh berbicara tentang betapa kuatnya peran keyakinan dalam merubah pribadi seseorang.

Umar bin Khatab ra. yang sebelumnya begitu pemarah dan berwatak keras, bahkan anaknya sendiri dikubur hidup-hidup. Namun berkat tumbuhnya tauhid dalam dirinya, beliau berubah menjadi begitu bermurah hati dan penyantun. Bukan hanya individu, kota Makkah yang sebelumnya tidak dikenal, hanya sebuah dusun kecil yang penuh keterbatasan, berkat da'wah dan kekuatan iman yang disemai melalui dakwah Rasulullah SAW, akhirnya berubah menjadi bangsa yang besar dan sangat disegani.

Kisah lain dapat disebut, yaitu kisah seorang shahabiyah yang bernama Khansa. Wanita mukminah yang hidup di zaman sahabat ini ketika kerabatnya wafat, emosi kesedihannya begitu luar biasa. Dia menangis begitu pilu, meratap, merobek-robek baju, memukul dada. Tapi sesudah mendapat hidayah, emosinya dapat terkontrol.

Bahkan dalam sebuah pertempuran, ia berseru pada keempat anak laki-lakinya. "Hai anak-anakku, ini kesempatan besar. Kalau engkau mengalahkan mereka, engkau dapat pahala di sisi Allah. Kalau engkau menjadi syuhada, engkau mendapat kemuliaan di sisi Allah. Bertempurlah dengan semangat membara!"

Lalu anak-anaknya bertempur luar biasa, hingga satu persatu gugur menjadi syuhada. Namun kala itu bukan ratapan yang ia berikan, malah ungkapan syukur. Padahal dulu, hanya saudaranya saja yang meninggal dunia ratapannya sangat luar biasa, sampai hendak bunuh diri karena putus asa. Namun di kemudian hari, dia malah mengantar syahid anak-anaknya dengan penuh ketabahan dan keikhlasan.

Oleh karenanya, siapa pun yang tidak mempunyai pondasi ma'rifatullah dalam dirinya, maka ia akan sulit untk memperoleh ketenangan, kedamaian, kabahagiaan, dan kesuksesan hakiki. Jika kita makin mengenal siapa Allah, maka akan terasa semakin kecil nilai makhluk. Ketika kita semakin mengerti penghargaan dari Allah maka kian tidak berarti penghargaan yang kita terima dari makhluk.

Di saat kita merasakan betapa sempurnanya balasan dari Allah, maka betapapun besarnya balasan dari makhluk tidak akan sebanding harganya dengan balasan Allah. Makin detailnya penglihatan Allah, makin tidak penting pengawasan makhluk. Siapapun yang mengenal Allah tidak akan pernah kecewa dengan perbuatan Allah.

Hal-hal seperti itulah yang lambat laun akan membina kita menjadi pribadi-pribadi ihklas. Insan-insan yang hanya bergantung dan berharap kepada Allah SWT. Maka kekuatan untuk bisa maju, mulia, dan bermartabat itu hanya bisa dicapai dengan keyakinan kepada Allah SWT. Kekuatan keyakinan memang begitu dahsyat, sehingga atas izin Allah setiap kebaikan yang diingini oleh seorang muwahid (orang yang betauhid) akan dibayar oleh Allah di depan matanya.

Maka semua puncak ketenangan, kebahagiaan, perubahan, kedamaian, serta kesuksesan itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah Yang Maha Agung. Oleh karena itu berapapun biaya, tenaga, waktu dan apapun yang kita korbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah seharusnya tidak perlu dirisaukan, sebab pengornbanan itu tidak sebanding dengan maslahat yang akan kita terima.

Dalam ilmu mengenal Allah SWT, ada rambu-rambu supaya keyakinan itu berada pada rel yang tepat, sehingga tidak menjadi alasan untuk kelemahan dan kemaksiatan. Jangan sampai keyakinan ini menjadi tempat menyembunyikan diri kita dari kemalasan dan kegigihan berikhtiar.

Jangan sampai keyakinan bahwa Allah Maha Kaya membuat kita tidak gigih menjemput rizki kita. Keyakinan Allah Maha Pengampun malah membuat kita mengenteng-enteng perbuatan dosa. Keyakinan bahwa Allah Maha Memberi, jangan sampai membuat kita lalai dalam mencari nafkah.

Selanjutnya kita harus lebih profesional, karena ketika mengingat Allah kita terkadang cenderung ingat kepada balasanNya, ingat pada keras siksaNya. Jika semua itu memang mampu membuat kita takut dan menghindari perbuatan dosa, tentu sangatlah bagus. Namun, kita juga harus ingat bahwa ampunan Allah itu ternyata demikian dahsyat, Allah mendahulukan kasih sayangNya dibanding kemarahanNya.

Mudah-mudahan uraian ringkas ini dapat memacu kita untuk semakin mengenal Allah Yang Maha Dekat, Yang Maha Menyayangi. Sehingga kita semakin merasakan kekuatan perubahan, dahsyatnya revolusi, baik secara pribadi, keluarga maupun masyarakat dengan tertancapnya pondasi ma'rifatullah, pondasi kekuatan keyakinan pada Allah SWT.(




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ma'rifatullah"

Post a Comment