Ihsan dan Keistiqomahan Akhlak

Seorang aktivis da’wah di sebuah kampus di Jakarta pernah mengatakan, ”Bila ada mahasiswa yang kos maka ketika ia pulang ke rumah, saat hari libur misalnya,orang tua cenderung menghargai keberadaannya di rumah. Tetapi bila ia bukan anak kos alias setiap hari memang tinggal bersama orang tuanya,maka keberadaannya di rumah, terkadang bisa dipandang sebelah mata saja. Mengapa? Karena mahasiswa yang kos,orang tuanya tidak tahu bagaimana tingkah laku anaknya sehari-hari sehingga saat anaknya pulang ke rumah,hanya akhlak baiknya saja yang terlihat. Berbeda halnya dengan orang yang menetap bersama orang tuanya setiap hari, maka dapat tersingkaplah semua akhlak hingga yang terjelek sekalipun.”

Saya berpikir dan termenung, benarkah demikian? Jawabannya relatif. Bisa ya,bisa tidak. Ini tergantung sejauh mana pemahaman dan penghayatan seorang muslim dalam agamanya.

Peristiwa Ketidakistiqomahan Akhlak

Pada masa orientasi mahasiswa, semua elemen kampus berebut untuk menarik hati mahasiswa baru supaya tertarik masuk ke organisasinya, dengan keramahan, tegur sapa, meminjamkan buku kuliah, dll. Tapi setelah mahasiswa baru tsb masuk ke dalam organisasi kita, apa yang bisa kita tawarkan untuk mereka? Apakah kebaikan-kebaikan itu hanya di awal saja ? Seperti sebuah iklan, ”Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah Anda.” Ya, terserah kita, akan tetap istiqomah berakhlak baik atau ternyata lama-lama tersingkap ada akhlak kita yang buruk. Persis seperti ketika parpol berebut suara umat lantas menawarkan janji-janji manis, dan berlagak perhatian kepada rakyat, tapi ketika parpol tsb menang rakyat pun ditinggalkan bahkan ditindas.Tragis.

Dalam pergaulan,terkadang kita sering pula mendengar pertanyaan, “Bagaimana akhlak si fulan kalau di rumah ?“ Atau ketika proses ta’aruf, para ulama menyarankan agar kita bertanya kepada keluarga atau orang terdekat si calon tentang akhlaknya. Ini berangkat dari hadits Rasulullah SAW bahwa orang yang berteman dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi dan orang yang berteman dengan pandai besi akan terkena asapnya.

Mengapa bisa ada pertanyaan seperti ini ? Karena manusia cenderung memiliki sikap yang berbeda di setiap tempat. Misalnya, si fulan di kampusnya selalu bersikap sopan, berwibawa, ramah, dan sederet akhlak baik lainnya. Tapi ketika di rumah, ia bisa saja berubah menjadi sosok yang pemalas, mudah marah, jorok dan akhlak buruknya tersingkap semua. Mengapa bisa muncul perbedaan seperti itu ? Apatah lagi penyakit ini sering muncul di kalangan yang notabene berlabel aktivis da’wah.

Bila kita seorang murobbi, terkadang ada keinginan dalam hati kita untuk menunjukkan bahwa kita adalah orang suci yang memang layak untuk menjadi murobbi mereka. Tutur kata kita menjadi luar biasa lembut dihadapan mad’u. Akhlak buruk ditutup rapat-rapat. Namun ketika kita berinteraksi dengan teman dekat atau keluarga kita sendiri, akhlak asli yang tidak baik mulai tersingkap,menjadikan kata-kata kita seringkali menyakitkan dan mengiris hati, ghibah, sindir menyindir, mengalir begitu saja. Dengan mad’u, kita bisa menjadi orang yang sangat pengertian, tetapi dengan adik sendiri, kita sulit melakukan hal yang sama. Mengapa kita tidak berfikir bahwasanya semua manusia di muka bumi ini adalah juga mad’u kita? Meski kepada seorang syeikh sekalipun, bukankah sang syeikh juga bisa belajar dari kita bagaimana menjadi pendengar yang baik misalnya.

Dalam sebuah kelompok kecil terjadi dialog dan salah seorang berkata, “ Si fulan ketika menjadi ketua rohis sikapnya sangat terjaga, berwibawa dan lemah lembut tetapi kenapa ketika sudah lengser, sikapnya cuek dan bebas berperilaku?” Mengapakah bisa terjadi perubahan itu? Apakah karena sedang ada jabatan rohis saja maka kita berperilaku baik? Untuk menjaga image (Ja-im)?

Contoh lainnya; ketika kita pertama kali berkenalan dengan seseorang, tentu akhlak baiklah yang kita tonjolkan namun ketika sudah sekian lama berinteraksi,mulailah ada akhlak buruk kita yang terlihat. Ternyata tidak seindah di awal perjumpaan.

Muhasabah

Mengapa bisa terjadi perbedaan akhlak seperti di atas? Bukankah bila saja setiap muslim bersikap ihsan, tentu dimana dan kapan saja akhlaknya akan sama? Ihsan ini seringkali terabaikan padahal ia sudah seharusnya muncul setelah ada keimanan yang kokoh. Perlu dipertanyakan kadar keimanan seseorang bila tidak ada ihsan dalam dirinya. Dikaitkan dengan pertolongan Allah,bukankah Allah hanya akan menurunkan pertolongan-Nya kepada orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman : “Dialah yang telah memberikan dukungan dengan pertolongan-Nya (berupa kemenangan) dan dengan orang-orang yang beriman,dan Dialah yang telah menyatukan hati-hati mereka.” (QS.Al Anfal:62-63)

“Dan betul-betul wajib atas Kami untuk memenangkan orang-orang yang beriman.” (QS.Ar Rum:47)

Bila tidak ada kategori “orang-orang beriman“ ini, maka sampai kiamatpun tidak akan pernah datang pertolongan Allah itu. Kemerosotan kaum muslimin saat ini bisa jadi karena telah hilangnya ihsan dalam setiap pribadi muslim.

Mari kita lihat sosok Utsman bin Affan, sahabat Rasulullah yang sangat pemalu. Sampai-sampai Rasulullah dan para malaikat pun malu kepada Utsman. Yang harus kita renungkan, mengapa sampai para malaikat pun segan dan malu kepada sahabat rasul yang satu ini? Bukankah ini menandakan bahwa ada atau tidak ada orang, dalam kesendirian atau keramaian, Utsman tetap berakhlak sama, tidak ada yang berubah. Ia pemalu bukan hanya di hadapan manusia tetapi juga di hadapan Allah dan para malaikat-Nya. Ada ihsan dan keikhlasan di sini, tidak ada kepura-puraan.

Dalam shirah nabawiyah, Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa barangsiapa yang pernah berkumpul dengan Rasulullah SAW, kemudian kenal padanya, tentulah ia akan mencintainya. Beginilah Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita. Sangatlah berbeda dengan kondisi kebanyakan kita yang semakin orang mengenal kita maka semakin terlihat akhlak kita yang buruk-buruk. Sesungguhnya akhlak baik bukan hanya di hadapan manusia,tapi juga di hadapan-Nya,di saat kita sendiri maupun dalam keramaian, di kampus maupun di rumah, di awal dan di akhir.

Hal ini menjadi bahan introspeksi bagi diri saya pribadi dan juga kalangan pengemban da’wah. Seorang mu’min dengan mu’min lainnya ibarat cermin, bila ada yang salah pada saudaranya maka ia meluruskannya. Keistiqomahan dalam berakhlak sesuai manhaj Islam adalah kunci kemenangan. Bukankah Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Terus menerus melatih diri dan menghayati bahwa hakikatnya kita sekarang ada dalam kerajaan Allah.Tak ada satu pun yang lepas dari pengawasan-Nya. Dia Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi.

Wallahu’alambishowab

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ihsan dan Keistiqomahan Akhlak "

Post a Comment