Hadiah Berbuah Dilema

Setiap kali kulipat sajadah usai sholat istikharah selepas tahajjud di tiap akhir malam, dorongan untuk menikah semakin besar. Keyakinan yang semakin dalam ini, membuat hati semakin takut. Ya Allah, hamba mohon pertolongan dan bimbingan-Mu agar bisa menghadapi pilihan yang sangat besar ini.

Seharusnya kecenderungan ini adalah rahmat Allah membahagiakan bagi setiap insan yang sedang melangkah untuk menjalani sunah Rasul berupa nikah. Tapi tidak demikian bagiku, justru hal ini semakin membuatku tersungkur untuk lebih lama lagi bersujud pada-Nya, memohon ampun dan pertolongan Rabb semesta alam.

Dalam kepasrahan ini kucoba mentadaburi ayat Allah, "... Barangkali sesuatu yang kamu sekalian benci adalah yang baik bagimu, dan barangkali sesuatu yang kamu sekalian senangi adalah buruk bagi kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu sekalian tidak ketahui." (QS 2:216). Belum sampai akhir ayat, air mataku tumpah membasahi mukena yang kupakai. Terbayang ketidakberdayaanku dan kelemahan sebagai makhluk di hadapan sang Khaliq.

Aku coba bermuhasabah terhadap ujian yang menimpaku dan ku telusuri detik demi detik awal kejadian ini. Awal interaksi ku dengan seorang pria berjalan wajar. Hari berganti hari, bulan, hingga tahun pun telah berganti, tak ada yang istimewa, hingga pada suatu saat pria tersebut menyampaikan keinginan untuk menikah. Hal itu kutanggapi secara wajar dan kutawarkan bantuan untuk mencarikan calon istri, Alhamdulillah ia tidak keberatan.

Sebagaimana orang yang akan membantu memfasilitasi pernikahannya, aku berusaha mengenal pria ini secara proporsional. Maksudnya, aku menanyakan dan mempelajari keinginan, harapan, kemampuan serta kriteria calon istri yang ingin dinikahinya. Dari sinilah aku berusaha mencarikan calon istri yang sesuai untuknya.

Usaha ini aku jalani dengan sepenuh hati dengan harapan mendapat balasan dari Allah. Satu bulan berikutnya aku sudah mendapat gambaran wanita yang bisa diprospek, dia adalah sahabatku. Setelah mantap, aku bicara dengannya dari hati ke hati dan menyampaikan misi yang sebenarnya serta proses dijalani sebagaimana mestinya. Kemudian sahabatnya yang manis itu memulainya dengan melobi orang tua dan sholat istikharah untuk mendapat petunjuk yang terbaik dari Allah. Sesuai kesepakatan, pada minggu yang ketiga ia memberikan jawabannya, "Tolong sampaikan salam dan maafku kepada pria tersebut, saya belum bisa menikah dengannya." Aku sedih sekali. mendengar jawaban ini.

Walau berat, aku sampaikan kabar ini kepada pria itu. Alhamdulillah ia bisa maklum. Namun kegagalan ini semakin membuatku bersemangat untuk menolong temanku tersebut. Dengan senyum dan penuh kehati-hatian aku mulai lagi observasi serta menimbang-nimbang, kira-kira wanita mana lagi dari sahabat-sahabatku yang pantas untuknya.

Hampir dua bulan hatiku bimbang, memilah dan memilihkan calon istri untuk pria yang aku tolong karena Allah. Dalam perenungan ini, tiba-tiba melintaslah wajah keibuan yang tegas dan manis. Ia adalah sahabat, kakak dan sekaligus guru ku. Sahabatku, mohon maaf jika aku harus lancang menggedor hatimu untuk menikah dengan pria ini.

Dengan mohon pertolongan Allah, aku raih gagang telepon di meja kerja, aku menanyakan kabarnya, juga aktivitasnya, dan apakah ia sedang "proses" dengan salah seorang pria? Dari seberang ia jawab, "Saya tidak sedang proses." Akhirnya kami janji bertemu seusai jam kerja di kantornya di bilangan Cawang, Jakarta Timur.

Setelah bertemu, ia sangat berterima kasih kepadaku atas perhatian ini. Ia berjanji akan memberikan jawaban secepatnya setelah mendapat ijin dari orang tua. Alhamdulillah, hatiku lega sekali. Namun diakhir pertemuan, aku sangat sedih dengan pertanyaannya yang diajukan kepadaku sebagaimana sahabatku yang pertama, "Kenapa bukan kamu saja yang menjadi istrinya?" Pertanyaan seperti ini yang sangat aku takutkan dari awal ketika aku bersedia menolong pria itu, karena aku juga belum menikah. Ku kuatkan hatiku tuk menjawabnya, "Jika aku bisa hadiahkan untuk saudariku, kenapa tidak aku lakukan?"

Sepanjang langkahku kembali ke rumah tak pernah terputus do'aku "Semoga ini yang terbaik dan diizinkan oleh Allah". Aku sadar dengan beban berat ketika menerima dan menyampaikan putusan sahabatku tercinta, jika ia menolak.

Dalam masa penantian. walau kesibukan mendera, aku berusaha untuk memantau perkembangan ini. Setelah tiga minggu sahabatku memberikan jawaban via telepon yang disusul dengan SMS, isinya permintaan maaf belum bisa menerima pria itu menjadi suaminya.

Akhirnya dengan permohonan maaf, aku harus menyampaikan kabar ini kepada teman pria itu. Sedih, kecewa memenuhi jiwaku, tapi apa hendak dikata, Allah lebih berkuasa atas setiap hamba-Nya. Semoga ini saat yang baik bagi pria itu untuk mengevaluasi diri. Semoga Allah meridhai.

Saudaraku, kisah ini kupersembahkan untuk kedua sahabat tercinta dan juga pria itu. Semoga Allah memberikan hamba-hamba-Nya yang terbaik untuk kita semua.

Sahabatku, apa yang kita usahakan bersama ini, kini menyisakan sesuatu di relung hatiku yang paling dalam. Semoga Allah mengampuniku atas kekhilafan ini. Untuk itulah, sudah hampir satu bulan ini aku bermunajat kepada Allah dan melakukan sholat istikharah. Semoga yang kulakukan ini dapat membersihkan hatiku kembali.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hadiah Berbuah Dilema "

Post a Comment