Cerita Elang Hitam

Elang Hitam Dua Zaman 


Lihatlah tangan itu. Banyak sekali catatan sejarah tergores di sana. Kerut-kerut tipisnya penuh dengan memori perjalanan usianya yang mulai renta. Seolah isyarat bagi dunia bahwa seorang Kemal kini sudah tak muda lagi. Tetapi Kemal tampak tak terlalu peduli. Kendur-kendur itu seolah tak pernah ada siang ini. Kemal tampak lebih muda. Ya, lebih bersemangat.

Kedua tangannya sejak tadi sangat bertenaga membongkar bongkah demi bongkah tanah dengan sekop. Gagah sekali. Tanah kering bercampur batu di belakang rumahnya seakan tak berdaya menghadapi energi besar Kemal. Mereka patuh saja pada terjangan demi terjangan. Bergumpal-gumpal. Luar biasa. Seakan Kemal seorang boneka berbatu batere yang baru saja mendapat elemen baru bagi kehidupannya.

“Sedikit lagi ..” Kemal mendesis pada diri sendiri. Dia tengah meyakinkan tangan-tangannya untuk terus menggali. Terus menggali sampai menemukan barang yang dicarinya sedari tadi. Apakah yang Kemal cari ? Harta karunkah atau emas?

Bukan ! Jangan sekali-kali mengatakan dugaan itu di depan Kemal. Dia akan tersinggung. Jelas sudah yang dicarinya bukan sesuatu yang fana. Bukan sesuatu yang murah. Barang ini lebih mahal dari semua itu. Ini lebih berharga. Ini lebih bernilai. 

“KREKK !” suara sekop beradu dengan benda keras. Bunyinya berderak. Kemal bunggah. Wajahnya kian berseri-seri. Betulkah dia sudah menemukan barang yang dicarinya ? Betulkah ?! Apakah benar setelah sekian lama dia meninggalkan tanah yang digalinya ini , barang itu masih ada ?!

Tangan Kemal seakan tambah bersemangat. Darahnya berdesir cepat. Ayo , Kemal ! Gali tanah yang disekelilingnya !

“Bunuuh !”

Bumi suasana kelam. Suram. Dia turut menangis menatap nestapa di atas kota Tirana. Guru Ismail dan guru Ahmet telah dibunuh. Begitupun seluruh ulama di negeri ini. Darah-darah mereka seakan mengalir begitu gratis, tanpa biaya sedikitpun. Darah mereka dialirkan bak comberan, tak bernilai. Membuat kemanusiaan siapapun bergidik ngeri dibuatnya. 

Mayat-mayat banyak bergelimpangan. Bertebaran seperti debu jalanan. Tak ada seorang pun yang berani membenahi mayat-mayat itu menuju penguburan. Jangan menggali bumi, menengok tanah untuk penguburan mereka pun rasanya tak berani. Pun keluarga mereka. Tak pedulikah? Tidak. Jangan salahkan mereka. Mereka sudah tak mampu lagi melakukan penghormatan terakhir itu. Mereka berbaring tak bernafas. Juga.

Kota Tirana rasanya tak pernah bermimpi seseram ini. Tapi kenapa ada dalam kenyataan? Tak bisa dimengerti. Seolah Albania mendapat pukulan dahsyat setelah Enver Hoxha terpilih memimpin negeri ini. Tangan-tangan komunisme segera merambah setiap sendi keislaman di sini. Mengobrak-abrik, menghancurkan, melemparkan jauh-jauh. Tuhan, agama, dan keadilan. 

Mereka benci Islam. Itu tak usah ditutup-tutupi lagi. Lihatlah kekejaman telah melanda setiap yang bernafas tauhid di daratan Albania. Pembakaran masjid-masjid, perampasan tanah-tanah wakaf milik ummat, dan ayat-ayat suci telah diburaikan. Disobek-sobek, dihanguskan. Hingga tak lagi terlihat firman Allah yang tertulis. Semua jadi abu. Semua.

Seorang anak lelaki ingin menangis. Segera Ibunya melarang. Mencoba memberi ketegaran pada sang bocah. Walaupun rasanya tak mungkin. Bagaimanapun lelaki itu masih cilik. Dia belum jadi lelaki seutuhnya. Dia hanya ingin menangis.

“Hu .. hu ..hu ..”

“Ssshhh !”

Sang bocah sesunggukan. Bunda tersayangnya hanya bisa merangkulnya erat. Udara terasa begitu pekat. Sempit dan sumpak. Tapi harus begini. Kalau tidak kezaliman pasti sudah menjamah rumah ini sejak tadi. 

“Sudahlah. Sekarang lebih baik kita mengumpulkan buku-buku, Al-quran, dan semua tafsir-tafsir yang kita punya. Kita harus pendam dalam tanah. “sang Ibu memberi komando. Si anak masih diam dalam bingung. Apa maksudnya Ibu mengatakan demikian?

Namun sang Ibu tak menunggu anaknya terlebih dahulu untuk bergerak. Dia segera bergegas memasukan buku-buku , tafsir-tafsir hadis, dan tentu saja Al-quran di lemari buku. Semuanya masuk dalam kotak yang cukup besar. Lalu dengan cekatan tangannya mengambil sekop peninggalan suaminya di sudut kelam dapur. Langkahnya diburu ke halaman bertanah di belakang rumah. Gendernya tak menghalangi ibu sang bocah untuk mulai menggali gesit. 

“Bawa kotak itu. Cepat !” Ibu setengah membentak pada sang bocah. Terkesiap, si bocah gelagapan dan terburu-buru mengambil kotak berisi buku berjalin tinta-tinta kebenaran. 

“Ini, Bu. Buat diapakan kotak ini ?” wajah polos itu bertanya.

“Dipendam.” Ibu berkata singkat. Lalu terus menggali sampai lubang agak besar. 

Pintu rumah digedor keras.


Raut Kemal tersenyum lebar. Membuka kotak tua yang puluhan tahun tersimpan di tanah belakang. Dia rindu. Rindu sekali pada isinya.

“Alhamdulillah …” mengalir penuh syukur dzikir itu. Air mata Kemal rasanya ingin meleleh saja. Dan itu terjadi. Luruh penuh haru biru perasaan. Kemal hanya menagis. Tak bisa digambarkan dengan huruf-huruf dan kata-kata yang indah. Hanya bisa dirasakan. Cobalah pejamkan mata. Mungkin Kemal dapat menggambarkannya.

Kotak itu dibuka Kemal mudah. Tak kunci. Entah karena dulu memendamnya terburu-buru atau memang disengaja. Tapi berhentilah bermain-main dengan dugaan. Kemal sudah tak sabar membuka kotak itu. Kemal membuncah kegirangan ketika hal itu benar-benar diwujudkan. Disana, tergolek lemah lembar-lembar rapuh nan suci. 

“Quran …” lirih bibir kering Kemal menyebut nama benda itu. Syahdu jiwanya ditengah renta. Apakah ini mimpi ? Kalau benar dia tak keberatan ini jadi kenyataan. Mimpi ini tidak buruk. Apalagi seram. Jauh sekali dari dua kata barusan. Kemal menatapnya penuh kenangan. Lagi dan lagi.

“Hei, sedang apa kau ?”

Seorang bocah lelaki tersentak kaget. Sebuah suara baritone baru saja membentaknya keras. Kupingnya berdengung-dengung hingga pekak. Jantungnya hampir saja melompat dari tempat asalnya. Bocah itu langsung bangkit dari posisi duduknya. Mengangkat pantat dari sentuhan tanah. Wajahnya putih pasi. Pucat. Bocah itu menahan nafas tegang.

“Aa…da apa, Mr. Gjon ?” terbata dan kaku irama bertanya si bocah. Jelas sekali dia ketakutan. Tapi ketakutan karena apa ? Toh , bocah itu tidak sedang melanggar aturan sekolah. Jam sekolah memang menunjukan waktu istirahat. Seluruh murid bebas berkeliaran kemana saja. Termasuk ke pojok gudang barang bekas milik sekolah. 

“Sedang apa kau dipojok gudang siang-siang begini ? Kenapa tak bermain ?” gelegar orang yang dipanggil Mr. Gjon. Tanyanya pedas. Meremas nyali sang bocah hingga kering tak bersisa sedikitpun. Dia teringat pesan Ibunya.

“Sholatlah sembunyi-sembunyi. Jangan sampai ketahuan. Dunia lebih kejam dari yang kau kira. Hati-hati, nak.”

Di depan, mata Mr. Gjon menyidik tajam. Retinanya menangkap gelagat salah tingkah dari sang bocah. Mr. Gjon menyeringai. Menyeramkan. Langkahnya seolah ingin membuat kabur sang bocah. Sosok tinggi besar itu mendekat. Tangan Mr.Gjon tanpa diduga menyambar cepat. Rambut bocah terjambak keras. Rasanya hampir tanggal dari kepala mungil itu. Pun Mr.Gjon tak ambil nurani saat menghempaskan seluruh tubuh kecil itu kearah kayu-kayu bekas yang bertumpuk. Tulang seakan remuk redam , bocah itu. Dari sudut bibirnya terjentik darah segar. Luka menganga.

“Kau muslim !?”

Mr. Gjon bagai guntur. Sekali lagi sang bocah dikungkungi takut yang hebat. Dia ketahuan ! Terngiang-ngiang nasehat Ibunya. Apalagi sosok didepannya adalah Mr. Gjon. Sosok yang bukan main kasar dan kejam. Pun ketika Islam masih bernafas di negeri ini, sikapnya sudah kurang simpatik pada Islam. Namun, sejak Enver Hoxha menguasai kota Tirana dan Albania pada umunya, kebenciannya terhadap dien Rasulullah Muhammad dan para anbiya makin tampak. Dia tak segan-segan menunjukan itu sekarang.

“Bu .. buk .. aan…”

Mr. Gjon kembali menyeringai. Menakutkan. Lalu mengancam agar sang bocah diam di tempat. Dalam seketika, Mr. Gjon berlari ke arah kantornya. Ingin rasanya bocah laki-laki itu kabur selagi bisa. Tapi tubuhnya mendulang sakit yang tak terbilang. Punggungnya seakan tak bertulang. Tak bertenaga. Juga kaki-kakinya. Percuma pikirnya berlari sekuat tenaga. Pasti dengan mudah Mr. Gjon akan menyusulnya cepat.

Lelaki sangar itu kembali ke arah gudang sambil berlari. Seolah memburu kearah bocah laki-laki. Di tangannya menggenggam sebuah bungkusan. Seperti makan siang. Sampai didepan sang bocah, segera bungkusan itu disodorkan kedepannya. Kaget sangat si lelaki mungil. Lalu terbata bertanya :

“Apa i...itu Mr. Gjon ?” terbahak-bahak jadinya Mr. Gjon. Entah apa maksudnya tertawa sedemikian menyeramkan. 

“Itu makan siangku. Ayo kau makan !”

Ragu-ragu menatap mata si kecil. Bungkusan itu menjadi sangat mencurigakan di otaknya. Bagaimanapun semua ini terlalu aneh. Setelah memperlakukannya sedemikian kasarnya, kenapa tiba-tiba menyodorkan bungkusan berisi makan siangnya ? Apa maksudnya ?

“Ayo di makan. Cepat !” nada bicara Mr. Gjon kembali meninggi. Tangan-tangan mungil milik bocah segera membuka bungkusan dengan penuh takut. Didalamnya terdapat berkerat daging. Beberapa potong. Tampak menggiurkan lambung yang merintih minta dibunuh.

Merasa tersudut, mau tak mau dilahapnya daging itu. Memang, sebenarnya perut sang lelaki kecil lapar sekali. Tetapi dia makan bukan karena alasan itu. Seringai senyum jahat Mr. Gjon mendorongnya menggigit kerat daging yang disodorkan padanya.

“Ha ..ha..ha ! Bagus! Bagus !”

Mr. Gjon puas menyaksikan daging-daging jatah makan siangnya ditelan habis sang bocah. Lalu berbalik dengan langkah penuh kemenangan. Si lelaki cilik merasa keheranan. Lalu dengan wajah menahan sakit melangkah satu-satu mengikuti Mr. Gjon kembali ke halaman sekolah. Badan Mr. Gjon berbalik, tiba-tiba. Matanya menatap tubuh sang bocah yang baru saja disiksa dan diberi makannya itu. Kembali, senyumnya terkembang. Lalu seolah tak tahu bertanya pada si lelaki mungil:

“Kau tahu daging apa yang kau makan, anak kecil ?!” gelengan jawaban si bocah. Dia benar-benar tak tahu. 

“Itu daging babi ! Ha ..ha..ha !”

“Tok .. tok ..tok !”

Tergesa sosok agak bungkuk milik Kemal mendatangi pintu. Pun dengan wajahnya yang masih terlihat gembira. Senyumnya kian lebar setelah mengetahui tamu yang akan dijamunya.

“Abiva ! Ramazan !” tubuh Kemal langsung menubruk dua sosok yang muncul di depan pintunya. Kembali air bening merayapi pipinya yang mulai berlipat sana sini. Kemal terguncang menangis. Pun terasa pula olehnya pundaknya yang mulai basah. Kemal menangis tak sendiri. Abiva dan Ramazan turut juga menagis. Bahagia.

“Sudah lama tak jumpa …” Abiva membuka pembicaraan. Kemal mengangguk cepat. Ramazan tak ketinggalan. Ketiga sahabat itu dipenuhi haru hingga penuh sudah rongga dada.

“Alhamdulillah, Allah telah memberikan kita mukjizat …”

“Lewat Ramiz Alia.” sambung menyambung perkataan Ramazan dilanjutkan Abiva.

“Sudahlah. Mari masuk ke dalam. Aku punya kejutan buat kalian. “Kemal segera melangkah memasuki ruang di sebelah dalam. Abiva dan Ramazan tampak saling berpandangan.

“Ayo, tunggu apa lagi ?” kepala Kemal kembali muncul dibalik dinding kusam. Abiva dan Ramazan menurut. Menduga-duga arti kejutan dalam langkahnya mengikuti Kemal.


***


“Hu ..hu ..hu , aku telah makan daging babi. Bagaimana sekarang ?” si bocah kecil menangis tersedu-sedu. Tampak dua temannya yang berusaha menghibur mulai gamang. Mereka jadi ikut larut dalam kesedihan teman mereka. Mereka merasa benar-benar tak berdaya. 

“Aku tak mengerti.”

“Iya, kenapa keadaannnya jadi begini ?”

“Ibu bilang aku harus menyembunyikan agama kita dari orang lain.”

“Sama ! Orangtuaku juga bilang sambil berbisik padaku kemarin malam. Sebenarnya apa yang terjadi ?”

Kebingungan yang melanda sungguh hebat. Mereka, kini tiba-tiba saja dilarang terang-terangan mengakui agama mereka. Sholat sembunyi-sembunyi, mengaji tak lagi boleh, melihat masjid-masjid tempat biasa mereka sholat dijadikan peternakan babi, perampasan tanah-tanah milik penduduk muslim … Apa yang terjadi ?!

“Ibu bilang, keluarga kami ingin pindah. Ingin keluar negeri.”

“Hah, buat apa ?”

“Entahlah. Kata Ayah, biar keluargaku tenang menjalankan Islam. Disini sudah tak bisa.”

Semua terdiam. Lama sekali. Hanya sesunggukan milik sang bocah lelaki yang sejak tadi menangis mewarnai bisu. 

“Kapan kau pergi ?”

“Besok.”

“Apa kita bisa bertemu lagi ?” yang ditanya tak lebih tahu dari yang bertanya. Hanya diam yang bisa diberikan. Pun dengan negeri yang terasa kian hitam. Elang hitam makin hitam.


“Bu, katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi ?” Bocah itu seperti menuntut jawaban. Tak urung dia merengek lalu mengungkit-ungkit penipuan perih yang dialaminya. Heran betul sang lelaki cilik kenapa Islam begitu dimusuhi dinegeri mayoritasnya. Kenapa agama mereka tak boleh lagi berkumandang di daratannya sendiri.

Sang Ibu menarik nafas. Seolah berat dan terasa memang berat. Kejadian Di negeri Tirana dan seluruh Albania sungguh pelik dan menguras banyak nurani serta logika. Pun dengan sesuatu yang bernama kemanusiaan.

Bagimana mencari jawaban yang tepat untuk mengatakan pada anaknya bahwa seseorang yang bernama King Zog telah menanggalkan hukum Islam di Albania dan menggantinya dengan Swiss Civil Code. Bagaimana pula mengatakan padanya bahwa sekularisme Zog telah menumbuhkan bibit Komunisme dengan subur di negeri ini dibawah pimpinan Enver Hoxha. Agama Islam yang semula mayoritas, diberangus perlahan tapi pasti. Kelak sang Ibu tak bisa membayangkan ketika Albania lepas dari rezim Hoxha. Seperti apa Islam nanti ? Ah, bayangan itu seperti terror. Mimpi. Mimpi buruk yang didoakan tak pernah jadi kenyataan. 

Ibu merangkul anak lelaki tercintanya. Lalu diperhatikannya halaman belakang tempat kemarin dia mengubur kotak-kotak berisi Al-quran, buku-buku, dan tafsir-tafsir. Ah, hatinya meringis. Membayangkan semua ulama di negeri ini pun tak lagi berdetak jantung. Lalu ilmu tentang Islam mana yang akan diajarkan pada generasi selanjutnya. Apakah bisa ada generasi tanpa ilmu ? Enver Hoxha telah membersihkan semua pasokan ilmu saat ini sebelum penuh terwariskan. Albania telah kehilangan diennya. Rezim kezaliman telah menggantinya dengan agama baru. Albanianisme. Apakah dia harus pergi dari Tirana ? Apakah dia harus pergi dari Albania ?! Mungkin diluar sana ada tempat yang aman untuk berislam. Tapi dimana ? dimana ?!

“Bu, katakan. Ada apa ?”


Al-Quran …”

Mulut Abiva dan Ramazan mendesis pada waktu yang hampir bersamaan. Melihat apa yang ditunjukan Kemal dihadapan mereka. Hampir-hampir mereka meloncat penuh kegembiraan. Berpuluh tahun sudah mereka tak jumpa dengan kitab suci itu. Abiva , yang sekiranya ingin keluar negeri bersama keluarganya tak pernah benar-benar sampai ke tempat tujuannnya. Pada akhirnya keluarga mereka hanya berpindah kota saja. Hanya bisa keluar dari kota Tirana. Pun sama halnya dengan Ramazan. Dia masih bertahan dengan keluarganya di luar kota Tirana. Selama itu pula mereka merasa asing dengan agama mereka sendiri.

Namun kini semua telah berubah. Enver Hoxha telah jatuh dari tampuk kepemimpinan. Pun dengan rezim anti Tuhannya telah diganti oleh penggantinya Ramiz Alia. Undang-undang anti Tuhan dicabut Alia dan diganti dengan undang-undang yang tidak menentang kebebbasan beragama.

Itulah sebabnya baik Kemal, Abiva dan Ramazan merasa sangat bersyukur pada Allah atas tumbangnya rezim komunisme Hoxha. Kini mereka dapat berkumpul bersama-sama lagi seperti dulu. Seperti sewaktu Albania masih hidup dengan dzikir-dzikir ketauhidan. Seperti Albania yang penuh dengan masjid-masjid dan majlis-majlis ilmu.

Seolah bernostalgia, ketiga sahabat itu berkumpul membentuk sebuat forum. Terlihat kadang mereka tertawa kecil tapi tak jarang mereka menjentikkan air mata.

“Kau masih bisa membaca Al-Quran, Ramazan, Abiva ?” Kemal bertanya. Dua orang yang ditanya menggeleng. Mereka sudah lupa. Pun ketika Abiva bertanya tentang zakat dan puasa kepada Kemal, dia juga sudah lupa. Kumpulan pemuda tempo dulu itu tak mampu lagi mengingat nafas-nafas Islam di memori otak mereka. 

“Lalu dengan apa kita mengajarkan generasi muda kita tentang Islam, jika keadaan kita seperti ini ?!” Ramazan seperti menangis. Menyusul Kemal dan Abiva. Menangisi lemahnya ilmu mereka. Menangisi Albania yang asing pada risalah Rasulullah. Dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Ilmu itu telah hilang bersama para ulama, kitab-kitab ilmu, dan masjid-masjid yang dimusnahkan rezim Hoxha.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerita Elang Hitam "

Post a Comment