Batasan Usia Pemberi Hibah dan Jumlah Saksi


BAB IV
BATASAN USIA PEMBERI HIBAH DAN JUMLAH SAKSINYA MENURUT MAZHAB SYAFI DAN  KOMPILASI HUKUM ISLAM

A.    Batasan Usia pemberi hibah dan Jumlah saksinya menurut Mazhab Syafi’i.
Di dalam pembahasan bab-bab sebelumnya bahwa batasan usia  pemberi hibah dan jumlah saksinya menurut Mazhab Syafi’i masih bersifat umum.
Di dalam Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq disebutkan bahwa syarat-syarat penghibah adalah :
1.      Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
2.      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3.      Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.      Penghibah itu tidak dipaksa sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya[1].
           
Imam Syafi’i juga menyebutkan dalam kitabnya :
 (قال السافع) لهبه بشر ط العوض يكون بيعاوا لا فسلا
Artinya : “Imam Syafi’i berkata : Suatu pemberian yang disyarikatkan adanya ganti rugi adalah jual beli, apabila tidak ada ganti rugi atau imbalan itulah hibah”[2].
            Dari pernyataan Imam Syafi’i tersebut di atas bahwa hibah hampir sama dengan jual beli perbedaannya hanya terdapat dalam imbalan, apabila seseorang memberikan suatu barang kepada orang lain tapi diberikan ganti runginya atas barang yang diberikan tersebut maka itu jual beli, tetapi kalau tidak ada imbalan atau ganti rugi atas barang yang diberikan tersebut maka itulah hibah.
Dalam hukum Islam usia dewasa dikenal dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Sedangkan seorang perempuan disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, cukup sulit memastikan pada usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Untuk mengatasi hal tersebut, menurut pendapat Prof. A Djazuli, Koordinator Tim Penyusun Draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), memandang bahwa harus adanya pemberian batasan usia untuk kepastian hukum, sebab hal ini berkaitan dengan kecakapan hukum[3].
Jadi dalam masalah batasan usia pemberi hibah menurut Mazhab Syafi’i masih bersifat umum, begitu juga mengenai berapa jumlah saksi bagi orang yang akan memberikan (menghibahkan) hartanya kepada orang lain tidak ada ditentukan berapa saksinya.
            Di dalam sabda Rasulullah SAW ada menyinggung tentang saksi sebagai berikut :
عَنْ اَلنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنِّي نَحَلْتُ اِبْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكُلُّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا ? فَقَالَ : لَا . فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَارْجِعْهُ ) وَفِي لَفْظٍ : ( فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ : أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ? قَالَ : لَا قَالَ: اِتَّقُوا اَللَّهَ , وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي, فَرَدَّ تِلْكَ اَلصَّدَقَةَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ قَالَ : ( فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي ثُمَّ قَالَ : أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي اَلْبِرِّ سَوَاءً? قَالَ : بَلَى  قَالَ :  فَلَا إِذًا )


Artinya : Dari Nu'man Ibnu Basyir bahwa ayahnya pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap anakmu engkau berikan seperti ini?" Ia menjawab: Tidak. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau begitu, tariklah kembali." Dalam suatu lafadz: Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: "Apakah engkau melakukan hal ini terhadap anakmu seluruhnya?". Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: "Takutlah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu." Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini." Kemudian beliau bersabda: "Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti kepadamu?". Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: "kalau begitu, jangan lakukan."[4].
           
Maka dari hadist tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam memberikan suatu pemberian (hibah) diharuskan mempunyai saksi, seperti terdapat dalam perkataan :“Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar menyaksikan pemberiannya kepadaku”, dan juga selanjutnya ada perkataan :“Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini." Tapi dalam dialog tersebut tidak disebutkan berapa jumlah saksi yang harus menyaksikan pemberian hibah tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu transaksi pemberian sesuatu barang kepada orang lain (hibah) haruslah mempunyai saksi sesuai dengan dialog pada hadits tersebut diatas, tapi tidak ditentukan berapa jumlah saksi tersebut. Begitu juga para Ulama Mazjhab Syafi’i tidak ada ditemukan berapa jumlah saksi yang harus menyaksikan dalam proses pemberian harta seseorang kepada orang lain (hibah), maka hal ini juga masih bersifat umum.

B.     Batasan Usia pemberi hibah dan Jumlah saksinya menurut Kompilasi Hukum Islam.
            Dalam lapangan hukum, unsur usia memiliki peranan yang cukup penting dan juga saksi, sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai subyek hukum dalam tindakan hukumnya. Sebagian besar munculnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum, dikaitkan dengan atau terjadi melalui tindakan hukum. Padahal kecakapan untuk melakukan tindakan hukum dikaitkan dengan faktor kedewasaan, yang didasarkan antara lain atas dasar umur. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan hukum, adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki atau dapat dianggap dikehendaki.
Dengan demikian, umur memegang peranan yang penting untuk lahirnya hak-hak tertentu. Dengan perkataan lain, untuk berlakunya ketentuan-ketentuan hukum tertentu, ada kalanya harus dipenuhi unsur kedewasaan atau sebelum kedewasaan, yang kesemuanya pada akhirnya bergantung dari unsur umur.
Terhadap kebebasan tersebut, pembuat undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan, antara lain yang berkaitan dengan faktor umur yang mengadung unsur perlindungan. Kesemuanya itu berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak dalam hukum.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi acuan utama jelas diatur khusus tentang masalah batasan umur dan juga jumlah saksi bagi orang yang  akan menghibahkan hartanya, di dalam pasal 210 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut :
“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyanya 1/3 harta benda kepada orang lain atau lembaga dihadapan 2 (dua) orang saksi untuk dimiliki[5]

Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Dalam hal ini yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam membuat batasan umur 21 tahun dan harus mempunyai dua orang saksi apabila seseorang ingin memberikan (hibah) kepada orang lain, Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa orang yang sudah berumur 21 tahun sudah cakap dalam melakukan hukum dan apabila seseorang akan menghibahkan hartanya kepada orang lain harus disaksikan oleh 2 orang saksi, hal ini berguna untuk menjaga kedepannya seandainya ada lagi orang yang menuntut harta yang dihibahkan tersebut maka dengan adanya 2 (dua) orang saksi maka apabila ada masalah dikemudian hari bisa dipanggil saksi tersebut[6].
Pasal 98 KHI menyatakan, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, dengan catatan anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah menikah[7].
Sedangkan ukuran kedewasaan versi draft KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah), pada Buku I tepatnya Bab II tentang Kecakapan Hukum, ditegaskan bahwa usia dewasa bagi laki-laki adalah 19 tahun penuh dan perembuan 16 tahun penuh. Yang menarik bagi lelaki, kedewasaan tidak hanya dibuktikan dengan keluarnya sperma ketika mimpi, tetapi juga kemampuannya untuk menghamili. Berikut adalah 5 (lima) pasal yang ada dalam Bab II KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) tentang Kecakapan Hukum : 27
  1. Pasal 2 : Kedewasaan (baligh) dibuktikan dengan keluarnya sperma ketika bermimpi, kemampuan unyuk bisa menghamili, dan atau menstruasi.
  2. Pasal 3  : Umur dewasa (baligh) bagi laki-laki adalah 19 tahun penuh, dan bagi perempuan adalah 16 tahun penuh.
  3. Pasal 4 : Seseorang yang setelah mencapai batas akhir usia baligh, tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh, dianggap telah mencapai baligh secara hukum.
  4. Pasal 5 : tindakan seseorang yang belum mencapai usia baligh yang memperlihatkan tingkah laku seperti orang yang telah balig, tidak diakui secara hukum.
  5. Pasal 6 : 
a.       Pengakuan kedewasaan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang dibenarkan peraturan perundang-undangan.
b.      Pengadilan dapat mengukuhkan dan atau menolak permohonan pengukuhan pengakuan kedewasaan berdasarkan alat bukti yang diajukan[8].
Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah Pendewasaan menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidaksempurnaannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan is harus dibimbing.
Sedangkan di dalam KUH Perdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUH Perdata, orang dewasa adalah mereka-mereka yang :
  1. telah mencapai umur 21 tahun atau lebih;
  2. mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun[9] 
Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan, bahwa menurut KUH Perdata, paling tidak menurut anggapan KUH Perdata, orang-orang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut.
Oleh karena itu, usia 21 tahun dalam hal orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain ini juga hal ini selaras dengan Pasal 330 KUH Perdata.

C.    Persamaan dan Perbedaan Hibah menurut Mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam
            Dari pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya tampaklah suatu perbandingan antara Mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk itu penulis membuatnya secara terpisah yaitu sebagai berikut :
1. Persamaan
a.       Di dalam Mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam sama-sama memandang bahwa pelaksanaan hibah itu dilakukan dengan ikhlas dan sukarela tanpa mengharapkan imbalan suatu apapun dari orang yang menerima hibah tersebut.
b.      Di dalam mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa harta benda yang telah dihibahkan tersebut adalah menjadi milik si penerima hibah, dan penghibah tidak bisa memanfaatkan atau mengambil hasil dari harta yang dihibahkan tersebut. Terkecuali pihak sipenerima hibah mengizinkannya.
c.       Harta yang dihibahkan tersebut adalah milik penghibah, bukan milik orang lain. Jika ternyata harta yang dihibahkan tersebut milik orang lain atau tidak diketahui siapa yang memilikinya makas hibah tersebut tidak sah.
d.      Kompilasi Hukum Islam dan mazhab Syafi’i sama-sama memandang bahwa bagi sipenghibah tersebut harus benar-benar orang yang cakap dalam bertindak artinya telah dewasa dimuka hukum, sehingga penghibahan harta tersebut telah dipikirnya secara pasti kemana dan untuk apa harta tersebut dihibahkan.
e.       Kompilasi Hukum Islam dan Mazhab Syafi’i sama-sama menyatakan bahwa hibah orangtua kepada anaknya dapat ditarik kembali, sedangkan kepada orang lain tidak dibenarnya untuk menariknya kembali.
f.       Harta benda yang dihibahkan itu harus benar-benar ada, tidak sedang disewakan dan tidak sedang digadaikan. Kompilasi Hukum Islam dan Mazhab Syafi’i memandang apabila harta benda yang dihibahkan tersebut sedang berada dalam hak sewa atau hak gadai dengan orang lain maka penghibahan harta tersebut dianggap batal atau tidak sah.
2. Perbedaannya
            Adapun perbedaan tentang hibah menurut Kompilasi Hukum Islam dan Mazhab Syafi’i adalah sebagai berikut :
a.       Di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bagi orang yang hendak menghibahkan hartanya mesti berumur minimal 21 tahun sedangkan di dalam Mazhab Syafi’i tidak dijelaskan berapa batas usia bagi orang yang akan menghibahkan hartanya tersebut, tetapi mazhab syafi’i hanya mensyaratkan bagi orang yang mentasarrufkan hartanya apabila sudah baligh.
b.      Kompilasi Hukum Islam memandang pelaksanaan Hibah itu sah dan diakui kebenarannya apabila disaksikan sekurang-kurangnya 2 orang saksi, sedangkan di dalam mazhab Syafi’i tidak ada sisyaratkan adanya saksi dalam hibah tersebut.
c.       Di dalam Kompilasi Hukum Islam diberi batasan maksimal harta yang boleh dihibahkan sebanyak 1/3 dari jumlah harta keseluruhannya. Sedangkan di dalam mazhab Syafi’i batasan jumlah harta yang akan dihibahkan tidak ada dijelaskan.
d.      Di dalam Kompilasi Hukum Islam harta hibah bisa diperhitungkan atau beralih menjadi harta warisan, hal ini dijelaskan di dalam pasal 221 KHI sebagai berikut : Hibah dari orangtua kepada anaknya bisa diperhitungkan sebagai warisan. Sedangkan di dalam mazhab Syafi’i dinyatakan bahwa hibah itu adalah hibah dan hibah tidak dapat berubah status menjadi harta warisan. Karena hibah dapat dimiliki baik sipenghibah belum meninggal atau sudah meninggal sedangkan warisan hanya dapat terbagi dan dimiliki setelah meninggal dunia.
e.       Di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ditentukan persyaratan orang yang boleh menerima hibah dengan kata lain anak-anak, orang dewasa atau lembaga boleh menerima hibah untuk dimiliki. Sedangkan di dalam Mazhab Syafi’i ditentukan bahwa orang yang menerima hibah mesti ahli milik terhadap harta yang dihibahkan kepadanya.
Dari beberapa penjelasan yang telah disebutkan di atas maka dapatlah diketahui bahwa antara Kompilasi Hukum Islam dan Mazhab Syafi’i setelah diteliti, maka terdapatlah beberapa persamaan dan diamping itu juga ada beberapa perbedaan yang mendasar. Yang tentunya dengan adanya perbedaan ini akan dpat ditelaah mana yang relevan untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk ini. Sekaligus untuk mencari yang terbaik dalam rangka menegakkan kemashlahatan umat.
Karena hal ini dapat dipahami dari tujuan dibuatnya Kompilasi Hukum Islam, yaitu untuk menjadikan keseragaman Hukum Islam, yaitu untuk menjadikan keseragaman hukum yang dapat diterapkan bagi kehidupan bagi kehidupan umat Islam di Indonesia. Dan adapun perbedaan-perbedaan itu tampak disebabkan adanya penambahan-penambahan dalam Kompilasi Hukum Islam yang mana ini dilakukan para ulama Indonesia untuk menyesuaikan perkembangan Hukum Islam sesuai kultur bangsa Indonesia.

D. Analisa Terhap Batasan Usia Pemberi Hibah dan jumlah Saksinya Menurut Mazhab Syafi’i.
      

Artinya : dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak[10].
            Dari ayat tersebut di atas dapatlah diambil suatu gambaran bahwa kita dituntut untuk senantiasa mengadakan evaluasi terhadap amal dan perbuatan kita sehari-hari, apakah kita sudah ikhlas dan rela dalam memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa meminta sesuatu sebagai ganti dari apa yang kita berikan. Dalam hidup ini kita sebagai khalifah sudah barang tentu saling menerima dan member (take and give) bagi sesama manusia, dimana biasanya manusia itu lebih menginginkan keuntungan daripada kerugian di dalam kehidupannya.
            Apabila kita lihat dari konteks ayat di atas, dapatlah dipahami bahwa kita sebagai umat yang beriman senantiasa dituntut untuk tidak selamanya mengharapkan keuntungan belaka saja, akan tetapi keikhlasan dan kerelaanlah yang dikehendaki oleh Allah SWT, baik hubungan mu’amalah dengan sesama  manusia, terutama sekali dalam beramal ibadah yang sifatnya Hablum Minallah. Karena kita tidak ikhlas hanya akan sia-sia belaka. Iman Syafi’i menyatakan pendapatnya tentang hibah merupakan tolak ukur bagi kita untuk merenungkan apakah selama ini upaya yang kita lakukan dalam melaksanakan itu sudah sesuai apa yang telah ditentukan oleh hukum Islam.
            Penulis melihat bahwa apa yang diutarakan oleh Ulama Syafi’iyah dalam kitab-kitabya sangat memberikan motivasi bagi umat islam, tetapi begitupun yang diutarakannya tersebut belum berarti semuanyan bisa menjadi panutan, artinya di antara pendapat-pendapatnya pasti masih ada sesuatu kekurangan jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan Hukum Islam seperti Kompilasi Hukum Islam. Seperti batas usia bagi penghibah, di dalam Mazhab Syafi’i tidak ada ditentukan usia maksimal dan juga berapa jumlah saksinya untuk memberikan hibah.
            Mazhab Syafi’i hanya memandang kepada baligh dan berakal, pada umumnya seseorang yang dikatakan telah baligh apabila bagi perempuan telah menjalani menstruasi. Sedangkan bagi anak laki-laki telah mengalami mimpi.
            Jadi jelasnya Mazhab Syafi’i tidak ada menetapkan batas umur bagi orang yang akan menghibahkan hartanya. Apabila seseorang telah mukallaf (balig dan berakal) berarti telah boleh untuk mentasarrufkan harntanya baik itu menjual belikan maupun menghibahkannya.
            Apabila dilihat dari segi hukum ketentuan mukallaf dan baligh belumlah dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan seseorang itu telah cakap atau tidak. Sebab pada masa sekarang ini bisa sakang pada umur 8 atau 10 tahun sudah menjalani haid bagi wanita dan umur 10 atau 12 tahun sudah menjalani mimpi bagi pria. Apabila dilihat kenyataannya bahwa umur-umur seperi ini pada umumnya belumlah dapat menentukan arah hidupnya apalagi dalam masalah harta. Sedangkan hukum menghendaki suatu ketentuan atau aturan yang jelas dan dapat mengikat serta sesuai dengan keadaan masyarakat dimana dapat mengikat serta sesuai dengan keadaan masyarakat dimana hukum itu berlaku.

E. Pendapat yang paling Mashlahat
            Berangkat dari kedua pendapat antara Mazhab Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam dan dasar hukum yang digunakan maka penulis memberikan argumentasi bahwa Kompilasi Hukum Islam beranjak dan bersumber mayoritas dari Fiqh Syafi’i, karena apa yang ada di dalam argument Kompilasi Hukum Islam sama dengan yang ada di Fiqh Syafi’i, tetapi Kompilasi Hukum Islam membuat suatu hukum yang sama sekali tidak ada di Fiqh Syafi’i, artinya Kompilasi Hukum Islam memberikan tambahan hukum tentang permasalahan yang dibahas di dalam pembahasan ini.
            Tambahan yang diberikan Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran kebaikan daripada hukum itu sendiri. Misalnya di dalam ketentuan pelaksanaan hibah, Kompilasi Hukum Islam menambahkan dengan batas usia yang dimiliki oleh si penghibah yaitu 21 tahun. Kemudian dari pada itu Kompilasi Hukum Islam menambahkan lagi dalam transaksi pemberian harta seseorang kepada orang lain (hibah) tersebut harus mempunyai 2 (dua) orang saksi.
Ketentuan-Ketentuan ini sebelumnya tidak dibicarakan di dalam Fiqh Syafi’i karena beliau (Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya) memandang secara umum terhadap pelaksanaan hibah itu sendiri. Berarti apa yang dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam itu dipandang lebih mashlahat dan lebih baik ketimbang dari hukum yang dikeluarkan oleh Mazhab Syafi’i. kedua-duanya yaitu Kompilasi Hukum Islam dan Mazhab Syafi’i bertujuan untuk kepentingan umum.
Artinya mengeluarkan hukum untuk kepentingan umum, tetapi yang lebih mashlahat untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi bukan berarti pendapat Mazhab Syafi’i dikesampingkan atau tidak kuat, disini kita memandang penerapan hukumnya di masa sekarang ini.
Selain daripada itu Kompilasi Hukum Islam adalah produk hukum yang datangnya dari penguasa dalam hal ini pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, dalam kewenangan penguasa (pemerintah) dalam mengurus rakyat.
            Penulis melihat apa yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih mashlahat daripada apa yang dikemukakan Mazhab Syafi’i. hal ini sangat sesuai dengan perkembangan peradaban manusia yang begitu cepat, dimana kemajuan teknologi dan arus globalisasi pada masa sekarang ini mestilah diimbangi dengan ketentuan-ketentuan hukum yang lebih mengikat agar dapat dijamin kemashlahatan umat di kemudian hari.

Daftar Bacaan
1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 14, diterjemah oleh Drs. Mudzakir A.S, Cet. 2, Bandung, Alma’arif, 1988, h.171
[2] Muhammad Ibn Idris as-Syafi’i Al-Um, Juz. III Dar Al Fikr, Beirut, h. 314
[3] Prof. A Djazuli,www.hukumonline.com, rabu 20 Juli 2012.
[4] Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subulu as-Salam, Juz. III, Dahlan, Bandung.                h. 89
[5] Departmen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2000, h. 94-95
[6] J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1999), hal. 63
[7] Departmen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2000, h.95
[8] Bab II, Draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Mahkamah Agung
[9] Prof. R. Subekti, S.H, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 341 
[10] Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahannya,  Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1984, h. 992

Subscribe to receive free email updates: