Perbedaan Pendapat Para Ulama "Ikhtilaf"

A. Pengertian ikhtilaf ( perbedaan pendapat)

Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan ( (خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).

Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatau ubyek (masalh) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral.

Jadi yang dimaksud ihtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.

Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukahaq) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan laian-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.

Perbedaan pendapat dalam hukum islam (الإختلافة الفقهية)
Bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalh al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum islam (fiqh) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.

Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari kaum Muslimin dan Ahlul kitab yang mengikuti pendapat pendeta mereka. Orang awam dari Kaum Muslimin yang mengikuti pendapat imam-imam mereka, pendapatnya diistinbatkan dari al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmannya:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, ( Q.S. AL-Nahl: 43)

Sedangkan Ahlul kitab yang di dalam beragama mengikuti pendapat-pendapat para pendeta dan ulama mereka, sumbernya adalah dari diri para pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyak yang bertentangan dengan perintah Tuhan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya:

ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.(Q.S. al-Taubah: 31)

Diterangkan dalam hadits bahwa ketika datang Adiy bin Hatim al- Tha’iy kepada Rasulullah SAW. Dan beliau membaca ayat ini, lalu Adiy berkata, saya berpendapat bahwa mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang yang zaim atau rahib-rahib mereka) Maka Rasulullah SAW. Bersabda, Tentu saja mereka itu menyembahnya, bahwa sanya mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka) telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram kepada mereka, kemudian mereka (ahlu al-kitab) itu mengikutinya, begitulah cara penyembahan mereka kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir.

B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW. Ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasululla SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khathtab memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash.

Perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat dan Tabiin (setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar-dasar agama yang termasuk ما علم من الدين باالضرورة (yang telah diketahui dalam agama tanpa perlu dalil) dan hal-hal yang telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath’i.

Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjag sejarah hukum islam, sehingga kadang-kadang menimbulakan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.

Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemuka hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.

Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al-fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam yaitu: 1. Pemahaman al-Qur’an da sunnah Rasulullah SAW. 2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah SAW. 3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan qaidah-qaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah 4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Penjelasan dari masing-masing penyebab ikhtilaf itu adalah sebagai berikut:

1) Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

.berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak (مشترك) dalam nash al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.

Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.

Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237)

Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.

Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan imam syafi’i dalam qaul jadidnya.

Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini sebagai sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarak.

Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat al-Qur’an. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah AWT:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar( QS. al-Maidah:33

Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari permukiman bumi. Sdangkan ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman mati sudah ada ketentuannya secara jelas.

2) Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW.
Sebab khusus mengenai sunnah rasulullah SAW. yang menonjol antara lain:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadist kepada sebagian sahabat,
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan hadist (sahih atau tidaknya)
c. Perbedaan mengenai kedudukan syakhsiyyah rasul.
Penjelasan hal tersebut sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist

Seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan hadist), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau melarang dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah sebagai berikut:

أن ابن عمر كان يأمر النساء إذا غتسلن أن ينقضن رؤوسهن

Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah RA. Merasa heran dan berkata:

عجبا لابن عمر هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رؤوسهن أفلا يأمرهن يحلقن
رؤوسهن

Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja.

Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:
لقد كنت أغتسل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثلاث إفراغات
Sungguh aku pernah menjadi bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.

Contoh lain adalah riwayat al-Zuhri, bahwa Hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:

أن هندا لم تبلغها رخصة رسول الله صلى الله عليه وسلم في المستحاضة وهي التي ينزل عليها الدم بعد أقص مدة الحيض فكانت تبكي لانها لاتصلي

Bahwa Hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshah shalat mustahadhah (orang yang keluar darah sesudah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa melakukan shalat.

Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:

عن عائشة رضي الله عنها قا لت: جائت فاطمة بنت أبي حبيش إلى النبي الله عليه وسلم فقالت يا سول الله إني امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة قال: لاإنما ذالك عرق وليس بحيض فإذا أقبلت حيضتك فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم ثم صلي (متفق عليه)

Dari Aisyah RA. Ia berkata, bahwa fathimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, Ya Rasulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat? Rasul menjawab, Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkanlah shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. AL-Bukhari dan Muslim).

b. Perbedaan dalam menilai periwayatan Hadis
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.

Contoh dari segi sanad, adaah seperti hadist yang dijadikan dasar oleh imam syafi’i tentang wajibnya membaca al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat:

عن عبادة بن صامت قال : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: إني أراكم تقرؤون وراء إمامكم . قال، قلنا يا رسول الله، والله، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها (رواه داود)

Dari ubadah bin shamit, ia berkata bahwa rasulullah SAW.Telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selsai shalat, rasulullah berkata,’’ aku memperhatikan kalian membaca dibelakang imam.’’kami menjawab, ‘’ya rasul, demi allah memang kami baca. ‘’rasulullah berkata, ‘’jangan lah kmu membaca, kecuali ummul Qur’an (al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca. (H. R. Abu daud).

Menurut ibnu qudamah al-maqdisi al-hanbali dalam kitabnya, al-mughni menyatakan, bahwa hadis ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali ibnu ishaq dan naf’i bin mahmud bin al-rabi. Sedangkan ibnu ishaq adalah mudallis, dan naf’i lebih rendah lagi, (lebih buruk lagi) keadaanya dari ibnu ishaq. Contoh dari segi matan hadist adalah seperti yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ترك مالا أو حقا فلورثته ومن ترك كلا أو عيالا فإلي.

Barang siapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli warisnya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris (kalalh) atau sebaliknya( meninggalkan ahli waris tanpa harta kekeyaan) maka itu dalah tanggunganku.

Imam abu Hanifah tidak mengakui adanya hak,( حقا) dalam muatan hadist tersebut, sehingga beliau tidak memasukan sebagai tirkah, hak cipta, khiyar, syufah, dan sebagainya. Sedangkan jumhur fuqaha’( safi’i, maliki, ahmad bin hambal) Menetapkan adanya kata’’haqqn’’ dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukan dalam tirkah: hak cipta, khiyar, syufah dan sebagainya.
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S. al-Kahfi:110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya.

عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:من أحيا أرضا ميتة فهي له (روه الثلاثة)
Barang siapa menganggap tanah mati, maka dialah pemiliknya.

Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap pemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu masih hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha yang memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.

Demikian pula dengan hadits Rasul berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من قتل قتيلا عليه بينة فله سلبه.

Barang siapa yang membunuh musuh dan memiliki keterangan (bukti-bukti) yang lengkap, maka dialah yang berhak terhadap apa yang ada pada terbunuh (rampasan)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perbedaan Pendapat Para Ulama "Ikhtilaf""

Post a Comment