Perbedaan Pendapat Para Ulama "Ikhtilaf"

A. Pengertian ikhtilaf ( perbedaan pendapat)

Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan ( (خلف- يخلف-خلافا ), maknanya lebih umum daripada al-dhiddu (الضد), sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain (الضدين ), pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) (مختلفا ).

Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatau ubyek (masalh) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral.

Jadi yang dimaksud ihtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.

Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukahaq) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan laian-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, dan lain-lain.

Perbedaan pendapat dalam hukum islam (الإختلافة الفقهية)
Bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalh al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum islam (fiqh) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.

Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari kaum Muslimin dan Ahlul kitab yang mengikuti pendapat pendeta mereka. Orang awam dari Kaum Muslimin yang mengikuti pendapat imam-imam mereka, pendapatnya diistinbatkan dari al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmannya:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, ( Q.S. AL-Nahl: 43)

Sedangkan Ahlul kitab yang di dalam beragama mengikuti pendapat-pendapat para pendeta dan ulama mereka, sumbernya adalah dari diri para pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyak yang bertentangan dengan perintah Tuhan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya:

ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.(Q.S. al-Taubah: 31)

Diterangkan dalam hadits bahwa ketika datang Adiy bin Hatim al- Tha’iy kepada Rasulullah SAW. Dan beliau membaca ayat ini, lalu Adiy berkata, saya berpendapat bahwa mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang yang zaim atau rahib-rahib mereka) Maka Rasulullah SAW. Bersabda, Tentu saja mereka itu menyembahnya, bahwa sanya mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka) telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram kepada mereka, kemudian mereka (ahlu al-kitab) itu mengikutinya, begitulah cara penyembahan mereka kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir.

B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW. Ketika beliau masih hidup. Tetapi perbedaan pendapat itu segera dapat dipertemukan dengan mengembalikannya kepada Rasululla SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khathtab memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash.

Perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya. Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat dan Tabiin (setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasar-dasar agama yang termasuk ما علم من الدين باالضرورة (yang telah diketahui dalam agama tanpa perlu dalil) dan hal-hal yang telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath’i.

Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjag sejarah hukum islam, sehingga kadang-kadang menimbulakan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.

Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemuka hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.

Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al-fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam yaitu: 1. Pemahaman al-Qur’an da sunnah Rasulullah SAW. 2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah SAW. 3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan qaidah-qaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah 4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Penjelasan dari masing-masing penyebab ikhtilaf itu adalah sebagai berikut:

1) Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

.berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak (مشترك) dalam nash al-Qur’an yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.

Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu يسقط (menggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami.

Nash al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237)

Kata الذي بيده عقدة النكاح dapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفو diartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاح itu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti ia (suami) menghibahkan haknya yang separuhnya lagi kepada istrinya.

Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu hanifah dan imam syafi’i dalam qaul jadidnya.

Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis. Disini sebagai sekedar contoh perbedaan pendapat dari kata musytarak.

Kedua, kata al-nafsyu dalam bentuk kata ينفو pada ayat al-Qur’an. Kata ini mengandung dua arti: majazi (kiasan atau metapora) dan hakiki. Sebab itu para mujtahid berbeda pendapat dalam menafsirkan firman allah AWT:

إِنَّمَا جَزَٰٓؤُا۟ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓا۟ أَوْ يُصَلَّبُوٓا۟ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَٰفٍ أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْىٌ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar( QS. al-Maidah:33

Jumhur fuqaha’ berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat أَوْ يُنفَوْا۟ مِنَ ٱلْأَرْضِ adalah di keluarkan dari permukiman bumi. Sdangkan ulama’ hanafiyah berpendapat lain, bahwa kalimat tersebut tidak dimaksudkan secara hakiki, akan tetapi majazi. Dengan demikian, mereka menafsirkan secara hakiki (dikeluarkan dari permukaan bumi), itu berarti hukuman mati, sedangkan hukuman mati sudah ada ketentuannya secara jelas.

2) Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW.
Sebab khusus mengenai sunnah rasulullah SAW. yang menonjol antara lain:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadist kepada sebagian sahabat,
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan hadist (sahih atau tidaknya)
c. Perbedaan mengenai kedudukan syakhsiyyah rasul.
Penjelasan hal tersebut sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist

Seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan hadist), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau melarang dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah sebagai berikut:

أن ابن عمر كان يأمر النساء إذا غتسلن أن ينقضن رؤوسهن

Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah RA. Merasa heran dan berkata:

عجبا لابن عمر هذا يأمر النساء إذا اغتسلن أن ينقضن رؤوسهن أفلا يأمرهن يحلقن
رؤوسهن

Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja.

Kemudian Aisyah meriwayatkan hadits mengenai soal itu sebagai berikut:
لقد كنت أغتسل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثلاث إفراغات
Sungguh aku pernah menjadi bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman.

Contoh lain adalah riwayat al-Zuhri, bahwa Hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat:

أن هندا لم تبلغها رخصة رسول الله صلى الله عليه وسلم في المستحاضة وهي التي ينزل عليها الدم بعد أقص مدة الحيض فكانت تبكي لانها لاتصلي

Bahwa Hindun belum sampai kepadanya hukum rukhshah shalat mustahadhah (orang yang keluar darah sesudah batas maksimal haid), sehingga ia senantiasa menangis karena tidak bisa melakukan shalat.

Padahal ada hadis mengenai rukhshah shalat bagi mustahadhah sebagai berikut:

عن عائشة رضي الله عنها قا لت: جائت فاطمة بنت أبي حبيش إلى النبي الله عليه وسلم فقالت يا سول الله إني امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة قال: لاإنما ذالك عرق وليس بحيض فإذا أقبلت حيضتك فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم ثم صلي (متفق عليه)

Dari Aisyah RA. Ia berkata, bahwa fathimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, Ya Rasulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat? Rasul menjawab, Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkanlah shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. AL-Bukhari dan Muslim).

b. Perbedaan dalam menilai periwayatan Hadis
Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.

Contoh dari segi sanad, adaah seperti hadist yang dijadikan dasar oleh imam syafi’i tentang wajibnya membaca al-fatihah bagi ma’mum dalam shalat:

عن عبادة بن صامت قال : صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: إني أراكم تقرؤون وراء إمامكم . قال، قلنا يا رسول الله، والله، قال: لا تفعلوا إلا بأم القرآن فإنه لا صلاة لمن لم يقرأ بها (رواه داود)

Dari ubadah bin shamit, ia berkata bahwa rasulullah SAW.Telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selsai shalat, rasulullah berkata,’’ aku memperhatikan kalian membaca dibelakang imam.’’kami menjawab, ‘’ya rasul, demi allah memang kami baca. ‘’rasulullah berkata, ‘’jangan lah kmu membaca, kecuali ummul Qur’an (al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca. (H. R. Abu daud).

Menurut ibnu qudamah al-maqdisi al-hanbali dalam kitabnya, al-mughni menyatakan, bahwa hadis ubadah ini tidak ada yang meriwayatkan kecuali ibnu ishaq dan naf’i bin mahmud bin al-rabi. Sedangkan ibnu ishaq adalah mudallis, dan naf’i lebih rendah lagi, (lebih buruk lagi) keadaanya dari ibnu ishaq. Contoh dari segi matan hadist adalah seperti yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من ترك مالا أو حقا فلورثته ومن ترك كلا أو عيالا فإلي.

Barang siapa meninggalkan harta kekayaan atau hak, maka ia untuk ahli warisnya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta kekayaan tanpa ahli waris (kalalh) atau sebaliknya( meninggalkan ahli waris tanpa harta kekeyaan) maka itu dalah tanggunganku.

Imam abu Hanifah tidak mengakui adanya hak,( حقا) dalam muatan hadist tersebut, sehingga beliau tidak memasukan sebagai tirkah, hak cipta, khiyar, syufah, dan sebagainya. Sedangkan jumhur fuqaha’( safi’i, maliki, ahmad bin hambal) Menetapkan adanya kata’’haqqn’’ dalam hadits tersebut, sehingga mereka memasukan dalam tirkah: hak cipta, khiyar, syufah dan sebagainya.
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW.

Sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S. al-Kahfi:110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya.

عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:من أحيا أرضا ميتة فهي له (روه الثلاثة)
Barang siapa menganggap tanah mati, maka dialah pemiliknya.

Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap pemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu masih hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha yang memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap.

Demikian pula dengan hadits Rasul berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :من قتل قتيلا عليه بينة فله سلبه.

Barang siapa yang membunuh musuh dan memiliki keterangan (bukti-bukti) yang lengkap, maka dialah yang berhak terhadap apa yang ada pada terbunuh (rampasan)

Perlukah Kita Mengikuti Salah Satu Mazhab Ulama

Dalam Islam, perlukah kita bermazhab? Kaum Muslim kerap berdebat mengenai jawaban atas pertanyaan ini. Yang satu berpendapat, bermazhab itu sebuah keharusan dalam beragama. Sedang yang lain beranggapan tidak perlu. Sebab, lebih utama bila kita berpatokan langsung pada al-Qur`an dan Hadits.
Perdebatan ini seringkali berakhir dengan gesekan antar kedua kubu. Ini terjadi karena keduanya fanatik dengan pendapat masing-masing. Inilah yang disesalkan oleh DR. Zain An-Najah, ketua Dewan Majlis Fatwa Dakwah Islamiyah Indonesia.

“Mazhab itu sebuah madrasah (sekolah) untuk mempelajari Islam,” kata lelaki yang pernah menjabat Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, Kairo, Mesir, ini.

Menurut Zain, mazhab adalah metode yang sistimatis untuk mempelajari Islam. Sehingga, dengan jalan ini orang akan mudah memahami agama dan tidak kebingungan (confuse). “Yang tidak boleh adalah fanatik buta terhadap mazhab,” terangnya.

Zain, begitu ia biasa dipanggil, kemudian menjelaskan bahwa para ulama yang muktabar, meski mereka bermazhab, tetap kritis dengan mazhab yang dianutnya. Ia mencontohkan Imam Muzani yang bermazhab Syafi’i, namun tetap kritis terhadap pendapat Imam Syafi’i. Demikian pula Ibnu Taimiyah, meski bermazhab Hambali, tetap kritis terhadap mazhab yang dianutnya.

Adapun orang yang tidak bermazhab, menurut doktor ilmu fiqh dari Universitas Al-Azhar, Kairo, ini, boleh-boleh saja asal memiliki ilmu yang memadai mengenai cara memahami al-Qur`an dan Sunnah. Sedang untuk memahami keduanya harus menguasai perangkat yang dibutuhkan. Bila tidak, dikhawatirkan mereka seenaknya mengartikan kedua sumber hukum tersebut.
“Setidaknya ia harus menguasai bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur`an dan Sunnah berbahasa Arab,” jelasnya lagi.

Selain itu mereka harus memahami penafsiran para sahabat tentang kedua kitab tersebut. Karena merekalah orang yang paling paham isi al-Qur`an dan Sunnah, sebagaimana yang mereka terima langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). “Persyaratan ini harus dipenuhi supaya tidak terjerumus kepada penafsiran yang ngawur,” tegasnya.

Risiko dari penafsiran yang ngawur itu, menurut Zain lagi, bisa mengantarkan seseorang ke dalam neraka. Hadits Rasulullah SAW yang diriwiyatkan Imam Turmudzi berbunyi: ”Siapa yang menafsiri al-Qur`an dengan ra’yunya (akalnya), siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.”

Untuk mengetahui lebih jauh masalah tersebut, wartawan Suara Hidayatullah Bahrul Ulum dan Dwi Budiman, menemui dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) ini di rumahnya, di kawasan Jakarta Timur. Perbincangan dilakukan ba’da isya, diterangi lilin karena sejak maghrib wilayah tersebut terkena giliran pemadaman listrik.

Menurut Anda, posisi mazhab di dalam Islam seperti apa?
Mazhab itu ibarat madrasah bagi orang yang mempelajari Islam. Melalui mazhab inilah kita akan belajar Islam secara sistematis dan terarah. Mulai dari jenjang yang terendah sampai yang tertinggi.

Sebagai contoh, dalam bidang fiqh, di mazhab Syafi’i terlebih dulu akan diajarkan kitab yang paling sederhana seperti kitab Sullam Safina, kemudian lebih tinggi lagi seperti Fatkhul Qarib, dan seterusnya.

Demikian juga dalam mazhab yang lain, melalui jenjang seperti itu. Dengan belajar model seperti itu, pemahaman kita semakin lama semakin bagus dan terarah.

Bagaimana kalau kita belajar Islam tanpa melalui mazhab?
Tidak ada masalah. Yang penting kita menguasai secara baik perangkat yang dibutuhkan untuk memahami al-Qur`an dan as-Sunnah.

Persoalannya, apakah ada sekarang ini orang yang memiliki ilmu mumpuni sehingga tidak keliru memahami firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) dan sabda Rasulullah?

Maksudnya?
Kita harus jujur, orang sekaliber Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah yang keilmuannya sudah diakui, masih bermazhab. Apalagi kita yang ilmunya tidak ada apa-apanya dibanding kedua ulama tersebut.

Demikian pula ulama-ulama kontemporer seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin juga bermazhab.

Bukankah wacana anti-mazhab itu berasal dari Saudi?
Itu tidak benar. Buktinya Syaik Bin Baz, Syaik Utsaimin, dan syaikh lainnya di sana bermazhab Hambali. Saya tahu mereka bermazhab karena saya lama kuliah di sana. Jadi tidak benar jika dikatakan ulama-ulama Saudi anti-mazhab.

Saya sempat belajar langsung kepada Syaikh Utsaimin dan beliau mengajarkan kitab mazhab seperti Subulusalam karya Imam Sun’ani yang bermazhab Syafi’i. Kemudian, di waktu yang lain beliau mengajarkan kitab Al-Mugni karya Ibnu Qudama yang bermazhab Hambali. Demikian pula syaikh-syaikh yang lain di sana juga mengajarkan kitab-kitab turots yang bermazhab.

Sebagian orang berpendapat, ijtihad ulama yang tidak bermazhab seperti Imam Syaukani lebih brilian dibanding ulama mazhab?

Pertanyaan ini pernah dijawab oleh profesor saya ahli fiqh di Al Azhar, bahwa ilmu Imam Syaukani itu hanya secuil kuku dibanding ilmunya Imam Syafi’i. Kalau hasil ijtihad Imam Syaukani yang hanya membanding-bandingkan lalu dianggap briliyan, kita juga bisa melakukan hal yang sama, bahkan bisa lebih bagus. Ini karena teknologi yang ada sekarang memungkinkan untuk itu. Kita bisa mencari kitab apa saja, tinggal mengklik di Maktabas Syamilah, misalkan. Kemudian kita tahqiq (edit). Terus, apakah kemudian dikatakan bahwa kita lebih baik dan pintar dari Imam Syafi’i?

Jelas tidak dong. Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz ketika dipuji memiliki ilmu yang lebih baik dari sahabat Muawiyah, langsung marah dan berkata bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibanding sahabat Rasulullah itu.

Apa makna peristiwa ‘Umar ini?
Itulah sikap yang harus dimiliki oleh seorang ahli ilmu. Kita tidak boleh merasa paling baik dan pintar dibanding ulama-ulama terdahulu. Apalagi terhadap para sahabat dan dua generasi berikutnya, yang dijamin kebaikannya oleh Rasulullah dalam pemahamannya terhadap Islam.

Kita semestinya tetap menghormati dan tabarruk (mencari berkah) kepada para ulama dan tidak merasa lebih baik dan pintar dibanding mereka. Kalau di antara kita sudah ada yang merasa demikian, itu namanya takabur (sombong) dan tidak tahu diri.

Para ulama, terutama para fuqaha sudah bersusah payah menghabiskan harta, tenaga, dan pikirannya untuk mempelajari al-Qur`an dan Sunnah Rasul, kemudian mengambil kesimpulan hukum dari kedua kitab tersebut, sehingga memudahkan generasi berikutnya.

Ijtihad para fuqoha yang disebut fiqh itu dijamin mendekati kebenaran dibanding kesimpulan orang yang ilmunya tidak seberapa dibanding mereka.
Banyak orang salah memahami isitilah syariah dan fiqh. Bagaimana kedudukan fiqh dalam pemikiran Islam?

Fiqh adalah produk manusia, karena ia hasil dari proses yang dilakukan seseorang dalam mengistinbatkan suatu hukum dari teks-teks al-Qur`an dan Hadist. Dengan demikian fiqh tidaklah mutlak kebenarannya, khususnya masalah-masalah yang masih menjadi perdebatan para ulama, bahkan kadang bisa berubah-rubah menurut kondisi dan perkembangan zaman.

Sedang syari’ah adalah wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang selanjutnya kita kenal dengan syari’at Islam. Syari’at ini kebenarannya mutlak dan tidak mungkin salah. Tidak boleh bagi siapapun juga untuk mengubah-ubahnya.

Namun, dalam perkembangannya, istilah ‘syari’ah’ sering digunakan untuk hal-hal yang berbau fiqh dan ushul fiqh. Dalam dunia akademis, umpamanya, kita dapatkan istilah kuliyah syari’ah (fakultas syariah), yaitu kuliah yang dipelajari di dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan fiqh, ushul fiqh, dan proses istinbat hukum.

Bagaimana pandangan Anda terhadap wacana pembaruan fiqh oleh cendekiawan sekarang?

Pembaharuan fiqh yang sering digembor-gemborkan oleh sebagian cendikiawan Muslim sebenarnya bukanlah pembaharuan fiqh, melainkan pengrusakan fiqh. Hal itu karena orang yang ingin memperbaharui fiqh tidak menguasai fiqh secara baik.

Orang semacam ini akan membawa kerusakan lebih banyak dari pada memperbaharuinya. Mereka itu seperti orang yang buta terhadap teknologi, kemudian ingin memperbaharui komputer, tentunya yang didapat adalah kerusakan, bukan pembaharuan atau perbaikan.

Dan, yang perlu digaris bawahi di sini, bahwa kita harus bisa membedakan antara ulama dan cendikiawan. Ulama orang yang mempelajari ilmu syari’ah secara sistematis dari awal sampai akhir dengan manhaj yang jelas, di bawah bimbingan para ulama, sehingga mampu menguasai ilmu dengan baik.

Sedang cendikiawan adalah orang yang belajar syari’ah secara tidak utuh. Ia hanya mengambil bagian-bagian tertentu yang ia butuhkan saja. Atau, bisa kita sebut juga orang yang hanya mengetahui sedikit-sedikit dari segala sesuatu.
Apakah fiqh kontemporer bisa disebut bagian dari pembaruan fiqh?

Fiqh kontemporer tentu saja tidak bisa dilepaskan dari fiqh klasik, karena dasar-dasar ilmu kontemporer terdapat dalam fiqh klasik tersebut. Hanya saja pengembangannya harus disesuaikan dengan kondisi zaman dan kebutuhan manusia. Seperti kajian-kajian ekonomi Islam yang sekarang sedang marak di Indonesia. Itu semua tidak bisa dilepaskan dengan Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam fiqh klasik.

Tentara Israel Menyamar Sebagai Pelempar Batu Lalu Menembaki Pemuda Pelestina

Para aparat intel israel ikut melempar batu di kerumunan pemuda Palestina sebelum mengarahkan senjata kepada mereka.


Dua orang Palestina ditembak hari Selasa, setelah ada 8 agen israel yang menyamar, berpakaian seperti orang Palestina dan memakai syal untuk menutup wajah mereka, bergabung dengan kelompok perlawanan Palestina saat bentrokan terjadi. Satu di antara mereka dilaporkan sedang dalam keadaan kritis. Demikian dikutip Middle East Eye (MEE), baru-baru ini.


Dugaan adanya tim penyamar dari kepolisian israel karena mereka tertangkap kamera oleh sejumlah jurnalis saat mereka bergabung dengan rakyat Palestina melempar batu saat bentrokan dekat blok pemukiman ilegal Beit El di luar Ramallah.

Video kejadian tersebut, diambil oleh seorang cameramen AFP yang menunjukkan demonstran Palestina yang lari dari tempat kejadian, menjadi viral di internet. Rekaman itu menunjukkan adanya petugas yang menyamar karena ia mengeluarkan pistol untuk menahan para demonstran. Teriakan mustarabiin – yang berarti seorang Israel yang berpakaian Arab untuk melaksanakan misi militer – terdengar dalam kerumunan.


Pasukan penjajah israel lainnya dengan respon cepat mendatangi tim penyamar untuk membantu mereka.

Tiga orang Palestina ditangkap dan ditahan, dua di antara mereka ditembak dan dipukuli sebelum ditangkap.

Juru bicara tentara penjajah mengatakan kepada MEE lebih dari 350 demonstran melempari batu, bom Molotov, dan kembang api terhadap pasukan israel pada bentrokan di Beit El.


Namun, juru bicara tersebut tidak memberikan komentar adanya penggunaan agen yang menyamar pada insiden tersebut dan menolak untuk menjelaskan lebih lanjut apakah israel menggunakan metode ini di Tepi Barat dan juga dalam insiden-insiden lainnya seperti yang sudah lama dirumorkan sebelumnya.


Juru bicara tersebut juga mengkonfirmasi adanya dua warga Palestina yang ditembak di tempat kejadian dan mengatakan bahwa mereka sudah ditangani para medis di sana sebelum dibawa ke rumah sakit di Yerusalem.


Dalam sebuah postingan di Facebook, juru bicara tentara penjajah, Peter Lerner kemudian meng-upload video berdurasi 17 detik yang menunjukkan kejadian tesebut dari sudut yang berbeda. Times of Israel menjelaskan, penyamar adalah tentara elit Israel Duvdevan.


Pejabat Palestina Red Crescent Society (PRCS) mengatakan kepada MEE anggota medis mereka tidak dapat merawat dua orang Palestina tersebut karena mereka masih ditahan Israel dan tidak dapat mengontak mereka mengikuti kejadian tersebut.


Seorang jurnalis AFP yang menangkap insiden tersebut dalam video, merilisnya dalam sebuah blog setelah kejadian pada hari Rabu (07/10/2015).


“Sudah sangat umum melihat agen-agen israel menyusup ke dalam kerumunan demonstran Palestina, tulisnya. Saya menyaksikan ini terjadi berkali-kali di Yerusalem.


Tapi hari ini, saya merekam agen-agen penyamar ini untuk pertama kalinya, menembakkan 5 peluru kepada kerumunan demonstran, tambahnya.


Seperti diketahui, penjajah israel menyiapkan agen dalam unit polisi penyamaran yang dikenal fasih berbahasa Arab, mengenal budaya lokal dan biasanya diambil dari orang Yahudi, Druze, dan warga Israel keturunan Palestina.


Rakyat Palestina bahkan memiliki istilah untuk mereka, “Mustarabiin”, yang berarti seseorang yang menyamar sebagai orang Arab.


Menurut catatan, ada sekitar 160 ribu orang warga Kristen Arab di israel, mereka adalah warga keturunan Palestina.


Mengenai para demonstran yang terdiri dari para pemuda yang asalnya berbeda-beda, sudah menjadi kebiasaan bagi demonstran untuk menyelipkan baju ke dalam celana mereka, dan menanyakan siapa saja yang tidak melakukannya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak memiliki senjata di pinggang mereka.


Tahun lalu, al-Jazeera merilis film dokumenter berbahasa Arab yang berfokus kepada agen-agen penyamar israel yang menyusup ke dalam masyarakat Palestina, yang terkadang bahkan bertahun-tahun, yang kemudian mereka memberi sejumlah informasi kepada intelijen israel sebelum mereka akhirnya diaktifkan untuk misi tertentu.


Rekaman kejadian tersebut mendapat respon beragam di Twitter, ada yang menghujat penjajah israel karena telah menahan pelempar batu Palestina, dan yang lain mempertanyakan etika dibalik kejadian tersebut.                                                 

Perintah Shalat Sudah Ada Sejak Nabi Adam as


Dalam sejarah disebutkan, setelah Nabi Adam as dan Hawa diturunkan dari surga ke bumi, mereka bertaubat dan menangis sambil menyesali perbuatan di hadapan Allah Swt. Suatu hari, Allah Swt mengutus Jibril ke Nabi Adam dan Hawa. Jibril berkata,

"Ia membawa hadiah dari Allah Swt untuk mereka. Hadiah ini adalah shalat yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Ketika waktu subuh tiba saat matahari belum terbit, Nabi Adam as dan Hawa mengerjakan shalat dan melakukan komunikasi dengan khusyu kepada Allah Swt. Setelah itu, mereka merasa tenang." Dengan demikian, shalat merupakan hadiah terbaik bagi mereka dan menjadi peninggalan yang paling berharga bagi keturunannya.
Mina dan Arafat juga menjadi saksi penegakan shalat oleh Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as. Empat ribu tahun lalu, mereka mengajak manusia untuk taat kepada Allah Yang Maha Esa. Di saat Nabi Ibrahim as membawa istrinya, Hajar dan anaknya, Nabi Ismail as, ke sebuah wilayah kering yang tidak ada air, beliau berdoa kepada Allah Swt,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."

Doa Nabi Ibrahim as itu diabadikan dalam al-Quran pada surat Ibrahim ayat 37. Al-Quran juga menyebut salah satu karakter Nabi Ismail as dalam surat Maryam, ayat 55 hingga 54. Dalam ayat itu disebutkan, "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut dalam al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya."

Nabi Shuaib as juga disebut sebagai utusan Allah Swt yang menyaksikan penyimpangan dan kesyirikan. Nabi Shuaib as berulangkali mengajarkan kaum saat itu supaya beribadah dengan cara yang benar. Bahkan ia sekali-kali menunjukkan ibadah shalat di depan mereka dan menyebut Tuhan Yang Maha Esa dalam ibadahnya.

Akan tetapi kaum saat itu malah mencibir Nabi Shuaib dan menghalang-halangi ibadah yang dilakukannya kepada Allah Swt. Surat Hud, ayat 87 menyebutkan, "Mereka berkata; Hai Syuaib, apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal."

Ketika berbicara Nabi Ishaq as dan Nabi Ya'qub as, al-Quran menyebutkan bahwa memberikan petunjuk kapada manusia sesuai dengan perintah Allah Swt dan menyampaikan wahyu kepada kaum saat itu untuk mengerjakan perbuatan baik serta melakukan shalat dan zakat.
Nabi Musa as yang juga dikenal dengan kerendahan hatinya di hadapan Allah Swt. Ia berkomunikasi kepada Allah Swt dengan kecintaan dan keikhlasan. Untuk itu, Nabi Musa mendapat gelar "Kalimullah" atau Kalimat Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Allah Swt berfirman; Wahai Musa, tahukah kamu, mengapa kami menyebutmu dengan panggilan Kalim? Musa menjawab; Tidak. Allah Swt berfirman; Wahai Musa, kami mengidentifikasi semua hamba dan membedah hati setiap hamba secara sempurna. Akan tetapi kami tidak menemukan di antara mereka yang mempunyai hati serendah kamu. Setiap kamu melakukan shalat, kamu meletakkan diri ke tanah sedemikian rupa sebaga bentuk rendah diri."
Saat Musa dipilih sebagai Nabi, perintah Allah Swt yang pertama kali turun kepadanya adalah mendirikan shalat. Dalam surat Thaha ayat 13-14 disebutkan, "Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku."

Al-Quran dalam ayat lainnya menyinggung shalat yang dilakukan Nabi Zakaria as dan wasiat Luqman Hakim kepada anaknya mengenai shalat. Sebelum Rasulullah Muhammad Saw diutus, mendirikan shalat adalah di antara masalah yang ditekankan Nabi Isa as kepada para pengikutnya. Saat masih bayi, Nabi Isa as dengan perintah Allah Swt mengucapkan kesaksian pada kesucian dan kemuliaan ibunya, Maryam as. Dalam surat Maryam ayat 30-31 disebutkan, "Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberikan Al-Kitab (injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada. Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup."

Hikmah Qurban bagi hamba Allah

Hikmah Qurban bagi hamba Allah yang beriman :

1. Bukti nyata bersyukur,
"Supaya mrk menyebut nama Allah atas apa yang Allah rizkikan kepada mereka berupa binatang ternak¿." (QS. Al Hajj : 34).


2. Bukti cinta kepada Allah,
"Kalian tidak akan meraih kebaikan sempurna kecuali infakkan apa yg paling kalian cintai..." (QS Al Baqoroh 93).


3. Bukti sebagai hamba yang bertaqwa,
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-sekali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya¿" (Al - Hajj :37). 


4. Berhak beribadah kepada Allah,
"Barang siapa yang mempunyai keluasan (harta) dan tidak mau berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami!" (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, Ad Daruquthni dan Al-Baihaqi).


5. Meraih ampunan dosa,
"Fatimah, berdirilah dan saksikan hewan sembelihanmu itu. Sesungguhnya kamu diampuni pada saat awal tetesan darah itu dari dosa-dosa yang kamu lakukan... (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi).


6. Pahala besar,
"Pada tiap-tiap lembar bulunya itu kita memperoleh satu kebaikan" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).


7. Hewan qurban bersaksi,
Sesungguhnya ia (hewan qurban) akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku dan bulu-bulunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban akan jatuh pada sebuah tempat didekat Allah sebelum darah mengalir menyentuh tanah. Maka berbahagialah jiwa dengannya". (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).

Ibadah Kepada Allah

Merenungi tentang semangat kita dalam ibadah kepada Allah. Semoga dg mengetahui keadaan kita menjadi hijrah, menjadi semangat ibadah...aamiin:

  1.   "Al iraadah" semangatnya hanya sampai di niat saja. Misalnya, seseorang ingin sholat tahajjud, tetapi saat malam tiba tidak tahajjud walau bangun lalu tidur lagi. Mau bertaubat tetapi ma'siyat terus.

  2.   "Al himmah" semangatnya ada waktunya, musiman, berubah karena godaan, ujian musibah dsb. Misalnya, semangat tahajjud saat susah, tetapi saat berlimpah rizki tidak tahajjud lagi. Tadinya rajin dhuha, tadinya berjilbab, tadinya rajin baca Alqur'an, tetapi kemudian tidak lagi. Janji taubat tetapi sebulan kemudian ma'siyat lagi.

  3.   "Al aziimah" atau "azam" semangatnya luar biasa karena dorongan iman dan ilmunya. Berazam, bertekad taat hingga akhir hayatnya apapun yg terjadi. Senang susah, sehat sakit, dipuji dihina, sedih gembira, ia tetap konsisten istiqomah hingga Allah mewafatkannya. Inilah hamba yg sangat dicintai Allah, RasulNya dan dikagumi para Malaikat, hamba Allah yangg dibahagiakan Allah dunia akhirat. ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami adalah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah) maka malaikat akan turun kepada mereka (untuk mengatakan), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu“. Kami (Allah) adalah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia maupun akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh pula apa yang kamu minta. Sebagai hidangan bagimu dan Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Fushilat 30-32). Rasulullah bersabda, ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu terus menerus walaupun itu sedikit" (HR Muslim).

Allahumma ya Allah fahamkanlah kami dg agamaMu, ajarkanlah kami hikmah Alqu'an dan sunnah NabiMu, dan tetapkanlah hidup kami dalam ketaqwaan dan istiqomah di JalanMu...aamiin