Alasan ISIS Anak-Anak Penghafal Al-Qur'an di Todongkan Sejaata Densus 88

Sungguh Malang Nasib Anak-Anak Penghafal Al-Qur'an ini mudah-mudahan Allah SWT Melindungi dan memberikan Azab Bagi Densus 88 Laknatullah Alaih.....

Mana HAM...? yang di Eluk-Elukkan Para Mansia yang selalu Membenci Islam,  Mana Presiden..? Mana Keadilan...? anak-anak yang tidak berdosa ini di ajungkan Senjata Api...... Sungguh Perlakuan yang biadab dan tidak ber prikemanusiaan. 

Anak-anak penghuni Yayasan Rumah Tarbiyah dan Tahfidz Al-Qur’an Al Mukmin, Kota Malang, masih trauma setelah penggeledahan Densus 88 Antiteror di tempat itu.

Bahkan ada satu santri di Yayasan itu diajak pulang oleh orangtuanya, Jumat (27/3/2015).

http://dinulislami.blogspot.com/
Yayasan tempat pendidikan Al-Qur’an di Jl Mega Mendung, Kelurahan Pisang Candi, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur, itu milik Helmi Alamudi, yang dituding sebagai pengikut jaringan ISIS, dan kemudian ditangkap Densus 88.
Karenanya, atas dasar itu, Yayasan tersebut digeledah Densus 88, Kamis (26/3/2015).

Proses penggeledahan di Yayasan itu sempat memanas. Pengurus Yayasan menolak keluar rumah sehingga Densus tetap menerobos.

Anak-anak yang berada di Yayasan sempat menangis histeris ketika mengetahui aksi penggeledahan.

Pengajar di Yayasan tersebut, Umu Bariroh, menceritakan, saat itu ada 12 santri yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di Yayasan. Polisi langsung mendobrak pintu Yayasan.

“Saya bilang ke polisi, bisa sopan apa tidak. Tetapi, mereka langsung menerobos masuk ke Yayasan. Polisi yang masuk bawa senjata api. Anak-anak yang mengetahui itu langsung teriak histeris dan yang lainnya menangis. Mendengar teriakan, polisi malah menodongkan senjata ke anak-anak,” kata Umu saat ditemui di Yayasan tersebut, seperti dikutip Tribunnews, Jumat (27/3).

Dikatakannya, jumlah santri di Yayasan itu 30 anak. Santri yang tidur di Yayasan hanya 12 anak. Usia santri paling kecil tiga tahun dan yang paling besar 10 tahun.

Anak yang mondok di Yayasan itu juga berasal dari wilayah Kota Malang. “Anak-anak masih trauma, tadi ada satu santri yang diajak pulang orangtuanya. Mungkin saja keluar dari pondok ini. Kebetulan hari ini, anak-anak libur,” ujar seorang wanita bercadar.

Pengajar lain di Yayasan itu, Jefri Rahmawan mengatakan penanggung jawab Yayasan tersebut memang Helmi Aminudi. Pondok di Yayasan itu baru berdiri sekitar enam bulan yang lalu.

Dia tidak tahu apa alasan polisi menggeledah Yayasan itu. Menurutnya, Yayasan tersebut tidak ada hubungannya dengan gerakan radikal yang dituduhkan polisi ke Helmi. (Tribunnews/salam-online)

Pelecehan Gambar Sahabat Nabi di MAN 3 Kota Jambi

Islam Selalu di guncang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mengajak keributan, tapi ingatlah... sekalipun kita membalasnya dengan kebaikan kita akan di cap dengan TERORIS, penistaan terhadap Islam sungguh luar biasa.

Tapi Alhamdulillah, begitu banyakpun orang yang selalu menjelek-jelekkan Islam dan juga menghina Islam.... kita lihat di negara-negara luar orang-orang yang dulu membenci Islam berduyung-duyung masuk Islam... Katakan saja contohnya Si Pembakar Qur'an yang terakhir memeluk Islam. Juga Cheki Chen yang memeluk Islam di Malaysia.

GURU Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Kota Jambi kaget buku Sejarah Kebudayaan Islam Semester Genap Kelas X terdapat gambar penistaan terhadap Umar bin Khatab, Khalifah keempat yang juga sahabat Nabi Muhammad SAW. Gambar tersebut berada di halaman 12 buku yang diterbitkan oleh Rahma Media Pustaka.

Di halaman yang menerangkan tentang masa kepemimpinan Umar bin Khattab yang merupakan satu di antara Khulafaur Rasyidin itu diterangkan nasab atau garis keturunan dari Umar. Nasab yang digambarkan dengan silsilah keluarga yang berbentuk garis keturunan tersebut, tiba pada tulisan Umar digambarkan dengan bentuk yang mirip karikatur babi. Padahal, di atasnya nasab keluarga digambarkan dengan gambar menyerupai hati.

Pada keterangan nasab dengan gambar hitam putih ini diterangkan gambar tersebut juga diambil dari sumber ihadist.blogspot.com yang diakses pada 18 Desember 2014 pada pukul 13.55.

Kepala Sekolah MAN 3 Kota Jambi, M. Zakri mengaku kaget, pasalnya gambar tersebut jika tidak diperhatikan memang tidak terlihat menyerupai babi. Namun ketika diperhatikan bidang lonjong tersebut terlihat adanya empat kaki, dilengkapi kuping, mata dan muncung hewan yang mirip babi yang sedang tersenyum.

“Sekilas memang tidak terlihat, tapi jika diperhatikan memang seperti itu,” katanya seperti diberitakan Jambi Independent.

Pengarang LKS MAN 3 Kota Jambi Dr. H. Fatah Syukur, M.Ag 
Pihak sekolah sebutnya juga baru menyadari beberapa minggu ini, “Dua minggu ini baru kita tahu, setelah ada guru yang memperhatikan,” katanya.

Meski para siswa tidak menyadari adanya gambar yang kontroversial tadi, namun adanya gambar itu telah meresahkan guru. “Kenapa tidak gunakan perumpamaan lain, itu yang kita sesalkan,” sebutnya.

Buku yang diambil dari distributor penerbit yang ada di Jambi ini menurut Zakri bakal segera ditarik dan tidak lagi dipergunakan.

“Akan kita tarik, yang punya LKS ini akan kita panggil, karena ini meresahkan, seperti ini kan gambarnya seperti penghinaan pelecehan harusnya tidak perlu ada gambar seperti ini,” sebutnya.

Meski ada gambar yang disebut melecehkan sahabat nabi namun menurut Zakri isinya tidak menyebutkan adanya penistaan terhadap sahabat tersebut. Dikatakan Zakri baru kali ini pihak sekolah menggunakan buku yang merupakan edisi I seri Pakem kelas 10 semester genap ini.

Di dalam lembar ke 12 LKS tersebut, digambarkan Umar bin Khatab sebagai seekor babi.

Ini cukup mengejutkan banyak pihak. Termasuk pihak Dinas Pendidikan Kota Jambi. “Astagfirullah, saya akan cek ke rekan di Depag,” ujar Sofyan, Sekretaris Diknas Kota Jambi.

Muhammad Iqbal, Kepala Kantor Departemen Agama (Depag) Kota Jambi juga mengaku terkejut dengan kabar ini. Menurutnya, tidak tahu apa maksud dari LKS tersebut menggambarkan Umar bin Khatab sebagai seekor babi.

“Saya baru lihat tadi LKS-nya, saya panggil kepala sekolah. Saya lihat, dan saya terkejut, apa maksudnya buku ini,” kata Iqbal.

Dia juga mengatakan, segera rapat dengan pihak terkait mengenai LKS tersebut. Langkah yang diambil kemarin, pihaknya langsung menginstruksikan penarikan LKS dari semua siswa. Mulai hari ini, LKS tersebut tidak boleh lagi beredar.

“Kami juga akan surati sekolah-sekolah lainnya untuk memberi peringatan agar jeli dalam menggunakan LKS. Jangankan gambar, narkoba pun bisa diselipkan dalam buku,” ujarnya sedikit emosi.

Iqbal mengatakan untuk penggunaan LKS murni kebijakan sekolah. Depag, menurutnya tidak tahu-menahu mengenai pemesanan LKS, sehingga pihaknya tidak bisa mengawasi penerbit mana yang ditunjuk untuk mengisi kebutuhan LKS di sekolah-sekolah.

Untuk MAN 3 ini sendiri, LKS SKI kelas X yang digunakan adalah keluaran penerbit Rahma Media Pustaka dari Semarang. LKS tersebut ditulis oleh Dr. Fattah Syukur, M.Ag. “Yang menulis dosen IAIN. Setelah ditarik, LKS tersebut dikembalikan ke sana,” katanya.
sumber:islampos

Rumah Adat Agama Parmalim

Bangso Batak yang sudah terkenal sampai ke luar negeri yang mempunyai ciri khas dan keunikan budaya, bahasa, agama juga adat istiadatnya, Masalah Agama Parmalim diyakini sebagai agama asli suku Batak. Salah satu di Desa Huta Tinggi di Kabupaten Toba Samosir menjadi pemukiman bagi penganut agama ini. Jika berkunjung ke desa itu, kita bisa juga melihat rumah ibadah agama Parmalim.

Sumatera Utara menyimpan banyak cerita yang menarik tentang masyarakatnya, dan tentu saja kekayaan adat istiadat dan budayanya. Di sini masih banyak dijumpai penduduk asli memegang teguh adat istiadat serta menjalankan agama dan budaya asli.

Di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir misalnya. Di sini wisatawan dapat menjumpai perkampungan yang penduduknya menganut agama Parmalim.

Agama Parmalim memang hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun hingga kini, kepercayaan tersebut tetap terjaga.

Kepercayaan Parmalim cukup unik. Rata-rata penganutnya asli keturunan Batak. Namun, kepercayaan ini mengharamkan penganutnya memakan babi, anjing, maupun darah. Menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia) juga diharamkan.

Rumah ibadah Parmalim bernama Bale Pasogit. Bentuk bangunannya menyerupai gereja pada umumnya. Ada beberapa ukiran khas Batak di bangunan ini. Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam.

Masing-masing berwana merah, hitam dan putih. Warna hitam melambangkan kebenaran, putih lambang kesucian dan merah lambang kekuatan atau kekuasaan.

Tapi sayangnya Agama Parmalim tidak di akui di Indonesia, sehingga pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk Agama Parmalim Sering kali pada Kolom Agama selalu di kosongkan seolah-olah tidak mempunyai agama.

Rumah Adat Parmalin Bale Pasogit
Acara Ritual Agama Parmalim


Agama Parmalim dalam Berdoa

Semoga Bermanfaat.... 

Dalil Tentang Imam Mahdi

1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Jabir Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَالَ فَيَنْزِلُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ فَيَقُولُ أَمِيْرُهُمْ تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُولُ لاَ إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ

“Akan senantiasa tampak sekelompok orang dari umatku yang berperang membela kebenaran sampai Hari Kiamat. Lalu turunlah Isa putra Maryam Alaihissalam, berkatalah pemimpin mereka, “Mari pimpin shalat kami.” Isa Alaihissalam berkata, “Tidak, sesungguhnya sebagian mereka pemimpin bagi yang lainnya, sebagai penghormatan Allah bagi umat ini.

Maksud pemimpin di sini juga Imam Mahdi, dan dia menjadi imam shalat kaum muslimin.

Catatan:
Nabi Isa Alaihissalam shalat di belakang Imam Mahdi sebagai makmum bukan berarti ia lebih utama dari pada Nabi Isa Alaihissalam. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallamjuga pernah shalat di belakang Abu Bakar Radhiyallahu Anhu sebagai makmum di saat-saat menjelang beliau wafat dan beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah shalat di belakang Abdurrahman bin Auf. Nabi Isa Alaihissalam shalat di belakang seorang laki-laki dari umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam guna memperlihatkan bahwa ia turun ke bumi untuk mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, berhukum dengan syariatnya. Setelah itu, Imam Mahdi mengikuti Isa Alaihissalam dan termasuk salah seorang tentaranya.

2. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku bersama bapakku menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka aku mendengar beliau bersabda, “Sesungguhnya perkara ini tidak akan selesai sampai berakhirnya pemerintahan dua belas orang khalifah pada mereka.” Ia (ayahku) berkata, ‘Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang samar bagiku.’Aku (Jabir) bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang beliau ucapkan?’ Ia berkata, ‘Rasulullah bersabda,‘Semuanya berasal dari suku Quraisy.”

Ibnu Katsir mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa akan ada dua belas orang khalifah yang adil, mereka bukanlah dua belas imam menurut kaum syi’ah, sebab kebanyakan dari mereka tidak ada kaitannya sedikit pun dengan hadits ini. Dua belas khalifah yang dimaksud berasal dari suku Quraisy, dan mereka menjalankan pemerintahan dengan adil.\

3. Diriwayatkan dari Hafshah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,

لَيَؤُمَّنَّ هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ يَغْزُونَهُ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ اْلأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوْسَطِهِمْ وَيُنَادِي أَوَّلُهُمْ آخِرَهُمْ ثُمَّ يُخْسَفُ بِهِمْ فَلاَ يَبْقَى إِلاَّ الشَّرِيْدُ الَّذِي يُخْبِرُ عَنْهُمْ

“Sungguh akan ada pasukan yang bermaksud mendatangi Ka’bah ini untuk menghancurkannya, hingga ketika berada di tengah gurun pasir, pasukan yang berada di bagian tengah ditelan bumi. Maka pasukan bagian depan memanggil pasukan yang ada di bagian belakang. Setelah itu mereka semua ditelan bumi, dan tidak tersisa kecuali satu orang yang selamat yang akan menceritakan keadaan mereka.”

4. Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Akan terjadi perselisihan (di antara manusia) ketika seorang khalifah meninggal dunia. Kemudian seseorang dari penduduk Madinah melarikan diri ke Makkah. Lalu ada beberapa orang penduduk Makkah yang mengusirnya namun ia tidak mau. Kemudian mereka membai’atnya di antara Rukun (Yamani) dan Maqam (Ibrahim). Setelah itu, sebuah pasukan dari Syam dikirim untuk memeranginya, maka mereka ditelan bumi ketika berada di padang pasir antara Makkah dan Madinah. Ketika manusia melihat hal demikian, maka ia didatangi oleh ahli ibadah dari negeri Syam dan orang-orang shalih dari negeri Irak dan membai’atnya di antara Rukun (Yamani) dan Maqam (Ibrahim). Setelah itu, muncullah seorang laki-laki dari suku Quraisy, yang paman-pamannya berasal dari kabilah Kilab. Kemudian ada pasukan yang dikirim untuk memeranginya, maka ia dapat mengalahkan mereka. Mereka itulah pasukan dari kabilah Kilab. Sungguh merugi orang yang tidak melihat harta rampasan kabilah Kilab. Kemudian laki-laki tersebut membagikan harta (di antara manusia), beramal (dalam menerapkan hukum) di antara manusia berdasarkan sunnah nabi mereka, dan Islam pun meletakkan lehernya di muka bumi. Ia akan berkuasa selama tujuh tahun. Kemudian ia wafat dan dishalati oleh kaum muslimin.- dalam sebuah riwayat di sebutkan, selama sembilan tahun.-”

Semua hadits yang menerangkan Imam Mahdi adalah benar dan tidak diragukan lagi kebenarannya.

Tanda-Tanda Kedatangan Imam Mahdi

Ketika kita menolak kebenaran orang-orang yang mengkalim dirinya sebagai Imam Mahdi bukan berarti kita menolak hadits-hadits yang menerangkan Imam Mahdi secara keseluruhan. Namun, harus dibedakan antara sikap membenarkan hadits-hadits tentang Imam Mahdi, yang mana ia adalah berita yang benar dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dengan sikap untuk menyatakan seseorang sebagai Imam Mahdi.
Sebab, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan perkara tersebut dengan sia-sia. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkan tanda-tanda dan rambu-rambu dalam mengetahui Imam Mahdi sehingga kita yakin dengannya. Di antara tanda-tandanya adalah:
  1. Imam Mahdi tidak mengajak orang lain untuk mengikuti dan membaiatnya, akan tetapi manusialah yang membaiatnya dan ia dalam keadaan terpaksa ketika itu.
  2. Nama Imam Mahdi sama dengan Nabi kita, yaitu Muhammad bin Abdullah.
  3. Silsilah keturunannya bersambung sampai kepada Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhuma.
  4. Ciri-cirinya sesuai dengan yang diterangkan dalam hadits, di antaranya, “hidungnya mancung dan keningnya lebar...”
  5. Kondisi bumi ketika dia muncul adalah:
a. Perselisihan yang terjadi ketika khalifah meninggal dunia
b. Bumi dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezhaliman.
c. Perperangan yang terjadi di antara tiga orang anak khalifah.
d. Dia adalah seorang yang shalih dan bertakwa, mempunyai ilmu yang mumpuni dan bijaksana.

Pertanyaan: 
Apa yang menyebabkan banyak orang mengaku sebagai Imam Mahdi?
Jawab: 
Setelah dilihat dari sejarah dan kisah yang ada, dapat disimpulkan bahwa penyebab orang-orang mengklaim Imam Mahdi adalah:
  1. Di antara mereka ada yang bertujuan untuk mendapatkan popularitas dan kekuasaan dengan mengaku sebagai Imam Mahdi. Jika tidak demikian, tanda-tanda Imam Mahdi tidak bisa terlihat pada dirinya. Hal ini yang dilakukan oleh Abidullah Al-Qadah dan Ibnu Tumart.
  2. Di antara mereka ada yang perihalnya samar bagi sebagian orang, sehingga dianggap Imam Mahdi, seperti Muhammad bin Abdullah yang dijuluki Dzu An-Nafsi Az-Zakiyah (orang yang mempunyi jiwa yang suci), yang mempunyai banyak pengikut. Namun akhirnya terbukti bahwa ia bukanlah Imam Mahdi.
  3. Di antara mereka ada yang populer karena banyak bermimpi, sehingga manusia mengganggap dirinya sebagai Imam Mahdi, seperti Muhammad bin Abdullah Al-Qahthani.

Keanehan Yang Paling Besar

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah dalam Fawaidul Fawaid berkata, bahwa di antara keanehan terbesar adalah :

  1. “Engkau mengenal-Nya tapi tidak mencintai Dia.
  2. Engkau mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya tapi terlambat dalam menyambut seruannya.
  3. Engkau mengetahui keberuntungan dalam bermuamalah dengan-Nya tapi memilih selain Dia.
  4. Engkau menyadari kadar kemarahan-Nya tapi bermain-main dengan-Nya.
  5. Engkau merasakan pedihnya kehampaan dalam bermaksiat kepada-Nya kemudian engkau tidak mencari ketenangan dengan mentaati Dia.
  6. Engkau merasakan kegalauan hati di saat tenggelam dalam selain berinteraksi dengan-Nya dan mengingat-Nya kemudian engkau tidak merindukan kesejukan hati dengan mengingat dan bermunajat kepada-Nya.
  7. Engkau merasakan siksaan ketika hatimu bergantung kepada selain-Nya tapi engkau tidak berpaling darinya dan berlari kepada kenikmatan menghadap dan kembali kepada-Nya.
  8. Dan yang lebih aneh dari itu semua, Engkau menyadari bahwa engkau tidak mungkin berlepas dari-Nya, dan engkau adalah orang yang paling butuh kepada-Nya tapi dari-Nya engkau malah berpaling dan kepada segala yang menjauhkanmu dari-Nya, engkau justru senang.”

Ulama Yang Tidak Percaya Munculnya Imam Mahdi

Sebagian besar ulama percaya dan yakin akan munculnya Imam Mahdi di akhir zaman. Namun, sebagian lagi mengingkarinya karena kesimpulan yang mereka ambil terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi. Di antaranya ulama tersebut adalah:

1. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun ragu-ragu tentang Imam Mahdi dan melontarkan kritik terhadap hadits-hadits yang berkenaan dengannya. Ia mengatakan, “Seperti yang anda lihat, hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari kritikan kecuali sedikit saja di antaranya.”{1}

2. Muhammad Rasyid Ridha
Ia mengatakan, “Banyak pertentangan di antara hadits-hadits yang menjelaskan munculnya Imam Mahdi, sulit untuk menghimpun semuanya, banyak orang yang mengingkarinya, dan banyak syubuhat (kesamaran) yang terdapat padanya, oleh karena itu Asy-Syaikhan (dua orang syaikh), yaitu Al-Bukhari dan Muslim, tidak meriwayatkan di dalam kitab Shahih-nya. Sungguh banyak ulama yang menyatakan bahwa hadits yang menerangkan Imam Mahdi adalah dhaif (lemah).”[2]

3. Ahmad Amin
Ia berpendapat, “Hadits-hadits tentang Imam Mahdi hanyalah cerita dongeng yang bisa berdampak negatif bagi kehidupan kaum muslimin.”[3]

4. Abdullah bin Zaid Al-Mahmud
Ia menuturkan, “Keterangan tentang Imam Mahdi dari awal sampai akhir hanya berdasarkan kepada kebohongan yang nyata dan keyakinan yang salah. Pada asalnya, semua itu adalah cerita dongeng yang didengar dari mulut ke mulut, dan hadits itu dibuat-buat hanya untuk menakut-nakuti manusia.”[4]

5. Muhammad Farid Wajdi
Ia mengungkapkan, “Adapun hadits-hadits yang menerangkan Imam Mahdi, maka orang-orang yang berwawasan luas tidak berat hati dalam meniadakan perkataan itu dari RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, karena di dalamnya terdapat sikap berlebih-lebihan dan serampangan dalam menafsirkan sejarah, tidak mengetahui kondisi manusia, dan jauh dari sunnatullah yang sudah dikenal semua orang. Seperti yang sudah diketahui, hadits-hadits tersebut adalah maudhu’ (palsu) yang sengaja dibuat oleh sebagian pemberontak yang mendukung aktivis dakwah untuk berkuasa di negara arab atau wilayah Maroko.”[5]

Jika ditarik sebuah kesimpulan, maka dapat disebutkan bahwa argumen mereka adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur`an tidak menyebutkan Imam Mahdi, jika benar, tentu ada firman Allah Ta’ala yang menerangkan hal itu dalam Al-Qur`an.
Kita jawab: Tidak semua tanda-tanda hari Kiamat disebutkan dalam Al-Qur`an, seperti munculnya Dajjal, bumi dibenamkan di akhir zaman, dan lain sebagainya, namun disebutkan dalam hadits. Jika disebutkan dalam hadits, maka hal itu adalah sebuah kebenaran, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Al-Qur`an tentang Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.” (QS. An-Najm [53]: 3)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Qur`an dan yang sama dengannya (hadits).”[6]

2. Hadits-hadits tersebut tidak terdapat dalam Kitab Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Muslim)

Kita jawab: Kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim tidak menghimpun semua hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan semua perawi (pembawa berita hadits) di selain dua kitab tersebut merupakan ulama peneliti hadits. Kita mempunyai cara untuk dapat membedakan antara hadits shahih dan dhaif.

Sehingga, jika ada hadits shahih maka kita wajib mengamalkannya, baik yang terdapat dalam Kitab Shahihain maupun kitab hadits lainnya. Di dalam Kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim terdapat hadits-hadits yang menerangkan ciri-ciri Imam Mahdi dan tidak menyebutkan namanya, seperti yang telah kita bahas sebelumnya.

3. Kami tidak ingin membuka kesempatan bagi orang yang mengaku sebagai Imam Mahdi.
Kita jawab: Jika kita memahami rambu-rambu syariat tentu kita akan menutup kesempatan bagi orang yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi. Sungguh, Imam Mahdi mempunyai ciri-ciri fisik dan muncul dalam suatu keadaan seperti yang telah disinggung sebelumnya, dan ciri-ciri itu hanya dimiliki oleh satu orang, yaitu Imam Mahdi yang sebenarnya.



Sumber :

1. Lihat: Muqaddimah Ibn Khaldun (1/574).

2. Lihat: Tafsir Al-Manar (9/416).

3. Lihat : Dhuha Al-Islam (3/243)

4. Dicantumkan dalam makalahnya yang berjudul La Mahdi Yuntazhar 

    Bada Ar-Rasul Khair Al-Basyar, hlm. 58.
5. Da`irah Maarif Al-Qarn Al-Isyrin (10/481)

6. HR. Al-Bukhari.

Politik Islam di Indonesia

Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia.

Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer dari konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang surut Islam politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam politik baru di Indonesia.

Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W. Montgomery Watt, pengamat Islam bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, menurut Watt adalah tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.

Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya dapat dikelompokkan pada dua bentuk kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang bercorak ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq yang dengan interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam menjadi berwajah kultural dan komplementer.

Pemikiran Maududi
Menurut konseptualisasi Maududi, kebutuhan dan pembenaran untuk suatu negara Islam timbul dari pemahaman akan tatanan universal. Karena itu negara Islam adalah bagian dari teologi terpadu, luas, yang prinsip pokoknya adalah kedaulatan Tuhan. Negara atau alat lain yang akan melaksanakan kekuatan politik merupakan konsekuensi pada konsepsi universal yang diatur Tuhan bagi kehidupan manusia di dunia.

Untuk itu Maududi merumuskan negara Islam dengan menggunakan dua cara. Pertama, melalui pembahasan prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kedua, melalui pertimbangan lembaga-lembaga dan sifat-sifat khususnya.

Bagi Maududi, sasaran negara bukan semata-mata mencegah tirani, menghentikan berbagai macam kejahatan, tapi juga mendorong setiap jenis kebajikan. Guna mencapai tujuan ini diperlukan kekuatan politik, dan negara dibenarkan menggunakan seluruh sarana. Suatu negara dengan tujuan seperti itu tidak dibolehkan mengabaikan kehidupan rakyatnya, walaupun misalnya beralasan bahwa ini di luar wewenangnya. 

Pendekatannya, haruslah menyeluruh dan universal. Pendeknya negara haruslah totaliter. Menolak ketentuan ini, dengan membiarkan adanya bidang di luar kekuasaan negara, akan sama artinya dengan menyangkal kedaulatan Tuhan. Maududi memang mengakui bahwa konsepsi negara Islam adalah totaliter. Hanya totalitarianisme yang dikenalkan itu tidak menindas kebebasan individu dan kemerdekaan manusia tetapi justru melindunginya.

Satu hal pokok dari negara Islam, menurut Maududi adalah wujudnya sebagai suatu negara ideologi. Faktor pengikat di kalangan warga negara adalah ideologi yang dianut bersama. Ideologi ini bertujuan memperbaiki masyarakat manusia dan negara adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Dua akibat penting dari negara Islam sebagai negara Ideologi ialah, pertama, negara harus diawasi dan dikendalikan hanya oleh seorang muslim. Kedua, soal konsep kewarganegaraan. Ada dua jenis kewarganegaraan: satu jenis untuk kaum muslimin yang berdomisili di wilayah negara, dan jenis lain untuk mereka yang bukan muslim yang menyetujui dan patuh kepada negara Islam tempat mereka bermukim. Pada kaum muslimin terletak tanggung jawab sepenuhnya atas berjalannya roda negara. Merekalah yang menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam, termasuk kewajiban membela negara, dan sebaliknya mereka berhak menjadi anggota parlemen, memberikan suara dalam pemilihan kepada negara, dan diangkat pada kedudukan-kedudukan penting.

Warga negara bukan Muslim dijamin memperoleh perlindungan hidup, badan, milik, dan keyakinan serta kehormatan. Yang tidak dijamin kepada mereka adalah hak penuh untuk mengemukakan pernyataan politik atau persamaan dengan sesama warga negara muslim. Negara akan memberlakukan pada mereka undang-undang negara secara umum, sementara membiarkan mereka menggunakan hukum perorangan mereka guna mengatur urusan mereka sendiri. Ada sejumlah jaminan dan perlindungan lain yang juga diberikan kepada mereka, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok hidup kepada semua warga negara tanpa kecuali.

Konsep itu lahir di tengah suasana proses pembentukan negara-negara nasional pada awal abad ke-20, ketika lembaga ''Khalifah'' yang berpusat di Turki telah merosot otoritasnya, setelah Perang Dunia I. Dan semua gagasannya dipengaruhi oleh satu cita-cita kaum sekular dari kelompok muda Turki yang pernah dididik Barat. Ide-ide politik Maududi itu sesungguhnya hendak menyadarkan kaum intelektual muslim dan membangkitkan di dalam diri mereka tentang suatu fakta bahwa Islam mempunyai aturan hidup sendiri, kebudayaan sendiri, sistem politik sendiri, ekonomi, filsafat, dan sistem pendidikan yang lebih tinggi daripada segala sesuatu yang ditawarkan oleh peradaban Barat.

Tentu Maududi amat beruntung bahwa ide-idenya dapat direalisasikan, minimal di tingkat konstitusi pada suatu negara baru hasil pemisahannya dari anak benua India. Pengakuan 1949 Majelis Konstituante Pakistan menyetujui ''Revolusi Objektif'' yang berisi tentang ide-ide Maududi, tidak jauh dari apa yang dikemukakan di atas. Persoalannya memang tidak berhenti di tingkat konstitusi saja, karena berbagai tantangan muncul. Komisi ''Munir'' yang terkenal itu, misalnya, merupakan "protes" paling keras terhadap ide-ide Maududi. Bahkan Presiden Iskandar Mirza, pada 7 Oktober 1958 memutuskan untuk membatalkan konstitusi "negara Islam" yang banyak menolak ide-ide Maududi tersebut. Bahkan pada masa Ayub Khan, diberlakukan undang-undang darurat perang dan melarang partai politik, termasuk partai Maududi Jamaat-i-Islami. Pakistan hingga wafatnya Zia Ul Hak (1988) masih tetap mencari identitas diri yang tak kunjung selesai dan kadang-kadang diwarnai oleh kekerasan-kekerasan yang memakan korban.

Maududi dan kemudian negara Islam Pakistan adalah sebuah model pemikiran dan institusi politik yang diupayakan mempunyai watak keislaman yang "kaffah", holistik dan menyeluruh.

Pemikiran Raziq
Dalam definisi umum modernisasi politik terkandung tiga tema besar, yaitu, (1) Penekanan pada diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga dan struktur politik. (2) Penekanan atas persamaan, kekuasaan, gagasan bahwa perkembangan politik melibatkan partisipasi massa dalam masalah-masalah poliitk. (3) Penekanan pada perluasan kapasitas dari suatu sistem politik untuk mengarahkan perubahan sosial dan ekonomi.

Ketiga tema itu bergaung keras di negeri-negeri Muslim yang sedang mencari identitasnya. Dilema pun muncul di sekitar tema-tema itu. Jika diferensiasi membuat pemisahan lembaga politik dari struktur agama, maka diktum bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari agama telah dipupus. Jika agama dan lembaga-lembaganya (ulama, pemimpin agama) menjadi alat untuk membawa massa pada proses politik maka keabsahan proses politik massal itu pun dipertanyakan. Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami, namun tidak muncul secara formal: memahami pluralisme.

Penafsiran kembali konsepsi Islam tentang politik dan kenegaraan muncul misalnya di Mesir dengan tokohnya Ali Abdul Raziq. Melalui buku al-Islam wa Ushul al-Hukm, konsepsi Raziq kemudian menjadi model alternatif bagi pemikiran politik Islam kontemporer. Secara garis besar pemikiran Raziq bertolak dari definisinya tentang ''Khalifah''. Bagi Raziq, khalifah tidak wajib didirikan, baik menurut akal maupun menurut syara'. Yang wajib bagi umat adalah menegakkan hukum syara'. Jika umat sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada imam atau khalifah. Baik Alquran maupun sunnah tidak pernah menyebutkan term khalifah dalam pengertian kepemimpinan negara.

Kedua, bahwa risalah (kerasulan Muhammad SAW) itu bukanlah kerajaan. Risalah adalah suatu status kultural dan kerajaan adalah status struktural. Banyak raja yang bukan rasul, sebagaimana kebanyakan rasul adalah bukan raja. Penafsiran Raziq tentang risalah Nabi hanya mengandung nilai yang menyerupai pemerintahan politik. Raziq yakin bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul dan menyampaikan seruan agama, tidak pernah mendirikan negara dalam pengertian yang selama ini berlaku dalam ilmu politik.
Dari interpretasinya terhadap dua hal tersebut, Raziq membuat kesimpulan akhir yang sangat luwes. Khalifah tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenalnya, tidak mengingkari, tidak memerintahkan, dan tidak melarangnya. Semua dikembalikan kepada akal pengalaman manusia dan pendapat orang.

Dalam term mutakhir, solusi Raziq itu merupakan ''de-ideologi'' dan ''de-politisasi'' Islam dan bersamaan dengan itu terjadi perluasan wawasan keislaman. Politik hanya merupakan salah satu komponen, dan bukan determinan, di dalam proses sejarah kehidupan umat Islam.

Pada periode ini, proses de-ideologisasi Islam (meminjam Kuntowijoyo), justru mengantarkan Islam pada periode ilmu. Politik bisa jatuh bangun, tetapi ide tidak terpengaruh perkembangan politik. Pada periode ini, Islam lebih terbuka, dan diharapkan bisa lebih terasa "rahmatan lil 'alamin", bukan hanya sekadar ideologi yang hanya dinikmati umat Islam.

Pada realitas empiris, perkembangan politik Islam di Indonesia dapat dibicarakan melalui dua manifestasinya yang nyata: sebagai ideologi dan sebagai perilaku-perilaku kultural (yang pengaruh dan kekuatannya tetap mempunyai muatan politik). Dua bentuk manifestasi politik Islam ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai eksternal dan pemahaman terhadap sesuatu yang kadang-kadang pragmatis (seperti ekonomi). Perubahan manifestasi politik dari satu bentuk ke bentuk yang lain mungkin saja dapat dikonseptualisasikan sebagai, misalnya, proses sekularisasi politik Indonesia atau merosotnya peran ideologis Islam. Tetapi dengan mencoba mencari pemahaman baru terhadap realitas politik Islam di Indonesia, konseptualisasi sekularisasi politik sebagaimana dikemukakan Donald E Smith ditinjau kembali.

Smith, mengambil Islam sebagai contoh kasus dan membuat suatu skema dengan menunjukkan perkembangan Islam bermula dari corak tradisional ke Islam modern, Islam sosialis, sosialisme, dan akhirnya ke pragmatisme humanisme sekular, sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.

Yang terjadi sesungguhnya di dalam negara-negara baru adalah bukan sekularisasi politik hingga menjadi benar-benar pragmatis sekular, tetapi menciutnya pengaruh politik pemimpin agama setelah beberapa waktu elite agama ini sangat berpengaruh dalam proses politik. Dengan demikian, berkurangnya pengaruh itu berarti sistem politik di Indonesia tidak ada penguasa yang terang-terangan anti-Islam atau terang-terangan sekular.

Dengan memahami perkembangan politik di Indonesia seperti itu, maka tidak akan terjadi upaya memitologikan "partai politik Islam" atau bahkan "negara Islam", dan pemahaman arti politik menjadi lebih luas, tidak sekadar partai politik misalnya. Dan romantisme seperti itu dapat ditekan untuk kemudian mencoba mengembangkan aktivitas "politik baru" yang lebih bermakna.

Periode awal
Pada periode awal, Islam di Indonesia menjelmakan sebagai kekuatan rakyat yang teguh melalui keikutsertaan umat Islam dalam Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat Islam. SI dianggap sebagai penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi di dalamnya tidak ada watak ideologis, bahkan yang terlihat adalah watak kultural tahap awal. Di satu pihak, SI mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. SI menjadi tumpuan masyarakat sebagai 'Ratu Adil' yang merupakan cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa itu. Umat waktu itu menginginkan lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menuju ke sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.

Watak kultural ini sama sekali belum mempunyai muatan ideologis, meski kecerdasan akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak dini perjuangan merupakan benang merah yang senantiasa ada dalam perjuangan organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam hingga kini.
Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu muncul daripada aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan kultural. Politik masih mempunyai arti yang luas sebagai upaya bersama untuk mencerdaskan umat, membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan pemasyarakatan ajaran-ajaran Islam, dan karena itu keterlibatan mereka dalam suatu kerangka kebangsaan semata-mata ingin menghilangkan penjajahan.

Pemikiran ideologis Islam baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa ini mendirikan organisasi-organisasi politik di sekitar tahun 1930-an. Munculnya MIAI, GAPI, dan lain-lain dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) misalnya, telah memunculkan ide-ide masa depan Indonesia, yaitu tuntutan Indonesia berparlemen. Pemikiran ideologis itu misalnya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Seorang juru bicara MIAI, Wiondoamiseno, mendukung Indonesia berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus "berlandaskan Isam" tanpa menjelaskan apa maksudnya, apalagi mekanismenya. Menurut Deliar Noer, pernyataan itu hanya mencerminkan kecurigaan, khawatir kalau-kalau pemikiran dan cita-cita kalangan masing-masing akan diabaikan oleh kelompok lain.

Artikulasi pemikiran ideologis ini muncul lebih sistematik ketika GAPI menyusun suatu memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa ia mendukung rencana GAPI dengan mengharapkan agar kepala negara Indonesia adalah beragama Islam, suatu dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu departemen agama haruslah didirikan, sedangkan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang. Meskipun masih terkesan vulgar, formal dan dangkal, tetapi perkembangan pemikiran ideologis Islam telah muncul dan perkembangan itu akan menentukan corak politik Islam selanjutnya.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, perdebatan dalam Badan Penyelidik melibatkan pemimpin Islam pada perdebatan sengit tentang konstitusi negara. Kompromi yang membawa kepada kemenangan Islam hampir saja diraih bila saja tidak ada upaya-upaya lobbyingI yang dilakukan Muhammad Hatta dengan pemimpin Islam untuk merelakan penghapusan "tujuh kata" dalam Mukaddimah UUD 1945. Penghapusan tujuh kata yang penting dan diperdebatkan secara mendalam itu hanya dihadapi dengan "kepentingan keutuhan nasional". Dan dari sana dapat diyakini bahwa corak idologis Islam di Indonesia lain sama sekali, dengan konsepsi ideologi Islam menurut Maududi, misalnya. Sejak semula, muatan nasionalisme yang diberi warna pluralisme menjadikan Islam tampil secara low profile dalam bentuknya yang paling keras sekalipun.

Pada perkembangan berikutnya, kekuatan ideologis Islam menempatkan posisinya pada kedudukan partai politik Islam yang ternyata tidak membawa perubahan kualitatif apapun dalam perkembangan Indonesia modern. Kehadiran partai politik Islam di masa setelah kemerdekaan selalu ditandai dengan beragamnya aspirasi politik dari "partai-partai Islam", sehingga pada gilirannya partai politik Islam itu berjalan sendiri-sendiri. Karena itu sesungguhnya tidak dapat dilakukan penjumlahan dari perolehan suara dalam pemilihan umum sebagai "kekuatan Islam". Itulah yang terjadi pada pemilu 1955, juga setelah masa Orde Baru 1971.

PPP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk fungsinya berbagai organisasi politik Islam yang praktis telah mengalami penciutan peran, mungkin pernah menikmati "persatuan" kumulatif dari segi ide dan kebijaksanaan politik pada tahun 1977, ketika PPP dianggap sebagai kekuatan oposisi yang potensial bagi pemerintahan Soeharto. Tetapi sejarah politik Islam mencatat, bahwa lagi-lagi perubahan kualitatif tidak pernah dicapai. Bahkan dengan adanya partai-partai politik Islam itu menempatkan umat Islam dalam posisi oposan dan menjadi kekuatan minoritas dalam mayoritas. Keluarnya NU dari PPP merupakan ide cemerlang untuk keluar dari lingkaran setan dan mencoba mengalihkan persepsi politik Islam sebagai tidak sekadar partai politik. Upaya NU memperoleh momentum dengan ditetapkannya UU Orpol/Ormas baru yang mengharuskan setiap partai politik dan organisasi kemasyarakatan menggunakan asas tunggal Pancasila.

Pasang surut partai politik Islam dapat dibaca dalam kerangka yang digunakan Hudson sebagai pasang surut pengaruh politik pemimpin agama. Tetapi sebagaimana dikemukakan Burhan D Magenda, ada perubahan format politik yang dibawakan oleh pemimpin agama yang justru menunjukkan perkembangan yang tak terduga sebelumnya.
Format baru Inklusifnya peran ulama dalam berbagai kekuatan politik dan peran kemasyarakatan merupakan fenomena baru setelah era partai Islam memudar. Dan pemikiran selanjutnya diarahkan pada pertanyaan: bagaimana membentuk format baru politik Islam di Indonesia.

Ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran Islam di Indonesia untuk mencari format baru politik Islam. Pertama, rekayasa politik terhadap seluruh kekuatan komponen bangsa untuk membangun politik integrasif berwawasan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan konsekuensi historis dari berbagai perkembangan yang ada di dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam kerangka Robert L Hellbroner, upaya rekayasa politik yang dilakukan rezim Orde Baru itu merupakan ikhtiar pembangunan nasional yang harus lebih dahulu dilakukan sebelum pembangunan ekonomi. Kedua, adanya perubahan wawasan keagamaan dari umat Islam sendiri, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi kenegaraan dan kebangsaan. Bagi umat Islam, kehidupan bernegara adalah kesepakatan bersama untuk hidup berdampingan, setara dan damai dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan di luar Islam. Kesepakatan itu misalnya dirumuskan dengan pernyataan bahwa negara Indonesia adalah bentuk final dari upaya perjuangan umat Islam di Indonesia.

Format baru yang dikembangkan umat Islam, terutama oleh pemimpin agama terlihat tampil secara damai dan tanpa pretensi mengangkat Islam sebagai ideologi. Dalam sebuah artikel pendek, Burhan Magenda mendeskripsikan perubahan profil ulama dalam pergaulan politik di Indonesia. Kalau disepakati (menurut kerangka Hudson), bahwa yang terjadi sekarang ini adalah penyusutan politik ulama berkenaan dengan asas tunggal, dan lalu tidak adanya partai politik Islam, maka peluang justru terbuka jika tujuan diarahkan pada tujuan-tujuan baru dengan memandang bahwa ulama adalah sebagian dari pejuang-pejuangnya. Karena itu persoalannya kurang lebih berbunyi: "Bagaimana memanfaatkan peluang yang ada sekarang". Karena sejauh ini partai politik Islam sejak awal di Indonesia ditandai oleh kecurigaan yang tidak gampang diretas antara ulama dan kekuasaan. Terbukti pula bahwa kecurigaan itu tidak menghasilkan perbaikan kualitatif antara kedua belah pihak. Bahkan di antara sesama umat Islam terjadi kecurigaan yang tidak kunjung berakhir, bahwa mereka memandang sesama ulama yang ada di partai (Islam) lain sebagai orang lain. Dan kesenjangan itu terdapat antara umat Islam simpatisan partai dan mereka yang tidak, antara lain karena berada di jajaran birokrasi pemerintah. Keadaan demikian tentu sangat merugikan Islam. 

Karena itu menurut Magenda, partai politik Islam tidak diperlukan lagi. Dengan demikian diharapkan tidak ada hambatan psikologis untuk menyebarkan diri secara inklusif dalam aneka wadah politik, bahkan tidak terbatas pada wadah politik yang ada, tetapi juga jalur-jalur lain yang ada di dalam sistem politik di Indonesia, baik dalam suprastruktur maupun infrastruktur.

Perubahan suasana kondusif bagi perkembangan politik (baca: aspirasi) Islam itu, tidak berhenti di situ. Ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi sebagai upaya menentukan format baru politik Islam di Indonesia.

Pertama, perumusan terhadap corak kebangsaan di Indonesia. Tuntutan perluasan wawasan kebangsaan itu mengandung konsekuensi perumusan ulang terhadap tujuan-tujuan politik Islam. Dalam hal ini secara simplistik terhadap rumusan yang dijadikan rumusan baku tujuan Islam di Indonesia, yaitu: "cita-cita Islam adalah inheren dengan cita-cita Indonesia." Corak kebangsaan itu juga menuntut perubahan sikap dan perilaku politik terbebas dari sektarianisme, menerima pluralisme dan karena itu menghilangkan kecurigaan yang berdasarkan sentimen-sentimen keagamaan, ras dan kesukuan.

Kedua, perlunya lapisan profesional dalam segala lapangan kehidupan, yang ini merupakan tanggung jawab orgasasi-organisasi Islam untuk memberi arah, memberi peluang bagi terciptanya lapisan elit itu. Bila boleh dikatakan bahwa kelelahan umat Islam masa lalu banyak ditentukan oleh tersedianya lapisan profesional yang tidak dapat diisi atau tidak dapat dipenuhi.

Kedua prasyarat itu minimal perlu dipertimbangkan sebelum diproklamasikan "Islam tanpa partai politik". Dan itulah tawaran tertinggi umat Islam Indonesia, kecuali bila umat Islam mempunyai tawaran alternatif lain yang lebih inheren dengan cita-cita Islam dan sekaligus dengan cita-cita Indonesia.

Politik Islam Kontemporer

Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat. 

A. Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.

1. Rasyid Ridha 
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya. 

Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. 

Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya. 

Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.

2. Sayyid Qutub dan al-Maududi 
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat ., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.

Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.

Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.

Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.

Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.

Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.

Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri. 

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.

Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm. 

Tesis utama dari buku ini adalah:
  1. Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
  2. Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
  3. Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
  4. Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian. 
  1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
  2. Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara. 
  3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.

Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.

Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.

Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.

Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.

Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.

Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.

Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme. 

C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.

1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.

2. Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.

Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.

Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.

Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.

Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.

Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.

Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.

Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.

3. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.

Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.

Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.

Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.

BAZNAS-SU beserta Gubernur Sumut Resmikan Masjid Di Nias

Resmikan Masjid

BAZNAS-SU adalah salah satu lembaga yang dikelola di bawah naungan Pemprov Sumatera Utara, sudah sangat banyak bukti dan realisasi yang di buat oleh BAZNAS-SU dalam berbagai bidang termasuk pembangunan Masjid-Masjid di Desa Tertinggal, Seperti di Desa Sampagul Kab. Tapanuli Utara, di Samosir, dan masih banyak lagi bantuan kesehatan dan bantuan sosial lainnya. Akhir-Akhir ini BAZNAS-SU beserta Gatot juga melakukan peletakan batu pertama pembangunan Mesjid Agung Al Uswah di Desa Tetesua Kecamatan Sirombu Nias Barat, Jumat (13/3).

Pembangunan mesjid senilai 350 juta tersebut berasal dari dana yang dikumpulkan oleh Baznaz Sumatera Utara yang bersumber bantuan infaq jemaah haji tahun 2014 dan PNS Muslim Pemprovsu.

Dalam acara peresmian pembanguna masjid tersebut, Gatot mengajak para orang tua membekali anak dengan iman dan taqwa atau Imtaq juga ilmu pengerahuan dan teknologi atau Iptek. Untuk memenuhi bekala Imtaq, ujar Gatot, saya berharap mesjid dan madrasah dimanfaatkan sebaik-baiknya.


Masjid Al Falaq Teluk Bengkuang
Kec. Sawo Nias Utara
Peresmian Masjia Al-Ikhlas di Desa Sampagul
Kec. Pangaribuan  Kab. Tapanuli Utara
(Pada Tgl: 11-01-2013)
“kalau kita ingin mencapai dunia, harus dengan ilmu, dan bila kita ingin mencapai kebahagiaan akhirat juga dengan ilmu. Apa bila kita ingin mencapai keduanya, dunia dan akhirat juga dengan ilmu. Apa bila keluarga-keluarga di Nias punya prinsip seperti itu, Insha Allah daerah ini akan maju,” ujar Gatot.

Usai meresmikan pembangunan, Gatot kemudian didaulat menjadi Khatib dan imam sholat Jumat berjamaah. Dalam tausiahnya, Gatot mengulas ketakwaan. Usai menjadi imam, Gatot juga sempat berdiskusi bersama Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Nias Barat di mesjid tersebut.

Sementara itu, Ketua Badan Amil Zakat Nasional Provsu Amansyah mengungkapkan bahwa pembangunan masjid tersebut merupakan bagian dari program unggulan Sumut Taqwa. Untuk mesjid Agung AL Uswah dialokasikan dana sebesar Rp 350 juta yang berasal dari infaq jamaah haji tahun 2014 sebesar Rp 281.760.500 dan infaq PNS Muslim Pemprovsu sebesar Rp 68.239.500.

Amansyah menjelaskan, tahun ini pihaknya menyalurkan dana untuk pembangunan 5 Mesjid yang berlokasi di Nias Barat, Taput, Samosir, Dairi dan Nias Utara. Keesokan harinya, Sabtu (14/3) dilakukan juga peletakan batu pertama pembangunan mesjid Al Falaq di Desa Teluk Bengkuang Kecamatan Sawo dengan alokasi dana sebesar Rp 330 juta yang bersumber dari infaq jamaah haji tahun 2013 senilai 273.677.000 dan infaq PNS Muslim Pemprov Sumut senilai 56.323.000.

Dalam peresmian Gubernur didampingi Kepala Bappeda DR. Arsyad Lubis, Kepala Dinas Tataruang dan Permukiman DR. Binsar Situmorang, Kepala Dinas PU Binamarga Effendi Pohan. Hadir pula dalam acara tersebut Bupati Nias Barat Adrianus Arozi Duhu Gulo, SH, MH, Wakil Bupati Hermit Hia, Ketua DPRD Nitermar Gulo.

Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan membangun jalan lingkar dari Kecamatan Sirombu Kabupaten Nias Barat hingga ke Kecamatan Afulu di Nias Utara. Pembangunan jalan sepanjang 30 km itu dalam menyikapi permintaan warga masyarakat Nias.
Hal itu disampaikan Gubernur saat membuka pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) RKPD Kabupaten Nias Barat di aula Kecamatan Sirombu Nias Barat, Jumat (13/3). Menanggapi permintaan tokoh masyarakat BL Hia, STH dalam forum tersebut, Gubernur mengungkapkan pelaksanaan pembangunan jalan lingkar Sirombu-Afulu menjadi prioritas pihaknya yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran 2016. "Pelaksanaannya akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah yang rencananya akan kita bangun bekerjasama dengan TNI melalui program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa :red)," ujar Gubernur.

Kunjungan gubernur menghadiri Musrenbang didampingi Kepala Bappeda DR. Arsyad Lubis, Kepala Dinas Tataruang dan Permukiman DR. Binsar Situmorang, Kepala Dinas PU Binamarga Effendi Pohan. Hadir pula dalam acara Musrenbang Direktur Pengembangan Wilayah Kedeputian Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas Drs. Oktorialdi, MA,Phd, Bupati Nias Barat Adrianus Arozi Duhu Gulo, SH, MH, Wakil Bupati Hermit Hia, Ketua DPRD Nitermar Gulo dan 400 peserta terdiri atas unsur DPRd, Pimoinan SKPD, Kepala Bidang, delegasi 8 kecamatan di Nias Barat, Tim Penggerak PKK dan dharmawanita.

Dalam sambutannya, Gubernur menegaskan bahwa kunjungannya ke Kabupaten Nias Barat merupakan wujud komitmen Pemprov Sumut memajukan daerah tersebut. Seperti diketahui bahwa Nias Barat merupakan salah satu kabupaten tertinggal di Sumatera Utara dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia yang berada di bawah rata-rata IPM nasional. Berdasarkan data, angka IPM Nias Barat 67,9, sementara rata-rata IPM nasioanal 73, dan IPN Provsu 75. Mengingat indikator tersebut, Gubernur meminta Pemda Nias Barat dapat lebih fokus pada prioritas pembangunan manusia melalui program pendidikan dan kesehatan.

Gubernur dalam kesempatan itu juga mengatakan Nias berpotensi menjadi Bali ke dua di negri ini kalau perencanaan pembangunan antar kabupaten dilakukan terpadu dan didukung dengan sosial kemasyarakatan. Dalam forum asosiasi pemerintah provinsi baru-baru ini, kata Gubernur, Wakil Presiden RI mengungkapkan kenapa Bali menjadi daerah tujuan wisata terbaik, diantaranya keramahan masyarakat bali. "Sumut dan Sulsel perlu belajar dari Bali bagaimana menerima tamu. Itu yang dikatakan Wapres secara khusus kala itu," tiru Gubernur. Dia menyebutkan potensi keindahan kepariwisataan Nias tidak kalah dengan Bali.

Bupati Nias mengatakan kunjungan Gubernur menjadi pendorong bagi Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonomi baru pemekaran Nias tahun 2008. Nias Barat terdiri atas 8 kecamatan, 10 desa dan dihuni 80,894 jiwa, yang mayoritas bertani. Sebagai daerah otononi baru dia mengakui Nias Barat menghadapi banyak kendala, kebutuhan pembangunan yang tidak sebanding dengan keterbatasan anggaran. Kondisi kualitas kesejahterahan dalam taraf rentan kemiskinan, jumlah keluarga miskin dan pengangguran yang cukup tinggi.

Dalam kesempatan itu Gubernur mendapat apresiasi yaitu dikenakan pakaian khas Nias berupa jubah berwarna merah dan kuning sebagai tanda sudah menjadi warga masyarakat Nias.