Penyebab Turunnya Iman Laki-Laki Kepada Allah

IRONIS memang ketika realitanya kini kaum lelaki sudah tidak memedulikan shalat berjamaah di masjid. Walaupun di antara mereka yang bahkan sudah mengenal hadits mengenai shalat berjamaah tidak dipakai sebagaimana mestinya.

Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudluna lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya.

“Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat,” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Demikianlah hadits yang sudah sangat jelas menerangkan keutamaan shalat berjamaah. Padahal shalat berjamaah di masjid merupakan salah satu amal yang mulia. Agar ibadah ini semakin sempurna.

Alasan yang dipakai oleh orang-orang masa kini, karena hal waktu dan kesibukan pribadi dalam bekerja. Apalagi pekerjaan pabrik yang menyangkut aturan waktu yang diberikan hanyalah sebentar, sehingga muslim yang melaksanakan sholat pada akhirnya ditutut oleh pekerjaan.

Ada beberapa adab dan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak boleh diabaikan. Di antaranya:
1. Memilih pakaian yang bagus
2. Berwudhu dari rumah
3. Membaca doa menuju masjid
4. Berdoa ketika masuk masjid
5. Tidak lewat di depan orang yang sedang shalat
6. Melaksanakan shalat dua rakaat sebelum duduk
7. Menghadap sutrah ketika shalat
8. Menjawab panggilan adzan
9. Tidak keluar dari masjid tanpa udzur
10. Memanfaatkan waktu antara adzan dan iqomah
11. Raihlah shaf yang utama
12. Merapikan barisan shalat
13. Jangan mendahului gerakan imam
14. Berdoa ketika keluar masjid

Di antara beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak shalat berjamaah di masjid. Dari Abu Ad-Darda dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ

“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya),” (HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344)

Menurut hadits diatas jelaslah kalau seseorang yang tidak melakukan shalat berjamaah, mereka yang sedang dikuasai setan, namun tanpa terkecuali apabila suatu alasan yang tidak bisanya seseorang melakukan shalat berjamaah.

Pengorbanan Para Sahabat Rasulullah

Allah SWT berfirman :

(وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ)

“Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian, serta surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran: 133)

Allah hanya menyediakan surga seluas langit dan bumi ini untuk orang yang bertakwa. Orang yang meyakini perkara yang gaib. Karena keyakinannya itulah, maka mereka sukses. Lihatlah, seorang sahabat yang datang kepada Nabi, dan bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu, jika aku terbunuh (di Perang Uhud ini), di manakah aku akan berada?” Dengan tegas Nabi menjawab, “Di surga.” Maka, tidak berpikir panjang, sahabat itupun melemparkan kurma-kurma yang ada di genggamannya, lalu melompat berperang hingga akhirnya terbunuh.” (Hr. Muttafaq ‘Alai dari Jabir bin ‘Abdillah)

http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/pengorbana-para-sahabat-rasulullah.htmlPada saat Perang Badar, Nabi dan para sahabat bergegas berangkat dari Madinah ke Badar. Jaraknya lebih dari 200 km. Mereka pun berhasil mendahului kaum Musyrik di tempat itu, di saat tempat berbatuan itu diguyur hujan, licin dan tajam. Nabi bersabda, “Berangkatlah kalian ke surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.” Seorang sahabat bernama ‘Umair bin al-Hammam al-Anshari bertanya, “Ya Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Nabi menjawab, “Iya.” Sahabat itu menimpali, “Bukh, bukh.” Nabi bertanya, “Apa yang membuatmu berkata Bukh, Bukh?” Sahabat itu menjawab, “Tidak apa-apa, Ya Rasul, kecuali berharap, agar aku menjadi penghuni surga itu.” Nabi bersabda, “Sungguh, kamu termasuk penghuninya.” Dia pun segera mengeluarkan semua kurma dari tutup kepalanya, lalu memakannya, seraya berkata, “Andai aku masih hidup hingga makan semua kurmaku ini, sungguh ini hidup yang panjang.”

Diapun melemparkan kurmanya, lalu memerangi kaum Kafir, hingga akhirnya terbunuh (sebagai syuhada’). (HR. Muslim dari Anas bin Malik)

Begitulah, surga di mata para sahabat Rasulullah saw. Karena keyakinan mereka yang kuat dan bulat kepada yang gaiblah, yang membuat mereka mempunyai dorongan yang luar biasa untuk berjuang.

Lihatlah, bagaimana Ja’far bersyair saat mengambil alih komando pasukan Mu’tah dari ‘Abdullah bin Rawwahah, dan Zaid bin Haritsah:

“Wahai surga, alangkah dekatnya ia
Enak dan sejuk minumannya
Romawi adalah Romawi, siksanya sungguh dekat
Bangsa Kafir, yang jauh nasabnya
Jika aku menghadapinya, pasti aku habisi mereka.”

Ketika Ja’far mengambil bendera hitam bertuliskan “Lailaha Illa-Llah Muhammad Rasulullah” dengan tangan kanannya, tangan kanannya kemudian terpenggal, lalu dia ambil dengan tangan kirinya, tangan kirinya pun terpenggal. Dia pun rengkuh dengan sisa-sisa lengannya, hingga tubuhnya ditebas kaum Kafir, dan dia pun gugur sebagai syuhada’ Mu’tah. Allah pun mengganti kedua lengannya dengan dua sayap di surga. Dia bisa terbang ke mana pun dia suka.

Bacalah syair Abdullah bin Rawwahah:

“Wahai jiwaku, aku telah bersumpah bahwa kamu harus benar-benar terjun ke medan perang itu.
Harus bener-bener terjun ke sana, atau kamu benar-benar membencinya  
Orang-orang telah berkumpul dan mengeraskan teriakannya  
Tapi, mengapa kulihat engkau tak menyukai surga?
Sudah terlalu lama, engkau tenang,
Padahal, dulu kau hanyalah setetes mani di tempat air?
Wahai jiwaku, jika pun engkau tak terbunuh, engkau pasti mati
Inilah tali kekang kematian telah sampai kepadamu
Apa yang kau damba juga telah diberi
Jika kau sanggup mengerjakan perbuatan dua orang (Ja’far dan Zaid bin Haritsah), pasti engkau mendapatkan petunjuk (Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Juz IV/26-27).

Begitulah, bayangan mereka tentang surga. Bayangan yang begitu kuat, karena keyakinannya kepada yang gaib. Mereka hafal al-Qur’an, hadits Nabi dan melihat langsung contoh dari sosok Nabi, kekasih mereka. Bukan hanya hafal, mereka pahami maknanya, mereka camkan dalam memori mereka.

Ya, bayangan surga dan neraka itulah yang mengisi relung hati dan jiwa mereka. Itulah yang membentuk ketakwaan mereka. Itulah yang mendorong dan mencegah mereka, untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Semuanya karena dorongan keyakinan mereka kepada yang gaib. Hari Akhir.

Maka, Nabi bersabda: “Orang yang paling cerdas adalah orang yang sanggup mengalahkan diri (nafsu)-nya, untuk meraih apa yang ada setelah kematian.”

Berbakti kepada Kedua Orangtua

Berkata Lemah Lembut Kepada Ibu dan Ayah

Ibu dan ayah adalah kedua orang tua yang sangat besar jasanya kepada anaknya. Jasa mereka harum sepanjang jalan. Sepatutnya kita menghormati mereka dan bertutur yang baik dan sopan.

Dalam sebuah hadits pun diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab “Al Jami’ush-Shahih” dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Tidak akan (dapat) membalas seorang anak kepada orang tuaya, kecuali si anak itu mendapatkan orang tuanya sebagai hamba sahaya, kemudian si anak membelinya dan memerdekakannya,

segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi yang kuat terhadap sikap si anak. Dalam hal berkata pun demikian, apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si anak pun akan berkata halus. sebaliknya jika orang tua berkata kasar, maka anak akan meniru seperti kedua orang tuanya.
http://dinulislami.blogspot.com/

Karena seorang anak akan mudah meniru apa yang paling dekat dengannya.

Namun di samping itu seorang anak pun harus memperhatikan sikap terhadap kedua orang tua. Dalam ayat 23 dan 24 surat al-isra’, Allah memerintahkan setiap manusia untuk berkata mulai dan merendahkan diri terhadap orang tua. Karena jikalau kita berkata menyinggung hati dan melukai ibu dan atau ayah adalah perbuatan durhaka kepadanya disebut “Uquuqul-Qalidain. Durhaka kepada orang tua adalah termasuk dosa besar, namun jikalau kita meminta maaf kepada orang tua kita, dosa kita akan dihapuskan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar, bahwa Thailasah berkata: “Aku bersama orang-orang yang menolong. Kemudian aku merasa berdosa, dan aku kira dosa itu tidak lain adalah dosa besar. Kemudian aku datang kepada Ibnu Umar aku menceritakan kepadanya, Ibnu Umar berkata: “Apakah perbuatan itu?” Aku menerangkan demikian-demikian. Kemudian Ibnu Umar berkata lagi: “Itu bukan dosa besar”.

Dosa-dosa besar itu ada sembilan yaitu diantaranya:
1. Berbuat syirik kepada Allah
2. Membunuh Orang
3. Lari dari pertempuran agama Allah
4. Menuduh orang berzina
5. Memakan Riba
6. Memakan harta anak yatim
7. Melanggar kehormatan di masjid
8. orang yang memaksa
9. Durhaka kepada kedua orang tua

Dari hal-hal yang disebutkan di atas. Durhaka kepada orang tua termasuk hal dosa besar. Kewajiban seorang anak haruslah berbakti dan meredahkan suara.
Dalam Al-Qur'an banyak didapati ayat-ayat Allah yang menyatakan untuk selalu berbuat baik kepada orang tua yaitu :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا .الإسراء 23- 24

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra(17):23)


قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا .الأنعام : 151

yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, (Al-An’am 151).


وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ [ لقمان 15

15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنْ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ [ لقمان 14]

14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Marilah para sahabat kita merawat orang tua kita sebaik-baiknya, dan senantiasa mendahulukan kepentingan mereka. Merupakan suatu kesalahan bila terlalu memanjakan anak dan pasangan tetapi mengacuhkan kepentingan orang tua yang seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu keluarga. Orang tua memang membutuhkan materi (uang) tetapi masih ada yang lebih penting bagi mereka yaitu kasih sayang. Menyapa, menanyakan kabar mereka, kesehatan mereka, apa yang mereka inginkan merupakan suatu hal sepele namun berarti besar bagi mereka.

Pendekatan Kontekstual Dalam Memahami Ajaran Islam

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM MEMAHAMI AJARAN ISLAM 
TELAAH TERHADAP PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI DALAM BUKUNYA 
IJTIHAD KEMANUSIAN

A. PENDAHULUAN 

Islam sebagai agama yang shalihun likulli zamanin wa makanin, pada saat ini dituntut untuk bisa menjawab permasalahan-permasalahan umat yang tengah terjadi sehubungan dengan banyaknya terjadi perubahan dan perbedaan yang kesemuanya itu tidak dapat ditolak, baik dari segi perubahan waktu/zaman, perubahan sosial, perubahan ekonomi dan lain-lain, begitu pula dengan perbedaan seperti perbedaan tempat, adad istiadat/kebiasaan (urf). Perubahan dan perbedaan ini merupakan salah satu yang menjadi tantangan dalam Islam khususnya terkait dengan masalah hukum fiqh. 

Setelah hampir beberapa abad lamanya Islam dalam keadaan kemunduran, baik dari segi pendidikan, politik, ekonomi, dan lain-lain terjadilah perubahan dan perbedaan yang sangat signifikan sehingga lambat laun terjadi banyak perkara yang tidak mampu dijawab oleh Islam atau ditangguhkan. 

Dalam rangka menjawab tantangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan, banyak cendekiawan muslim baik di timur maupun barat menuangkan ide maupun gagasan baik melalui media cetak maupun elektronik. Ide dan gagasan yang mereka kemukakan adakalanya mendapat respon positif dari sebagian orang, dan ada pula yang melihatnya sebagai sesuatu yang kontroversial. 
http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/kontroversi-fatwa-merokok.html

Di antara cendikiawan muslim Indonesia yang mencoba menuangkan buah pemikiran dan hasil “ijtihad”-nya untuk menjawab tantangan zaman tersebut adalah Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA mantan menteri agama dua periode Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pak Munawir dengan gagasan kontekstualisasi ajaran Islam telah melahirkan berbagai polemik dan perdebatan antar ulama dan cendekiawan Muslim, di antara mereka terdapat yang pro dan kontra. 

Munawwir dengan gagasan kontekstualisasi ajaran Islam ingin menjawab dan memberikan arah baru terhadap beberapa permasalahan keislaman yang terjadi pada masyarakat muslim Indonesia, seperti masalah politik (Negara Islam), warisan, budak/hamba sahaya, bunga bank dan lain-lain. Mengingat beberapa isu ini masih hangat untuk dibicarakan dan diperbincangakan, maka pemakalah melalui tulisan ini ingin menelaah kembali pemikiran Pak Munawir dalam bukunya Ijtihad Kemanusian terkait pendekatan kontekstual dalam memahami ajaran Islam. 


PEMBAHASAN 

A. Profil Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA 

Sebelum diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan IV (1983), Munawir Sjadzali tidak banyak dikenal oleh masyarakat, apalagi dalam bidang pemikiran Islam. Hal itu dapat dimaklumi karena dalam kariernya di Departemen Luar Negeri (1950-19830), Munawir lebih banyak berada di luar negeri dalam berbagai jabatan diplomatik, mulai dari Sekretaris III Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington D.C. (1956-1959), Sekretaris I KBRI di Colombo Srilangka (1963-1966), kemudian Kuasa Usaha Sementara KBRI yang sama (1966-1968), Minister Councelor KBRI London (1970-1975) sampai menjadi Duta Besar RI di KBRI Kuwait, merangkap Duta Besar RI non resident untuk Uni Emirat Arab (UEA), Qatar dan Bahrain (1976-1980). Total dari 33 tahun berkarir di Deplu, Munawir menghabiskan 17 tahun di luar negeri, sedangkan di dalam negeri Munawir menduduki berbagai jabatan di Deplu mulai dari staf seksi Arab/Timur Tengah (1950) sampai Dirjen Politik (1980-1983). Praktis Munawir tidak pernah terjun dalam bidang yang menyebabkan dia bisa dikenal luas oleh masyarakat. 

Munawir Sjadzali dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, 7 November 1925 dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali bin Tohari (setelah menikah diberi nama tua Mughaffir) dan Tas’iyyah binti Badruddin. Ayah Munawir adalah seorang Kyai di kampungnya yang secara formal menjabat Kepala Madrasah Bi’tsah al-Muslimin (tingkat Ibtidaiyah) di Karanganom Klaten. Nama Sjadzali di belakang nama ayahnya karena memang beliau seorang pengikut Tarekat Syadzaliyah. Itu pulalah sebabnya di belakang nama anaknya juga ditambah Sjadzali. 

Pendidikan agama diperoleh Munawir pertama dari orang tuanya sendiri, dan kedua dari pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah (5 tahun) di Karang Anom, Tsanawiyah (1 tahun) di Madrasah Al-Islam Solo, kemudian Pondok Pesantren Manba’ul ‘Ulum Solo (5 tahun). 

Setelah tamat Manba’ul ‘Ulum tahun 1943, Munawir sempat jadi guru Sekolah Dasar Islam Ungaran, Jawa Tengah satu tahun, kemudian ikut perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Jawa Tengah sampai tahun 1949. Seperti disebutkan di atas tahun 1950 Munawir mulai berkarier di Departemen Luar Negeri Jakarta.

Selama berkarier di Deplu, Munawir sempat mengikuti Kursus Diplomatik dan Konsuler Angkatan II (1951) selama 10 bulan, dan pendidikan ilmu politik selama satu tahun di University College of South West of England, Exeter (1953). Waktu bertugas di Amerika, Munawir menyempatkan mengikuti kuliah pascasarjana di Universitas Georgetown dalam bidang Hubungan Internasional dan mendapat Master tahun 1959 dengan tesis: Indonesia’s Muslim Political Parties and Their Political Concept. 

Karya tulis Munawir yang pertama terbit tahun 1950 berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam (80 halaman). Buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dalam 4 bulan habis. Lewat buku itulah dia dapat berkenalan dengan Bung Hatta, Wakil Presiden RI pertama (lewat penyalur bukunya, Zein Jambek, ipar Hatta, direktur toko buku Tintamas Jakarta). Atas jasa baik Hatta, Munawir diterima jadi pegawai negeri di Deplu. Karya Munawir lainnya adalah Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dan “Dari Lembah Kemiskinan” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA. 

Atas permintaan Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak tahun 1988 Munawir mengajar mata kuliah Islam dan Tata Negara di Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Begitu pula atas permintaan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (pada saat dipimpin oleh Drs. H. Zarkasyi Abd. Salam) Munawir memberikan ceramah Islam dan Tata Negara di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Pada tahun 1994 IAIN Syarif Hidayatullah menganugerahi Munawir Doktor Honoris Causa. Di samping itu beliau juga pernah menjadi Lektor Tamu pada Institute of Islamic Studies McGill University, Canada (Maret-Mei 1994), dan Universitas Leiden, Belanda (April 1995). 

B. Kontekstualisasi Ajaran Islam dan Latar Belakangnya 

Dalam tiga dekade ini, di Indonesia banyak bermunculan istilahistilah yang dipergunakan oleh para pemikir Muslim dan para pengamat sosial-keagamaan Islam untuk menggarisbawahi perlunya meneliti dan mencermati kembali prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan norma-norma keislaman yang hendak dihidupkan kembali dalam era modernitas. Istilah-istilah itu antara lain adalah reinterpretasi (penafsiran ulang), reaktualisasi (mengangkat dan menghidupkan kembali), reorientasi (memikirkan kembali), revitalisasi (membangkitkan kembali), kontekstualisasi (mempertimbangkan konteks kehidupan social budaya), membumikan Islam, dan istilah-istilah lain yang masih mempunyai kandungan makna yang relatif sama seperti Islam transformatif, Islam intelektual, dan Islam substansial.

Munawir Syazali dalam berbagai tulisannya, selain menggunakan istilah kontekstualisasi juga menggunakan istilah reaktualisasi. Reaktualisasi dalam kamus besar bahasa Indonesia dimaknai sebagai “proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat”. 

Selain itu, kata reaktualisasi berasal dari bahasa Inggris actual yang berarti sebenarnya atau sesungguhnya, dan actualize yang berarti mewujudkan dan melaksanakan.

Kata tersebut di susun dari kata re dan actualize menjadi reaktualization (kata benda) yang berarti menghidupkan kembali atau mewujudkan dan membangun kembali. 

Reaktualisasi ajaran Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, berarti selama ini, Islam tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada, sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi. Selain itu, dapat pula dipahami bahwa ajarannya tidak lagi berjalan secara benar dalam masyarakat, sehingga perlu dibuka lagi untuk kebutuhan hidup sekarang. 

Adapun kontekstualisasi ajaran islam, maka bisa dipahami sebagai upaya atau cara mempertimbangkan konteks kehidupan sosial-budaya masyarakat dalam memahami dan membuat kesimpulan hukum dari sumber ajaran Islam. 

Mengenai gagasan rekatualisasi hukum Islam, maka ini mulai dilemparkan kepada masyarakat oleh Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA pada awal tahun 1985. Pada waktu itu tanggapan dari para pemikir hukum Islam biasa-biasa saja. Tetapi setelah disampaikan pada forum Paramadina, maka timbul reaksi pro-kontra yang cukup keras.

Dua hal yang melatarbelakangi Munawir untuk memunculkan ide reaktualisasi ini. Pertama, Munawir melihat bahwa adanya sikap mendua di kalangan umat Islam dalam menjalankan hukum Islam. Umat Islam terkesan enggan untuk menjalankan hukum Islam karena tidak sesuai dengan harapan dan keinginannya. Hal ini dapat dilihat dalam dua contoh pelaksanaan umat Islam terhadap hukum Islam. Di antara umat Islam banyak yang berpendirian bahwa bunga atau interest dalam bank itu riba, dan oleh karenanya maka samasama haram dan terkutuk sebagaimana riba. Sementara itu mereka tidak hanya hidup dari bunga deposito, melainkan sehari-hari juga banyak mempergunakan jasa bank, dan bahkan mendirikan bank dengan sistem bunga, dengan alasan dharurat, pada hal seperti yang dapat dibaca dalam al-Quran surat al-Baqarah, ayat 173, kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat itu dengan syarat tidak adanya unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan esensial.

Itulah realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut Munawir, kita boleh kecewa, tetapi demikianlah kenyataan sosial yang harus dengan jujur kita akui ada. Sementara itu salah kiranya kalau kita menuding para pelaku penyimpangan itu, termasuk sejumlah ulama, sebagai kurang utuh komitmen mereka kepada Islam, tanpa mempelajari latarbelakang dan faktorfaktor yang mendorong mereka berani melakukan penyimpangan itu. Dari uraian di atas, Munawir menyatakan, bahwa bukan saya mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Quran itu tidak adil, tetapi justru saya menyoroti sikap masyarakat yang tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum faraidh.

Berdasarkan latar belakang di atas, Munawir kemudian mengajukan ide untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan tersebut yang kemudian diistilahkannya dengan reaktualisasi. Tetapi pertanyaannya, apakah reaktualisasi tersebut boleh dilakukan? Bukankah ketentuan hukum tersebut berdasarkan nas yang oleh para ulama dinilai qath’i? 



C. Konsep Reaktulisasi Munawwir Sjadzali 

Tidaklah suatu gagasan dan konsep pemikiran muncul ke permukaan melainkan memiliki pondasi dan pijakan yang kokoh dan argumentasi yang kuat. Begitu juga halnya dengan konsep reaktualisasi Munawwir Sjazali yang muncul ke permukaan tentunya juga memiliki landasan yang kuat hingga layak untuk didiskusikan. Ide reaktualisasi Munawwir Sjazali ini, dalam hemat penulis berangkat dari beberapa permasalahan yang muncul dalam perjalanan hukum Islam dan dinamika peradaban modern. Berikut ini penulis kemukakan argumentasi Munawwir Sjazali akan perlunya reaktualisasi hukum Islam : 

C.1. Al-Quran dan Perubahan Hukum

Munawwir mengemukakan bahwa dalam Al-Quran dan hadits Nabi terdapat Nasakh. Dalam kitab suci kita terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh Nabi besar Muhammad SAW pada waktu-waktu sebelumnya. Menurut tafsir Al-jawahir, karya syekh Thanthawi Jauhari terdapat sebanyak 21 kasus nasakh dalam Al-Quran. Sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang yahudi bahwa terjadinya pembatalan oleh satu ayat terhadap hukum atau petunjuk yang telah diberikan oleh ayat terdahulu, khususnya mengenai pemindahan kiblat, itu mencerminkan bahwa Nabi tidak konsisten dan mencla-mencle ( plin-plan), maka turun ayat 106, Surat Al- Baqarah yang artinya : “ apa saja ayat yang kami nasakhkan atau ( batalkan ), atau kami jadikan ( manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. “ 

Kemudian marilah kita ikuti komentar sejumlah mufassir besar terhadap ayat tersebut. 

1. Ibnu Katsir : “ Sesungguhnya menurut rasio tidak terdapat sesuatu yang menolak adanya naskh (pembatalan) dalam Hukum-hukum Allah”. 

2. Ahmad Musthofa Al-Maraghi : “Sesungguhnya hukum-hukum itu diundangkan untuk kepentingan manusia, dan kepentingan manusia dapat berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Apabila suatu hukum diundangkan pada waktu dimana memang dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka suatu tindakan yang bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu terakhir”. 

3. Muhammad Rasyid Ridha :”Sesungguhnya hukum itu (dapat) berbeda karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan) dan situasi. Kalau suatu hukum diundangkan pada waktu sangat dibutuhkan hukum itu, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi pada waktu lain, maka suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu yang belakangan itu.” 

4. Sayyid Qutub : berpendapat bahwa ayat 106 dari surat Al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang Yahudi bahwa Nabi Muhammad tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari Masjid Aqsa ke Masjid Al-Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang 

Dari permasalahan nasakh ini lah, munawwir menggangkat permasalahan tidak kontekstualnya lagi bab perbudakan dalam kitab-kitab fikih. 

C.2. Peran akal dalam melihat kemaslahatan 

Sudah menjadi kesepakatan atau konsensus antara para ahli hukum bahwa Hukum Islam itu terbagi ke dalam dua kategori, yaitu hukum yang bertalian dengan Ibadah murni, dan hukum yang menyangkut muamalah duniawiyah (kemasyarakatan). Dalam hal hukum yang termasuk katagori pertama tidak banyak kesempatan bagi kita untuk mempergunakan penalaran. Tetapi dalam hal hukum dari katagori kedua lebih luas ruang gerak untuk penalaran intelektual, dengan kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama mengenai hukum yang bertalian dengan kemasyarakatan, Al Izzi bin Abdussalam, seorang ahli hukum terkemuka dari golongan Syafi’i, menyatakan bahwa “semua usaha itu hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Allah tidak memerlukan ibadah kita semua. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat, dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang durhaka”. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dari golongan Hambali, mengatakan bahwa : “ perubahan dan perbedaan fakta atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat istiadat. Ya’kub bin Ibrahim b. Habib Al- Ansari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih terkenal dengan panggilan Abu Yusuf, dan adat tersebut kemudian berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam naskh itu.

C.3. Bukti sejarah akan adanya penyimpangan antara teks dan konteks. 

Kasus penyimpangan terhadap nash dalam sejarah yang dilakukan oleh sebagian para pemimpin maupun ulama telah mendorong Munawwir untuk melakukan reaktualisasi hukum Islam, seperti :

a. Umar ibn Khattab. Ia telah memutuskan berbagai perkara yang kontroversial di masanya seperti masalah pembagian ghanimah, pembagian zakat untuk muallaf, talak, penjualan umm al-walad, hukuman bagi pencuri, hukuman bagi pelaku zina, ta’zir, dan lain-lain. 

b. Umar ibn Abd al-Aziz. Ia melarang pejabat Negara dan karyawan pemerintahan menerima hadiah. Sedang ia tahu bahwa Nabi sendiri, Abu Bakr, Umar, dan Usman dulu menerima hadiah. 

c. Abu Yusuf al-Hanafi. Ia berpendapat bahwa suatu nash yang dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah berubah, maka gugur pula ketentuan hukum yang terdapat dalam nash itu. Misalnya, Nabi pernah menyatakan bahwa untuk jual beli gandum itu dipergunakan ukuran takaran, mengikuti adat setempat waktu itu. Tetapi kebiasaan itu kemudian berubah. Di banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli gandum digunakan ukuran timbangan. 

d. Izz al-Din ibn Abd as-Salam. Ia menyatakan bahwa : “Segala upaya hendaknya difokuskan atau dikembalikan kepada kepentingan manusia, dunia, dan akhirat. Tuhan tidak memerlukan ibadah kita. Ia tidak beruntung karena ketaatan mereka yang taat, dan sebaliknya tidak dirugikan oleh perbuatan maksiat dari mereka yang durhaka. 

e. Al-Thufi al-Hanbali. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi tabrakan antara kepentingan umum dengan nash dan ijma’, maka wajib didahulukan dan dimenangkan kepentingan umum. 

f. Muhammad Abduh. Menurut Abduh, bilamana terjadi tabrakan antara manqul (nash) dan ma’qul (hasil penalaran), maka hendaknya diambil hasil penalaran. 

Dengan dipaparkannya secara jelas pendapat ini, maka bisa kita lihat dan baca arah dari gagasan Munawir bahwa sebenarnya gagasannya ini berangkat dari pentingnya mendahulukan kepentingan umum karena syariat tidak lah diturunkan melainkan untuk menjaga maslahat. Oleh karenanya, di berbagai tulisannya Munawir begitu menyokong dan mendukung cara Umar berijtihad, yang memanfaatkan akal budi dengan berani dan jujur, demi mempertahankan relevansi ajaran Islam. 

D. Munawir Sjadzali dengan Bukunya Ijtihad Kemanusian 

Gagasan reaktualisasi yang coba dibangun oleh Munawwir Sjadzali tidaklah terhenti pada seminar dan ceramah saja. Lebih lanjut, ia mencoba membangun landasan berpikirnya ataupun ijtihadnya dengan menuangkan gagasan tersebut pada bukunya Ijtihad Kemanusian. 

Bagi Munawir, pengembangan intelektual dalam dunia Islam boleh dikata sejak lama terhenti, hal ini ditandai dengan jeranya para pemikir Islam untuk berani berpikir dan daya imajinasi yang mandek. Sebagai akibatnya, islam yang dulu di tangan Nabi merupakan ajaran yang revolusioner, sekarang ini mewakili aliran yang terbelakang. Dan umat islam pun tidak dapat diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada peradaban dunia di zaman kita hidup sekarang ini. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya contoh kasus dimana Islam pada satu sisi bersikap konservatif pada sisi lain ia bersikap reaksional. 

Di antara kasus yang menggambarkan mengenai hal ini adalah : 

a. Kasus kedudukan wanita 

Dalam pembagian harta warisan, AlQuran an-Nisa’; 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan. 

يو صيكم الله في اولاد كم للذكر مثل حظ الانثيين. 

Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama. 

Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Alquran tersebut. Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman. 

Sementara itu, banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang sah betul ? atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama. 

Oleh karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Alquran menganut nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra). 

Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama. 

Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membegi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid. 

Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini. 

Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut. 

b. Kasus bunga bank 

Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum dewasa ini adalah maslah bunga bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal. 

Di antara ulama yang mangatakan bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini tidak sejalan dengan QS. al-Baqarah (2): 173 yang memberi kelonggaran karena tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan esensial. 

Ketika Munawir menyampaikan sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan alasan darurah ?. 

Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangan melakukan riba. Di antara ulama yang dapat menerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangna pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i. 

Terkait dengan hal tersebut, apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan bank biasa dengan alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang (syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku. 

c. Kasus kedudukan warga non muslim 

Pada kasus ataupun tema ini yang menjadi pembahasannya adalah mengenai Islam dengan Negara atau pemerintahan. Dimana dalam hal ini terdapat tiga pandangan dan sikap yang berbeda tentang Islam dan ketatanegaraan itu sendir dikalangan pemikir-pemikir Islam. Sikap pertama lahir dari pemikiran bahwa Al-Qur'an tidak memiki sistem politik yang baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa pretense untuk mendirikan negara. Pemikiran ini antara lain diwakili oleh Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Karena itu, umat Islam harus meniru Barat untuk mencapai kemajuan mereka.

Sedangkan sikap kedua lahir dari pandangan bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Al-Qu'ran , ibarat super market telah menyediakan sistem politik yang mesti diikuti oleh umatnya. Hal ini dijabarkan pula oleh praktek Nabi dalam membangun Negara Madinah dan pemerintahan yang dilanjutkan oleh penerus beliau al-Khulafa' al-Rasyidun. Inilah yang mesti diteladani oleh umat Islam. Karenanya, kita tidak perlu meniru system politik Barat yang dipengaruhi oleh semangat sekularisme. Tokoh yang menegembangkan pemikiran ini antara lain adalah Abu al-A'la al-Maududi, Hasan al-Banna dan Sayyid Quthb. 

Di antara kedua kutub diatas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan system politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur pemerintahan. Islam hanya memberikan seperangkat tata nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahn yang mereka hadapi. Karenanya, Islam tidak melarang umatnya menagdopsi pemikiran-pemikiran dari luar, termasuk dari Barat sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya tidak menolak pemikiran tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang prinsip-prinsip demokrasi. Tokoh-tokoh yang mewakili pemikiran ini antara lain adalah Muhammad Husein Haykal, Abduh dan Iqbal. 

d. Kasus perbudakan 

Menurut Munawir dalam AlQuran terdapat beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan. Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. 

Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula. 

Apabila alur pendapat itu kita terima bahwa sedangkan hal-hal yang mendasar seperti perbudakan, nabi masih memperhitungkan kemungkinan reaksi masyarakat, maka apakah sebagai umatnya kita tidak seharusnya belajar dari kebijaksanaan panutan agung kita itu ? 

Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan. 

E. Respons terhadap Reaktualisasi 

Seperti yang sudah disebutkan di atas, gagasan reaktualisasi Munawir mendapatkan tanggapan yang cukup luas dari masyarakat ilmiah Indonesia, baik yang pro maupun yang kontra. Dalam buku Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, dimuat 12 tanggapan dari kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu: K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA, “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis tidak Selalu Relevan”; Prof. K.H. Ali Yafie, “Antara Ketentuan dan Kenyataan?”; K. H. Ali Darokah,“Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar yangWajar”; Dr. Nurcholish Madjid, “Pertimbangan Kemaslahatan dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad Umar ibn Khattab”; Mr. Syafruddin Prawiranegara, “Reinterpretasi Sebagai Dasar Reaktualisasi Ajaran-ajaran Islam”; Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc.,“Kontroversi Sekitar Ijtihad Umar”; R.A.; Rifyal Ka’bah, MA, Bawalah kepada Kami Al-Qur’an yang Lain atau Gantilah”; Kamaluddin Marzuki, MA, “Jangan Sampai Energi Terbuang Percuma”; M. Yahya Harahap SH, “Praktek Hukum Waris tidak Pantas Membuat Generalisasi”; Dr. H. Peunoh Dali, “Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam”; Aminullah HM, “Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam Semangat Reaktualisasi Ajaran Islam”; Drs. Masdar F. Mas’udi, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”. 

Dalam buku Kontekstualisi Ajaran Islam dimuat empat tanggapan masing-masing dari Prof. K.H. Ibrahim Hosein, “Beberapa Catatan tentang Reaktualisasi Hukum Islam”; Dr. H. Satria Effendi M. Zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”; Dr. Atho Mudzhar, “Letak Gagasan Munawir Sjadzali dalam Konteks Reaktualisasi Hukum Islam di Dunia Islam”; dan dari K. H. Ali Yafie,“Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia”. 

Dari segi semangat, para penanggap tampaknya dapat menyetujui usaha-usaha reaktualisasi baik, yang dilakukan oleh Munawir maupun pemikir lainnya. Hanya saja sebagian dari mereka berbeda pendapat dalam metodologi yang digunakan dan juga dalam menilai kasus-kasus yang dikemukakan. Ibrahim Hosein, misalnya, memberikan catatan tentang maslahat yang didahulukan dari nas jika terjadi pertentangan antara keduanya. Ibrahim Hosein mempersoalkan apakah dapat terjadi pertentangan antara nas dan maslahat, sebab dalam nas itu sendiri sudah terkandung nilai kemaslahatan. Dan juga, apakah benar tidak ada pertentangan dalam maslahat itu sendiri?

Ibrahim Hosein juga menjelaskan pendapat Abu Yusuf yang dikutip oleh Munawir yang menyatakan bahwa nas sekalipun, kalau dahulu dasarnya adat, dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nas itu. Menurut Ibrahim Hosein, adat yang dijadikan sendi hukum yang kemudian berubah tersebut tidaklah berkenaan dengan substansi hukum melainkan dengan penjelasan dan penerapannya.

Karena Munawir berargumentasi dengan ijtihad Umar, maka Jalaluddin Rakhmat menguraikan lima pandangan tentang ijtihad Umar, yaitu (1) Ijtihad Umar tidak meninggalkan nas, apalagi mengganti atau menghapus ketentuannya; (2) Ijtihad Umar memang meninggalkan zhahir nas. Karena ia berpegang kepada ruhnya nas, atau Maqashid al-Ahkam as-Syar’iyyah; (3) Ijtihad Umar berkenaan dengan masalah-masalah qath‘iyyah yang bukan bidang ijtihad; tetapi ini diperbolehkan khusus untuk Umar;(4) Ijtihad Umar telah meninggalkan nas yang sharih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihadnya tetap memperoleh ganjaran; (5) Ijtihad Umar memang banyak melanggar nas yang qath‘i, tetapi itu dilakukan Umar karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan yang bersangkutan.

Sementara itu, Syafruddin Prawiranegara menjelaskan tentang makna keadilan dalam warisan, dan juga tentang status hukum waris yang masuk kategori voluntary law (hukum yang berlaku kalau yang berkepentingan tidak mempergunakan alternatif-alternatif lain yang tersedia), bukan compulsary law (hukum yang berlaku secara mutlak). Para ahli waris dapat memusyawarahkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembagian waris jika memang ada kasus yang perlu jadi perhatian seperti yang dikemukakan oleh Munawir.

Demikianlah beberapa respons ilmiah yang datang dari cendikiawan muslim Indonesia terhadap gagasan reaktualisasi atau kontektualisasi ajaran Islam yang kiranya bisa menjadi bahan perbandingan dan pertimbangan dalam menerima sebuah gagasan baru yang cukup kontroversi. 

F. Analisis 

Melihat isu-isu kemanusiaan yang diangkat oleh Munawir sebagai contoh perlunya kontekstualisasi ajaran, maka sebenarnya bisa dikatakan bahwa pertimbangannya adalah kemaslahatan umat dan tidak relevannya lagi beberapa penerapan ketentuan yang ada dalam nash maupun hukum fikih dalam menyikapi fenomena yang terjadi di masyarakat. Sehingga pada akhirnya seseorang dituntut untuk berijtihad menetapkan suatu hukum. 

Kemaslahatan yang coba digagas oleh Munawir dalam hemat pemakalah merupakan gagasan kemaslahatan yang mengoptimalkan peran akal dalam menentukan apakah pada sesuatu itu ada maslahatnya atau mafsadatnya. Peran akal dalam menentukan baik atau buruk sudah menjadi bahan perdebatan di kalangan mutakallimin berabad-abad silam. Sebagian mutakkallimin berpandangan bahwa akal dapat menentukan baik dan buruk, maslahat dan mafsadat, sebagiannya lagi berpandangan bahwa nashlah yang menjadi penentu apakah pada sesuatu itu terdapat mafsadat atau maslahat, yang dengan kata lain nash yang datang itu sudah mempertimbangkan keberadaan maslahat dan tidak keluar darinya. 

Selain mengoptimalkan peran akal, Munawir juga mengikuti konsep maslahat yang digagas oleh al-Tufi dalam melakukan ijtihad kemanusiaan, dimana ia diantara pendapatnya adalah : 

a. Maslahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat 

b. Maslahah itu merupakan dalil syar'i mandiri yang kehujjahannya tidak bergantung pada akal semata. 

c. Akal semata, tanpa harus melalui wahyu dapat mengetahui kebaikan dan keburukan. 

d. Mashlahah diambil sebagai dalil syar'i hanya dalam bidang mu'amalah (hubungan social) dan adat istiadat. Sedangkan dalam bidang ibadah, maslahah tidak dapat dijadikan dalil. 

Ijtihad pada isu-isu kemanusiaan dalam hemat pemakalah hendaklah diupayakan semaksimal mungkin untuk tidak bertentangan dengan nash dan ijma’, terlebih lagi apabila penunjukan nash tersebut sudah jelas dan qath’iy dilalah-nya. Ijtihad hendaknya diupayakan pada perkara-perkara yang ada nashnya namun samar atau pada perkara yang tidak ada nashnya. Begitu juga dengan maslahat, hendaknya diupayakan sejalan dengan ruh nash itu sendiri. Mewujudkan kemaslahatan berupa keadilan dan kepuasan untuk orang banyak atau orang yang saling bertikai merupakan sesuatu bersifat relatif lagi sulit, terlebih lagi jika pertimbangannya lewat nalar akal atau bahkan nafsu. Dengan mengikut kepada nash, maka sesungguhnya kita sedang mengikuti pengejewantahan keadilan dalam pandangan Syari’. Syari’ tidak pernah menginginkan kesukaran bagi hamba,tapi justru Syari’menghendaki kemudahan bagi hamba. 

Jika kita ingin mengikuti ijtihad Umar, maka kita harus menjadi Umar. Ijtihad yang dikeluarkan oleh seorang penguasa akan tampak langsung aplikasinya dalam kebijakannya, berbeda halnya dengan seseorang cendekiawan yang hanya mengutarakan konsep namun tidak bisa diterapkan. Kondisi ini lah yang cocok untuk menggambarkan sosok Munawir, ia punya kekuasaan sehingga isu ini bukan sekedar isu, tapi terwujud dalam banyak kebijakan. 

Melihat pengamalan agama yang bertentangan dengan nash di dalam masyarakat hendaknya tidak digenalisir, boleh jadi faktor keimanan dan latar belakang pengetahuan agamalah yang menentukan kesiapan seseorang untuk mau melaksanakan perintah Allah. Jika melaksanakan perintah Allah saja tidak ada jaminan surga untuk kita, bagaimana pula jika kita berpaling dari perintah-Nya. Wallahu ‘Alam. 

Satu hal yang menarik dari moral intelektual Munaawwir dari konsep ini adalah ia berkata di akhir bukunya Ijtihad Kemanusiaan : “ kalau sekarang atau dikemudian hari datang seseorang atau lebih ilmuwan (Islam) lain yang membawa kajian tentang masalah yang sama yang lebih baik dan kuat, maka karya dia atau mereka itu lebih berhak untuk dinyatakan sebagai yang benar”. 

A. KESIMPULAN 

Menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ajaran Islam tidak selamanya bisa dijadikan argumen untuk mengabaikan teks atau nash. Reaktualisasi hukum Islam sejujurnya sangat diperlukan dalam rangka mengupayakan menerapkan hukum Islam ke dalam hukum nasional. Kompilasi Hukum Islam adalah buah dari rekatualisasi yang sesuai dengan tujuan Syari' memberikan akal untuk manusia. 

"Reaktualisasi Munawir" adalah reaktualisasi yang tidak sesuai dengan tujuan Allah memberikan akal kepada manusia. Kemaslahatan yang dijadikan dasar "reaktualisasi Munawir" adalah kemaslahatan yang sama dengan kemaslahatan yang diungkapkan oleh al- Thufi yaitu kemaslahatan yang lepas dari nash, bukan kemaslahatan yang terikat dengan nash.


Daftar Pustaka 
  1. Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta, Gaya MediaPratama, 2001. 
  2. John M. Echols & Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1990. 
  3. Sjadzali, Munawir. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Temprint, 1995. 
  4. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997. 
  5. Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta, UI Press, 1991. 
  6. Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, dalam Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung, Mizan, 1994. 
  7. Saimima, Iqbal Abdurrauf. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988. 

Pemimpinan Wanita Dalam Negara

A. Pendahuluan 

Di Indonesia wacana hukum Islam tentang boleh tidaknya wanita menduduki jabatan publik, baik tingkat tertinggi maupun dalam level yang lebih rendah muncul relatif baru. Topik ini mulai mengemuka pasca era Reformasi. Tepatnya, sejak tahun 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati Sukarnoputri menjadi presiden wanita pertama di Indonesia.[1] Di negara muslim lain, fenomena kepala negara wanita sudah pernah dan sedang terjadi yaitu di Pakistan dan Bangladesh. Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menjadi Kepala Negara Pakistan dua periode yang pertama pada tahun 1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.[2] Bangladesh, negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh dua kepala negara wanita yaitu Khaleda Zia (1991-2006) dan Sheikh Hasina.yang berkuasa dua periode yakni tahun 1996-2001 dan 2009-sampai sekarang.[3]

http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/epistemologi-maqasid-syariah-dalam.htmlKontroversi pemimpin perempuan sebenarnya sudah mulai berhembus jauh sebelum pemilu 1999. Pro kontra ini berasal dari berbagai lapisan masyarat mulai dari politisi partai yang berbasis Islam maupun dari kalangan non-partai termasuk akademisi, aktivis ormas Islam, bahkan kalangan santri yang secara kultural berafiliasi ke NU (Nahdlatul Ulama). Hal ini dapat dimaklumi karena masalah kepemimpinan perempuan mencakup banyak dimensi: politis, sosiologis, budaya, ideologis. Termasuk di antaranya adalah dimensi syariah. Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan dari aspek hukum syariah, suatu sudut pandang yang paling menjadi perhatian kalangan santri khususnya dan umat Islam secara umum. 

B. Pembagian Al-Wilayah 

Level kepemimpinan dan dalam bahasa Arab disebut al wilayah yang secara etimologis berarti.suatu negara yang diatur oleh kepala pemerintahan. Al-Wilayah juga bermakna penguasa atau pejabat negara itu sendiri.[4] Secara istilah al-wilayah terbagi menjadi tiga yaitu al-wilayah al-udzma al-kubro, al-wilayah al-ammah dan al-wilayah as-sughro al-khassah. Al-wilayah al-ammah bermakna “jabatan yang memiliki otoritas untuk melaksanakan tiga jabatan yaitu eksekutif (tanfidziyah), yudikatif (qadhaiyah) dan legislatif (tashri’iyah).”[5]

Yang dimaksud al-wilayah al-udzma al-kubro yaitu wilayah negara yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang sekarang disebut dengan presiden, perdana menteri, kanselir, atau raja. Namun, ada juga perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan kata al-wilayah al-udzma al-kubro dan al-wilayah as-sughro. Ada pandangan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-wilayah al-kubro adalah kekuasaan khilafah yang mencakup seluruh negara Islam di seluruh dunia yang pemimpinnya disebut dengan al-imamah al-udzma.[6] Dalam pengertian ini, maka sebenarnya al-imam al-udzma atau al-khilafah al-ammah yang menjadi pemimpin tertinggi dalam al-wilayah al-udzma saat ini pada dasarnya tidak ada. Yang ada saat ini adalah kepala negara dalam level al-wilayah as-sughra.[7] Pandangan ini dianut oleh banyak ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi, Tantawi, dan Ali Jumah. Sedang al-wilayah as-sughro hanya terbatas pada satu negara Islam di antara negara-negara Islam yang lain. 

Dalam konteks pemahaman seperti di atas, Qardawi menyatakan: 


ولكن هناك إجماعًا للفقهاء على أن المرأة لا تصلح للخلافة العامة، أو الإمامة العظمى، والتي هي خلافة المسلمين جميعًا، ولكن هل الرئاسة الإقليمية في الدول القطرية الحالية تدخل في الخلافة، أم أنها أشبه بولاية الأقاليم قديمًا. 


Artinya: (Ulama fiqih sepakat [ijmak] bahwa perempuan tidak pantas menduduki jabatan Al-Khilafah al-Ammah atau Al-Imamah Al-Udzma yaitu pemimpin seluruh umat Islam dunia. Akan tetapi apakah kepala negara dalam level lokal dan regional seperti saat ini masuk dalam kategori al-khilafah atau serupa dengan kepala daerah pada zaman dulu?).[8]

Terlepas dari itu, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah membagi kekusaan al-wilayah al-ammah yang berada di bawah kepala negara (al-wilayah al-kubro) ke dalam empat bagian: 


فالقسم الأول: من تكون ولايته عامة في الأعمال العامة، وهم الوزراء، لأنهم يُستَنابون في جميع الأمور من غير تخصيص. والقسم الثاني: من تكون ولايته عامة في أعمال خاصة، وهم: أمراء الأقاليم والبلدان؛ لأن النظر فيما خصوا به من الأعمال، عام في جميع الأمور. والقسم الثالث: من تكون ولايته خاصة في الأعمال العامة، وهم كقاضي القضاة، ونقيب الجيوش، وحامي الثغور، ومستوفي الخراج، وجابي الصدقات؛ لأن كل واحد منهم مقصور على نظر خاص في جميع الأعمال. والقسم الرابع: من تكون ولايته خاصة في الأعمال الخاصة، وهم: كقاضي بلد، أو إقليم، أو مستوفي خراجه، أو جابي صدقاته، أو حامي ثغره، أو نقيب جند؛ لأن كل واحد منهم خاص النظر، مخصوص العمل 

Artinya: (Bagian pertama, orang yang kekuasaannya umum dalam urusan umum. Mereka adalah para menteri karena mereka bertanggung jawab atas semua perkara tanpa kekhususan. Kedua, pejabat yang kekuasaannya umum dalam tugas-tugas khusus. Mereka adalah pejabat daerah dan kota, karena melihat pada tugas yang dikhususkan pada mereka itu umum dalam segala urusan. Ketiga, pejabat yang kekuasaannya khusus dalam urusan yang umum. Mereka seperti hakim, komandan tentara, penarik pajak dan zakat. Keempat, pejabat yang tugasnya khusus untuk urusan khusus. Seperti hakim kota atau daerah, penarik pejak atau zakat, penegak hukum, dan lain-lain. Karena masing-masing memiliki pengawasan khusus dan tugas khusus).[9]

C. Titik Kontroversi Kepemimpinan Perempuan 

Terjadinya pro dan kontra dalam soal pemimpin wanita dalam Islam berasal dari perbedaan ulama dalam menafsiri sejumlah teks baik dari Al-Quran maupun hadits. Beberapa nash yang menjadi ajang perbedaan penafsiran antara lain:: 
  1. QS An Nisa 4:34 Allah berfirman “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),…”.
  2. QS Al Ahzab 33:33 Allah berfirman: “dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”.
  3. QS Al-Ahzab 33:53 Allah berfirman: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
  4. QS Al-Baqarah 4:282 Allah berfirman: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”
  5. QS At Taubah 9:71 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”
  6. QS An-Naml ayat 27:23-44 (kisah tentang dan pujian Allah terhadap Ratu Balqis). 
  7. Hadits Nabi: “Wanita adalah saudara dari laki-laki.”
  8. Hadits Nabi: “Allah mengizinkan kalian perempuan keluar rumah untuk memenuhi kebutuhanmu.”
  9. Aisyah memimpin tentara laki-laki dalam perang Jamal. 
  10. Umar bin Khattab mengangkat wanita bernama As-Syifa sebagai akuntan pasar.
  11. Hadits sahih riwayat Bukhari dari Abu Bakrah, Nabi bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita.”
Teks hadits dari Abu Bakrah dan QS An Nisa 4:34 menjadi alasan paling mendasar dari kalangan ulama yang mensyaratkan kepemimpinan harus di tangan laki-laki dan menolak atas bolehnya peran wanita menduduki posisi tersebut. Sedangkan kisah Ratu Balqis dalam QS An-Naml 27:23-44, dan QS At Taubat 9:71 serta hadits ““Wanita adalah saudara dari laki-laki.” menjadi argumen dasar ulama yang membolehkan pemimpin perempuan. 

D. Pandangan yang Mengharamkan Pemimpin Wanita 

Pendapat yang mengharamkan kepala negara perempuan mendasarkan argumennya terutama pada QS An Nisa 4:34 dan hadits dari Abu Bakrah di atas. Dari kedua nash tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk madzah empat berpendapat bahwa al-imam harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan. Ibnu Katsir, misalnya, dalam Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsiri QS An-Nisa 4:34 menyatakan: 

الرجل قيم على المرأة، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت. “بما فضَّل اللّه بعضهم على بعض” أي: لأن الرجال أفضل من النساء، والرجل خير من المرأة، ولهذا كانت النبوة مختصة بالرجال، وكذلك المُلك الأعظم؛ لقوله _صلى اللّه عليه وسلم: “لن يفلح قوم ولَّو أمرهم امرأة” رواه البخاري، وكذا منصب القضاء وغير ذلك “وبما أنفقوا من أموالهم” أي: من المهور والنفقات… فناسب أن يكون قيماً عليها كما قال اللّه _تعالى_: “وللرجال عليهن درجة” الآية، وقال ابن عباس: “الرجال قوامون على النساء” يعني أمراء عليهن، أي تطيعه فيما أمرها اللّه به من طاعته…) 

Artinya: (Laki-laki adalah pemimpin wanita … karena laki-laki lebih utama dari perempuan. Itulab sebabnya kenabian dikhususkan bagi laki-laki begitu juga raja yang agung; … begitu juga posisi jabatan hakim dan lainnya… Ibnu Abbas berkata “Laki-laki pemimpin wanita” maksudnya sebagai amir yang harus ditaati oleh wanita).

Ar-Razi dalam Tafsir Ar-Razi sependapat dengan pandangan Ibnu Katsir: 

واعلم أن فضل الرجل على النساء حاصل من وجوه كثيرة، بعضها صفات حقيقة، وبعضها أحكام شرعية وفيهم الإمامة الكبرى والصغرى والجهاد والأذان والخطبة والاعتكاف والشهادة في الحدود والقصاص بالاتفاق 

Artinya: (Keutamaan laki-laki atas wanita timbul dari banyak sisi. Sebagian berupa sifat sifat faktual sedang sebagian yang lain berupa hukum syariah seperti al-imamah as-kubro dan al-imamah as-sughro, jihad, adzan, dan lain-lain).

Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu mengutip ijmak-nya ulama bahwa salah satu syarat menjadi imam adalah laki-laki (dzukuroh): 

وأما الذكورة فلأن عبء المنصب يتطلب قدرة كبيرة لا تتحملها المرأة عادة، ولا تتحمل المسؤولية المترتبة على هذه الوظيفة في السلم والحرب والظروف الخطيرة، قال صلّى الله عليه وسلم : «لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة» (2) لذا أجمع الفقهاء على كون الإمام ذكراً. 

Artinya: (Adapun laki-laki [sebagai syarat jabatan al-imam] karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak dapat ditanggung wanita. Wanita juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan ini dalam masa damai atau perang dan situasi berbahaya. Nabi bersabda: ‘Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita’ Oleh karena itu, ulama fiqih sepakat bahwa jabatan Imam harus laki-laki). Tentu saja yang dimaksud al-imam di sini adalah al-imam al-udzma atau al-khalifah al-ammah yang mengepalai muslim dunia. 

Namun, menurut Wahab Zuhaili, dalam masalah jabatan qadhi atau hakim, terdapat perbedaan ulama fiqih apakah wajib laki-laki atau perempuan juga boleh menempati posisi ini: 

اتفق أئمة المذاهب على أن القاضي يشترط فيه أن يكون عاقلاً بالغاً حراً مسلماً سميعاً بصيراً ناطقاً، واختلفوا في اشتراط العدالة، والذكورة 

Artinya: (Imam madzhab sepakat bahwa syarat bagi qadhi adalah berakal sehat, baligh, merdeka, muslim, tidak tuli, tidak buta, tidak bisu. Mereka berbeda pendapat dalam syarat adil dan laki-laki).

Ulama yang membolehkan wanita menduduki jabatan qadhi atau hakim antara lain Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu Rushd memerinci perbedaan pendapat ini dalam kitab Bidayatul Mujtahid: 

وكذلك اختلفوا في اشتراط الذكورة: فقال الجمهور: هي شرط في صحة الحكم، وقال أبو حنيفة يجوز أن تكون المرأة قاضيا في الأموال. قال الطبري : يجوز أن تكون المرأة حاكماعلى الإطلاق في كل شيء 

Artinya: (Ulama berbeda pendapat tentang disyaratkannya laki-laki sebagai hakim. Jumhur mengatakan: ia menjadi syarat sahnya putusan hukum. Abu Hanifah berkata: boleh wanita menjadi qadhi dalam masalah harta. At-Tabari berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal).

Sementara itu, kalangan ulama kontemporer yang mengharamkan kepemimpinan wanita dipelopori oleh ulama Wahabi. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menyatakan dalam fatwanya bahwa wanita dilarang menduduki jabatan tinggi apapun dalam pemerintahan: 

تولية المرأة واختيارها للرئاسة العامة للمسلمين لا يجوز، وقد دل الكتاب والسنة والإجماع على ذلك ، فمن الكتاب : قوله تعالى : { الرجال قوَّامون على النساء بما فضَّل الله بعضهم على بعض ، والحكم في الآية عام شامل لولاية الرجل وقوامته في أسرته ، وكذا في الرئاسة العامة من باب أولى ، ويؤكد هذا الحكم ورود التعليل في الآية ، وهو أفضلية العقل والرأي وغيرهما من مؤهلات الحكم والرئاسة . ومن السنَّة : قوله صلى الله عليه وسلم لما ولَّى الفرسُ ابنةَ كسرى : ( لن يفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة ) ، رواه البخاري ولا شك أن هذا الحديث يدل على تحريم تولية المرأة لإمرة عامة ، وكذا توليتها إمرة إقليم أو بلد ؛ لأن ذلك كله له صفة العموم ، وقد نفى الرسول صلى الله عليه وسلم الفلاح عمَّن ولاها ، والفلاح هو الظفر والفوز بالخير . 

Artinya: (Kepemimpinan wanita untuk riasah ammah lil muslimin itu tidak boleh. Quran, hadits dan ijmak sudah menunjukkan hal itu. Dalil dari Al-Quran adalah QS An-Nisa 4:34. Hukum dalam ayat tersebut mencakup kekuasaan laki-laki dan kepemimpinannya dalam keluarga. Apalagi dalam wilayah publik… Adapun dalil hadits adalah sabda Nabi “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh perempuan.” Tidak diragukan lagi bahwa hadits ini menunjukkan haramnya kepemimpinan perempuan pada otoritas umum atau otoritas kawasan khusus. Karena semua itu memiliki sifat yang umum. Rasulullah telah menegasikan kejayaan dalam suatu negara yang dipimpin perempuan).

Fatwa Bin Baz di atas tidak membedakan antara riasah ammah yakni al-khilafah al-ammah dengan al-wilayah al-khassah. Juga, semua posisi jabatan tinggi seperti hakim, menteri, gubernur, dan semua posisi yang membawahi laki-laki haram hukumnya diduduki oleh perempuan. 

E. Pandangan yang Membolehkan Pemimpin Wanita 

Dr. Muhammad Sayid Thanthawi, Syaikh Al-Azhar dan Mufti Besar Mesir, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam posisi jabatan apapun tidak bertentangan dengan syariah. Baik sebagai kepala negara (al-wilayah al-udzma) maupun posisi jabatan di bawahnya. Dalam fatwanya yang dikutip majalah Ad-Din wal Hayat, Tantawi menegaskan: 

ان تولي المرأة رئاسة الدولة لا يخالف الشريعة الإسلامية لأن القرآن الكريم أشاد بتولي المرأة لهذا المنصب في الآيات التي ذكرها المولى عز وجل عن ملكة سبأ وأنه إذا كان ذلك يخالف الشريعة الإسلامية لبين القرآن الكريم ذلك في هذه القصة وحول نص حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لم يفلح قوم ولو أمرهم امرأة )، قال طنطاوي ان هذا الحديث خاص بواقعة معينة وهي دولة الفرس ولم يذكره الرسول صلى الله عليه وسلم على سبيل التعميم.: فللمرأة أن تتولى رئاسة الدولة والقاضية والوزيرة والسفيرة وان تصبح عضوا في المجالس التشريعية إلا أنه لا يجوز لها مطلقا أن تتولى منصب شيخ الأزهر لأن هذا المنصب خاص بالرجال فقط لأنه يحتم على صاحبه إمامة المسلمين للصلاة وهذا لا يجوز شرعا للمرأة.) 

Artinya: (Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita).

Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Menurut Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.

Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhaawi bahwa kedudukan Al-Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.

Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.

F. Analisis Penulis 
Pendapat yang membolehkan prempuan menjadi pemimpin salah satunya adalah Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah). Kebolehan perempuan menjadi pemimpin karena prempuan dan laki- laki memiliki potensi yang sama, dan yang paling perlu di perhatikan adalah sosiologis keadaaan perempuan pada masa lalu tidak sam seperti saat sekrang ini. Hari ini perempuan berpendidikan, tidak seperti perempuan di masa lalu,. Oleh karenanya perubahan sosiologis kehidupan yang terjaddi anatara perempuan sekarang dengan lalu berdampak pada ruang dan tempat kedudukan perempuan saat sekarang ini. 

G. Kesimpulan 

Terdapat kesepakatan ulama fiqih (ijmak) dari keempat madzhab dan lainnya, salaf dan kontemporer, bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma. Namun, ada perbedaan pandangan tentang definisi kedua istilah ini. Mayoritas memaknai kata al-khilafah al-ammah atau al-imamah al-udzma sebagai kepala negara yang membawahi wilayah Islam di seluruh dunia seperti yang terjadi pada zaman empat khalifah pertama (khulafaur rasyidin), masa khilafah Abbasiyah dan Umayyah. Ulama fiqih klasik umumnya juga tidak membolehkan perempuan menjadi hakim, kecuali Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan Ibnu Jarir At-Tabari yang membolehkan wanita menduduki posisi apapun. Pandangan ketiga ulama terakhir ini menjadi salah satu alasan ulama kontemporer atas bolehnya wanita menjabat posisi apapun asal memenuhi syarat. 

Bagi kalangan yang mengharamkan kepala negara wanita, setiap negara muslim saat ini termasuk dalam kategori al-wilayah al-ammah yang pemimpinnya disebut al-imamah al-udzma. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh menduduki posisi ini. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Tantawi, Yusuf Qardawi dan Ali Jumah, masing-masing negara yang ada saat ini adalah salah satu bagian wilayah alias al-wilayah al-khassah bukan al-wilayah al-ammah dan karena itu boleh dipimpin oleh perempuan termasuk posisi jabatan lain yang berada di bawahnya seperti hakim, menteri, gubernur, DPR, dan lain-lain. 

Di antara kedua pendapat di atas, ada pandangan yang ekstrim yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menduduki posisi jabatan apapun yang membawahi laki-laki dengan argumen QS An-Nisa 4:34 dan hadits Abu Bakrah. Pendapat ini berasal dari ulama Wahabi Arab Saudi dan didukung oleh hampir semua kalangan yang pro dengan mereka. 


DAFTAR PUSTAKA 
  1. Abdullah bin Abdul Azin bin Baz, Majmuk Fatawa Ibn Baz, no. fatwa: 30461. 
  2. Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (Cambridge University Press:2013). 
  3. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultaniyah, (Bairut: Dar al-Fiqr, t, t). 
  4. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, no. fatwa: 11780, hlm. XVII/ 13. 
  5. Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan tanggal 29 Agustus 2009. 
  6. Harian Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429. 
  7. Ibnu Rashd, dalam Bidayatul Mujtahid, IV, (Semarang: Citra Pustaka, 2002). 
  8. Ibnu Taimiyah dalam Al-Wilayah as-Siyasiyah al-Kubro fil Islam, (Bairut: Dar al-Fiqr, t,th). 
  9. Ismail bin Umar Ad-Dimashqi, Tafsir Ibnu Katsir, II, (Bairut: Dar al- Fiqr, t, t). 
  10. Libby Hughes, Benazir Bhutto: From Prison to Prime Minister, (Universe: 2000). 
  11. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 8, (Bairut: Dar al- Fir, t,t). 
  12. Willem van Schendel, A History of Bangladesh, (Cambridge University Press 2009). 

Kontroversi Fatwa Merokok

Oleh: Tri Eka Putra Muhtarivansyah Waruwu 

A. Pendahuluan 

Baru tahun kemarin fatwa haram rokok mencuat ke permukaan. Fatwa haram rokok kali itu di suarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Fatwa ini merupakan revisi dari fatwa sebelumnya yang menyatakan bahwa hukum rokok mubah seperti yang ditegaskan oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Pada tahun 2009 hal serupa juga difatwakan oleh MUI.[1] 

Status hukum rokok juga menjadi agenda utama dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 2009 lalu. Ijtima’ Ulama III gagal menyepakati hukum umum merokok. Terbelah antara makruh dan haram. Kesepakatan haram tercapai hanya pada kondisi dan subjek spesifik: di muka umum, wanita hamil, dan anak-anak.[2]

Fakta di atas mengisyaratkan bahwa belum ditemukan adanya kesepakatan ulama’ tentang haram tidaknya status hukum rokok. Hal ini dikarenakan tidak adanya keterangan yang secara tegas mengenai status hukum rokok. Ada yang menghendaki agar rokok dilarang, karena mengganggu kesehatan, menyebabkan beberapa penyakit, seperti penyakit jantung, kanker, gangguan pernapasan, dan sebagainya.
http://dinulislami.blogspot.com/2015/01/biografi-jasser-auda.html

Selanjutnya Muhammadiyah lewat Majelis Tarjih dan Tajdid-nya pada tahun 2010 telah menerbitkan fatwa hukum merokok, yang intinya adalah merokok hukumnya mubah. Namun, fatwa tersebut kemudian direvisi atau dianggap tidak berlaku lagi semenjak dikeluarkannya fatwa hasil dari Kesepakatan dalam Halaqah Tarjih tentang Fikih Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Maret 2010 M yang isinya mengatakan bahwa merokok adalah haram. 

Sementara NU melalui Bahstul Masail-nya menyatakan bahwa hukum merokok itu relatif, bisa mubah, makruh, dan bisa haram, tergantung tergantung dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. 

Berangkat dari kenyataan tersebut makalah ini kemudian disusun guna membahas seputar kontroversi fatwa haram rokok yang diwarnai oleh beragam pendapat. Ada yang pro dan ada pula yang kontra terhadap fatwa haram tersebut. 

B. Pembahasan 

Rokok belum dikenal di jazirah Arab, khususnya di kalangan umat Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, zaman sahabat, zaman tabiin bahkan sampai pada zaman ulama mujtahidin. Oleh karenanya, maka tidak aneh kalau di dalam Alquran, hadis dan kitab-kitab fikih kuno tidak ditemukan naskah yang secara eksplisit membahas hukum merokok. 

Rokok baru dikenal di dunia Arab atau di dunia Islam kira-kira pada abad ke XI hijriyah, yang datang dari Eropa melalui Maroko atau Maghribi.[3] Sejak saat itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. 

Sebagaimana biasa, manakala tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara eksplisit menjelaskan suatu hukum, maka para fuqaha berijtihad mengidentifikasi hukum dengan berpedoman pada dalil-dalil umum. Sebagaimana biasa pula di dalam membahas hukum sesuatu yang bersifat ijthadiyyah tersebut hampir selalu terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha. 

Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. 

C. Hukum Rokok 

Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Sangat beragam sekali pendapat-pendapat yang menyikapi masalah rokok. Berikut ini pendapat-pendapat mengenai hukum rokok beserta argumennya yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum. 

1. Mubah 

Bagi kelompok yang berpendapat bahwa merokok adalah mubah atau boleh adalah karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Kaidah yang dipakai adalah yang berwenang menetapkan halal atau haram segala sesuatu adalah Allah SWT dan Rasul-Nya, padahal tidak ada nash Alquran dan hadis yang secara jelas menerangkan hukum merokok. Maka, hukum merokok dikembalikan kepada hukum asal. 

Selain itu, secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.[4] Rokok tidak memabukkan dan tidak melemaskan (tidak muskir dan tidak muftir), bahkan sebagian orang ada yang menjadi lebih bersemangat setelah merokok. Hal ini juga ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, berikut penuturannya dalam sebuah wawancara. “Kalau rokok itu disamakan dengan khamr ya tidak bisa. Lha kalau misalnya sopir minum khamr itu kan bisa menyebabkan kecelakaan, tapi sebaliknya kalau dia merokok malah lebih lancar nyupirnya.” 

Hal yang sama juga di jelaskan oleh Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya Fikih Tentang Merokok yang dimuat di harian suara merdeka, bahwasanya bahaya atau kemudaratan merokok adalah bersifat nisbi. Semisal dalam sebuah kasus ketika ada seseorang yang menerima kemudaratan (penyakit) yang dipastikan penyebabnya adalah rokok. Maka sudah barang tentu merokok adalah haram baginya. Akan tetapi, hukum tersebut belum bisa berlaku terhadap orang lain karena ternyata tidak semua orang yang merokok mendapatkan kemudaratan, bahkan ada yang mendapat manfaat darinya seperti contoh seorang supir yang disebut di atas. 

2. Makruh 

Bagi kelompok yang berpendapat bahwa rokok itu makruh adalah karena rokok membawa kemudaratan yang relatif kecil dan tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Kebanyakan ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh, dengan alasan seperti yang dikemukakan oleh yang menyatakan mubah, ditambah dengan alasan kemakruhan, yakni merokok menyebabkan bau tidak sedap. Hal itu diidentikkan dengan makruhnya bau tidak sedap karena makan bawang, hal yang tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW.[5]

3. Haram 

Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, salah seorang ulama yang mempelopori haramnya hukum rokok, beralasan rokok termasuk barang yang keji, membahayakan kesehatan dan kemudaratan. Selain itu merokok adalah pemborosan (menyia-nyiakan harta). 

Kelompok yang setuju dengan keharaman rokok berpedoman pada beberapa nash yang pada dasarnya bersifat umum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan.[6] Berikut ini sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah: 

a. Al-Qur’an : 

Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195).[7]

Artinya: Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, kepada orang miskin dan kepada orang yang dalam perjalanan; dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra’: 26-27).[8]

b. As-Sunnah : 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. 

Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2332).[9]

Para ulama sekarang mengharamkan rokok karena bertendensi pada informasi medis yang mengatakan bahwa rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah penggunan yang telah lama. 

Hal ini disebabkan karena begitu detailnya dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang ditimbulkan oleh rokok. Namun apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. 

D. Pendapat Muhammadiyah Tentang Hukum Merokok 

Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok yang tujuannya untuk mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai bagian dari tujuan syariah (hukum Islam). Menurut Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, fatwa haram merupakan ijtihad para ulama. “Ini lompatan setelah majelis tarjih mengkaji lebih mendalam soal rokok. Pada 2005, menetapkan hukumnya mubah. Begitu pula pada 2007,” ujarnya.[10]

Berikut dalil yang melandasi diambilnya keputusan bahwa merokok hukumnya adalah haram sebagaimana VIVAnews kutip dari naskah Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid bernomor 6/SM/MTT/III/2010: 

Merokok termasuk kategori perbuatan melakukan khabaa’its (kotor/najis) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al a’raf (ayat) 157. Perbuatan merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan sehingga itu bertentangan dengan larangan Al Quran Al Baqoroh (ayat) 2 dan An Nisa (ayat) 29. 

Perbuatan merokok membahayakan diri dan orang lain yang terkena paparan asap rokok sebab rokok adalah zat adiktif plus mengandung 4000 zat kimia, 69 di antaranya adalah karsinogenik/pencetus kanker (Fact Sheet TCSC-AKMI, Fakta Tembakau di Indonesia) sebagaimana telah disepakati oleh para ahli medis dan para akademisi kesehatan. Oleh karena itu merokok bertentangan dengan prinsip syariah dalam hadits Nabi SAW bahwa “tidak ada perbuatan membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” 

Rokok diakui sebagai zat adiktif dan mengandung unsur racun yang membahayakan walaupun tidak seketika melainkan dalam beberapa waktu kemudian sehingga oleh karena itu perbuatan merokok termasuk kategori melakukan sesuatu yang melemahkan sehingga bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang melarang setiap perkara yang memabukkan dan melemahkan. 

Oleh karena merokok jelas membahayakan kesehatan bagi perokok dan orang sekitar yang terkena paparan asap rokok, maka pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir (pemborosan) yang dilarang dalam Al Quran Surat Al Isra (ayat) 26-27. Merokok bertentangan dengan unsur-unsur tujuan syariah (maqaasid asy-syariiah) yaitu perlindungan agama, jiwa/raga, akal, keluarga dan harta. 

Kontroversi: 

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta semua pihak tidak terbawa polemik fatwa pelarangan merokok. Sebaliknya harus menghormati sebagai pandangan hukum yang tinggi kedudukannya. “Siapapun yang tidak setuju dan menolak karena memandang alasannya kurang kuat, silahkan untuk mengajukan fatwa lain dengan alasan yang lebih kuat,” kata Din Syamsuddin.[11]

Hal itu disampaikan Din di sela Seminar Nasional “Membangun Konstruksi Ideal Relasi Muhammadiyah dan Politik” di DPW Muhammadiyah, Jalan Dukuh Menanggal Surabaya, Selasa, 16 Maret 2010. Dikatakannya, fatwa yang dikeluarkan Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tidak bersifat mengikat. Namun, fatwa itu mempunyai kedudukan lebih tinggi dan harus ditaati. Menurut Din, dari pandangan agama fatwa haram merokok tidak bersifat mengikat. Tapi, mengikat secara moril. Bagi yang tidak setuju silahkan mengabaikan. “Silahkan berpikir, banyak mudharad-nya atau tidak,”.[12]

Syafii Maarif Dukung Rokok Haram Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif setuju dengan fatwa haram rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sebab, efek negatif rokok bukan saja bagi perokok tapi juga kesehatan orang sekitarnya. “Saya setuju, walaupun tidak mudah dilaksanakan,”.[13]

Larangan merokok, kata Syafi’i, sudah lama dilakukan. Namun, pelaksanaannya terkendala akibat terlalu banyaknya perokok dan mereka sudah menganggapnya hal biasa. “Harus dipertimbangkan juga buruh pabrik rokok, petani tembakau dan lain-lain,” katanya. Menurut dia, meski sulit dilaksanakan, fatwa tersebut layak diikuti. Dengan catatan, masyarakat diberi pelajaran dan pengertian kebaikan di balik larangan merokok. 

Muhammadiyah memfatwakan rokok haram dalam kesepakatan yang dijalin di Yogyakarta 8 Maret 2010. Sebelumnya Muhammadiyah selama bertahun-tahun berfatwa rokok hukumnya mubah atau dibolehkan. 

Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Majelis Tarjih, Yunahar Ilyas, mengakui fatwa susah dilaksanankan. Sebab itu, di dalam naskah fatwa tarjih itu dibedakan status hukum dan pelaksanaan. “Status hukum jelas haram, tapi dalam pelaksanaan bertahap, tidak serta merta sekaligus,” ujarnya.[14]

Bersamaan dengan itu, kata Yunahar, petani tembakau bisa mencari alternatif. “Fatwa ini ditetapkan dengan mengingat prinsip at-tadriij (berangsur), at-taisiir (kemudahan), dan ‘adam al-kharaj (tidak mempersulit),” ujarnya. Yunahar menuturkan banyak perokok ingin berhenti tetapi kesulitan karena sudah kecanduan. Sebab itu, rumah sakit di bawah naungan Muhammadiyah akan membuka klinik terapi berhenti merokok. “Ada metodenya,” menurutnya. Dia mencontohkan metode berhenti itu antara lain rokok diganti dengan permen khusus atau rokok palsu. “Zat beracunnya yang berbahaya dihilangkan, di rokok itu yang ada nikotin saja. Mengonsumsi itu sampai benar-benar bisa berhenti,” katanya.[15]

E. Pendapat Nahdatul Ulama Tentang Hukum Merokok 

Sedangkan organisasi Islam lainnya, Nahdlatul Ulama, rencananya tidak ikut membahas hukum rokok tersebut dalam Muktamar ke-32 yang akan digelar 22-27 Maret di Makassar.”NU selama ini dalam menghukumi rokok paling banyak itu makruh, untuk mengatakan haram, belum,” katanya. Dia mengatakan merokok memang merugikan kesehatan. Meski begitu tidak perlu diharamkan. “Kasih saja pendidikan yang baik pada masyarakat,” ujarnya. Perlu diketahui ada lima hukum dalam fikih Islam, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Makruh berarti tindakan yang sebaiknya tidak dilakukan tetapi tidak berdosa bila dilakukan. Sementara haram berarti bila mengerjakan berdosa. 

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meminta fatwa haram rokok Muhammadiyah perlu diperlakukan hati-hati. Karena, fatwa itu masih dalam perdebatan di internal umat Islam. “Karena hukum atas itu masih bersifat khilafiyah (berbeda pendapat) di kalangan umat Islam,” kata Sekretaris Fraksi PPP Romahurmuziy dalam pesan singkatnya, Senin 15 Februari 2010. 

Politisi yang biasa disapa Romy ini mengambil contoh perbedaan yang ditunjukkan Nahdlatul Ulama (NU). Khusus untuk rokok, kata dia, NU ‘hanya’ mengeluarkan fatwa makruh. Alasan lain kehati-hatian itu adalah soal implementasi haram rokok. Karena penerapannya tidak bisa dilakukan secara mendadak. “Mengingat dampak berantai penciptaan tenaga kerjanya sangat luas dan mempengaruhi golongan pengusaha mikro petani-petani tembakau, yang belum tentu segera ada gantinya,” ujar dia.[16]

Maka itu, Romy menilai perlu kearifan dalam membaca fatwa yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah itu. Sebagaimana Al-Qur’an memberlakukan sejumlah pentahapan menuju pengharaman khamr, minuman yang memabukkan. “Pendeknya, mengikuti fatwa terhadap rokok yang sebelumnya pernah dikeluarkan MUI, yang terutama mengikat pengurus-pengurusnya, hal itu mengikat terlebih dahulu kepada pengurus dan anggota Muhammadiyah. Setelah itu baru kepada umat Islam lainnya,” kata dia.[17]

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan fatwa itu dikhususkan bagi kalangan internal. Masyarakat umum dipersilakan mengikuti atau mengabaikan. “Fatwa tidak mengikat, silakan diamalkan oleh yang setuju dan diabaikan oleh yang menolak,” kata Din Syamsuddin. 

F. Analisis Penulis. 

Apabila kita mencermati alasan diharamkannya rokok berdasarkan dari penjelasan diatas baik daroi informasi medis, rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam. Semisal penyakit kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama mengkonsumsi rokok. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada faktor lain yang mengiringi kemudaratan merokok yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit teresebut, yakni penggunaan rokok yang telah berlangsung lama. 

Seperti yang dirumuskan oleh Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya, merokok plus faktor X = menyebabkan penyakit A; merokok plus faktor XX = menyebabkan penyakit B, dan seterusnya. Selain rokok itu sendiri, ternyata ada faktor lain yang memberikan kemudaratan bagi perokok yakni penggunaan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. 

Apabila kemudaratan yang demikian itu dipakai untuk menjadi alasan penghraman rokok, tentunya banyak produk-produk lain yang harus di haramkan hukumnya. Semisal makanan dan minuman instan yang berpenagawet karena yang demikian itu juga dapat menyebabkan penyakit kanker. 

G. Penutup 

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hendaknya dalam menentukan status halal dan haramnya sesuatu (dalam hal ini rokok) terlebih dahulu kita harus melihat dari bebagai aspeknya. Jangan disamakan dengan hal-hal yang sudah qath’i atau jelas-jelas diharamkan seperti daging babi, khamr atau darah. 

Memang tidak dipungkiri bahwa rokok memiliki kemudaratan. Gaya hidup perokok pun dapat dikatakan pemborosan (mubazir). Tapi kemudaratan rokok juga tidak bisa dipukul rata. Kemudaratannya bersifatya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ”haram mutlak”. 

Selain itu, Manfaat rokok, juga tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat dalam hal sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, petani cengkeh, pekerja dan karyawan pabrik rokok, sampai para pedagang dan pengecer yang kebanyakan tergolong ekonomi lemah, dan kiprah sosial industri rokok. Bahkan rokok merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah (cukai) yang setiap tahunnya mencapai puluhan triliun rupiah. Oleh karenanya, dengan fakta ini seharusnya kita dapat bersikap lebih objektif mengenai status haram tidaknya rokok. 


DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad Buchori Masruri dalam tulisannya yang berjudul Fikih Tentang Merokok yang dimuat di harian Suara Merdeka pada 3 Februari 2009, 

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000). 

IbnuMajah, SunanIbnuMajah, Juz I, Hadits No, 1928, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). 

KH Arwani Faishal dalam tulisannya yang berjudul Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok yang dimuat di situs NU Online pada 19 januari 2009. 

MajalahSuaraMuhammadiyah,http://www.dzikir.org/index.php?option=com_content&view=article&id=120:muhammadiyah=11:seputar-islam&Itemid=44. 

PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1974.