Peningkatan Kualitas SDM Era Globalisasi

Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, terlebih lagi dalam menuju era globalisasi, kita dituntut agar mampu menghadapi persaingan yang makin kompetitif, baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu cara untuk mengantisipasi persaingan yang makin kompetitif tersebut adalah melalui peningkatan kualitas SDM yang komprehensif.

Pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi era globalisasi telah merencanakan peningkatan kualitas SDM secara konseptual. Hal ini dituangkan dalam GBHN 1998 yang berbunyi “Peningkatan kualitas SDM sebagai pelaku utama pembangunan yang mempunyai kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan tetap dilandasi oleh motivasi serta kendali keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Globalisasi makin mendorong peluang terbukanya pasar internasional; bagi produk barang dan jasa (pendidikan).”

Selanjutnya, Siagian (1998:96) mengemukakan bahwa SDM abad ke-21 ditandai oleh “Salah satu segi kehidupan yang timbul ke permukaan dewasa ini dengan gaung yang lebih kuat dibandingkan masa lalu adalah peningkatan kualitas hidup umat manusia. Kualitas hidup pada dasarnya bermuara pada pengakuan atas harkat dan martabat manusia.”

Setelah menelaah beberapa uraian di atas, jelaslah bahwa untuk melaksanakan tugas di masa depan diperlukan SDM yang berkualitas. Hal ini sesuai dengan ungkapan Kartadinata (1997:4) berikut ini, yaitu “SDM berkualitas yang harus disiapkan untuk memasuki abad ke-21 adalah SDM yang mampu melakukan life long learning.” Hal ini tampak dengan jelas pada sebagian SDM kita yang terus-menerus menimba ilmu dengan tidak memikirkan usia. Makin tua usia SDM tersebut, makin matang pula cara berpikirnya, ini dibantu oleh pengalaman yang banyak, baik di dalam maupun di luar dinas.

Peningkatan Kualitas SDM Era Otonomi Daerah 
Otonomi daerah merupakan dambaan masyarakat Indonesia dewasa ini di setiap daerah. Masyarakat NAD memperoleh anugerah dalam rangka otonomi daerah dengan otonomi khusus, yang berarti agak berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Perbedaan (kekhususan) ini bukanlah suatu hal yang mudah karena memerlukan penanganan yang profesional dari SDM yang ada di daerah. Timbul pertanyaan, apakah daerah yang diberi otonomi khusus ini sudah siap dalam pengertian yang luas, terutama SDM-nya?

Otonomi khusus untuk NAD diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang disebut dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebelumnya, Aceh disebut dengan Daerah Istimewa, yang tidak ada bedanya dengan daerah lain di Indonesia. Dalam otonomi khusus ini, hal yang berbeda adalah tentang biaya pendidikan. Hal ini dimuat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 pasal 7 ayat (2) yaitu: “Sekurang-kurangnya 30 persen pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf (a), ayat (4) dan ayat (5) dialokasikan untuk biaya pendidikan di NAD”. Dengan adanya peningkatan/kenaikan biaya pendidikan yang mencukupi kebutuhan, maka diharapkan peningkatan kualitas dapat dilaksanakan dengan mudah. Hal ini masih merupakan harapan semua pihak, tetapi kenyataannya belum dapat diketahui (memerlukan penelitian yang akurat dan berlanjut). 

Fattah (2000:6) menyebutkan bahwa “SDM terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi kualitatif dan dimensi kuantitatif.” Dimensi kualitatif adalah terdiri atas prestasi tenaga kerja yang memasuki dunia kerja dalam jumlah waktu belajar, sedangkan dimensi kuantitatif mencakup berbagai potensi yang terkandung pada setiap manusia, antara lain pikiran (ide), pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memberi pengaruh terhadap kapasitas kemampuan manusia untuk melaksanakan pekerjaan yang produktif. Jika pengeluaran untuk meningkatkan kualitas SDM ditingkatkan, nilai produktivitas dari SDM tersebut akan menghasilkan nilai balik (rate of return) yang positif.

Dalam upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan perlu diadakan beberapa pendekatan, yaitu:

(1) Pendekatan Religius. Dalam mengisi otonomi khusus NAD, telah disusun kurikulum dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dengan kurikulum yang bernuansa Islami yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Bergerak dari kurikulum sekolah yang bernuansa Islami, dengan proses pendidikan yang Islami, akan dihasilkan output yang Islami pula. Output pendidikan yang Islami akan melahirkan SDM yang Islami dan dapat mengisi setiap lowongan kerja/jabatan yang ada di NAD, sehingga diharapkan setiap lini akan menghasilkan pekerjaan yang Islami, yaitu pekerjaan yang sesuai dengan firman Allah swt dalam Al Qur’an yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al Qur’an Surat Al Baqarah 208). Dari ayat di atas jelaslah bahwa SDM Islam harus melaksanakan segala segi kehidupan dengan pekerjaan yang Islami, tidak boleh sepotong-potong (masuklah ke dalam Islam secara kaffah/keseluruhan) karena segala segi kehidupan itu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Dalam ayat lain Allah swt berfirman, yang artinya “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diturunkan untuk manusia. Kamu mengajak yang makruf dan melarang yang mungkar serta beriman kepada Allah” (Al Qur’anulkarim Surat Ali Imran 110). Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa umat Islam (SDM Islam) adalah sebaik-baik umat dalam menjalankan misinya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam ayat itu ditegaskan pula SDM wajib mengerjakan yang disuruh dan meninggalkan yang dilarang oleh agama jika ingin mendapat Rahmat Allah swt. Siapakah yang tidak ingin memperoleh rahmat Alllah swt? Jika ingin memperoleh rahmat Allah swt bekerjalah sesuai dengan aturan yang berlaku. Adalah kewajiban bagi umat muslim (SDM muslim) untuk menanggapi pengakuan Allah swt, apakah akan disambut dengan sikap tidak peduli atau ditanggapi dengan rasa tanggung jawab yang tinggi atas rahmat Allah swt. Selanjutnya, hadis Nabi Besar Muhammad saw dari Abdullah yang meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “Sesungguhnya kebenaran membawa kebaikan dan sesungguhnya kebaikan membawa kepada syurga. Dan sesungguhnya seseorang yang berkata benar hingga ia menjadi orang yang dapat dipercaya. Dan sesungguhnya kebohongan membawa kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang berdusta hingga ia ditetapkan di sisi Allah sebagai seorang pendusta,” Hadis Shahih Bukhari (Hussein Bahreisy, 1980:348). Dari hadis di atas jelaslah kepada kita bahwa seseorang (SDM) yang bekerja secara Islami akan selalu jujur dalam pekerjaan, karena resiko seseorang (SDM) berdusta dalam kehidupannya adalah neraka. Setiap umat Islam akan sangat takut kepada neraka. Untuk melahirkan SDM yang Islami, harus dididik oleh pendidik yang Islami pula. Timbul pertanyaan, sudah siapkan SDM yang Islami untuk mengisi setiap lini? Dalam pendekatan religius ini, GBHN 1998 menekankan pada “kendali keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Bergerak dari pendekatan ini, SDM akan berkiprah di bidangnya dalam bentuk kualitas yang tinggi untuk melaksanakan tanggung jawabnya yang besar.

(2) Pendekatan Politik. Telah umum diketahui bahwa terlepas dari sistem politik yang dianut oleh suatu negara, salah satu tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam konteks kehidupan kenegaraan, kesejahteraan masyarakat tidak lagi dibatasi pada kesejahteraan fisik yang terwujud pada kemakmuran ekonomi yang semakin merata, tetapi juga kesejahteraan mental spiritual. Bahkan, kesejahteraan dimaksud dewasa ini sering dikaitkan dengan kualitas hidup umat manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang tidak hanya diikuti, akan tetapi juga dijunjung tinggi.

(3) Pendekatan Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan seakan-akan tak kunjung reda di negara kita berdampak sangat buruk bagi peningkatan kualitas SDM. Banyak anggota masyarakat (SDM) yang merupakan aset suatu negara tidak dapat melanjutkan studi (pendidikan) ke jenjang lebih tinggi karena ketidakmampuan ekonominya. Hal ini akan dapat diatasi apabila pengambil kebijakan dalam mengelola pembiayaan pendidikan lebih arif dan bijaksana dalam mengelola biaya pendidikan yang tersedia. Mereka hendaknya membantu SDM yang betul-betul membutuhkan, sehingga bantuan itu sangat bermanfaat. Pada kenyataannya, SDM yang tidak membutuhkan bantuan (SDM yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi) juga memperoleh atau bahkan menginginkan bantuan tersebut. Ironis sekali bukan?

(4) Pendekatan Hukum. Salah satu indikator kehidupan masyarakat modern adalah makin tingginya kesadaran anggota masyarakat akan pentingnya keseimbangan antara kewajiban dan hak masing-masing. Instrumen utama untuk menjamin keseimbangan tersebut adalah kepastian hukum. Kualitas SDM dapat ditingkatkan dengan mematuhi hukum-hukum yang berlaku di negaranya. Dengan mematuhi hukum termasuk peraturan-peraturan di tempat ia bekerja, sehingga pelanggaran jarang terjadi atau bahkan tidak terjadi, kualitas SDM akan meningkat. 

(5) Pendekatan Sosio-Kultural. Nilai-nilai budaya menentukan baik atau tidak baik dan benar atau salah. Dalam peningkatan kualitas SDM, nilai sosio-kultural merupakan suatu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan. Seseorang (SDM) akan malu berbuat tidak baik karena masyarakat akan menilainya dan bahkan mengucilkannya jika seseorang terbukti berbuat hal-hal yang berbenturan dengan adat istiadat (budaya) suatu kelompok. Oleh sebab itu, budaya malu itu perlu dipupuk. Peningkatan kualitas tidak dapat dilakukan jika tidak ada yang mengikutinya.

(6) Pendekatan Administratif/Manajerial. Salah satu ciri yang menonjol di abad ini adalah terciptanya berbagai jenis organisasi. Oleh sebab itu, manusia modern sering disebut manusia organisasional yang menjadi fokus administratif/manajerial. Apabila suatu pekerjaan dilaksanakan secara administratif/manajerial, maka efektivitas, efisiensi, dan produktivitas akan dapat dicapai dengan mudah. Dengan demikian, kualitas pun akan meningkat. Di dalam proses manajemen diperlukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Apabila ketiga proses ini diikuti dengan benar, peningkatan kualitas akan dapat dicapai. Salah satu filsafat manajemen adalah mengurangi ketidakpastian. Jika memang itu benar, kualitas akan dapat ditingkatkan. Manajemen pendidikan adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya, baik SDM maupun sumber daya lain untuk mencapai tujuan pendidikan. Untuk itu, penataan manajemen pendidikan sangat diperlukan dalam mencapai kualitas pendidikan yang akan berdampak positif pada peningkatan kualitas SDM.


Pembahasan

Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa antara pendidikan berkualitas dengan produktivitas mempunyai korelasi yang positif. Hal ini bermuara pada kualitas SDM yang akhirnya akan dapat memungkinkan produktivitas organisasi. Sarah Tang, sebagaimana dikutip Supriadi (1996:57), mengemukakan bahwa “Pertumbuhan ekonomi yang cepat di negara-negara Asia dan perubahan progresif dalam produksi menuju industri dan jasa berteknologi tinggi mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari dunia usaha terhadap perlunya tenaga (SDM) yang terampil dan terdidik (berkualitas).”

Menelaah ungkapan di atas jelaslah bahwa SDM sebagai tenaga kerja sangat diperlukan keterampilannya dalam melaksanakan tugas peningkatan kualitas organisasi dan menunjang pertumbuhan ekonominya. Dalam hal ini pendidikan juga memegang peranan penting untuk pemecahan masalah tersebut.

Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dalam mempertahankan keseimbangan ekonomi.

Dalam pembahasan ini, sehubungan dengan titik tolak pemikiran mengenai orientasi pendidikan nasional dapat dijelaskan sebagai berikut. Orientasi pendidikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan tersebut telah banyak kebijakan yang diambil oleh Pemerintah, baik di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Hal ini jelas terlihat dengan terealisasinya keinginan masyarakat untuk dapat meningkatkan diri dengan mengikuti jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu S2/S3. Animo masyarakat ini, khususnya di NAD dalam mengisi era otonomi daerah dan keinginan untuk menembus era globalisasi terlihat dengan jelas dalam wujud keinginan untuk belajar sepanjang hayat, terutama sekali di tingkat Magister (S2) dan Doktor (S3). Tidak sedikit SDM yang ingin meningkatkan kualitas dirinya. Walaupun harus membayar sendiri, mereka berlomba-lomba, sehingga lembaga penyelenggara kewalahan untuk menampungnya. Dengan kata lain, lembaga pendidikan dikalahkan oleh keinginan SDM tersebut dalam berbagai disiplin ilmu. Orientasi pendidikan adalah menyiapkan tenaga kerja (SDM) terdidik, terampil, dan terlatih (berkualitas) sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dalam masyarakat. Hal ini merupakan implikasi Undang-Undang Nomor 2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 menjelaskan bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.” Orientasi pendidikan juga adalah dalam rangka menyiapkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat bersaing dengan bangsa lain di dunia dalam era globalisasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Bramley (1991:9) mengemukakan bahwa “Ada beberapa hasil efektif dari pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, yaitu: pencapaian tujuan, peningkatan kualitas sumber daya (SDM dan sumber daya lain), kepuasan pelanggan, dan perbaikan proses internal.” 

Sebelumnya, Sutermeister (1976:3) mengemukakan bahwa “Perubahan dan peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan diperhitungkan sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan merupakan investasi. Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital (SDM sebagai unsur modal).”


Simpulan dan Saran

Simpulan

SDM merupakan suatu topik yang tak pernah habis dibicarakan. Secanggih apa pun teknologi yang dihasilkan, SDM-lah yang memegang peranan penting. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas SDM merupakan suatu kebutuhan yang mendesak, baik dalam menuju era globalisasi maupun era otonomi daerah dan berlangsung terus-menerus.

Khusus di NAD, sudah diberlakukan Syariat Islam yang dideklarasikan pada 1 Muharam 1423 H bertepatan dengan 15 Maret 2002. Dalam pendidikan hal itu diimplikasikan lewat kurikulum yang bernuansa Islami di setiap jenjang dan jenis pendidikan, sehingga diharapkan akan dilahirkan SDM yang lebih berkualitas untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia di setiap institusi.

Pendidikan berkelanjutan (S2/S3) merupakan salah satu alternatif dalam peningkatan kualitas SDM. Berbagai pendekatan perlu dilakukan agar peningkatan kualitas SDM ini terlaksana dengan baik dan cepat. Walaupun krisis ekonomi belum berlalu di negara kita, ditambah dengan gejolak politik yang seakan-akan tak kunjung reda, kehidupan ini berjalan terus tanpa henti. Kebutuhan demi kebutuhan terus diperlukan, tidak terkecuali kebutuhan akan pendidikan. Dalam menghadapi masalah ini berbagai kebijakan telah diambil oleh Pemerintah yang perlu disambut secara positif oleh SDM yang membutuhkan peningkatan kualitas dirinya dalam meneruskan kehidupannya. Tanpa kerja sama dua arah (Pemerintah dan SDM), suatu impian sulit untuk diwujudkan menjadi kenyataan.

Saran 

Pada akhir tulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran yang barangkali ada manfaatnya bagi peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan. Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Peningkatan kualitas SDM merupakan keharusan yang mutlak diperlukan dalam menghadapi era otonomi daerah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas SDM harus segera direalisasikan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan. 

(2) Era globalisasi telah berada di pangkuan kita. Persaingan yang ketat merupakan tantangan yang makin berat. Untuk itu, tidak ada pilihan lain selain peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berkelanjutan yang akan mampu menghadapi persaingan tersebut. Untuk ini, perlu diberi bantuan kepada SDM yang ingin meningkatkan kualitas dirinya, baik bantuan material, moral mapun spiritual. 

(3) Biaya pendidikan untuk NAD meningkat cukup tinggi. Tanpa penanganan yang baik hal ini tidak ada artinya. Masyarakat sangat mengharapkan penataan yang baik agar dapat mencapai tujuan yang maksimal. 

(4) Salurkan biaya pendidikan kepada SDM yang sangat membutuhkan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Peningkatan kualitas SDM di tingkat pendidikan tinggi (S2/S3) membutuhkan biaya yang cukup besar. Untuk itu perhatian pemerintah sangat diharapkan, agar dambaan masyarakat bisa tercapai secara maksimal.

(5) Pendekatan-pendekatan yang dikemukakan di atas hendaknya benar-benar diperhatikan oleh pengambil kebijakan pendidikan dalam upaya peningkatan kualitas SDM di negara kita agar dapat mencapai tujuan yang optimal.

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan

Prioritas pembangunan nasional diletakkan pada bidang ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), terlebih dalam menghadapi era globalisasi, khususnya perdagangan bebas di kawasan ASEAN 2003 dan di kawasan Asia-Pasifik 2020, yang diwarnai dengan persaingan yang ketat dan menentukan jati diri suatu bangsa di antara bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Dalam mengisi otonomi daerah, peningkatan kualitas SDM mutlak diperlukan. Hal ini terbukti dengan banyaknya dibuka program-program pendidikan lanjutan seperti Pascasarjana (S2/S3) dalam berbagai bidang studi yang pada tahun 1990-an hanya ada di ibu kota (Jakarta) dan kota-kota besar di pulau Jawa.

Era globalisasi membuka mata kita untuk melihat ke masa depan yang penuh tantangan dan persaingan. Era kesejagatan yang tidak dibatasi waktu dan tempat membuat SDM yang ada selalu ingin meningkatkan kualitas dirinya agar tidak tertinggal dari yang lain.

Kebijakan pembangunan nasional dengan berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah membawa perubahan strategik pada kualitas SDM yang diperlukan setiap daerah untuk dapat bersaing secara positif dengan daerah lain di Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan kualitas SDM. Pendidikan merupakan salah satu upaya utama untuk mengimplikasikan keinginan tersebut, namun juga memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar. Berbagai jenis dan jenjang pendidikan ditawarkan oleh pemerintah. Peningkatan kualitas SDM merupakan tanggung jawab semua pihak. Dengan demikian, pembangunan di bidang pendidikan merupakan salah satu keberhasilan suatu negara/daerah.

Pemerintah, khususnya Depdiknas, sejak PJP I telah mengatur strategi dasar dalam pengembangan SDM melalui pemerataan, relevansi, dan kualitas serta manajemen pendidikan. Ditambah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), diatur setiap lini dengan kurikulum yang bernuansa Islami, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Dengan demikian, diharapkan kualitas SDM akan meningkat, baik segi intelektual, moral, maupun spiritual.

Beberapa argumentasi di atas, dalam menghadapi kesejagatan liberalisasi ekonomi pada awal abad ke-21, khususnya kawasan ASEAN 2003 dan Asia-Pasifik 2020, menyambut Otonomi Daerah 1999 dan Otonomi Khusus 2001, memberi indikasi bahwa sudah saatnya kualitas pendidikan memperoleh penekanan yang lebih serius dalam rangka peningkatan kualitas SDM. 

Artikel ini mencoba mengungkapkan pemikiran yang menawarkan konsep-konsep peningkatan kualitas SDM dalam memasuki era globalisasi dan mengisi era otonomi daerah. Pemikiran konseptual ini akan dapat diimplikasikan secara kontekstual setelah diadakan penelitian yang mendalam dan objektif.

Kajian Teori

Pendidikan adalah salah satu sarana untuk meningkatkan kualias SDM. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, perlu ditingkatkan kualitas manajemen pendidikan. Berkaitan dengan masalah ini, Engkoswara (2001:5) menyebutkan bahwa “Manajemen Pendidikan yang diharapkan menghasilkan pendidikan yang produktif, yaitu efektif dan efisien, memerlukan analisis kebudayaan atau nilai-nilai dan gagasan vital dalam berbagai dimensi kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup di mana manusia hidup.”

Kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan, baik produk dan jasa maupun pelayanan yang mampu bersaing di lapangan kerja yang ada dan yang diperlukan. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Sehubungan dengan masalah ini, Supriadi (1996:54) mengemukakan bahwa “Agar pendidikan dapat memainkan perannya maka harus terkait dengan dunia kerja, artinya lulusan pendidikan semestinya memiliki kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja. Hanya dengan cara ini, pendidikan mempunyai kontribusi terhadap ekonomi.” 

Mengenai relevansi pendidikan dalam arti adanya kesepadanan sebagaimana ditawarkan Djoyonegoro (1995:5) dalam bentuk link and match, pada kenyataannya pendidikan telah sesuai dengan keperluan masyarakat yang sedang membangun. Pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai unsur utama dalam pengembangan SDM. SDM lebih bernilai jika memiliki sikap, perilaku, wawasan, kemampuan, keahlian serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan berbagai bidang dan sektor. Pendidikan merupakan salah satu alat untuk menghasilkan perubahan pada diri manusia. Manusia akan dapat mengetahui segala sesuatu yang tidak atau belum diketahui sebelumnya. Pendidikan merupakan hak seluruh umat manusia. Hak untuk memperoleh pendidikan harus diikuti oleh kesempatan dan kemampuan serta kemauannya. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas betapa pentingnya peranan pendidikan dalam meningkatkan kualitas SDM agar sejajar dengan manusia lain, baik secara regional (otonomi daerah), nasional, maupun internasional (global).

Berbagai fenomena kehidupan dalam segala dimensi, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang terjadi di sekitar kita menunjukkan gambaran yang semakin jelas bahwa sesungguhnya apa yang kita miliki akhirnya akan menjadi tidak berarti apabila kita tidak mampu memanfaatkannya. Hal ini bermula dari persoalan rendahnya kualitas SDM.

Tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain ditandai dengan adanya unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja atau kinerja yang baik secara perorangan atau kelompok. Permasalahan ini akan dapat diatasi apabila SDM mampu menampilkan hasil kerja produktif secara rasional dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang umumnya dapat diperoleh melalui pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas SDM.

Sanusi (1998:7) mengemukakan ”Jika abad silam disebut abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan setiap bangsa.”

Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat yang meliputi berbagai bidang kehidupan, terutama dilakukan melalui pendidikan. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, peningkatan kualitas SDM lebih ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas proses produksi dan mempertahankan keseimbangan ekonomi.

Sehubungan dengan pengembangan SDM untuk peningkatan kualitas, Kartadinata (1997:6) mengemukakan bahwa “Pengembangan SDM berkualitas adalah proses kontekstual, sehingga pengembangan SDM melalui upaya pendidikan bukanlah sebatas menyiapkan manusia yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja pada saat ini, melainkan juga manusia yang mampu, mau, dan siap belajar sepanjang hayat.”

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberi manfaat pada organisasi berupa produktivitas, moral, efisiensi, efektivitas, dan stabilitas organisasi dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar organisasi yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Perencanaan SDM yang berkualitas, dalam Malaysia’s 2020 (1995), sebagaimana yang dikutip Kartadinata (1997:7) merumuskan beberapa kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat global yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kualitas SDM. Kecenderungan tersebut adalah: (1) Dibandingkan dengan dasawarsa 1970-an dan 1980-an, tiga dasawarsa mendatang diperkirakan akan terjadi eksplosi yang hebat, terutama yang menyangkut teknologi informasi dan bioteknologi. Dalam konteks peningkatan kualitas SDM, implikasi yang dapat diangkat adalah para ilmuwan harus bekerja dalam pendekatan multidisipliner dan adanya program pendidikan berkelanjutan (S2/S3), dan (2) Eksplosi teknologi komunikasi yang semakin canggih dapat mempersingkat jarak dan mempercepat perjalanan. Hal ini akan membuat bangsa yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang relevan dan menguasai teknologi baru secara substantif mampu meningkatkan produktivitasnya.

Hasil pemikitan di atas menghadapkan kita pada arah, tantangan, dan tuntutan umum pendidikan dalam kehidupan abad ke-21 sebagai masa depan suatu lembaga. Sehubungan dengan masalah ini, UPI (dulu IKIP Bandung 1997:9) membuat kajian tentang arah, tantangan, dan tuntutan abad ke-21 dalam peningkatan kualitas SDM. Hasil dari kajian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan adalah modal dasar pembangunan bangsa yang terarah pada upaya memberdayakan seluruh potensi manusia Indonesia, baik yang menyangkut nilai-nilai intrinsik, instrumental maupun transedental; (2) Pendidikan mencakup target khalayak yang amat luas yang mengandung sasaran, tujuan, dan kepentingan yang berbeda-beda dan menuntut suasana yang bervariasi serta multymethods dan multymedia; (3) Fungsi pendidikan akan terarah pada upaya mendorong orang untuk belajar aktif dan memberdayakan semua potensi yang ada pada dirinya; (4) Produk pendidikan yang berwujud SDM harus menampilkan kualitas yang mandiri dan mengandung keunggulan, baik komparatif maupun kompetitif, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional; (5) Kualitas organisasi (lembaga), kualitas manajemen, dan kualitas kepemimpinan menjadi tuntutan yang semakin luas, terbuka, dan menghendaki ketertiban pada semua unsur yang terarah untuk mencapai pendidikan yang berkualitas pada gilirannya akan mencapai kualitas SDM yang makin baik dan merata; dan (6) Pengembangan sikap sadar teknologi dan sains dan peningkatan kualitas diri para pendidik dan staf adalah hal yang mutlak perlu ditanamkan dan akan digunakan sebagai sarana dalam menyiapkan SDM yang berwawasan teknologi dan memiliki kesiapan belajar sepanjang hayat.

Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberikan manfaat pada lembaga berupa produktivitas, moral, efisiensi kerja, stabilitas, serta fleksibilitas lembaga dalam mengantisipasi lingkungan, baik dari dalam maupun ke luar lembaga yang bersangkutan. Fungsi dan orientasi pendidikan dalam peningkatan kualitas SDM telah dibuat dalam suatu kebijakan Depdiknas (2001:5) dalam tiga strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan, dan (3) peningkatan kualitas manajemen pendidikan. Untuk melaksanakan ketiga strategi pokok pembangunan pendidikan tersebut di atas, seyogianya dilihat bagian-bagian sistem pendidikan nasional dalam kaitannya dengan orientasi masing-masing dan dijabarkan dalam rencana dan prioritas pembangunan pendidikan.

Titik tolak pemikiran mengenai orientasi pendidikan nasional adalah: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa, (2) mempersiapkan SDM yang berkualitas, terampil, dan ahli yang diperlukan dalam proses memasuki era globalisasi dan otonomi daerah, dan (3) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dalam membicarakan peningkatan kualitas SDM dewasa ini, ada dua sisi yang perlu dilihat secara lebih spesifik, yaitu peningkatan kualitas SDM di era globalisasi dan peningkatan kualitas SDM di era otonomi daerah.

Kontekstualisasi Materi Dakwah

Persoalan dakwah merupakan salah satu persoalan ummat Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari kita semua sebab persoalan dakwah merupakan persoalan masa depan ummat Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa perkembangan agama Islam ke seluruh penjuru dunia adalah dibawa dan disampaikan oleh para juru dakwah sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu.

Penyampaian dakwah agama Islam pada masa dahulu tentu akan sangat berbeda dengan pada masa sekarang ini, sebab kondisi dan situasi yang dihadapi pada masa lalu berbeda dengan situasi yang dihadapi pada masa kini. Untuk itu perlu dilakukan semacam evaluasi kritis dan mendasar terhadap penyampaian, metode dan materi dakwah sehingga dapat mencapai dan mengatasi persoalan yang dihadapi ummat islam.

Secara real kita mengakui bahwa DI Jawa Timur dan sekitarnya, ceramah-ceramah agama dalam bentuk Majlis Taklim dan pengajian-pengajian rutin sangat semarak dilakukan dan dihadiri secara antusias oleh para jama’ahnya. Namun seberapa besar dampak positif dari Majlis Taklim dan Pengajian-Pengajian itu terhadap pembentukan seorang muslim sejati, saya kira perlu dievaluasi. Ceramah-ceramah agama tetap dilaksanakan tetapi kualitas ummat tidak mengalami peningkatan, artinya banyaknya pengajian-pengajian tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kualitas ummat Islam.

Persoalan ini saya kira bukan hanya merupakan persoalan para muballigh saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab para para pemimpin dan organisasi Islam (termasuk Muslimat NU) sebab para pengurus dan pemimpin inilah yang menyiapkan sarana dan prasarana dalam pengajian-pengajian tersebut dan bahkan mereka-mereka inilah yang ditugasi oleh jama’ah untuk mencari para penceramah untuk mengisi pengajian. Atas dasar pemikiran di atas, maka diperlukan reorientasi secara kritis terhadap kegiatan dakwah yang selama ini dilakukan, hususnya oleh organisasi Muslimat NU. 

Secara umum kegiatan dakwah tersebut sebenarnya secara tersurat telah dijelaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an : Artinya : Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat-nasehat yang baik, dan bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya, dan Dialah yang mengetahui siapa yang terpimpin. (Q.S. An-Nahl : 125).

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengimplementasikan dakwah dengan “hikmah, nasehat yang baik dan bertukar pikiran dengan cara yang lebih baik” itu dalam kegiatan kongkrit di lapangan kehidupan kita. Nah di sinilah kita dituntut untuk menentukan strategi, metode, dan pemilihan materi yang tepat, sehingga tujuan dakwah akan terlaksana secara efektif dan berdayaguna secara maksimal.

Tantangan Dakwah Di Era Modern

Globalisasi dan kemajuan dunia modern, telah mempertemukan banyak manusia dengan segala kepentingan, baik dalam bentuk ideologi, etnis dan politik. Hal ini merupakan wilayah dan sekaligus tantangan dakwah Islam yang tak dapat dihindari. Tentu saja tantangan ini, harus direspon dengan dakwah yang bijaksana, simpati, santun dan teladan yang baik. Jika Islam disebarkan dengan caci maki, permusuhan, dan paksaan, maka Islam akan kehilangan rahmatnya dan dijauhi penganutnya. 

Era global yang ditandai dengan ledakan informasi telah menjadikan dunia ini sebagai “kampung besar / global vilage”. Dengan teknologi informasi yang serba canggih, tidak ada lagi sekat pemisah antara satu individu dan individu lainnya, di negara mana pun ia berada. Komunikasi yang terjalin tidak hanya dalam bentuk audio tetapi juga audio-visual. 

Melalui sistem informasi jaringan, kita dapat mengakses berbagai informasi kapan dan di mana pun. Peristiwa demi peristiwa bisa kita simak secara “live”. Semua sendi kehidupan manusia, bisa kita ketahui, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Koran-koran, majalah, buku-buku, radio, televisi, telepon, internet, dan jenis alat informasi lainnya, bisa kita gunakan dengan mudah untuk berbagai keperluan. 

Kemudahan-kemudahan itu tidak hanya berdampak positif dalam membantu mempermudah aktivitas, tetapi juga berdampak negatif. Beragam kejahatan kriminal hampir terjadi di mana-mana. Globalisasi memberi ruang baru tindak kejahatan, seperti pencurian, penodongan, perjudian, pelacuran, perzinaan, pemerkosaan, minum-minuman keras, hingga penggunaan obat-obatan terlarang. Cafe-cafe dan diskotik-diskotik yang menyajikan tarian-tarian erotis para penari malam adalah bagian dari kemunkaran-kemunkaran yang mucul di era konsumerisme dan hedonisme ini. 

Ketika sebagian orang kena “virus” konsumerisme dan hedonisme, giliran sikap hidup berikutnya adalah permisifsme. Orang cenderung bersikap “serba boleh” selama menurut pandangannya tidak merugikan pihak lain. Perilaku dan tindakan manusia tidak lagi mengacu kepada norma baik dan buruk, layak atau tidak, sopan atau norak, menurut norma moral dan etika Islam, tetapi yang menjadi ukuran adalah happy atau tidak. 

Dengan kondisi demikian maka efek berikutnya yang muncul adalah lahirnya permasalahan kehidupan sosial, budaya, pendidikan, ekologis dan kesehatan. Daftar permasalahannya dapat berupa: Output pendidikan yang rendah, budaya yang lepas dari nilai-nilai santun, hukum yang tak mampu berbuat adil, angka kejahatan yang semakin tinggi (sehingga menurunkan rasa aman masyarakat), kemaksiatan yang semakin terbuka dan merajalela, kejahatan politik yang terang-terangan, sampai pada konflik-konflik horisontal yang terjadi maupun yang ‘diciptakan’. Di sisi ekologis kita juga saksikan terjadinya terus menerus perusakan hutan, pencemaran air, laut dan udara, kesemerawutan tata kota dan lalu lintas, ketidak-mampuan mengelola limbah, tumbuhnya pemukiman liar yang tak terkendali, musim kemarau dan musim hujan yang keduanya mendatangkan bencana akibat kelalaian kita (secara kolektif), dan segudang permasalah lingkungan lainnya. Kondisi yang demikian buruk kemudian diperparah dengan buruknya moral para penelola negara, pemain industri/usaha, termasuk para aparat penegak hukum.

Secara garis besar, tantangan dakwah yang kita hadapi di tengah-tengah masyarakat kita, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
  1. Derasnya arus informasi global dengan muatan budaya asing yang sangat kental, sementara masyarakat (ummat) belum siap memfilter informasi yang datang. 
  2. Krisis ekonomi yang melanda masyarakat (ummat) memperkecil peluang belajar, yang artinya memperlambat pembinaan SDM ummat. 
  3. Wawasan masyarakat yang masih sempit membuat mereka mudah dipermainkan oleh issue jangka pendek, lupa agenda jangka panjang. Kepentingan pendidikan bangsa misalnya mudah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat. 
Materi Dakwah
Dari penjelasan di atas, maka tantangan dakwah Islam sekarang sangat kompleks. Oleh karena itu, maka materi dakwah yang harus disampaikan kepada ummat, tidak cukup hanya menyangkut ibadah dan akhlak saja, tetapi menyangkut “hablum min Allah dan min al-nas” secara kaffah. Dengan begitu maka strategi dan kegiatan dakwah-pun secara otomatis harus disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi.

Pada dasarnya materi dakwah adalah ajaran Islam (QS. Yusuf: 108, Qs. A-nahl: 125) yang memiliki karakter sejalan dengan fitrah manusia dan kebutuhannya (QS. ArRum: 30), Kaamil (sempurna) (Qs. Al-Maidah: 3 dan QS. Al-A’raf 157) Sirah nabawaiyah mengajarkan kepada kita bahwa materi pertama yag menjadi ladasan utama ajaran Islam, yang disampaikan Rasulullah Saw kepada umat manusia adalah masalah yang berkaitan dengan pembinaan akhlak mulya, keimanan yang benar, status dan tujuan hidup manusia di dunia, dan tujuan akhir yang harus dicapainya, al-musawah, persamaan manusia dihadapan Allah Swt dan al-'adalah, keadilan yang harus ditegakkan oleh seluruh manusia dalam menata kehidupannya. Persamaan dan keadilan ini pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari akidah Islam. 

Selama ini Islam seringkali dipahami hanya sebagai persoalan ibadah saja, yang pemaknaannya masih terbatas pada pola hubungan hamba dengan Tuhan (vertikal). Sehingga penyebaran dakwah yang terjadi di masyarakat lebih banyak menyoroti persoalan ibadah kepada Allah SWT secara ekslusif, tanpa memaknainya secara luas. Padahal, Islam memiliki spirit pembebasan, yang meniscayakan pola hubungan yang tidak saja vertikal kepada Tuhan, tetapi juga pola hubungan yang horisontal terhadap sesama manusia. Islam sebagai agama memiliki tanggung jawab sosial agar masyarakat memiliki perilaku sosial yang bertanggungjawab, transparan, dan berkeadilan.

Islam sebagai agama yang membebaskan semestinya mampu menjawab problem-problem kemanusiaan, seperti ketidakadilan, penindasan, kewenang-wenangan, dan kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga Islam tidak kehilangan orientasi horisontalnya dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia. Belum lagi problem sosial tentang maraknya praktik korupsi yang terjadi di masyarakat dan sistem penyelenggaraan negara (birokrasi). Islam yang hanya memiliki orientasi vertikal merupakan karakter Islam yang ekslusif dan tidak memiliki semangat perubahan. Padahal, sejak dari awal, Islam didakwahkan memiliki orientasi kemanusiaan yang sangat kuat agar terjadi keseimbangan sosial dalam masyarakat.

Atas dasar penjelasan di atas, maka yang perlu disadari oleh para pengemban dakwah adalah bahwa akidah yang diajarkan itu bukanlah semata-mata berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah Swt, karena itu merupakan fitrah manusia , akan tetapi menumbuhkan kesadaran yang dalam, bagaimana memanifestasikan akidah dalam ucapan, pikiran dan tindakan sehari-hari. Akidah yang diajarakan adalah akidah yang bersifat “muharrikah”, yang menggerakkan kesadaran sebagai hamba dan sekaligus khalifah Allah fil ardl.

Dengan demikian , orientasi yang dilakukan dalam kegiatan dakwah, di samping pembentukan akidah dan akhlak, isu dan meteri dakwah yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah menyangkut pemenuhan kebutuhan primer sasaran dakwah, seperti sandang, pangan, papan,dan pendidikan. Kenyataan menunjukkan adanya orang atau kelompok orang yang secara rela ataupun terpaksa mengorbankan akidah, akhlak, maupun kehormatan untuk memenuhi tuntutan primernya. Peringatan Rasulullah Saw abad 14 yang lalu, "Kekafiran akan membawa kepada kekufuran", kini mulai terbukti. Ada beberapa contoh di Jawa Tengah tentang bagaimana kedhaifan dan kefakiran dimanfaatkan untuk menyebarkan agama dan memurtadkan umat Islam. Jika basic need (kebutuhan dasar) tidak dapat dipenuhi, maka seseorang akan mudah dipengaruhi oleh mereka yang mampu memenuhinya, meski dalam ukuran yang minimun. Yang pandai memanfaatkan momentum itu adalah kelompok Nasrani. Mereka menggunakan empat jaluar propaganda. Pertama, jalur ekonomi, yaitu dengan memanfaatkan kefakiran seseorang. Kedua, jalur pendidikan, yang meskipun hasilnya baru dapat diraih dalam jangka panjang, tetapi sangat strategis. Ketiga, jalur pelayan masyarakat. Kita tahu bagaimana LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berorientasi kesana. Keempat, jalur politik, yang dapat disimak dari sikap mereka terhadap RUUPA, dan lain sebagainya.

Dakwah dalam rangka pembentukan dan pembinaan akidah salimah disertai penanganan kebutuhan primer secara serius dan sungguh-sungguh harus menjadi garapan utama para pengemban dakwah pada saat ini. Dan itu pulalah pelajaran yang dapat disimak dari sirah nabawiyah

Dalam konteks ini, maka materi dakwah ke depan perlu diarahkan kepada tiga hal pokok sebagai berikut :
  1. Mempertebal dan memperkukuh iman kaum muslimin, sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengarus negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, atau paham-paham yang membahayakan negara, bangsa dan agama. Juga berusaha agar ummat Islam terpanggil untuk meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan mereka atas ajaran Islam.
  2. Meningkatkan tata kehidupan ummat dalam arti yang luas, dengan menggubah dan mendorong mereka untuk menyadari bahwa agama mewajibkan mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih baik dari hari ini. Ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras serta kesadaran akan keseimbangan hidup dunia dan akhirat.
  3. Meningkatkan pembinaan akhlak ummat Islam, sehingga memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dengan itu dapat terwujud etos kerja dan ukhuwah islamiyah dalam rangka mewujudkan kerukunan ummat beragama.
Strategi Pengembangan Dakwah

Untuk mewujudkan kegiatan dakwah Islam yang kaffah, maka diperlukan pola dakwah yang kontekstual dan transformatif, yaitu merupakan model dakwah, yang tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, , tetapi juga harus menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, dakwah tidak hanya untuk memperkukuh aspek relijiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan dakwah transformatif, da’i diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat seperti isu-isu pendidikan, korupsi, lingkungan hidup, penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antaragama, dan problem kemanusiaan lainnya.

Dalam konteks ini, Para juru dakwah memainkan peran penting sebagai penyebar agama dan pengayom masyarakat. Sehingga hubungan antara juru dakwah dengan masyarakatnya sangat dekat, tanpa sekat yang menjauhkan antara keduanya. Inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan Walisongo dengan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal untuk menarik simpati dari masyarakat. Walisongo menyebarkan Islam di Indonesia tidak dengan menggunakan pendekatan halal-haram, melainkan memberikan spirit dalam setiap upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat. Sehingga Islam kemudian bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat masyarakat secara substansial. Tak pelak lagi, kondisi inilah yang kemuduian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.

Sejarah telah menunjukkan, bahwa juru dakwah pada awalnya merupakan cultural broker atau makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko Horikoshi (1987) memberi penegasan, bahwa peran kyai sekaligus sebagai juru dakwah tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas , dan sering bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan .

Berdasarkan fungsi ini, para juru dakwah memiliki basis yang kuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi perubahan sosial melaui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat oleh negara. Contoh yang paling konkret adalah ketika KH. Basith mengadvokasi petani tembakau di Guluk-Guluk Madura. KH. Basith sebagai kyai dan juru dakwah mampu memainkan peran ganda; sebagai ahli agama sekaligus sebagai pendamping masyarakat yang sedang mengalami problem sosial. Ini adalah bentuk dari peran juru dakwah sebagai agen perubahan sosial. 

Ada lima (5) indikator yang mesti melekat dalam dakwah transformatif. Pertama, dari aspek materi dakwah; ada perubahan yang berarti; dari materi ubudiyah ke materi sosial. Dalam konteks ini, para juru dakwah sudah mulai menambah materi dakwahnya pada isu-isu sosial, seperti korupsi, kemiskinan, dan penindasan. Sehingga para juru dakwah tidak lagi hanya berkutat pada materi ukhrowi. Dari aspek materi juga ada perubahan dari materi dakwah yang ekslusif ke inklusif. Para juru dakwah tidak lagi menyampaikan materi dakwah yang memojokkan atau memusuhi sasaran dakwah yang belum taat. Oleh karena itu, materi dakwah yang inklusif mesti menjadi kata kunci dalam dakwah transformatif.

Kedua, dari aspek metodologi terjadi perubahan; dari model monolog ke dialog. Para juru dakwah sudah berubah cara penyampaian dakwahnya, tidak lagi menggunakan pendekatan monolog, melainkan sudah melakukan dialog langsung dengan jama’ah. Sehingga problem yang dihadapi masyarakat dapat langsung dicarikan solusinya oleh juru dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Dakwah yang menggunakan pendekatan monolog cenderung melakukan indoktrinasi kepada jamaah. Padahal, Islam tidak hanya indoktrinasi, melainkan juga pencerahan terhadap jamaah.

Ketiga, menggunakan institusi yang bisa diajak bersama dalam aksi. Para juru dakwah mesti menggunakan institusi sebagai basis gerakan agar apa yang dilakukannya mendapatkan legitimasi yang lebih kuat. Jaringan dan sumber daya tidak hanya milik sendiri, melainkan juga ada pada orang lain, karena itu, institusi menjadi sesuatu yang penting untuk menjadi basis dari gerakan sosial. Itu sebabnya, agar para juru dakwah lebih mudah melakukan pendampingan masyarakat, mereka perlu menggunakan institusi yang kuat.

Keempat, ada wujud keberpihakan pada mustad’afin. Para juru dakwah terketuk hatinya untuk melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya semisal kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, penggusuran nelayan dan petani. Rasa empati sosial merupakan prasyarat bagi juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif.

Kelima, para juru dakwah melakukan advokasi dan pengorganisasian masyarakat terhadap suatu kasus yang terjadi di daerahnya agar nasib para petani, nelayan, buruh, dan kaum tertindas lainnya didampingi. Inilah puncak dari para juru dakwah yang menggunakan pendekatan transformatif. Hasil akhir dari dakwah transformatif adalah mencetak para juru dakwah yang mampu melakukan pendampingan terhadap problem-problem sosial yang dihadapi masyaraat.

Dalam konteks inilah, penyebaran dakwah di masyarakat mesti dilandasai oleh visi yang benar tentang Islam, pesan moral ibadah, kesalehan sosial, dan sesuai dengan cita-cita agama yang mendorong pada perubahan ekspresi beragama yang inklusif dan mencerahkan. Di sinilah, para aktivis dakwah (daí) memiliki peranan yang strategis dalam merubah pandangan keagamaan masyarakat. Sebab, pemahaman keagamaan masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh para juru dakwah (ustadz, daí, kyai). Pada gilirannya, dengan kemampuan strategi dakwah yang memadai dan pemahaman keagamaan yang luas (komprehensif), masyarakat sebagai objek dakwah akan berubah cara pandang keagamaannya. Pada titik selanjutnya, wajah Islam di Indonesia akan kembali seperti pada zaman awal Islam masuk ke Indonesia; berwajah damai dan akomodatif terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.

Untuk mengembangkan materi dakwah sesuai dengan tantangan di atas, maka Muslimat NU secara kelembagaan harus memantapkan posisinya dalam hidmat kerakyatan. Artinya Muslimat NU dalam berkiprah, secara institusional, harus berhidmat kepada konstituennya. Dengan kata lain Struktural Muslimat NU merupakan alat yang diperuntukkan bagi kesejahtraan konstituen supaya memiliki andil dalam menbangun cita-cita bangsa. Untuk itu , Muslimat NU harus mampu memerankan bebrapa posisi sebagai berikut:

Pertama, Muslimat NU harus mampu berperan sebagai payung budaya dan komunitasnya yang memiliki pilihan politik beragam. Dengan posisi ini seluruh anggota Muslimat NU(bahkan simpatisannya) akan terasa “et home” di dalamnya, meskipun pilihan politiknya berbeda. Dari sini diharapkan seluruh komponen Muslimat, mulai dari elite dan warganya tetap memiliki solidaritas yang tinggi untuk berhidmat bagi kemajuan jam’ah dan jam’iyah Muslimat NU.

Kedua, Muslimat NU memposisikan diri sebagai perajut, penghubung dan pemersatu baerbagai jaringan social yang telah ada di Muslimat NU, baik komponen pendidikan, pertanian, nelayan perdagangan dst. Dalam tingkat tertentu Muslimat NU dapat menjadi fasilitator bagi usaha keluar maupun ke dalam, untuk kesejahtraan Jama’ah Muslimat NU. Dengan kata lain organisasi ini dapat bertindak mengkoordinasi, mengusahakan jaringan-jaringan untuk kesejahtraan jama’ah. (Sesuai amanat anggaran dasar dan rumah tangga, dan amanat Muktamar)

Ketiga, Mualimat NU berposisi sebagai lembaga kontrol terhadap negara atas ketidak adilan kebijakannya, dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan bangsa yang mempengaruhi hajat orang banyak. Posisi ini harus diperankan jika negara telah mendlalimi warganya.

Jika posisi ini dapat siperankan dengan maksimal secara baik, maka Muslimat NU akan berwibawa dan diapresiasi dengan baik oleh seluruh warganya, sebab secara instutusional, Muslimat akan memiliki andil kepeloporan bagi terbentuknya masyarakat adi dan sejahtra di ranah kebangsaan. 

Strategi ini, memerlukan usaha sungguh-sungguh dan ketulusan yang tinggi, sebab paradigma ini agak berbeda dengan tradisi yang selama ini berjalan. Jika selama ini Muslimat NU digunakan dan dieksploitasi oleh figure-figur elite NU ditingkat pusat dan daerah untuk mendukung kepentingan politik para elite tersebut, maka dengan strategi ini Muslimat harus menjadi alat menyejahtrakan jama’ahnya, terutama yang marginal dan mustadl’afin.

Selanjutnya pada tingkat praksis ada lima ‘Pekerjaan Rumah’ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif. 

Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir. 

Kedua, Muslimat NU perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan. 

Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions, speak louder than word. 

Keempat, media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air. 

Kelima, merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria.

Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam

Dewasa ini kemajuan sains dan teknologi telah mencapai perkembangan yang sangat pesat, termasuk di Negara kita Indonesia. Pembangunan di Negara kita juga telah mencapai kemajuan yang demikian pesat, terutama sejak bergulirnya era reformasi hingga saat ini. Karenanya, seiring dengan itu, marilah kita umat Islamsecara bersama-sama ikut ambil bagian dengan secara aktif, terutama dalam pembangunan mrntal spiritual, agar umat Islam tidak sekedar maju dalam segi fisik saja, namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang merusak.

Dalam abad teknologi ultra moderen sekarang ini, manusia telah diruntuhkan eksistensinya sampai ketingkat mesin akibat pengaruh globalisasi. Roh dan kemuliaan manusia telah diremehkan begitu rendah. Manusia adalah mesin yang dikendalikan oleh kepentingan financial untuk menuruti arus hidup yang materialistis dan sekuler. Martabat manusia berangsur-angsur telah dihancurkan dan kedudukannya benar-benar telah direndahkan. Globalisasi adalah merupakan gerakan yang telah dan sedang dilakukan oleh Negara-negara Barat Sekuler untuk secara sadar atau tidak, akan menggiring kita pada kehancuran peradaban. 

Sebagaimana telah kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui media cetak dan elektronik, mulai dari prilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan tete kehidupan yang dipraktekkan, dipertontonkan dan dicontohkan oleh orang-orang Barat akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan. Apa yang mereka suguhkan sangat berpengaruh terhadap pola piker umat Islam. Tak sedikit dari orang-orang Islam yang secara perlahan-lahan menjadi lupa akan tujuan hidupnya, yang semestinya untuk ibadah, berbalik menjadi malas ibadah dan lupa akan Tuhan yang telah memberikannya kehidupan. Akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia khususnya umat Islam yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukanlah sekedar ada, namun ada tujuan mulia yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.

Di zaman sekarang ini, tak sedikit dari umat Islam yang lemah iman, karena telah salah kaprah dalam menyikapi isu globalisasi. Mereka seakan-akan kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama diagung-agungkan. Sehingga dalam bayangan mereka, globalisasi adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari modernisasi. Padahal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan menjerumuskan umat Islam. Sesungguhnya globalisasi tidak jauh beda dengan imprialisme. Penyebaran globalisasi hampir selalu sejalan dengan penyebaran Neoliberalisme.

Globalisasi dengan konotasi itu merupakan penghambaan dan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia agar tunduk pada prinsip-prinsip barat yang rusak dan menyesatkan. Globakisasi merupakan program yang bertujuan untuk mendayagunakan teknologi sebagai alat untuk mengokohkan kedudukan kepentingan Negara adidaya, memperbudak bangsa-bangsa lemah, menyedot sumber daya alamnya, meneror rakyatnya, manghambat perjalanannya, memadamkan kekuatannya, menghapus identitasnya dan mengubur keasliannya, reformasinya serta pembangunan peradabannya. Dengan kata lain globalisasi merupakan gurita yang menelikung dan mencekik leher dunia Islam.

Sasaran yang dikumandangkan globalisasi adalah menghilangkan jarak dan batas, serta perbedaan antara umat manusia yang berbeda-berbeda agar didomonasi kapitalisme yang tanpa batas, dikuasai informasi tanpa pengawasan. Dengan globalisasi semua keyakinan, pendapat dan pemikiran berbaur dan melebur sehingga yang tersisa hanyalah pemikiran materialisme Barat yang turanik. Lebih tegas lagi bahwa globalisasi menginginkan agar setiap elmen dunia khususnya umat Islam melepaskan keperibadiannya, keyakinannya, prinsip-prinsipnya untuk kemudian mengikuti pemikiran Barat dalam semua pola kehidupan.

Melihat strategi yang dicanangkan Barat dalam isu globalisasi di atas sungguh amat busuk. Mereka mempunya agenda terselubung dalam mengikis habis ajaran Islam yang dianut bangsa timur. Penyebaran itu mereka lakukan melalui penyebaran informasi dengan sistem teknologi moderennya yang dapat mengirim informasi keseluruh penjuru dunia. Melalui jalur ini mereka menguasai public opini yang tidak jarang berisi serangan, hinaan, pelecehan dan hujatan terhadap Islam dan mengesankan agama Islam sebagai teroris. Perang yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata namun juga perang agama. Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian Islam lewat idiologi sekuler, politik, ekonomi, sosbud, teknologi, komunikasi, keamanan dan sebagainya. Dengan berbagai cara mereka berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya. Secara perlahan-lahan tapi pasti mereka menggerogoti Islam dari dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan Islam dari muka bumi.

Globalisasi bagi umat Islam tidak perlu diributkan, diterima ataupun ditolak, namun yang paling penting Dari semua adalah seberapa besar peran Islam dalam menata umat manusia menuju tatanan duniabaru yang lebih majudan beradab. Bagi kita semua, ada atau tidaknya istilah globalisasi tidak menjadi masalah, yang penting ajaran Islam sudah benar-benar diterima secara global, secara mendunia oleh segenap umat manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sebagai umat Islam hendaknya nilai moderen jangan kita ukur dari moderennya pakaiannya, perhiasan dan penampilan, namun moderen bagi umat Islam adalah moderen dari segi pemikiran, tingkah laku, pergaulan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, social budaya, politik dan keamanan yang dijiwai akhlakul karimah, dan disertai terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT.

Untuk itu kita sebagai generasi Islam tidak boleh lengah dalam menghadapi maslah modernisasi dan globalisasi ini. Mari kita membentengi diri dan keluarga kita dengan keimanan dan ketaqwaan serta akhlakul karimah yang disertai dengan sumber daya yang kuat, terampil dan didukung oleh semangat persatuan kebersamaan. Insya Allah kita akan diberikan kekuatan dan kemenangan oleh Allah SWT dalam membela dan mempertahankan kejayaan agamanya yang suci ini. 

Di zaman sekarang ini, tak sedikit dari umat Islam yang lemah iman, karena telah salah kaprah dalam menyikapi isu globalisasi. Mereka seakan-akan kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama diagung-agungkan. Sehingga dalam bayangan mereka, globalisasi adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari modernisasi. Padahal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan menjerumuskan umat Islam. Sesungguhnya globalisasi tidak jauh beda dengan imprialisme. Penyebaran globalisasi hampir selalu sejalan dengan penyebaran Neoliberalisme 

Globalisasi dengan konotasi itu merupakan penghambaan dan penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia agar tunduk pada prinsip-prinsip barat yang rusak dan menyesatkan. Globakisasi merupakan program yang bertujuan untuk mendayagunakan teknologi sebagai alat untuk mengokohkan kedudukan kepentingan Negara adidaya, memperbudak bangsa-bangsa lemah, menyedot sumber daya alamnya, meneror rakyatnya, manghambat perjalanannya, memadamkan kekuatannya, menghapus identitasnya dan mengubur keasliannya, reformasinya serta pembangunan peradabannya. Dengan kata lain globalisasi merupakan gurita yang menelikung dan mencekik leher dunia Islam.

Saran Penulis 
Kepada rekan-rekan generasi muda umat Islam yang kini sedang menempuh study di lembaga pendidikan Islam, baik di pondok-pondok pesantren, madrasah diniyah, ataupun di perguruan tinggi, mari kita bekali diri dengan ilmu pengetahuan agama dan sains serta teknologi. Kami harapkan kepada pondok-pondok pesantren jangan hanya semata-mata mengajarkan ilmu agama dari kitab-kitab kuning saja, namun juga harus membuka pendidikan yang berorientasi pada sains dan teknologi. 

Karena umat Islam harus memiliki media komunikasi yang canggih untuk mengimbangi era modernisasi dan globalisasi yang serba canggih ini, baik teknologi informasi maupun komunikasi. Dan yang terpenting sekarang ini adalah, mari kita semua sama-sama berusaha membentengi diri dan keluarga dengan keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah dibarengi dengan sumber daya yang kuat, keterampilan kerja, ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung semangat persatuan dan kesatuan, insya Allah kita akan diberi kemenangan dan kejayaan oleh Allah sepanjang waktu dan zaman.

Agenda Umat Islam Di Era Globalisasi

Globalisasi sudah sangat meresahkan kehidupan beragama, terutama agama islam, maka dengan itu Islam yang merupakan Rahmatan Lil'alamin harus mampu menyaring dan bisa memilih arus globalisasi mana yang harus kita terapkan di kehidupan kita sehari-hari sesuai dengan syari'at Islam. 

Kita sekarang telah berada di alam era globalisasi yang dikenal dengan era keterbukaan. Di alam keterbukaan ini, maka kita diharapkan memiliki kemampuan membaca tanda-tanda zaman yang selalu mengalami perubahan dan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai dan pergeseran itu disebabkan adanya ledakan yang sangat dahsyat yang dapat dirasakan oleh sikap mental dan prilaku manusia yang mengglobal di tengah-tengah masyarakat yang terus berproses.

Adapun ledakan yang kita maksudkan itu ialah adanya arus informasi yang begitu cepat dan beragam yang kita saksikan dan kita serap secara langsung dalam waktu bersamaan. Baik informasi yang bersifat internal maupun eksternal yang masuk ke dalam rumah kita masing masing melalui media elektronik atau media cetak lainnya.

Dari arus informasi yang sangat dahsyat itu, menimbulkan perubahan yang mendasar jika kita cermati dari kancah kehidupan sosial kemasyarakatan. Di satu sisi adanya informasi yang kita terima itu membawa kita ke arah yang konstruktif, yaitu menumbuhkan rasa percaya diri dalam menghadapi era global ini dari semua aspeknya. Menumbuhkan etos kerja yang positif karena dampak keberhasilan yang telah dicapai, baik fisik material maupun mental spiritual dalam membangun diri dan bangsanya. Sehingga sikap optimis dalam menghadapi masalah serumit apapun, rasanya dapat kita atasi dengan mudah selama kita tetap komitmen dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain arus informasi yang dahsyat itu membawa kita ke arah yang destruktif, yaitu kehancuran moral terutama di kalangan generasi muda kita sehingga menimbulkan berbagai kasus yang sangat mengerikan. Kita merasakan adanya tindakan kekerasan, perkelahian antar pelajar, maraknya obat-obat terlarang, narkoba, pil koplo dan sejenisnya, serta sejumlah agenda kebrutalan moral lainnya yang banyak menghiasi lembaran surat kabar dan majalah ibu kota maupun daerah.

Dari kedua bentuk informasi yang kontradiksi ini, kita telah berada dihadapannya dan tidak bisa kita hindari atau menghindarkan diri. Dan ini merupakan refleksi dari zaman keterbukaan yang kita hadapi dewasa ini. Oleh karena itu posisi kita sebagai umat Islam harus mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas SDM nya, agar kita tidak selalu terjebak dalam situasi dan kondisi apapun. Sebaliknya dari kondisi yang kita hadapi ini, kita harus mampu menjadi pelopor sebagai teladan bagi umat dan bangsa ini, bahkan garda terdepan dalam ikut menyelesaikan konflik yang terjadi di negeri kita ini dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa.

Adapun kualitas sumber daya manusia yang kita harapkan tersebut di antaranya:

Pertama; Peningkatan pemberdayaan kualitas hidup. Setelah bangsa kita mengalami krisis moneter beberapa tahun yang lalu, maka dari jumlah penduduk miskin telah mencapai sepertiga penduduk Indonesia, yang sudah barang tentu mayoritas menimpa umat Islam. Karena realitanya memang umat Islam baru banyak dalam hitungan, tetapi belum banyak diperhitungkan dalam setiap kebijakan yang diambil oleh Institusi masyarakat pada umumnya. Sebab yang utama adalah karena kualitas umat Islam atau SDM nya selama ini masih rendah, baik ekonomi maupun kesehatannya. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas hidup yang layak, umat Islam harus secara serius memikirkan tentang memelihara kesehatan dan mengatur ekonomi umat secara proporsional. Dengan kualitas hidup yang sehat akan menumbuhkan energi yang prima dan vitalitas yang tinggi, sehingga adanya sikap mental yang mandiri dengan daya juang yang optimal dalam menghadapi setiap tantangan di era global ini. Kemudian lebih utama lagi kita harus menata masa depan generasi muda kita, agar mereka dapat menjadi pewaris yang baik sesudah kita dan tidak akan menjadi beban orang lain. Di dalam Al-Qur'an Allah SwT telah memperingatkan hambanya:

"Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak (generasi) yang lemah. Mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka…..“ (Q.s An-Nisa': 9).

Selain itu Nabi Muhammad saw dengan tegas pula menyatakan dalam Haditsnya:

“Orang mukmin yang sehat itu lebih baik dan dicintai Allah dari pada orang-orang mukmin yang lemah.” (Al Hadist).

Kedua; Peningkatan pemberdayaan kualitas keilmuan (intelektual). Peningkatan kualitas keilmuan atau intelektual, merupakan keharusan bahkan sangat penting dalam mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang. Secara jujur kita akui kualitas intelektual umat Islam masih rendah, masih di bawah standar umat-umat lainnya. Kita perhatikan di negara-negara Islam yang ekonominya cukup maju, seperti orang orang di Timur Tengah karena didukung oleh sumber daya alamnya berupa minyak dan gas bumi. Namun pakar dan ilmuan yang mengelola sumber daya alamnya itu, mayoritas orang Barat dan Eropa. Artinya mereka hanya kaya secara ekonomi, tetapi miskin secara intelektual terutama di bidang tehnologi modern. Di samping itu kita cukup prihatin terhadap kualitas umat Islam Indonesia. Salah satu neraca yang dapat kita ambil para pakar dan politisi yang menduduki lembaga legislatif ataupun eksekutif. Kita masih mendengar ada anggota DPR/MPR yang belum banyak berperan dalam memberikan sumbangannya kepada lembaga tertinggi itu, bahkan masih ada yang bersikap pasif dalam pembahasan materi yang akan ditetapkan sebagai acuan dari kerja lembaga tersebut. Begitu juga di bidang peran sosial kemasyarakatan yang belum banyak untuk dapat dijadikan teladan sebagai figur seorang pemimpin berkarakter dan berwawasan keilmuan.

Kita masih menyaksikan dari kader yang telah tampil belum menunjukkan sifat kedewasaan, masih adanya sikap egoisme atau keakuan dan emosional yang tidak terkendali. Jika kita cermati secara normatif, maka salah satu penyebabnya yaitu masih lemahnya sistem dan kualitas pendidikan. Sebagai indikasinya bahwa berdasarkan penelitian dari UNESCO tentang peringkat kualitas pendidikan dan 174 negara di dunia ini, Indonesia menempati rangking ke 105. Jauh di bawah Mexico yang menempati ranking ke 50. Bahkan ironisnya kitapun telah berada di bawah Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga kita yang terdekat. 

Penulis sempat mengikuti Study banding yang diadakan oleh Dewan Masjid Sumatera Selatan di beberapa negara bagian Malaysia dan Singapura pada tahun 2001 yang lalu, bahwa ditinjau dari rasio penduduknya setiap 10 orang Malaysia hampir rata-rata ada 4 orang sarjana dengan bermacam disiplin ilmu. Kemudian dari setiap kampung atau RT/RW kalau di negeri kita ini, hampir rata-rata ada 3 orang Dokter untuk melayani kesehatan masyarakat. Adapun peringkat tertinggi kualitas pendidikan di dunia adalah; Kanada, Amerika, dan Norwegia. Tetapi giliran tingkat korupsi, maka Indonesia menempati peringkat teratas yaitu nomor dua di dunia setelah yang pertama diduduki Nigeria. Sungguh menyakitkan, memilukan dan memalukan. Padahal kita mafhum, akan pentingnya kualitas ilmu (intelektual). Sebagaimana orang bijak berkata, bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Selama kualitas ilmu (intelektual) kita rendah, selama itu pula umat Islam akan terdesak dalam percaturan global, bahkan menjadi terkooptasi oleh kelompok (Negara) lain yang telah maju.

01eh karena itu untuk meningkatkan kualitas keilmuan, maka budaya baca dan semangat keingin-tahuan terus ditumbuh-kembangkan, utamanya generasi penerus bangsa ini. Nabi Muhammad saw pernah menyatakan dalam Haditsnya: “Tuntut ilmu pengetahuan itu mulai dari lahir sampai ke liang kubur”. Karena itu ajaran Islam sangat respek terhadap umatnya dan menjunjung tinggi siapa saja di antara manusia yang tidak hanya beriman, tetapi juga berilmu pengetahuan. Dalam hal ini kita perhatikan firman Allah SwT:

"Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang–orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat ". (Q.s.Al-Mujadalah: 11)

Ketiga; Peningkatan pemberdayaan kualitas moral. Dengan adanya rasa tanggungiawab bersama sebagai umat dan bangsa ini, kita merasa prihatin sekali atas keterpurukan di bidang tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, karena dilanda oleh krisis moral. Di awal milenium ke 3 pada tahun 2000 yang lalu kita dapat merekam betapa banyak peristiwa yang terjadi yang membuat rasa duka dan kecewa karena tindakan pelecehan moral makin menjadi-jadi ke seluruh sektor kehidupan. Di saat inipun beberapa kasus yang diungkap lewat media cetak dan elektronik membeberkan krisis moral yang terjadi, berpuluh-puluh dan beratus-ratus bahkan beribu-ribu tulisan yang mengulas masalah krisis moral bangsa kita dewasa ini.

Di kalangan para elit bangsa hilangnya rasa budaya malu atas perbuatan yang kurang terpuji, yang merasa tidak bersalah. Padahal perbuatan mereka secara kasap mata telah merugikan umat dan bangsa ini. Akibat dari banyaknya kasus yang terungkap itu, dan adanya sifat arogan di kalangan generasi muda serta dan beberapa elit bangsa ini, maka telah menurunkan martabat bangsa kita di mata dunia Internasional. Salah satu indikasinya makin ragunya para investor asing yang hendak menanamkan modalnya dan semua sektor pembangunan di negeri kita ini, karena belum terjaminnya stabilitas keamanan dalam negeri.

Oleh karena itu perlu mengagendakan peningkatan kualitas moral dengan kesalihan, yaitu dimulai dari berniat, berfikir, berbuat dan bertindak sesuai dengan aturan yang telah ada dan disepakati bersama di negeri yang kita cintai ini. Sebagai anak bangsa kita sangat mendambakan anak-anak yang saleh yang mampu memahami jati dirinya. Yaitu generasi yang dapat mengukir kehidupan ini lebih dinamis dan berpotensi besar dalam meneruskan estafet kepemimpinan umat dan bangsa di masa yang akan datang. Kemudian sebagai pemimpin umat dan bangsa baik formal maupun non formal, agar kesalihannya dapat diwujudkan dalam segala bentuk aktivitasnya. Kita sangat mengharapkan kepada pemimpin umat dan bangsa ini, bukan hanya pandai memberi contoh yang baik, yang terhenti kepada batas kata-kata yang bijak, namun lebih dari pada itu agar para pemimpin benar-benar menjadi contoh dan teladan yang baik dan benar yang mengkristal dalam budaya hidup bermasyarakat. Untuk itu sebagai umat Islam maka kita harus kembali merujuk kepada keteladanan dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw yang telah dijelaskan Allah SwT dalam Al-Qur'an; "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik dan mulia bagimu.....” (Q.s Al-Ahzab: 21).

Kemudian Nabi Muhammad saw pernah mengatakan: 
Kamu tidak akan dapat membahagiakan orang banyak dengan harta benda atau kedudukan yang sedang kamu kuasai, akan tetapi kalau kamu ingin mendatangkan kebahagiaan kepada mereka itu tunjukkanlah sikap dan prilaku yang bersimpatik dengan disertai moral yang tinggi atau budi pekerti yang mulia. (H.R.Muslim).

Perjalanan Dalam Hati

Einsten, Ali, Barghouti dan Perjalanan ke Dalam Hati 

"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati tuhan." Kata-kata jujur itu terlontar dari mulut Albert Einsten puluhan tahun yang lalu. Besso, sang sahabat yang selalu menyediakan waktunya untuk mendengar ide-ide Einsten, hanya mampu terperangah kaget mendengar ungkapan hati sahabatnya itu. Ia selalu terpesona pleh ambisi-ambisi Einsten. Dalam usianya yang ke-26 saja, Einsten telah menyelesaikan tesis Ph.D, satu tulisan ilmiah tentang photon dan satu tulisan tentang gerak Brownian. 

Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tidak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya itu, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu tidak akan pernah dapat dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya itu. Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu bagaimana ia harus menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut wajah kerinduan untuk mendekati tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan? 

Setting cerita berpindah dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian. Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari majalah Reader's Digest, salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Kejadian yang menyentak rakyat Amerika tadi pagi, runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian tersebut. 

RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?" 

Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah negara yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang." 

RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?" 

Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya. Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan." 

Setting cerita berpindah lagi ke Timur Tengah, tepatnya di kota Ramallah, Palestina, pada tanggal 15 April 2002. Kota Ramallah dikejutkan oleh berita tertangkapanya sang tokoh Intifadah, Marwan Barghouti, oleh Israel. Bukan hanya kota Ramallah, seluruh Palestina dikejutkan oleh berita ini. Bahkan di Lebanon, kelompok Hizbullah bereaksi keras dengan memperingatkan Israel agar memperlakukan Barghouti secara manusiawi. 

Bahkan, faksi yang berhasil mengusir Israel dari Lebanon Selatan pada Mei 2000 lalu itu, mengancam jika Barghouti disakiti, mereka akan membidik balik Sharon. 

Marwan Barghouti, ayah tiga orang putra dan satu orang putri ini adalah seorang tokoh utama gerakan intifadah. Barghouti adalah pengganti Khalid Al-Wazir, alias Abu Jihad, seorang pendiri gerakan intifadah yang tewas diberondong peluru tentara Israel pada April 1988. Barghouti, seorang doktor di bidang politik kelahiran 1959 dan juga pengajar di Universitas Al-Quds ini, telah berjuang untuk bangsanya sejak ia masih muda. Bahkan Israel pernah menjebloskannya ke penjara sebelumnya selama enam tahun. Sejak 1978, berbagai upaya penangkapan dan pembunuhan telah dilancarkan Israel terhadap Barghouti, sampai akhirnya mujahid ini tertangkap 15 April lalu. Sampai sekarang tidak jelas apakah Barghouti masih hidup atau tidak, tetapi satu yang jelas bahwa gerakan intifadah di tanah Palestina tidak surut oleh tertangkapnya Barghouti. 

Coba cermati. Tiga cerita diatas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan yang signifikan. Para pelaku dari ketiga cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani mereka. Masing-masing dari mereka, Einsten, Ali dan Barghouti, menciptakan suatu karya fenomenal, melakukan suatu perubahan yang mengejutkan dan berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu semua. 

Albert Einsten, mampu melahirkan suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, yaitu Teori Relativitas, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang yahudi. Akan tetapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya tersebut. Ataukah hal ini memang sengaja ditutup-tutupi dan disembunyikan? Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah jugalah yang mampu mengetahui apakah ia telah berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal. Bukankah hanya Allah lah yang memiliki kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Ia akan memberikan hidayahNya hanya kepada orang-orang yang Ia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut. 

Muhammad Ali, yang bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, yaitu Amerika dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ia berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran yang hakiki, yaitu islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ia dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi telah cukup menggambarkan kepada kita keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan terhadap adanya hari pembalasan. 

Barghouti dan gerakan intifadahnya juga telah membuktikan bahwa rasa cinta terhadap Sang Khalik mampu mendorong seseorang untuk melakukan apa saja. Rasa cintanya tersebut ia anggap cukup layak untuk ia jadikan alasan melakukan suatu pengorbanan bahkan pengorbanan terbesar seperti mengorbankan nyawanya sekalipun. Kisah hidup tokoh intifadah ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan cinta, sehingga rasa cinta tersebut mampu menjadi suatu motor penggerak dalam kehidupan manusia. 

Mudah-mudahan kita semua tidak terlalu arogan untuk mau sejenak bercermin terhadap ketiga kisah diatas dan mencoba untuk menata kembali rencana-rencana yang telah kita buat untuk memanfaatkan sisa hidup kita. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing, bahkan terhadap seorang yahudi seperti Einsten sekalipun. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan kepada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Lalu mengapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi "kacamata kuda" Rene Descartes yang berpandangan satu arah? 

Lakukanlah perjalanan ke dalam hati kita masing-masing dan coba tengok sejenak apakah yang selama ini telah memotivasi kita untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah? Ataukah kita memberikan kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah lainnya untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kitalah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Cobalah untuk mendengarkan kata hati kita dan meluruskan kembali niat kita. 

Bukankah selama hidupnya Rasulullah juga lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah hampir tidak pernah berceramah. Khutbahnyapun tidak pernah lama. Lalu mengapa kita tidak coba meniru Rasulullah dengan mulai menjadi pendengar yang baik terhadap sesuatu yang sangat dekat dengan kita, yaitu hati nurani kita. Wallahu'alam bishawaab.



Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :

Judi Menurut Hukum Islam

Ada Apa Dengan Judi 


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian memperoleh keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu mengerjakan perbuatan itu"” (Al Maaidah ayat 90-91)

Bagaikan bola salju, usulan tentang lokalisasi perjudian yang disampaikan Bupati Admnistratif Kepulauan Seribu, H. Abdul Kadir, kini terus bergulir. Menimbulkan pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan masyarakat, pejabat pemerintahan, anggota legislatif hingga para ulama dan pengamat masalah hukum. Wacana ini juga sempat menyeret nama Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati sebagai orang dibalik usulan lokalisasi judi tersebut (Rakyat Merdeka, 20/04/02). Bahkan dikabarkan juga kemungkinan adanya kesepakatan antara Presiden dengan Tommy Winata (salah seorang bandar judi kelas kakap) soal dilegalkannya perjudian di kepulauan seribu (Republika, 17/04/02). Namun berita ini kemudian dibantah oleh Roy B. Janis, Ketua DPP PDIP, tentang adanya pertemuan antara Mbak Mega dengan Tommy Winata.

Pro dan Kontra

Biarlah sejarah yang akan membuktikan semua hal di atas. Kini marilah kita cermati secara seksama argumen-argumen yang diajukan oleh kalangan yang pro dan kontra dengan lokalisasi perjudian. Kelompok pro diwakili oleh kalangan pemprov DKI dan tentu saja para bandar judi serta para bekingnya, baik dari kalangan oknum pejabat DKI dan oknum kepolisian yang menerima setoran dari tindakan ilegal ini. Alasan mereka yaitu dalam rangka meminimalisir dampak negatif judi, demikian pernyataan Kepala Biro Humas dan Protokoler Pemprov DKI, Muhayat. (Republika,19/04/02).

Lebih jauh Muhayat menyatakan bahwa judi tidak bisa dihilangkan. Penertiban tak kunjung berhasil lantaran terlalu kuatnya oknum yang membekengi perjudian. Jadi sekali lagi bukan karena didasari masalah uang semata kata beliau. Meskipun malu-malu mengakui tapi banyak pihak yang menyatakan bahwa salah satu alasan utama dilegalkannya judi sebenarnya adalah faktor uang. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Komisi A DPRD DKI Abdul Azis Matnur (Republika,19/04/02) dan tajuk Republika (16/04/02) yaitu dalam rangka menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). 

Selain masalah PAD, kalangan yang pro juga sudah beranggapan bahwa judi sebenarnya sudah membudaya di negeri ini. Buktinya di gang-gang kecil dan di kampung – kampung dalam berbagai keramaian selalu dengan mudah akan kita temukan perjudian. Bahkan di gardu-gardi ronda juga sering kita temukan para peronda yang mengisi waktunya dengan judi. Baik dengan menggunakan kartu remi, domino, dadu, rolet, togel dan tokam. Bahkan menurut laporan Koordinator Tim Penelitian Pranata Sosial UI, Rizal Rahmat (Republika,16/04/02 ) diperkirakan sekitar 20 % atau 1,2 juta warga Ibukota biasa terlibat judi kecil-kecilan semacam togel.

Adapun kalangan yang kontra lokalisasi perjudian diwakili oleh para anggota DPRD DKI dari partai Islam seperti PK, PPP dan PBB, MUI, menteri Kelautan, Rokhmin Daruri dan para ulama pada umumnya. Alasan mereka karena judi dilarang baik oleh hukum agama maupun hukum negara.

Dalam hukum agama sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Baqarah ayat 219 dan surat Al Maidah ayat 90-91. Yang secara tegas dan jelas mengharamkan segala bentuk perjudian. Sebab perjudian menyebabkan orang lalai dari sholat, menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dalam hukum positif judi juga dilarang oleh undang-undang.Yaitu sebagaimana tercantum dalam UU No. 7 tahun 1974, pasal 303 KUHP dan PP No. 9 tahun 1981. Judi dalam ketiga perundang-undangan tersebut dinyatakan sebagai tindakan kejahatan yang dapat dikenai hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebesar-besarnya dua puluh lima juta rupiah. 

Alasan lainnya karena lokalisasi perjudian belum tentu dapat menjamin hilangnya perjudian di daratan atau di tempat-tempat lainnya yang tidak dilokalisir. Contohnya lokalisasi pelacuran di Kramat Tunggak toh juga tidak mampu menghilangkan pelacuran di tempat-tempat lainnya. Bahkan sejak adanya lokalisasi tersebut justru pelacuran semakin ramai dan merambah berbagai wilayah. Seperti di prumpung, parung dan mangga besar.

Selain itu kenapa perjudian selama ini tidak kunjung bisa diberantas dikerenakan para aparat pemerintah dan penegak hukum tidak serius dalam memberantasnya. Bahkan tidak sedikit diantaranya justru menjadi beking tindak kejahatan ini. Namun sayangnya hingga kini para beking tersebut tetap leluasa menjalankan aksinya. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa para polisi juga membiarkan kegiatan ini marak di tengah pemukiman dan terminal-terminal bus. Meskipun tidak sedikit hal ini justru terjadi di depan mata kepala sendiri yaitu di depan kantor–kantor pos kepolisian.

Beberapa Saran

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) bukan negara berdasarkan kekuasaan (machstaat). Karena itu menjadi kewajiban dari kita semua untuk mematuhi semua produk hukum yang ada di negeri ini. Sekaligus berupaya secara sungguh–sungguh agar hukum yang sudah diundangkan dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu.

Berkaitan dengan masalah ini maka dengan tegas kita nyatakan bahwa selama UU yang melarang perjudian belum dicabut maka segala bentuk perjudian di bumi Indonesia harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.Lain masalah jika UU tentang larangan tindak pidana judi dicabut. Karena itu amatlah naif dan tidak bijak seorang pejabat yang seharusnya tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku justru membuat wacana yang bertentangan dengan hukum. Bahkan menurut pasal 55 KUHP orang yang membangun wacana ini bisa masuk kategori orang yang turut melakukan tindak kejahatan perjudian. Karena melalui pengaruh dan kekuasaan melakukan tindakan melawan hukum.

Karena diatur dalam UU maka langkah yang bijak yang seharusnya ditempuh oleh pemprov DKI adalah dengan melakukan usulan kepada atasannya agar diijinkan untuk melakukan lokalisasi perjudian atau menyampaikan maksudnya ini kepada DPRD DKI untuk kemudian dilanjutkan kepada DPR untuk dibahas dalam rapat – rapat DPR. Sebab kewenangan UU ada di tangan DPR bersama DPR. Lain masalahnya jika yang mengatur masalah ini sebatas Peraturan daerah. 

Dalam konteks ini maka nampak jelas bahwa wacana yang dikembangkan tersebut sangatlah tidak layak jika disampaikan oleh pejabat setingkat Bupati atau Gubernur yang padanya justru dibebani tugas untuk menegakkan aturan-aturan perundangan yang dibuat oleh pejabat yang lebih tinggi kedudukan maupun kewenangannya. Ini berarti bahwa secara tidak langsung Bupati Kepulauan Seribu dan Gubernur DKI telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya. Dan membandel untuk tidak melaksanakan tugas yang diperintahkan kepadanya untuk dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Beberapa Solusi

Untuk tidak mengulangi tindakan atau membangun wacana yang meresahkan masyarakat maka tidak ada salahnya jika ada sekelompok masyarakat yang menuntut secara pidana kepada para pejabat tersebut di atas. Hal ini agar dikemudian hari tidak terulang lagi ada pejabat yang dibebani oleh undang-undang untuk melakukan ketertiban dalam masyarakat justru mengabaikan dan berupaya untuk membelakanginya.

Jika hal itu tidak memungkinkan dan memang cukup sulit karena melihat sistem peradilan kita yang kacau balau dan dipenuhi oleh mafia peradilan atau para petualang, maka cara lainnya yaitu melalui jalur politik. Yaitu dengan cara menolak laporan pertanggungjawaban para pejabat tersebut. Dan menggantinya dengan pejabat yang benar-benar taat dan menjunjung hukum dengan sebaik-baiknya. Disinilah tugas DPRD DKI untuk memenuhi amanat rakyat yang sudah bosan dengan berbagai bentuk kemaksiyatan yang tidak kunjung dapat diberantas di ibukota Jakarta.

Selain hal diatas, sudah selayaknyalah bila para ulama, da’i dan muballigh saling bahu membahu untuk memberantas perjudian. Bukan hanya bersikap reaktif. Tapi harus antisipatif. Salah satu caranya yaitu dengan membangun opini yang terus menerus dikalangan masyarakat bahwa judi adalah perbuatan haram yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Serta dilarang oleh Undang-Undang. Wallahu ‘alam.



Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :