Membangun individu melalui universitas

Untuk memperbaiki keadaan ini, maka umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Nam
http://dinulislami.blogspot.com/
un pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar terhadap ×ikmah IlÉhiyyah sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam. 

Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi Nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat dimana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutamanya universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistimologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki. 

Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal (al-insÉn al-kulli atau al-insÉn al-kÉmil) dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Contoh insan kamil dan universal itu yang sangat riel adalah figur Nabi Muhammad saw sendiri. Universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal sholeh, dan fungsinya adalah untuk membentuk laki-laki dan wanita yang beradab dengan menirunya semirip mungkin dalam hal kualitas sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing". Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal man, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: "manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada". Namun berbeda dengan Islam yang memiliki ciri permanency, ukuran-ukuran Barat mengenai suatu yang ideal selalu berubah, dan berevolusi.

Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin daripada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur dan epistimologinya. Universitas (al-JÉmi’ah, al-kulliyah)) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.

Penyataan al-Attas dalam hal ini sangat jelas.

“Sebuah universitas Islam mempunyai struktur yang berbeda dengan universitas Barat, mempunyai konsep ilmu yang berbeda dengan apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, mempunyai tujuan dan aspirasi yang berbeda dengan konsepsi Barat. Tujuan dari pendidikan tinggi dalam Islam adalah untuk membentuk ‘manusia sempurna’ ataupun ‘manusia universal’… seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan tetapi ia adalah seorang yang universal dalam cara pandangnya dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan.

Karena universitas Islam modern yang berdiri di negara muslim hari ini lebih merupakan fotokopi universitas Barat, maka orientasi yang menggiring para mahasiswa kepada nilai-nilai kehidupan sekuler lebih dominan ketimbang usaha-usaha kearah penanaman pandangan hidup Islam. Pengaruh Barat juga terlihat dalam situasi kebebasan akademik di universitas-universitas itu. Kebebasan masih difahami sebagai kebebasan yang seluas-luasnya sebagaimana yang banyak ditemui dalam cara berfikir Muslim modernis, yang dalam bidang keagamaan bisa diartikan sebagai penentangan terhadap otoritas ulama dan taqlÊd. Padahal kekebasan akademis bukanlah berarti bebas sebebasnya tanpa ikatan-ikatan keilmuan. Kebebasan akademik adalah kebebasan dalam arti “ikhtiyar“, yakni kebebasan memilih yang lebih baik (khayr) berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. TaqlÊd bukan berarti mengikuti sesuatu dengan membabi buta, tetapi mengikuti seseorang yang mempunyai otoritas ilmu pengetahuan. 

Pengertian ini sejatinya juga terjadi di dunia akademis di mana seorang ilmuwan yang lebih muda mengikuti atau memakai pendapat atau teori ilmuwan senior yang lebih pakar. Oleh sebab itu ijtihad bukanlah berpendapat dengan sesuka hati atau dengan sebatas pengetahuan pribadi, tapi berpendapat berdasarkan pada pengetahuan ulama terdahulu yang memiliki otoritas dalan bidang masing-masing. IjtihÉd tidak berarti mengkesampingkan otoritas ulama terdahulu sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok modernis yang cenderung mengikuti cara berpikir Barat, khususnya gaya-gaya Protestan dalam melawan otoritas gereja.

Selain itu kurikulum di Universitas Islam perlu direkonstruksi agar dapat lebih mengarah kepada penanaman ilmu pengetahuan Islam yang berstruktur dan konseptual. Materi ilmu Fard Ayn yang berupa AqÊdah, TawÍÊd atau UÎËluddÊn pada jenjang pendidikan rendah dan menengah mestinya dikembangkan menjadi materi wajib pada jenjang pendidikan tinggi. Di perguruan tinggi ilmu Fard Ayn dapat dikembangkan menjadi Ilmu Tafsir, ilmu Hadith, ilmu Fiqih, ilmu Kalam atau filsafat dan lain sebagainya. Disini konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, alam, akhlaq dan tentang Din dikaji secara mendalam. Itu semua hendaknya diajarkan sehingga dapat menjadi fondasi bagi pengkajian disiplin ilmu lain atau ilmu farÌu kifÉyah. Disini sumber pengetahuan inderawi, aqli dan intuisi disatukan dalam suatu cara berfikir yang integral. Integral artinya tidak berfikir dualistis: obyektif dan subyektif, idealistis dan realistis. Dengan cara itu dikotomi ilmu pengetahuan, agama dan umum, yang telah begitu merasuk ke dalam kurikulum pendidikan Islam akibat dari sekularisasi pemikiran dapat secara perlahan-lahan dihilangkan. 

Seharusnya ilmu farÌu ayn bagi seorang mahasiswa UÎËluddÊn, misalnya tidak sama dengan Ilmu farÌu 'ayn bagi siswa Madrasah 'Aliyah atau mahasiswa fakultas Sosiologi. Jika setiap cendekiawan menguasai ilmu farÌu 'ayn sesuai dengan bidangnya, maka pada dataran epistemologis ilmu FarÌu 'ayn ini pada akhirnya akan menyatukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang termasuk kedalam ilmu farÌu kifÉyah, seperti ilmu kemanusiaan, ilmu alam, sejarah, peradaban, bahasa dan lain sebagainya.

Daftar Bacaan
Kajian Tibawi, misalnya menunjukkan bahwa ternyata Ikhwa al-Safa tidak tertarik untuk membahas bayi dan anak laki-laki sebelum berusia 15 tahun dalam praktek sistem pendidikan Islam. Abdul Latif Tibawi, Arabic and Islamic Themes: Historical, Educational and Literary Studies (London: Luzac & Co., 1974), hal. 181. 

Al-Attas, The Concept of Education in Islam, hal. 39–40; Ikhwan al-Safa (muncul pada 373 Hijrah) dalam risalahnya (Rasail) menekankan bahwa setelah proses pendidikan bentuk kehalusan budi (tahdhÊb), pensucian diri (ta'thir), peningkatan sampai akhir (tatmim), dan penyempurnaan (takmil), maka proses yang terakhir harus pada tingkat manusia sempurna (Insan Kamil). Lihat juga Tibawi, Arabic and Islamic Themes, hal. 185. 

Lihat sebagai contoh, James L. Jarrett, Educational Philosophy of the Sophists (New York: Teachers College-Columbia University Press, 1965); juga lihat Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, cetakan ulang edisi 1949 (New York: The Wisdom Library, 1957). 

Lihat Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, 3 vols. diterjemahkan oleh Gilbert Highet. Edisi 2 (New York/Oxford: Oxford University Press, 1945), 1: xxii–xxiv; juga lihat J. H. Randall Jr., The Making of the Modern Mind, 50th Anniversary Edition. Kata Pengantar oleh Jacques Barzun (New York: Columbia University Press, 1976), hal. 135–136; juga lihat Paul Nash, Andreas M. Kazamias dan Henry J. Perkinson, The Educated Man: Studies in the History of Educational Thought (Malabar, Florida: Robert E. Krieger, 1970), baca Pendahuluan. 

Surat al-Attas kepada kepada Sekretariat Konferensi Islam tanggal, 15 May 1973, hal. 1–2; seperti dikutip Wan Mohd Nor Wan Daud dalam The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 172.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Membangun individu melalui universitas"

Post a Comment