Kisah Seorang Imam Masjid

Beberapa waktu yang lalu datanglah seorang imam yang baru di masjid London, salah satu kota di Inggris. Imam ini setiap harinya naik bis dari rumahnya menuju ke kota sehingga sering naik bis dengan supir yang sama.

Suatu hari beliau naik bis dan kemudian membayar harga karcisnya dan langsung duduk ! selang beberapa lama pak supir mengembalikan uang kembalianya, begitu beliau melihat uangnya, ternyata pak supir mengembalikan uang sisanya berlebih 20 pinis !

Sang Imam langsung berfikir untuk mengembalikan uang lebihnya karena bukan haknya. Tapi muncul dalam benaknya bisikan: lupakan urusan ini ! sisanya tidak seberapa, tidak ada seorangpun yang memperhatikannya, sebagaimana perusahaan bis mendapatkan pemasukan yang sangat banyak, uang segini tidak ada artinya bagi mereka dan tidak mengurangi sedikitpun pendapatannya!

Biar saya bawa, aku akan diam dan tidak akan aku kembalikan!

Berhentilah bis pada terminal yang dikehendaki sang Imam, sebelum keluar dari bis, Imam tersebut berhenti sejenak dan mengulurkan tangannya kepada sang supir dan berkata : ambillah ! anda memberikan kepada saya uang lebih dari yang semestinya aku terima !

Tersenyumlah sang supir seraya bertanya : bukankah anda Imam yang baru di masjid kota kami ini ? sejak beberapa waktu yang lalu aku berfikir hendak pergi ke masjid anda untuk mengenal agama Islam lebih dekat ! uang lebih tadi aku berikan kepada anda dengan sengaja untuk mengetahui bagaimana sikap anda !
Ketika sang Imam tadi turun dari bis, dia merasakan kedua lututnya menjadi lumpuh, tidak kuat menahan tubuhnya dan badannya hampir terjatuh merasakan beratnya peristiwa tersebut !

Kemudian berpegang dengan salah satu tiang di dekatnya, agar tidak terjatuh sambil memandang ke atas langit dan berdoa disertai tangisan : Ya Allah ! hampir saja aku menjual agama Islam dengan harga 20 pinis !

hikmahnya : janganlah sekali-kali meremehkan amanah sekecil apapun karena sekecil apapun amanah tersebut ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah!

Nikah Mut'ah

Nikah mut'ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.

Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
  1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
  2. Nikah mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
  3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
  4. Nikah mut'ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
  5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
  6. Nikah mut'ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah

Haramnya nikah mut'ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: "Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari Kiamat (Shahih Muslim II/1024).

Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang nikah mut'ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul Bari IX/71).

Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
  • Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut'ah".
  • Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil."
  • Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu' (XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
  • Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah haram.

Rujukan:

1. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dirasat fil ahwa wal firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minha.
2. Drs. KH Dawam Anwar dkk, Mengapa Kita menolak Syi'ah.
3. H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto.
4. Abdullah bin Sa'id Al-Junaid, Perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah.
5. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi'ah.

Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://globalsearch1.blogspot.com/
http://peluangusahamakro.blogspot.com/


Wasiat Nabi Muhammad SAW Tentang Wanita

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Berpesan-pesan baiklah kamu kepada perempuan, karena wanita itu terjadi dari tulang rusuk yang bengkok, maka kalau kau paksa meluruskannya dengan kekerasan pasti patah, dan jika kau biarkan tentu akan tetap bengkok, karena itu berpesan-pesan baiklah terhadap wanita itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain: “Wanita itu bagaikan tulang rusuk yang melengkung, jika kau paksa untuk meluruskannya berarti akan mematahkannya, dan jika kau hany
a mencari kepuasan dari padanya berarti mencari kepuasan dan tetap ia bengkok.”

Dalam riwayat lain: “Wanita itu terjadi dari tulang rusuk, yang tidak dapat tetap pada suatu peraturan, maka kalau kau hanya bersuka-suka padanya, berarti bersuka-suka dalam bengkoknya, dan jika kau paksa meluruskannya berarti akan mematahkannya. Dan patah itu berarti cerainya. Jadi harus selalu berlaku bijaksana menghadapi wanita itu, supaya dapat menjadi baik.”

Abdullah bin Zam’ah ra. telah mendengar Rasulullah Muhammad saw berkhutbah, dan menyebut onta mu’jizat Nabi Salih, serta orang yang membunuhnya. Bersabda Rasulullah Muhammad saw: “Ketika bangkit orang terkejam. Bangkit seorang algojo yang amat kejam, yang disegani oleh kaumnya. Kemudian melanjutkan khutbahnya, dan menyebut wanita, maka nabi Muhammad saw bersabda: Sengaja salah satu kamu memukul isterinya bagaikan memukul hamba sahayanya, kemudian kemungkinan pada malam harinya disetubuhinya. Kemudian Nabi Muhammad saw menasihati mereka karena tertawa dan kentut, sabda Rasulullah Muhammad saw: Mengapakah tertawa salah satu kamu dari kejadian tersebut?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu hurairah ra. berkata: Bersabda Rasulullah Muhammad saw: “Jangan membenci seorang mu’min (lelaki) pada mu’minat (perempuan), jika ia tidak suka suatu kelakuannya, pasti ada juga kelakuan lainnya yang memuaskannya.” (HR. Muslim)

Amru bin Al’ahwash Al-Djusjamy ra. ia telah mendengar Rasulullah Muhammad saw berkhutbah dalam Hajjatul-wada’, sesudah memuji syukur kepada Allah swt bersabda: “Ingatlah, berpesan-pesan baiklah kepada isteri-isteri karena mereka hanya yang ditentukan oleh agama itu belaka. Terkecuali jika mereka berbuat keji yang terang-terang, maka kalau sampai terjadi yang demikian, tinggalkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan apabila telah taat kembali, janganlah diganggu dengan cela atau lain-lainnya. Ingatlah, sesungguhnya bagimu ada hak atas isterimu, sebagaimana isterimu juga mempunyai hak atas kamu. Hakmu yang harus mereka jaga, tidak boleh memasukkan orang yang kamu tidak suka dalam bilikmu, dan tidak mengizinkan orang yang kamu tidak suka harus bergaul baik pada mereka, terutama dalam memberi pakaian dan makanan. (HR. At Tirmidzi)

Mu’awijah bin Haidah ra. bertanya: “Ya Rasulullah apakah hak seorang isteri terhadap suaminya?” Jawab Rasulullah Muhammad saw: “Harus kau beri makan jika kau makan, dan kau beri pakaian jika kau berpakaian, dan jangan memukul muka, dan jangan menjelekkannya, dan jangan memboikot kecuali dalam rumah saja.” (Abu Dawud)

Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesempurna-sempurnanya orang mukmin dalam imannya ialah yang terbaik budi pekertinya. Dan sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik pergaulannya terhadap isterinya.” (HR. At Tirmidzi)

Ijaas bin Abdullah bin Abu Dzubab ra. berkata: Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Jangan kamu memukul kaum wanita (hamba-hamba Allah). Maka datang Umar kepada Rasulullah Muhammad saw dan berkata: “Kini para isteri jadi berani kepada suaminya, sehingga Rasulullah Muhammad saw mengizinkan memukul mereka”. Mendadak rumah Rasulullah Muhammad saw telah dikerumuni oleh kaum wanita yang akan mengadukan kekajaman suaminya, maka bersabda Rasulullah Muhammad saw: “Sungguh telah mengelilingi rumah Rasulullah saw banyak sekali dari kaum wanita, mengeluh tentang kekejaman suaminya, mereka bukan orang yang baik di antara kamu.” (HR. Abu Dawud)

Abdullah bin Amru bin Al-‘Ash ra. berkata: Rasulullah Muhammad saw bersabda: “Dunia adalah kesenangan sementara, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

Menikah Sesuai Ajaran Islam

“Nikah”, tentunya kata ini sudah biasa keluar masuk melalui telinga kita. Rasa yang timbul dalam hati kita setelah mendengar kata nikah-pun beraneka warna. Bisa saja saat ini, kita merasakannya sebagai satu hal yang sangat kita inginkan. Namun
, bisa saja esok kita akan merasakan adanya ketakutan yang berteriak ditelinga kita setelah mendengar kata nikah. Respon setiap orangpun akan berbeda-beda ketika ditanya perihal nikah ini. Ada yang menjawab dengan tegas “Pingin banget!!!”, ada pula yang menjawabnya dengan tersendat-sendat “Pingin sih, tapi….”, ada juga jawaban yang seger dan penuh semangat “Mau buru-buru nikah ah, mumpung masih muda!!!”, ada pula yang bernada sinis “Ngapain buru-buru nikah, puas-puasin dulu masa muda!!!”. Apapun respon dan tanggapan mengenai nikah ini, namun satu hal yang pasti…”Nikah adalah ritual dan ikatan suci”.

Nikah, adalah sebuah harapan besar yang terkadang ada rasa takut untuk menemuinya. Rasa semacam itu adalah hal yang wajar, mengingat menikah adalah sebuah proses menyatukan dua orang yang berlainan karakter. Setelah menikah, kita akan melewati hari-hari dengan seseorang yang memiliki perbedaan karakter, kebiasan, pola pikir, dan segudang perbedaan lainnya. Menikah menuntut seseorang untuk lebih bijaksana. Menikah sama saja dengan mengumumkan pernyataan untuk mau menerima kekurangan seseorang. Beban dan tanggung jawab seseorang akan bertambah, yang tadinya hanya memikul satu orang, setelah menikah maka ia akan memikul beban ganda bahkan berlipat-lipat setelah memiliki anak.

Menikah memang bukanlah sebuah ikatan yang remeh. Meskipun demikian, bukan berarti kita harus merasa terbebani dengan pernikahan. Ingatlah bahwa Allah akan menambahkan rizki seseorang yang telah menikah. Ingatlah akan janji Allah yang akan memberikan ketentraman kepada mereka yang telah menikah. Ingatlah, bahwa dengan menikah kehormatan dan kemaluan kita akan lebih terjaga.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Ruum 21)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)

Dengan kedua Firman Allah dan sabda Rasulullah saw di atas, seyogyanya sudah tidak ada lagi ketakutan dalam diri kita untuk melengkapi setengah dien kita dengan menikah. Kita menikah bukan untuk melakukan kerusakan. Kita menikah untuk melaksanakan sunnah Rasulullah saw. Kita menikah untuk menjalankan perintah Allah swt.

Bagaimanapun juga, nikah adalah satu hal yang senantiasa diharapkan bagi umat muslim. Karena, nikah adalah termasuk salah satu sunnah Rasulullah Muhammad saw. Selain itu, Nabi Muhammad saw juga telah bersabda bahwa nikah adalah separuh dari agamanya. Maka, bagi mereka yang memiliki semangat ibadah yang tinggi, senantiasa bertakwa kepada Allah, dan Menjunjung tinggi Islam beserta seluruh ajaran yang terdapat di dalamnya, tentu saja nikah adalah sebuah mimpi dan misi yang akan senantiasa diperjuangkan. Bahkan, saat ini makin banyak pasangan-pasangan muda yang telah menghalalkan hubungan mereka dengan ikatan pernikahan. Pernikahan yang dilakukan oleh pasangan muda bukanlah hal yang aneh, karena Rasulullah saw-pun telah meneriakkan pernikahan kepada para pemuda yang telah mampu untuk menikah. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kata “telah mampu”. Kata “telah mampu” berkaitan dengan maslah nikah ini bukan berarti telah menjadi kaya atau serba berkecukupan. “telah mampu” disini mengandung arti, memiliki ilmu tentang nikah dan keluarga sakinah yang cukup, mampu membawa keluarga dalam ketaatan kepada Allah swt, dan memiliki penghasilan guna menafkahi keluarganya (sekali lagi, ia tidaklah harus kaya, andaipun ia kaya maka lebih baik).

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)

“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)

“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)

Sama halnya dengan nikah,Malam Pertama yang merupakan tindak lanjut yang tentunya ditunggu dengan harap-harap cemas setelah akad nikah ini, juga menjadi sepasang kata yang mampu menanamkan beberapa pasang rasa di hati mereka yang belum menikah, yang akan menikah, dan juga yang baru menikah. Ada rasa malu tapi mau, ada rasa takut tapi ditunggu-tunggu, ada rasa nyaman tapi kadang gelisah, dan segudang pasangan rasa lainnya.

Disisi lain, ada pula yang menjadikan Malam Pertama yang sudah merupakan bagian dari sebuah pernikahan sebagai momok yang menakutkan. Ada yang merasa takut tidak akan bisa memuaskan pasangannya. Ada yang tersiksa dengan bayang-bayang kekerasan seks, dan lain-lain. Namun, bagi mereka yang mengerti “Bagaimana sih menikah dan Malam Pertama” dalam kacamata islam, tentunya mereka tidak perlu mecemaskan hal tersebut.

Malam Pertama adalah ritual yang sudah menjadi rutinitas awal yang akan dilakukan dan dilalui oleh sepasang pengantin baru, setelah melewati akad nikah dan atau resepsi pernikahan. Tidak ada seorangpun yang telah menikah atas dasar iman, yang akan menolak ritual suci tersebut. Dalam kacamata cinta, Malam Pertama adalah sebuah ritual suci yang senantiasa diimpikan oleh mereka yang baru menikah. Begitu pula dalam kacamata islam. Islam tidak pernah memandang ritual Malam Pertama sebagai satu aktivitas yang buruk. Islam menempatkan ritual Malam Pertama sebagai salah satu bentuk ibadah. Ritual Malam Pertama adalah salah satu bentuk penunaian kewajiban antara dua orang yang saling mengasihi dan telah terikat secara sah dalam hukum islam, yaitu ikatan pernikahan.

Sucinya ritual Malam Pertama dalam pandangan islam ini terbukti dengan adanya adab-adab Malam pertama yang dicontohkan oleh Suri Tauladan terbaik kita, Rasulullah saw. Dan adanya adab bersenggama yang tercantum dalam kitab suci Al Quran, adalah melengkapi bukti bahwa Islam tidak memandang Malam Pertama sebagai aktivitas yang buruk. Sebagai umat muslim, hendaknya kita mengetahui dan bisa mnejalankan adab-adab Malam Pertama sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya tersebut. Insya Allah, hal tersebut akan memberikan barokah bagi pernikahan kita. Amin.

Berikut ini adalah, adab-adab Malam Pertama dan Bersenggama sesuai dengan Sunnah Rasulullah dan Al Quran:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya.

Nikah adalah sebuah kebaikan, dan segala kebaikan hendaklah dimuali dengan bismillah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: yang artinya : “Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.
Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua…!”

Hadits dari Abu Waail.
Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.”

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Salah satu bentuk legalitas islam atas cumbu rayunya ornag-orang yang telah menikah adalah adnya sabda Rasulullah saw yang mengajarkan hal tersebut dalam lingkaran pernikahan sejak baru menikah. Hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.”

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.”

Hendaknya, doa di atas senantiasa menjadi kebiasaan kita manakala hendak melakukan hubungan suami isteri. dengan demikian, niscaya pernikahan kita hanya akan melahirkan anak-anak yang sholeh dan sholehah. Amin.

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” QS. Al-Baqarah : 223)

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

“Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai…” (QS. Al-Baqarah : 223)

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh”.

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya”.

Keenam: Setelah melepaskan hajat biologisnya, janganlah seorang suami tergesa-gesa bangkit

Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.”

Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi’ radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi’ berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

“Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.”

Ketujuh: Seorang Suami Boleh Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja

Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.”

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya – atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.”

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.
Allah Ta’ala berfirman:

““Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” . (QS. An-Nuur : 30)

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

“Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”.

Kedelapan: Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]
Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.”

Kesembilan: Haram Bersenggama ketika Isteri sedang Haid atau Nifas

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”

Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima’/ bersetubuh).”

Pernikahan yang senantiasa diharapkan oleh setiap orang, tentunya sebuah pernikahan yang dapat berlanjut pada malam pertama. Kemudian pernikahan tersebut dapat langgeng, melahirkan anak-anak yang sholeh dan sholehah, dan tentunya sebuah pernikahan yang dapat menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah.

Ada sebagian orang, baik yang belum menikah, yang sudah menikah, maupun yang baru menikah, senantiasa mencari solusi agar mendapatkan tatacara bersenggama yang baik dan Malam Pertama yang indah. Ada yang datang ke pakar pernikahan atau pakar seks. bahkan ada pula yang melakukannya dengan jalan yang sangat keliru, yaitu dengan memperbanyak menonton film porno. Justru dengan jalan yang salah inilah, maka pernikahan dan malam pertama tidak akan menjadi barokah, bahkan justru bisa saja menjadi ritual yang diwarnai dengan kekerasan seks. Terkadang, kita sebagai seorang muslim lupa akan tuntunan islam sendiri. Padahal, Islam telah membuka masalah pernikahan, malam pertama, dan bersenggama ini secara menyeluruh. Tentunya sebuah tuntunan yang akan membawa pernikahan kita kepada barokah dan kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Malam Pertama dan Nikah, memang dua buah ritual yang saling mengikat satu sama lain, yang senantiasa ditunggu-tunggu dengan harap-harap cemas. Nikah dan Malam Pertama adalah sepasang ritual suci yang akan senantiasa terjaga manakala kita sebagai umat muslim melakukannya sesuai dengan tuntunan agama islam. Ketahuilah, bahwa islam adalah agam yang menyeluruh, yang ajarannya mencakup segala aspek termasuk dalam pernikahan dan Malam Pertama. Untuk hal-hal kecil saja islam telah mengaturnya, apalgi untuk masalah penting seperti nikah dan Malam Pertama ini? Tentu saja islam tidak akan melupakannya.

Ingatlah salah satu dari enam nasehat yang disampaikan kepada murid-muridnya, bahwa yang paling berat di dunia ini adalah “nafsu”. Sebagai manusia yang dilahirkan dengan nafsu, tentunya kita tidak dapat memungkiri akan kuatnya nafsu biologis yang kadang menyerang. dan tidak ada obat yang paling mujarab untuk menangulangi masalah ini kecuali Nikah atau Puasa. Maka jika kita telah merasa mampu untuk menikah, mengapa tidak kita segerakan? Dan seandainya kita merasa belum mampu atau belum siap untuk menikah, maka kapankah perasaan siap itu akan datang? Rasa siap untuk menikah tidak akan datang, kecuali kita sendiri yang berusaha untuk mepersiapkannya. Bagaimana kita merasa siap untuk berlayar jika kita sendiri tidak pernah berusaha untuk mempersiapkannya. Mari persiapkan diri kita untuk menikah dengan memperbanyak ilmu agama dan ilmu nikah, serta usaha (mencari rizki dengan lebih giat) dan doa.

Jangan biarkan ketidaksiapan kita untuk menikah membukakan pintu secara lebar kepada nafsu yang senantiasa menaungi kita. jangan biarkan ketakutan kita untuk menikah, menjadi angin segar bagi syeithon untuk menguasai hawa nafsu kita. Sekali lagi kami tekankan, cegahlah hawa nafsu yang selalu berusaha untuk menguasaimu dengan menikah. Buatlah dirimu agar menjadi siap untuk berlayar dalam bahtera pernikahan. Sambut malam pertamamu dengan pernikahan. Arungi malam pertamamu dengan sampan islam.

Demikianlah, semoga artikel ini dapat memberikan manfaat dan barokah bagi pernikahan kita semua. Amin.



Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLI K di bawah ini :

Solusi Memberantas Korupsi

KPK Pertama kali seperti singa yang tak takut mati. Kejahatan korupsi menjadi santapan pasti, tak ada menu lain sebagai pengganti. Tampaknya harapan baru bukan lagi sebatas mimpi, karena pedang KPK tajam di kedua sisi. Tak pandang siapa yang korupsi, kerabat orang nomor satu di negeri inipun disambangi tanpa ngeri. Tapi entah asli atau hanya sandiwara lagi, sebab kini korupsi kembali merajai. KPK seperti kehilangan nyali. Dan bila KPK memang kehilangan nyali, lantas bagaimana korupsi kan hilang dari negeri tercinta ini?

Tak pantas memang bila kita hanya menyalahkan K
PK atas sandiwara korupsi yang terus asik berputar di panggung negeri ini. Sebab, toh KPK hanyalah buatan manusia dengan pejabat-pejabat yang diseleksi oleh manusia, dan berpegang pada aturan-aturan yang dibuat oleh manusia pula. Seperti yang kita ketahui juga, manusia tuh tempatnya salah dan lupa. Ketakutan dan kekhawatiran yang terkadang muncul pun bukanlah satu hal yang memang tidak bisa dipungkiri oleh manusia. Namun kembali lagi, itulah manusia yang tempatnya adalah salah dan lupa.

Korupsi di negeri Indonesia tercinta ini rasanya tak ubahnya seperti rasa gatal yang menyerang kulit. Semakin di garuk semakin gatal dan semakin banyak menyebar. Korupsi dan rasa gatal, sama-sama penyakit, sama-sama mudah menyebar. Perbedaannya, beberapa rasa gatal bila ditahan dan didiamkan dapat hilang dengan sendirinya. Sementara korupsi, jika didiamkan semakin menjadi-jadi dan menjamuri setiap pejabat negrei, dan jika dikejar akan berlari tak kenal kata henti, mencari tempat sembunyi bahkan sampai ke luar negeri. Pura-pura sakit itu dan ini, bahkan ada yang sampai mengaku lupa diri (Ups… maksudnya lupa ingatan, kalau lupa diri mah sudah pasti).

Memang perkara korupsi tampaknya sangat sulit untuk dibasmi. Katanya, para pelakunya seperti seekor belut yang sangat gesit dan licin. Sebenarnya tidak juga. Semua itu karena pelaku korupsi sebagian besar adalah pejabat negeri. Dan yang kedua, pastinya karena lemahnya atau berantkaannya hukum di negeri ini. Maklumlah, namanya juga hukum buatan manusia. Alih-alih ingin menegakkan hukum, justru koruptor dan petugas hukum malah main kucing-kucingan di atas hukum itu sendiri.

Sebenarnya, Islam memiliki satu cara yang mudah untuk menjerakan para pelaku korupsi. Sebenarnya koruptor adalah nama lain dari pencuri atau maling. Korupsi, adalah nama lain dari mencuri atau nyolong. Islam mengajarkan satu hukuman yang cukup menjerakan bagi seorang pencuri atau maling, yaitu kedua tangannya dipotong. Nah, korupsi kan sama dengan mencuri atau nyolong, harusnya ia pun mendapat hukuman potong kedua tangannya. Kalau hukum Islam ini dimasukkan dalam Undang-Undang Negara RI kemudian diterapkan dengan benar, Insya Allah para pejabat akan berpikir seribu kali untuknyolong duit rakyat alias korupsi. Jangankan para pejabat, bahkan pemulung pun akan berpikir kembali untuk mengambil sandal butut di emperan masjid. Karena Islam memandang kepada nilai perbuatannya, bukan jumlah hasil dari perbuatannya.

Jadi opini saya sieh… Hukum Islam (potong kedua tangan) bagi para pelaku korupsi (koruptor) memiliki potensi yang sangat besar untuk memberikan efek jera bagi yang berpengalaman dan efek berpikir seribu kali bagi yang ingin mencoba.

Memang hukuman ini terdengar sangat ekstrim, tapi bukankah Korupsi merupakan kejahatan yang juga sangat ekstrim. Bahkan ada hukuman yang lebih ekstrim lagi bagi para koruptor, yaitu hukuman mati yang diterapkan oleh pemerintah Negara China yang tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati bagi para koruptor di Negara yang dipimpinnya itu. Presiden China Hu Jin Tao bahkan sampai menyiapkan 100 peti mati bagi para koruptor, 99 peti mati diperuntukkan bagi para pejabatnya yang terbukti melakukan korupsi, sedangkan satu peti disiapkan special untuk dirinya jika kelak ia terbukti korupsi.

Nah, kapankah para pemimpin di negeri dapat menerapkan hukum yang tegas bagi para koruptor yang menggerogoti uang Negara? Yaaa… ga perlu nyiapin peti mati, cukup di potong aja kedua tangannya sesuai hukum Islam.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” QS. Al Maidah (5): 38

“Demi Allah , seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, niscaya akan saya potong tangannya,”. (HR. Bukhari)



Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLI K di bawah ini :

Kapan Ulama Indonesia Bersatu Untuk Indonesia

Ada satu tanda tanya yang sering kali mencuat dalam benak penulis berkaitan dengan Kepemimpinan dan Hukum yang berlaku di negeri ini (Indonesia). Satu pertanyaan yang pernah pula dipertanyaan oleh banyak pihak, dan mungkin pernah pula dijawab pula oleh Pemimpin ataupun Wakil-Wakil negeri ini. Namun, sampai saat ini pertanyaan itu tetap mengusik karena jawaban para Pemimpin maupun Wakil-Wakil negeri ini sangat tidak logis, tidak memuaskan, dan tidak pula menunjukkan sebagai jawaban yang keluar dari orang-orang yang berilmu.

Pertanyaan itu adalah :
  “Kenapa Pemimpin negeri ini tidak menerapkan saja hukum Islam dalam tata kepemerintahannya?”.
Jawaban mereka yang tidak logis dan justru menunjukkan sebagai jawaban dari orang-orang yang tidak berilmu adalah, “Karena Indonesia bukanlah Negara Islam!”.

Kalau demikian adanya, kenapa para Pemimpin negeri ini banyak sekali mengadopsi hukum barat untuk membuat atau melengkapi Undang-Undangnya? Kenapa seringkali mereka melakukan kunjungan ke luar negeri, ke Negara-negara yang notabene-nya adalah Negara Barat atau Yahudi untuk melakukan studi banding berkaitan dengan Undang-Undang kenegaraan? Apakah Indonesia ini Negara Barat? Atau apakah Indonesia ini Negara Yahudi?

Indonesia adalah Negara Timur, bukan Barat. Indonesia adalah Negara yang mayoritas berpenduduk muslim, bahkan menjadi salah satu Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, bukan Negara yang berpenduduk mayoritas Yahudi. Lantas kalau demikian adanya, apa yang menjadi landasan bagi para Pemimpin negeri ini untuk membuat Undang-Undang dengan cara mengadopsi dari negeri Barat atau Yahudi? Terlebih lagi, penggunaan Undang-Undang hasil adopsi itu dalam prakteknya banyak sekali menimbulkan PERTENTANGAN antara butir yang satu dengan butir yang lain, antara pasal yang satu dengan pasal yang lain saling adu jotos, sehingga banyak kasus yang semakin diproses bukannya semakin cepat selesai tapi justru semakin menjadi rancu bahkan tidak sedikit yang menghilang dalam remang. Hukum tak ubahnya seperti permainan sepak bola, pihak mana yang paling lihai mengecoh dan paling jitu trik-nya maka dialah yang akan keluar sebagai pemenangnya. Begitulah hukum di negeri ini berjalan saat ini, tak peduli siapa penjahatnya, siapa aparat penegak hukumnya, siapa korbannya. Siapa yang paling mantap siasatnya dan paling lihai mengecoh, maka ia-lah yang akan keluar sebagai pemenangnya, meskipun ia adalah penjahatnya.

Para pemimpin negeri ini tidak pernah takut untuk tetap mengadopsi Undang-Undang ala Barat atau Yahudi meskipun Undang-Undang itu sampai saat ini sering kali membodohi diri mereka sendiri. Mata dan telinga mereka seolah telah tertutup meskipun ratusan juta masyarakat di bawahnya menghujani mereka dengan sumpah serapah dan cibiran karena Undang-Undang mereka yang mereka buat telah membodohi mereka sendiri dalam berbagai kasus yang semakin menjadi benang kusut.

Benar-benar satu keanehan dan kebodohan yang nyata, manakala menjadikan Undang-Undang Barat atau Yahudi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sejarah, falsafah, budaya, ataupun agama sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai hukum Negara. Benar-benar satu kekonyolan yang nyata manakala para pemimpin negeri ini tetap mempertahankan perangkat Barat atau Yahudi yang secara nyata telah menimbulkan banyak pertentangan di dalam pemerintahan itu sendiri.

Duhai para pemimpin negeri yang kami hormati, negeri ini bukan negeri Barat atau Yahudi namun kalian tetap berhasrat dan setia untuk menganut paham Undang-Undang mereka. Lantas kenapa kalian tidak mau mencoba untuk menerapkan hukum Islam di negeri yang jelas-jelas berpenduduk mayoritas umat Islam ini? Apakah yang kalian takutkan? Apa yang menghalangi kalian? Apa yang membuat kalian ragu? Apakah kalian belum tahu bagaimana sejarah kejayaan Islam yang luar biasa dengan ketetapan hukumnya? Wahai para Pemimpin negeri yang masyoritas juga beragama Islam (katanya), apakah kalian tidak malu dengan lebih memilih Barat atau Yahudi sebagai kiblat untuk membuat Undang-Undang ketimbang agama kalian sendiri? Apakah kalian lebih meyakini hukum karangan manusia yang sudah pasti banyak kelemahan dan pertentangannya satu sama lainnya ketimbang hukum buatan Zat Yang Maha Sempurna?

Jika kalian mengkhawatirkan atau berargumentasi bahwa hukum Islam akan merugikan segelintir pihak yang mengaku nonmuslim, maka sadarilah bahwa kalian telah jelas-jelas merugikan ratusan juta rakyat muslim yang ada di negeri ini. Dan renungkanlah dengan logika, hati dan keimanan, bahwa sungguh tidak sedikitpun hukum Islam akan menzhalimi jika ditegakkan dengan sebaik-baiknya, karena Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin (rahmat atau kasih sayang bagi semesta alam)



Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLI K di bawah ini :

Etika Mencukur Rambut Bayi

“Rambut adalah mahkota”, itulah salah satu ungkapan populer yang menggambarkan betapa pentingnya peranan rambut bagi seseorang. Dan ungkapan inilah yang mengakibatkan banyak orang lebih memilih memanjangkan rambutnya, ket
imbang memotongnya. Namun hal ini tidak berlaku pada bayi. Orang tua biasanya cenderung lebih memilihkan potongan rambut pendek bagi mereka ketimbang rambut panjang. Namun hal ini rupanya tidak berlaku pada bayi.

Sebaliknya, bayi hendaknya senantiasa dipotong pendek. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya tentu saja dengan rambut pendek si bayi akan lebih aman, tidak mudah kepanasan, lebihmudah merawatnya, dan lain-lain.

Memotong atau mencukur rambut bayi merupakan salah satu tradisi yang biasa dijalankan dalam serangkaian aktivitas menyambut kelahiran si bayi tersebut. Biasanya, aktivitas ini dilakukan pada hari kelahirannya yang ketujuh. Ini adalah satu pekerjaan yang gampang-gampang susah. Meskipun hanya sekedar mencukur rambut bayi, namun ritual ini ternyata tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Ada etika-etika yang harus mereka lakukan seiring dengan pelaksanaan ritual tersebut.

Berikut ini adalah beberapa etika yang hendaknya dilakukan ketika hendak melakukan ritual pencukuran rambut bayi:

1. Dimulai dari sebelah kanan

Mencukur hendaknya dimulai dari kepala sebelah kanan, bukan dari sebelah kiri. Hal ini juga berlaku ketika melakukan pencukuran rambut secara umum (orang dewasa).

2. Hanya jika memungkinkan

Ritual pencukuran rambut bayi hendaknya hanya dilakukan jika si bayi memang memiliki rambut. Jika si bayi tidak memiliki rambut, atau memang jika rambut si bayi terlalu sedikit untuk dicukur, maka tidak perlu dilakukan ritual pencukuran rambut pada si bayi.

3. Menyeluruh

Jangan mencukur rambut bayi sebagian-sebagian. Lakukan pencukuran rambut dengan menyeluruh atau merata.

4. Menanam rambut

Diperbolehkan mengubur rambut yang telah dicukur di tanah. Selain sebagai salah satu cara yang mudah yang dapat dilakukan untuk membuang bekas potongan rambut, mengubur rambut yang telah dicukur juga merupakan salah satu hal yang dianjurkan di dalam ajaran agama Islam.


Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLI K di bawah ini :

Agama dan Adat Istiadat

Ada kesalahkaprahan pada sebagian orang dalam menyikapi masalah agama dan adat. Kesalahkaprahan ini terutama disebabkan adanya pengaruh pemikiran orang-orang lama atau kebiasaan orang-orang terdahulu tanpa disertai dasar yang benar kecuali hanya berdasarkan pada prasangka atau mengira semata. Di dalam Al Quran, orang-orang lama atau orang-orang terdahulu ini dikenal atau dapat dikategorikan sebagai nenek moyang.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.”(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” QS. Al Baqarah (2):170

Kesalahkaprahan cara pandang dan bersikap dalam lingkup agama dan adat ini kemudian terus menjalar meracuni banyak generasi masa kini karena kebodohan dan kemalasan generasi masa kini sendiri. Kebodohan dalam hal memaknai agama dan adat dengan sebenar-benarnya (dengan ilmu yang benar), serta kemalasan mereka untuk mencari tahu, mempelajari maupun mendalami agama dan adat itu sendiri. Kesalahkaprahan ini kemudian didukung kembali oleh kekerasan hati mereka dalam menerima masukan atau berbagai nasehat dari orang-orang shaleh. Kekerasan hati yang menimbulkan perasaan “sudah benar” sehingga tidak pernah berpikir atau berusaha untuk mencari kebenaran yang sebenarnya.

Kesalahkaprahan pemahaman itulah yang mengakibatkan banyaknya pencampuradukan antara yang haq dengan yang bathil. Betapa banyak orang (khususnya umat muslim) yang mencampuradukkan antara agama dan adat. Memaksakan bagaimanapun caranya “pokoknya agama harus selalu berjalan seiring dengan adat”. Tidak masalah bila agama yang dijadikan adat atau yang mendominasi adat, yang menjadi masalah adalah manakala adatlah yang dijadikan agama atau mendominasi agama. Bahkan banyak yang pada akhirnya menghilangkan aturan agama manakala bertentangan dengan aturan adat. Padahal, tidak ada dosa bagi yang meninggalkan adat, dan jelas dosa bagi mereka yang meninggalkan aturan agama.

Ada rasa tidak enak, kekhawatiran atau ketakutan manakala mereka merasa meninggalkan atau hendak mengenyampingkan adat. Namun dengan ringannya mereka menghapuskan aturan-aturan agama yang mereka anggap bertentangan dengan norma-norma adat. Padahal, rahmat Allah swt hanyalah turun karena adanya ketaatan terhadap aturan agama, bukan ketaatan terhadap adat.

Berangkat dari berbagai penyimpangan masyarakat dalam menyikapi kaitan antara agama dan adat ini akhirnya berujung pada satu titik, kemusyrikan. Keyakinan yang lebih tinggi kepada adat atau tradisi ketimbang agama, sama halnya dengan lebih meyakini ciptaan manusia ketimbang ciptaan Allah swt. Lebih memilih untuk taat atau patuh kepada aturan manusia ketimbang pada perintah dan larangan Allah swt. Meyakini bahwa mudharat dan masalahat disebabkan oleh ketaatan atau ketidaktaatan mereka terhadap adat bukan terhadap aturan Allah swt yang terangkum dalam norma agama. Padahal Allah swt telah menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang berkuasa untuk menurunkan atau menghilangkan kemudharatan maupun kemasalahatan.

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. At Taghabun (64):11
“Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” QS. Al Hajj (22):12

Ada yang mengatakan bahwa agama dan adat harus berjalan bersamaan. Faktanya, tidak semua adat akan sesuai dengan norma agama. Sebaliknya, tidak semua norma agama pun sesuai dengan adat yang berlaku. Itu artinya, tidak selamanya agama dan adat dapat berjalan secara bersamaan. Dan apabila dipakasakan maka terjadilah apa yang disebut dengan mencampuradukkan antara yang haq dengan yang bathil.

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu[43], sedang kamu mengetahui.” QS. Al Baqarah (2):42
Saudaraku fillah, perlu ditegaskan kembali bahwa bagaimanapun keadaannya, norma atau aturan agama memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi ketimbang norma adat, bahkan paling tinggi di antara berbagai norma yang ada dalam kehidupan. Kenapa demikian? Berikut kami sampaikan beberapa perbedaan mencolok yang terdapat antara norma agama dan adat.

Norma agama bersumber dari Allah swt. Ia dibuat oleh Allah swt, Zat Yang Maha Sempurna, Yang menciptakan segala sesuatu yang ada di langit dan bumi serta yang ada di antaranya termasuk orang-orang (nenek moyang) yang membuat norma adat tersebut. Sementara norma adat bersumber dari manusia yang tercipta dari setetes air hina. Norma agama dibuat oleh manusia dengan segala kelemahannya, dengan pemikirannya yang hanya bagaikan setetes air di tengah lautan luas.

Norma agama bersifat Universal atau umum yang berlaku bagi siapapun dari kalangan apapun. Sementara norma adat hanya berlaku bagi sekelompok orang tertentu di tempat tertentu. Misal: adat yang berlaku bagi masyarakat Yogyakarta belum tentu berlaku bagi masyarakat Batak. Sementara norma agama berlaku bagi siapapun dan di manapun, tidak pandang bulu.

Norma agama bersifat abadi, ia berlaku sejak pertama kali dikeluarkan, yaitu pada masa Rasulullah saw sampai akhir zaman (kiamat) tidak akan mengalami perubahan. Sementara norma adat hanya berlaku pada masa atau waktu tertentu saja. Misal: Adat di suatu daerah akan berganti manakala terjadi pergantian kepemimpinan. Sementara norma agama tidak akan pernah berubah siapapun pemimpinnya.
Norma adat terkadang dapat menyebabkan kemusyrikan kepada Allah swt, sementara norma agama senantiasa akan selalu membersihkan hati dari kemusyrikan.

Itulah beberapa perbedaan antara norma agama dan adat. Jika memang demikian, lantas masih pantaskan kita untuk lebih mengutamakan adat ketimbang agama? Masih pantaskan kita mencampuradukkan antara agama dan adat? Tidak malukah kita mengkorupsi aturan agama manakala ia tidak sejalan dengan norma adat yang hanya buatan manusia?
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu[43], sedang kamu mengetahui.” QS. Al Baqarah (2):42

Cara Menghadapi Isteri Yang Keras Kepala

Entah dari zaman apa, tradisi pacaran ternyata sudah mendarah daging pada sebagian besar kehidupan manusia. Meksipun tidak menjanjikan apa-apa, tetap saja banyak yang percaya setia pada tradisi tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa dengan pacaran akan memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk saling mengenal dan memahami pasangan lebih mendalam. Kenyataannya, banyak pasangan pengantin yang sebelumnya telah menikmati masa pacaran dalam jangka waktu tahunan, namun ketika menikah masih menemukan banyak perbedaan dan perselisihan.

Bahkan, banyak pula orang-orang yang dikejutkan oleh pasangannya setelah menjalani rumah tangga. Seperti bom waktu yang tiba-tiba meledak dan memporak-porandakan segala tatanan dan keindahan. Hal ini seolah menjelaskan bahwa betapa pacaran itu penuh dengan topeng kepalsuan. Ketika pacaran hanya sifat-sifat baiknyalah yang ditampilkan, sedangkan sifat buruknya disembunyikan. Ketika menikah, sifat-sifat buruk itupun perlahan bermunculan dengan sendirinya.

Memang, banyak sekali kejutan-kejutan yang menyelingi kehidupan rumah tangga. Isteri kita yang pada awalnya (sebelum menikah) kita kenal sebagai seorang wanita yang lembut, penyayang, dan penurut, namun setelah menikah berubah 180 derajat. Wanita yang senantiasa kita idam-idamkan karena kerendahan hati, rasa solidaritas, dan kelapangan dadanya,tiba-tiba berubah menjadi wanita yang sangat egois ketika menempuh bahterah rumah tangga.

Isteri yang lembut, penurut, penyayang, menghormati dan menghargai suami bagaimanapun keadaaannya, taat beribadah, inilah isteri yang mungkin paling banyak diharapkan oleh para lelaki dan suami. Dalam agama Islam dikenal istilah isteri sholehah, yaitu isteri yang senantiasa menghormati dan mematuhi perintah suami, taat beribadah dan tidak suka berbuat ulah. Gambaran sifat-sifat isteri tersebut tentu saja menjadi impian dan harapan bagi setiap lelaki dan suami. Terlebih lagi jika ditambah dengan tubuhnya yang semampai, wajahnya yang cantik, kulitnya yang putih, halus dan lembut, berpendidikan dan berwawasan luas, keturunan orang kaya… lelaki mana yang tidak mau memiliki isteri dari golongan yang satu ini.

Sayangnya, tidak semua harapan dan impian kita itu dapat terwujud dengan sempurna. Bahkan, banyak yang gagal sepenuhnya. Keingingan untuk memiliki isteri yang lembut, penyayang, menghormati suami, dan taat beribadah sering kali hanya sebatas impian semata.

Wanita yang selama ini kita kenal penyayang, lembut, penurut, taat beribadah, rendah hati, dan memiliki rasa hormat yang tinggi, tiba-tiba berubah menjadi seorang isteri yang egois, mau menang sendiri, tidak peduli akan perasaan suami, suka mencemooh dan merendahkan suami karena penghasilannya yang pas-pasan atau karena hal lain.

Memiliki isteri yang egois memang merupakan salah satu cobaan yang berat bagi seorang suami. Harus tahan banting mendengar celoteh-celoteh pedasnya, harus memiliki kesabaran yang tinggi untuk menghadapi sikapnya yang keras kepala dan mau menang sendiri.

Memiliki isteri yang egois, mungkin memang sangat menyebalkan dan menyesakkan dada. Namun apapaun yang terjadi, dialah yang telah menjadi pilihan kita. Kita yang telah memilih dirinya, maka kita pula yang harus menerimanya. Isteri kita yang egois, itulah isteri kita, wanita yang dahulu kita puja dan kita impi-impikan. Maka ketika kita mendapatkan keburukannya, janganlah membenci atau meninggalkannya. Jangan pula menghadapinya dengan kekerasan dan keegoisan yang sama. Jangan mempertemukan api dengan api, karena tentu saja yang terjadi adalah api tersebut akan berkumpul dan membesar, melahap segala yang ada disekitarnya.

Anda tidak perlu kecewa dan putus asa jika memang isteri anda memiliki sifat egois. Carilah solusi dengan kepala dingin, karena segala permasalahan pasti ada solusinya. Berikut ini kami tuliskan beberapa langkah sederhana untuk menghadapi seorang isteri yang memiliki sifat egois:

a. Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu bentuk solusi dasar atau awal bagi sebagian besar permasalahan. Untuk itu, teruslah menciptakan dan mempertahankan kebiasaan berkomunikasi yang baik diantara suami isteri. Dengan adanya komunikasi yang baik antara suami dan isteri, kesalahpahaman antara keduanya pun akan berkurang, dan potensi timbulnya permasalahan di dalam keluarga pun dapat terminimalisir.

b. Nasehat
Jangan pernah bosan untuk memberikan nasehat kepada sang isteri untuk membiasakan diri dengan perkataan-perkataan yang baik. Sampaikan kepada sang isteri agar senantiasa berusaha untuk menyampaikan segala bentuk kritik, saran, maupun uneg-uneg kepada suami dengan bahasa dan sikap yang baik. Hal ini bertujuan untuk meminilasir tersinggung dan emosinya suami manakala mendapatkan kritik, saran, dan atau uneg-uneg tersebut.

c. Katakan dengan indah
Jika anda mendapatkan sesuatu yang tidak jelas maksud dan tujuannya dari isteri anda, hendaknya anda meminta penjelasan kepadanya dengan cara yang santun, dengan kata-kata yang sopan, dengan nada dan sikap yang penuh dengan kelembutan.

d. Waktu yang tepat
Lakukan langkah-langkah di atas pada waktu yang tepat. Tidak semua nasehat harus atau dapat disampaikan pada saat terjadinya suatu masalah. Dan tidak semua masalah dapat selesai pada saat itu juga. Jika memang isteri kita terlihat sedang sangat sensitif, jangan langsung mencekokinya dengan nasehat-nasehat (terlebih lagi dengan kritikan), hendaknya anda berikan waktu baginya untuk menenangkan diri terlebih dahulu.

Pada malamnya atau keesokan harinya, barulah anda menyampaikan nasehatnasehat tersebut dengan bijak setelah emosi sang isteri ternetralisir atau terminimalisir.

e. Kontinyu
Semua langkah-langkah di atas adalah rangkaian proses. Dan setiap proses tentunya membutuhkan waktu. Untuk itu, hendaknya kesabaran senantiasa menjadi landasan kuat dalam menjalankan langkah-langkah di atas. Lakukan semuanya dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan berkelanjutan.

Memiliki isteri sholehah, tentunya menjadi dambaan dan harapan setiap lelaki. Namun jika realita mengatakan bahwa isteri anda adalah wanita yang memiliki sifat egois, jangan lukai dia, jangan kecewakan dia, jangan membenci dia, jangan campakkan dia, dan jangan khianati dia. Tetap cintai dan sayangi dia, sebagaimana dahulu anda sangat memuja dan menyayanginya.

Mahar Dalam Pernikahan


Rukun Nikah IV : Mahar / Mas Kawin

Salah satu bentuk pemuliaan Islam kepada seorang wanita adalah pemberian mahar saat menikahinya. Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka.

Dahulu di zaman jahiliah wanita tidak memiliki hak untuk dimiliki sehingga urusan mahar sangat bergantung kepada walinya. Walinya itulah yang kemudian menentukan mahar, menerimanya dan juga membelanjakannya untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengantin wanita tidak punya hak sedikitpun atas mahar itu dan tidak bisa membelanjakannya.

Maka datanglah Islam menyelesaikan permasalahan ini dan melepaskan beban serta mewajibkan untuk memberikan mahar kepada wanita. Islam menjadikan mahar itu menjadi kewajiban kepada wanita dan bukan kepada ayahnya.

وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.(QS. An-Nisa: 4)

وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan dosa yang nyata ?. (QS. An-Nisa:20)

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.(QS An-Nisa: 21)

Pemberian mahar akan memberikan pengaruh besar pada tingkat keqowaman suami atas istri. Juga akan menguatkan hubungan pernikahan itu yang pada gilirannya akan melahirkan mawadah dan rohmah.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara . Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS An-Nisa : 34)

Nilai Mahar

Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.

Dan bila dicermati secara umum, nash-nash hadits telah datang kepada kita dengan gambaran yang seolah tidak mempedulikan batas minimal mahar dan juga tidak batas maksimalnya. Barangkali karena kenyataannya bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sebagian dari mereka kaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.

Maka berapakah harga mahar yang harus dibayarkan seorang calon suami kepada calon istrinya sangat ditentukan dari kemampuannya atau kondisi ekonominya.

Banyak sekali nash syariah yang memberi isyarat tentang tidak ada batasnya minimal nilai mahar dalam bentuk nominal. Kecuali hanya menyebutkan bahwa mahar haruslah sesuatu yang punya nilai tanpa melihat besar dan kecilnya.

Maka Islam membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan bacaan qur'an atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.

a. Sepasang Sendal

    Dari Amir bin Robi'ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?". Dia menjawab," Rela". Maka Rasulullahpun membolehkannya (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).

b. Hafalan Quran :

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya". Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini" Nabi menjawab,"bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu". Dia berkata," aku tidak mendapatkan sesuatupun". Rasulullah berkata, " Carilah walau cincin dari besi". Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?". Dia menjawab,"Ya surat ini dan itu" sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu" (HR Bukhori Muslim).

Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda," Ajarilah dia al-qur'qn".

Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

c. Tidak Dalam Bentuk Apa-apa :

Bahkan diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahara untuknya.

Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata," Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya". Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa'i 6/ 114).

Semua hadist tadi menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat.

Demikian pula dalam batas maksimal tidak ada batasannya sehingga seorang wanita juga berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal jika memang itu kehendaknya. Tak seorangpun yang berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia menginginkan mahar yang mahal.

Bahkan ketika Umar Bin Khattab Ra berinisiatif memberikan batas maksimal untuk masalah mahar saat beliau bicara diatas mimbar. Beliau menyebutkan maksimal mahar itu adalah 400 dirham. Namun segera saja dia menerima protes dari para wanita dan memperingatkannya dengan sebuah ayat qur'an. Sehingga Umar pun tersentak kaget dan berkata,"Allahumma afwan, ternyata orang -orang lebih faqih dari Umar". Kemudian Umar kembali naik mimbar,"Sebelumnya aku melarang kalian untuk menerima mahar lebih dari 400 dirham, sekarang silahkan lakukan sekehendak anda".

Mahar Yang Baik Adalah Yang Tidak Memberatkan

Meskipun demikian tentu saja tetap lebih baik tidak memaharkan harga mahar. Karena Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist:

Dari Aisyah Ra bahwa Rasulullah SAW bersabda," Nikah yang paling besar barokahnya itu adalah yang murah maharnya" (HR Ahmad 6/145) ÿ