Hari-hari Tasyriq

Hari-hari Tasyriq (Tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah)
Amalan yang dilakukan :
  1. Para jamaah haji kembali menuju Mina pada Hari Raya setelah thawaf dan sa'i. Mereka tinggal di sana sampai selesai hari-hari tasyriq dan malam-malamnya. Bagi mereka yang hendak meninggalkan Mina pada tanggal dua belas, maka wajib baginya menginap malam sebelas dan malam dua belas. Adapun malam tiga belas bagi mereka yang ingin tetap tinggal.
  2. Melempar jumrah yang tiga, dimulai dari jumrah yang kecil (Sughra), sedang(Wustha) kemudian yang besar (Aqabah). Melempar pada setiap jumrah tujuh kerikil secara berurutan dan bertakbir pada setiap lemparan. Lempar jumrah dilakukan setelah tergelincirnya matahari.
  3. Disunnahkan setelah melempar untuk ke samping kanan dan menghadap kiblat lalu berdoa dalam waktu yang lama sambil mengangkat kedua tangan. Ini dilakukan di Jumrah Sughra (kecil) dan Wustha (tengah). Dan tidak dilakukan di Jumrah 'Aqabah.
  4. Thawaf Wada', inilah amalan haji yang terakhir.
  5. Memanfaatkan hari-hari (haji) dalam rangka ketaatan pada Allah yaitu dengan membaca Al-Qur'an, dzikir dan takbir dll.

Nasehat atas beberapa kesalahan:
  1. Tidak berdoa di samping Jumrah Sughra dan Wustha.
  2. Melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari padahal waktu melempar dimulai dengan tergelincirnya matahari.
  3. Melempar kerikil dengan kasar sambil berteriak dan mencela yang diarahkan untuk setan-setan menurut anggapan mereka. Ini adalah suatu kejahilan. Disyari'atkan melempar jumrah adalah untuk mengingat Allah. Karena itulah nabi r bertakbir setiap kali melempar.
  4. Berdoa di samping Jumrah 'Aqabah.
  5. Sebagian jamaah haji memulai melempar dari Jumrah 'Aqabah kemudian Wustha lalu Sughra, ini adalah keliru. Yang benar adalah sebaliknya.
  6. Melempar kerikil sekaligus dengan satu tangan, ini adalah kesalahan fatal. Sebagian ulama mengatakan: (Jika seseorang melempar dengan satu tangan lebih dari satu kerikil, maka tidak teranggap kecuali satu kerikil saja). Yang wajib yaitu melempar satu kerikil satu kerikil sebagaimana yang dilakukan nabi r.
  7. Sebagian jamaah haji meremehkan dalam melempar jumrah. Sehingga anda dapati mereka mewakilkan pada orang lain padahal mereka mampu melakukannya. Ini adalah menyelisihi apa yang Allah Ta'ala perintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dalam firman-Nya:"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah" (Q.S Al-Baqarah 196)
  8. Sebagian mereka mewakilkan dalam melempar lalu meninggalkan (Mina) pada sore hari tanggal sebelas (Dzul Hijjah), sehingga ia tidak menginap (malam dua belas) dan tidak melempar (untuk keesokan harinya).
  9. Sebagian jamaah haji pada hari raya berangkat dari Mina untuk menunaikan thawaf wada' sebelum melempar jumrah, lalu mereka kembali (ke Mina) untuk melempar jumrah lantas kembali (ke negeri mereka). Ini adalah tidak diperbolehkan, karena menyelisihi perintah nabi r agar akhir perjanjian jamaah haji adalah (thawaf) mengelilingi ka'bah/Thawaf wada', sebagai amalan terakhir jamaah haji.
Kami memohon pada Allah Yang Maha Pemurah agar mengabulkan amalan shalih kita semua, semoga shalawat dan salam tetap tercurah nabi kita Muhammad, keluarga serta para shahabat beliau.

بسم الله الرحمن الرحيم


Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam tetap terlimpah pada yang tidak ada nabi sesudahnya, Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba'du:

Saya telah menelaah penjelasan dan peringatan berkaitan dengan amalan haji dan apa yang dilakukan jamaah haji selama musim haji. Dan beberapa kesalahan yang terjadi pada sebagian orang. Saya mendapatkan tulisan ini cocok dan isinya adalah benar. Bagi setiap muslim agar mempelajari tuntunan nabi dan menerapkannya. Allah-lah Maha Pemberi taufik. semoga shalawat dan salam tetap tercurah nabi kita Muhammad, keluarga serta para shahabat beliau.  Syaikh Abdullah bin Abdurrhaman Al-Jibrin 



Malam Muzdalifah

Amalan yang dilakukan:
  1. Dari Arafah berangkat menuju Muzdalifah setelah terbenamnya matahari dengan penuh sakinah dan khusyu'.
  2. Shalat Maghrib dan Isya secara jamak dan qashar dengan satu adzan dan dua iqamah sesampainya di Muzdalifah.
  3. Jika jamaah haji tidak mungkin sampai di Muzdalifah sebelum pertengahan malam, maka untuk lebih hati-hatinya agar shalat maghrib dan isya di jalan.
  4. Bersegera tidur setelah shalat dan tidak sibuk dengan hal lainnya.
  5. Menginap di Muzdalifah. Ini adalah hal yang wajib. Diperbolehkan bagi orang-orang yang lemah baik laki maupun perempuan untuk meninggalkan Muzdalifah di akhir malam setelah bulan tidak tampak lagi. Adapun siapa yang tidak lemah atau bersama orang yang lemah, maka ia tetap tinggal di Muzdalifah hingga Shalat Fajar/Subuh sebagai realisasi mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.
  6. Bersegera melakukan Shalat Fajar, kemudian menuju Masy'aril haram lalu mengesakan Allah dan bertakbir dan berdoa apa yang ia inginkan sampai langit terlihat kuning sekali. Jika tidak mudah baginya menuju Masy'aril Haram, maka hendaklah ia berdoa di tempatnya. Berdasarkan sabda nabi  : "Aku berada di sini dan Muzdalifah seluruhnya adalah mauqif".

Nasehat atas beberapa kesalahan:
  1. Tidak berusaha menghadap kiblat ketika Shalat Maghrib, Isya atau Subuh. Yang wajib bagi jamaah haji adalah bertanya pada orang yang tahu arah kiblat.
  2. Di Muzdalifah sibuk memungut kerikil sebelum shalat, padahal kerikil boleh di pungut di Mina atau lainnya.
  3. Tidak berusaha mencari batas Muzdalifah ketika bermalam di sana.
  4. Mengakhirkan Shalat Maghrib dan Isya hingga pertengahan malam. Ini tidak diperbolehkan.
  5. Sebagian jamaah haji meninggalkan Muzdalifah sebelum pertengahan malam dan tidak menginap di sana padahal itu adalah termasuk dari wajib haji.
  6. Dispensasi bagi mereka yang kuat untuk meninggalkan Mina sebelum subuh, padahal yang mendapatkan keringanan adalah mereka yang lemah. Adapun selain mereka, maka sebelum terbitnya matahari.
  7. Menghidupkan malam Muzdalifah dengan shalat, dzikir atau membaca Al-Qur'an. Ini adalah menyelisihi Sunnah.
  8. Mengakhirkan Shalat Subuh hingga mendekati terbitnya matahari atau setelahnya.
  9. Tidur setelah Shalat Subuh.
  10. Tergesa-gesanya jamaah haji ketika meninggalkan (Muzdalifah) dengan kendaraan mereka dan berdesakan dengan jamaah haji sehingga terjadi kecelakaan.

Yang dimaksud adalah Quzah, yaitu gunung yang sangat terkenal di Muzdalifah. Hadits ini merupakan hujjah/alasan para ulama fikih bahwa Masy'ar il Haram adalah Quzah. Jumhur ulama tafsir dan sejarah serta ulama hadits berkata: Masy'aril Haram adalah seluruh wilayah Muzdalifah. Lihat Syarah Muslim oleh Imam Nawawi rahimahullah (pent)

Hari Arafah

Hari Arafah (Tanggal sembilan Dzul Hijjah)

Amalan yang dilakukan:
  1. Menuju Arafah setelah terbitnya matahari pada tanggal sembilan Dzul Hijjah.
  2. Tinggal sementara di Masjid Namirah hingga tergelincirnya matahari jika hal ini mudah dilakukan. Jika tidak, maka tidak mengapa, karena hukumnya adalah sunnah.
  3. Shalat Dzuhur dan Ashar secara jamak dan qashar (jamak takdim) seperti yang dilakukan Nabi r agar tersedia banyak waktu untuk berada di Arafah dan berdoa.
  4. Disunnahkan bagi jamaah haji ketika di Padang Arafah untuk bersungguh-sungguh dalam dzikir, berdoa dan merendahkan diri pada Allah Ta'ala. Ketika berdoa, hendaklah mengangkat kedua tangan. Jika ia bertalbiyah atau membaca Al-Qur'an maka itu juga baik.
  5. Berada di Padang Arafah hingga terbenamnya matahari.
  6. Berbuat kebaikan pada sesama jamaah haji dengan memberikan minuman dan membagi makanan.

Nasehat atas beberapa kesalahan:
  1. Berada di luar batas Arafah. Padahal perbatasan Padang Arafah sudah ditandai dengan jelas. Berada di Padang Arafah adalah rukun yang tidak sempurna ibadah haji melainkan dengannya. (Lembah 'Uranah bukan termasuk dari Arafah).
  2. Sebagian jamaah haji meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari. Ini adalah tidak diperbolehkan karena menyelisihi As-sunnah (tuntunan nabi r). Beliau menetap di sana hingga terbenamnya matahari.
  3. Berpayah-payah menuju ke bukit (rahmah) dan menaikinya serta mengusapnya dan meyakini bahwa ia memiliki keutamaan. Hal ini adalah tidak ada dasarnya dari amalan nabi r.
  4. Sebagian jamaah haji menghadap Jabal Rahmah ketika berdoa, walaupun kiblat di belakang, kanan, atau kiri mereka. Hal ini adalah menyelisihi sunnah. Karena yang dituntunkan adalah menghadap kiblat sebagai mana yang dilakukan nabi r.
  5. Pada Hari Arafah sibuk dengan tawa, canda, ucapan yang batil dan tidak dzikir serta berdoa di tempat yang agung tersebut.
  6. Sebagian jamaah haji membawa kamera dan menggunakannya di tempat tersebut. Ini adalah hal yang tidak layak dilakukan jamaah haji.

Bimbingan Manasik Haji

Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam tetap terlimpah atas Rasulullah. Amma ba'du:

Adab-adab Haji dan Umrah. 
Allah berfirman yang artinya :

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal" (Q.S Al-Baqarah 197)
  • Nabi r bersabda: "Disyari'atkannya thawaf mengelilingi Ka'bah, sa'i antara shafa dan marwah serta melempar jumrah adalah dalam rangka mengingat/dzikir pada Allah". Beliau r juga bersabda: "Haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga".
  • Wahai jamaah haji, lakukanlah amalan-amalan ibadah haji dalam rangka mengagungkan, memuliakan, rasa cinta dan ketundukan pada Allah Tuhan semesta alam. Laksanakan dengan penuh sakinah, tenang dan sesuai dengan petunjuk Rasulullahr .
  • Manfaatkan tempat-tempat yang agung tersebut dengan memperbanyak dzikir, takbir (Allahu Akbar), tasbih (Subhaanallah), tahmid (Alhamdulillah) dan istighfar (Astaghfirullah). Semenjak anda mulai berihram, berarti anda dalam rangkaian ibadah hingga tahallul.
  • Ibadah haji bukan dalam rangka tamasya atau bermain-main sekehendak hati seperti yang terjadi pada sebagian orang yang membawa alat permaianan dan nyanyian serta apa yang menghalangi dzikir pada Allah dan menjerumuskannya pada jurang kemaksiatan. Anda bisa menyaksikan sebagian orang yang melampaui batas dalam bermain, tertawa, mengejek orang lain dll dari perbuatan yang diharamkan. Seakan-akan ibadah haji disyari'atkan untuk bersenda gurau dan bermain.
  • Adalah wajib bagi anda wahai jamaah haji untuk memelihara apa yang Allah wajibkan pada diri anda berupa shalat jamaah pada waktunya dan amar makruf dan nahi mungkar.
  • Sudah selayaknya anda untuk bersungguh-sungguh untuk berkhidmat serta berbuat baik pada kaum muslimin dengan memberi pengarahan, nasehat, dan bantuan ketika diperlukan. Selain itu dengan menyayangi orang yang lemah di antara mereka terutama di tempat-tempat yang berdesakan dll. Karena kasih sayang terhadap makhluk akan mendatangkan rahmat dari Sang Khaliq. Allah akan memberi rahmat pada hamba-hamba-Nya yang berkasih sayang. Jauhilah perbuatan rafats, kefasikan, maksiat dan perdebatan yang bukan dalam membela kebenaran. Adapun perdebatan untuk membela kebenaran adalah wajib pada tempatnya.
  • Jauhilah sikap memusuhi atau mengganggu orang lain. Jauhilah ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), celaan, atau memukul (orang lain), begitu pula memandang wanita yang bukan muhrimnya. Karena hal itu adalah diharamkan baik ketika ihram maupun tidak. Akan tetapi lebih diharamkan ketika sedang ihram.
Dari Kitab: Al-Manhaj li Murid Al-Umrah wal Hajj, Syaikh Muhammad bin 'Utsaimin rahimahullah.
Hari Tarwiyah (Tanggal delapan Dzul Hijjah)
Amalan yang dilakukan :
  1. Disunnahkan untuk mandi dan memakai wewangian sebelum ihram.
  2. Disunnahkan bagi yang hajinya tamattu' untuk ihram haji sebelum tergelincir matahari.
  3. Niat ihram untuk haji dengan mengucapkan: Labbaika Hajjan (Ya Allah aku sambut panggilan-Mu untuk menunaikan ibadah haji).
  Jika ia khawatir ada halangan untuk menyempurnakan hajinya, maka hendaklah ia mengucapkan syarat :
"Jika aku terhalang oleh sesuatu, maka tempat tahallulku adalah di tempat aku terhalangi"
Adapun jika ia tidak khawatir, maka tidak perlu mengucapkan syarat di atas.

4. Menuju Mina pada Hari Tarwiyah dan menginap di sana pada malam sembilan. Tidak keluar dari Mina  
    kecuali setelah terbitnya matahari dan melakukan shalat lima waktu di sana.  
5. Memperbanyak bacaan talbiyah.

( لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ اْلحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكُ، لاَ شَرِيْكَ لَكْ )


“Kusambut panggilan-Mu, ya Allah.Kusambut panggilan-Mu. Kusambut panggilan-Mu.Tiada sekutu bagi-Mu.Kusambut panggilan-Mu.Sesungguhnya segala puji, karunia dan kekuasaan hanyalah milik-Mu.Tiada sekutu bagi-Mu”.

Bacaan talbiyah ini tetap diucapkan hingga akan melempar Jumrah 'Aqabah pada Hari Kurban

6. Mengqashar shalat yang empat raka'at tanpa jamak. Dengan melaksanakannya secara jamaah dan bersungguh-sungguh untuk melakukan shalat witir.

Nasehat atas beberapa kesalahan:
  1. Tetap memakai ihram dalam posisi idhtiba' (pundak kanan terbuka) dalam melaksanakan semua amalan haji. Yang disyari'atkan adalah membuka pundak sebelah kanan ketika thawaf qudum atau thawaf umrah saja.
  2. Keyakinan sebagian jamaah haji bahwa ihram adalah dengan memakai pakaian ihram semata. Yang benar, bahwa memakai pakaian adalah persiapan untuk ihram dan belum dikatakan ihram. Karena ihram adalah niat masuk/memulai amalan (haji).
  3. Keyakinan sebagian orang adanya warna khusus pakaian ihram seperti hijau. Ini adalah keliru. Bagi wanita, ia berihram dengan menggunakan pakaian yang biasa ia pakai (namun bukan pakaian untuk berhias). Adapun pakaian yang sempit dan tipis maka tidak boleh dikenakan, baik ketika ihram maupun di luar ihram.
  4. Shalat dengan menggunakan kain ihram bawah tanpa mengenakan kain ihram bagian atas. Ini adalah salah. Nabi r bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan hanya memakai satu pakaian, sehingga pundaknya tidak ditutupi apa-apa" (Muttafaq 'Alaihi)
  5. Memendekkan janggut ketika ihram, padahal memangkas dan mencukur janggut adalah di larang dalam segala keadaan. Dagu termasuk dari janggut (jadi, janggut yang ada padanya juga tidak boleh di potong - pent).
  6. Keyakinan sebagian jamaah haji bahwa pakaian ihram yang ia pakai di miqat tidak boleh di ganti meski sudah kotor. Yang benar adalah boleh untuk menggantinya dengan semisalnya atau mencucinya.
  7. Talbiyah secara berjamaah. Ini adalah tidak ada dasarnya.
  8. Menjamak shalat ketika di Mina. Padahal yang disyari'atkan adalah mengqashar tanpa menjamak.
  9. Memperbanyak bacaan Al-Qur'an pada tempat-tempat ini. Yang merupakan tempat-tempat ibadah.
  10. Tidak bermalam di Mina malam hari Arafah dengan tanpa uzur.

Aliran Syi’ah Zaidiah



Penganut Syi’ah Zaidiah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum bertaubat dengan pertaubatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syiah Zaidiah dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat kedekatan aliran ini dengan Mu’tazilah. Wasil bin Atha’, salah seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha’.

Patut dikemukakan bahwa aliran-aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar statusnya masih tetap mukmin menjelaskan bahwa di akhirat akan dimasukkan ke neraka, ia tidak akan kekal didalamnya. Aliran-aliran yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar statusnya bukan mukmin berpendapat bahwa di akhirat kelak ia akan dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya. 

Mengenai hal ini melihat bahwa Khawarij dan Mu’tazilah berada di barisan yang sama. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang tegas diantara keduanya. Khawarij memandang status pelaku dosa besar sebagai kafir, bahkan musyrik. Oleh karena itu, ia mendapat siksaan serupa dengan yang diperoleh orang-orang kafir. Sementara itu, Mu’tazilah memandang status pelaku dosa besar sebagai fasik, yaitu posisi netral dan independen di antara dua kutub, yaitu mukmin dan kafir. 

Oleh karena itu, balasan yang diperolehnya kelak di akhirat tidak sama dengan orang mukmin dan tidak serupa dengan orang kafir. Pelaku dosa besar akan disiksa selama-lamanya di neraka paling atas dengan siksaan yang lebih ringan daripada siksaan yang diterima oleh orang kafir.

Penting dicatat pula bahwa perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika ditinjau dari sudut pandang wa’ad wa wa’id, dapat diklasifiksikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diawali oleh Khawarij dan Mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.




Aliran Maturidiah



Aliran Maturidiah, baik Samarkand maupun Bukhara, tampaknya sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulun, keputusannya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.

Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi, peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiah berpendapat bahwa orang yang berdoa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. 

Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.

Daftar Bacaan 
Abu Mansur Al-Maturdi, Kitab At-Tauhid, Tahqiq oleh Fathullah Khalif, Maktabah Al-Islamiyyah Muhammad Ozdoneir, Istanbul, 1979, hlm. 326, 334.

Aliran Asy’ariah



Terhadap pelaku dosa besar, Al-Asy’ari sebagai wakil Ahl As-Sunnah menyatakan pendiriannya dengan tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah ( Ahl Al-Qiblah ) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.

Adapun balasan di Akhirat kelak akan diperoleh pelaku dosa besar apabila meninggal dan tidak sempat bertaubat, menurut Al-Asy’ari hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan itu mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat nabi Muhammad SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau sebaliknya, Tuhan bisa memberinya siksa neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. 

Walaupun begitu, ia tidak akan kekal di neraka, seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam syurga. Dari paparan yang singkat ini, jelas bahwa Asy’ariah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.

Aliran Mu’tazilah


Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam sesungguhnya diawali oleh masalah yang kurang lebih sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar, apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. 

Perbedaannya, apabila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah tetap mukmin atau telak kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal Al-Manzilah bain al- manzi-latain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya.

Mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah tampaknya merumuskan secara  lebih konseptual daripada aliran Khawarij. Menurut pandangan Mu’tazilah, dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash. 

Dosa kecil adalah segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nash. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar ataupun kecil.

Aliran Murji’ah


Pandangan aliran Murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan menurut versi mereka. Karena tiap-tiap subsekte Murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman, pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda pula.
Untuk memilah subsekte yang ekstrem atau moderat, Harun Nasution memberikan indikasi bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrem adalah mereka yang berpandangan bahwa iman terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat serupa di atas adalah Al-Jahmiah, As-Salihiah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpandangan bahwa iman adalah tasdiq sacara kalbu atau dengan ungkapan lain ma’rifah ( mengetahui ) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan maupun tindakan.

Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak menjadi kafir. Meskipun ia akan disiksa di neraka, tetapi tidak kekal dan bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraka. Di antara subsekte Murji’ah yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan konsep Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi.  Andaipun masuk neraka karena Allah menghendakinya, ia tidak akan kekal di dalamnya.

Aliran Khawarij


Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstremitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Ekstremitas di atas di samping didukung oleh watak kerasnya yang dibangun oleh kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun di atas dasar pemahaman tekstual atas nash-nash Alquran dan Hadis. Tidak heran jika aliran ini memiliki pandangan ekstrem tentang status pelaku dosa besar. Aliran ini memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yaitu ‘Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-‘Ash, Abu Musa Al-‘Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.

“... Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Semua pelaku dosa besar ( mur-takib al-kabirah ), menurut semua subsekte khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya. Lebih keras dari itu, subsekte khawarij yang sangat ekstrem, Azariqah, bahkan menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir, yaitu musyrik.

Subsekte Najdah tidak jauh berbeda dari Azariqah. Apabila predikat musyrik disandangkan oleh Azariqah kepada umat islam tidak mau bergabung ke dalam kelompok mereka, predikat yang sama disandang pula oleh Najdah kepada siapa pun dari umat islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Sama halnya dengan dosa besar, apabila tidak dilakukan secara kontiniu, pelakunya tidak dipndang musyrik, tetapi kafir jila dilaksanakan akan menjadi musyrik. Walaupun sacara umum subsekte khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, tetapi masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Bagi subsekte Al-Muhakimat, ‘Ali, Mu’awiyah, kedua pengantarnya ( ‘Amr Bin Al-‘Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari ) dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir.
Berbeda dengan pandangan subsekte Al-Azariqah. Bagi subsekte ini yang dianggap kafir tidak hanya orang-orang yang telah melakukan perbuatan zina, membunuh, dan sebagainya, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan, orang Islam yang sepaham dengannya, tetapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Dengan kata lain, orang Al-Azariqah yang tinggal di luar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka dipandang musyrik.

Daftar Bacaan
W. Montgomeru Watt, pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, penerbit P3M, Jakarta, 1987, hlm. 6-7.

Pengertian Nuzulul Qur’an


NuzululQur’an yang secara harfiah berarti turunnya Al Qur’an adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW. Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran. Turunnya al-Quran dari Allah SWT kepada Rasullullah SAW diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan. Menurut bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja iqro yang berarti bacaan. “Quran” menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca). Karena Al-Qur’an bukan saja harus di baca oleh manusia, tetapi juga karena dalam kenyataannya selalu dibaca oleh yang mencintainya. Baik pada waktu shalat maupun di luar shalat. Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al-Qiyaamah :
Artinya:
‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. karena itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya”.
Adapun definisi Al Qur’an menurut istilah ialah: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad dan ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah”. Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad S.A.W. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an. Menurut Syaikh Muhammad Khudlari Beik, Al-Qur’an ialah firman Allah SWT yang berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk difahami isinya dan diingat selalu, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang sudah ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas. Dalam definisi tersebut di atas bahwa Al-Qur’an mengandung unsur –unsur Sebagai berikut :
  1. Lafadz-lafadznya berbahasa arab
  2. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
  3. Disampaikan secara mutawatir
  4. Ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al -Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Dr. Subhi Al-Shalih dalam “Mabahits fi Ulum Al -Qur’an” merumuskan definisi Al-Qur’an yang dipandang dapat diterima oleh mayoritas ulama terutama ahli bahasa, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih, sebagai berikut: “Al -Qur’an adalah firman Allah SWT yang bersifat/berfungsi mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan yang dipandang beribadah membacanya2. Dari definisi yang dikemukanan di atas, bahwa pada intinya Al -Qur’an itu adalah merupakan firman Allah. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam memberikan sifat-sifat dari firman Allah tersebut sehingga menjadi lebih spesifik dan tidak tertukar dengan firman-firman Allah selain Al-Qur’an.

Tahapan Nuzulul Qur’an
Turunnya Qur’an merupakan perstiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya al-Quran yang pertama kali pada malam lailatul qadar  merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemulian umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Turunnya alquran yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab yang turun sebelumnya.
Allah menurunkan alquran kepada manusia melalui 3 kali tahap penurunan.
  1. Di lauhil mahfudz yang semua orang tidak tau kapan, tangal, bulan, tahunnya berapa ketika turun?Ibnu katsir lewat riwayat ibnu khatam:
    “Ma min syai’in qodo allah al quran wama qoblahu wama ba’dahu illa bil lauhil mahfudz”
Artinya: “Apapun yang di qodo’ Allah sebelum dan sesudah alquran , semuanya itu di letakkan di lauhil mahfudz dan tak tau dimana itu letaknya dan tidak diijinkan siapaun tau tentang lauhil mahfudz. Adapun jumlahnya seklaigus atau jumlatan wahidatan.
  1. Dari lauhil mahfudz ke baitul ‘izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di dunia ini namun tidak diketahui letak persisinya. Adapun jumlahnya adalah semuanya (jumlatan wahidatan) pada waktu lialatul qodar. Namun tanggalnya tidak diketahuai, adapaun bulannya sudah jelas pada bulan ramadlan. Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan (ijma’) bahwa turunnya al-qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.
Sebetulnya tidak hanya alquran saja yang diturunkan pada bulan romadhon, namun juga;.
1)      Taurat                 : 6 hari setelah ramadhan
2)      Suhuf ibrahim    : 1 hari setelah ramadhan
3)      Injil                     : 13 hari setelah ramadhan
4)      Zabur                  : 12 hari setelah ramadhan
2.      Dari baitul ‘izzah ke Rasulallah.
Penurunannya tidak seklaigus, namun diangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.berdasarkan kebutuhan, peristiwa, atau kejadian atau bahkan permintaan lewat malaikat jibril. Adapun kitab-kitab samawi yang lain,seperti  taurat, inzil, dan zabur,turunnya sekaligus, tidak turun secara berangsur-angsur.Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya dalam surah al-furqan ayat 32:
“Dan berkatalah orang-orang yang kafir : ‘mengapa Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya kelompok demi kelompok.” (al-furqon [25]:32). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang terdahulu itu turun sekaligus.Dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Seandainya kitab-ktab itu turun secara berangsur-angsur,tentulah orang-orang kafir tidak akan merasa heran terhadap Quran yang turun berangsur-angsur.Maka kata-kata mereka,” mengapa Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus” Seperti halnya kitab-kitab yang lain. Allah tidak menjawab mereka bahwa ini adalah Sunnah-Nya didalam menurunkan kitab samawi sebagaimana Dia menjawab kata-kata mereka dalam surah al-Furqan ayat 7:
” Dan mereka berkata :mengapa rasul ini memakann makanan dan berjalan dipasar-pasar?” (Al-Furqon:7) dengan jawaban:
“Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu,melinkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan dipasar-pasar.”
Tetapi Allah menjawab mereka dengan menjelaskan hikmah mengapa Quran diturunkan secara bertahap dengan firman-Nya: ”Demikiannlah supaya kami perkuat hatimu”, maksudnya: Demikianlah kami menurunkan Quran secara bertahap dan pisah-pisah karena suatu hikmah,yaitu untuk memperkuat hati rasulullah saw. ”Dan kami membacakannya kelompok demi kelompok”,maksudnya: Kami menentukannya seayat demi seayat atau bagian demi bagian atau kami menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya, karena turunnya yang bertahap sesuai dengan peristiwa” itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan salah satu penyebab kemantapan (didalam hati). Penelitan terhadap hadits-hadits sahih mengatakan bahwa Quran turun menurut keperluan ,terkadang turun 5 ayat,10 ayat terkadang lebih banyak dari itu.



Hikmah Turunnya Alqur’an Secara Berangsur-angsur


Al-Qur’an tidak diturunkan kepada Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam sekaligus satu kitab tetapi secara berangsur-angsur, surat-persurat, ayat-perayat menurut tuntutan peristiwa yang melatarinya. Lantas apa hikmahnya? Hikmah atau tujuannya ialah:
  1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam .
Firman-Nya:
“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32)
Kata Abu Syamah, ayat itu menerangkan bahwa Allah memang sengaja menurunkan Qur’an secara berangsur-angsur. Tidak sekali turun langsung berbentuk kitab seperti kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul sebelumnya, tidak. Lantas apa rahasia dan tujuannya? Tujuannya ialah untuk meneguhkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam . Sebab dengan turunnya wahyu secara bertahap menurut peristiwa, kondisi, dan situasi yang mengiringinya, tentu hal itu lebih sangat kuat menancap dan sangat terkesan di hati sang penerima wahyu tersebut, yakni Muhammad. Dengan begitu turunnya melaikat kepada beliau juga lebih intens (sering), yang tentunya akan membawa dampak psikologis kepada beliau; terbaharui semangatnya dalam mengemban risalah dari sisi Allah. Beliau tentunya juga sangat bergembira yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Karena itu saat-saat yang paling baik di bulan Ramadhan, ialah seringnya perjumpaan beliau dengan Jibril.
    2.      Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur’an
Karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an, apalagi membuat langsung satu kitab.

    3.      Supaya mudah dihapal dan dipahami.
Memang, dengan turunnya Qur’an secara berangsur-angsur, sangatlah mudah bagi manusia untuk menghafal serta memahami maknanya. Lebih-lebih bagi orang-orang yang buta huruf seperti orang-orang arab pada saat itu; Qur’an turun secara berangsur-angsur tentu sangat menolong mereka dalam menghafal serta memahami ayat-ayatnya. Memang, ayat-ayat Qur’an begitu turun oleh para sahabat langsung dihafalkan dengan baik, dipahami maknanya, lantas dipraktekkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya Umar bin Khattab pernah berkata:
“Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat-lima ayat. Karena Jibril biasa turun membawa Qur’an kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam lima ayat-lima ayat.” (HR. Baihaqi)
  1. Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya.
Dengan begitu kaum muslimin waktu itu memang senantiasa menginginkan serta merindukan turunnya ayat-ayat Qur’an. Apalagi pada saat memerlukannya karena ada peristiwa yang sangat menuntut penyelesaian wahyu; seperti ayat-ayat mengenai kabar bohong yang disebarkan oleh kaum munafik untuk memfitnah bunda Aisyah, dan ayat-ayat tentang li’an.

    4.      Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur; yakni dimulai dari maslaah-masalah yang sangat penting kemudian menyusul masalah-masalah yang penting. Nah, karena masalah yang sangat pokok dalam Islam adalah masalah Iman, maka pertama kali yang dipriorotaskan oleh Al-Qur’an ialah tentang keimanan kepada Allah, malaikat, iman kepada kitab-kitbnya, para rasulnya, iman kepdaa hari akhir, kebangkitan dari kubur, dan surga neraka. Hal itu didukung dengan dalil-dalil yang rasional yang tujuan untuk mencabut kepercayaan-kepercayaan jahiliyah yang berpuluh-puluh tahun telah menancap di hati orang-orang musyrik untuk ditanami/diganti dengan benih-benih akidah Islamiyah.
Setelah akidah Islamiya itu tumbuh dan mengakar di hati, baru Allah menurunkan ayat-ayat yang memerintah berakhlak yang baik dan mencegah perbuatan keji dan mungkar untuk membasmi kejahatan serta kerusakan sampai ke akarnya. Juga ayat-ayat yang menerangkan halal haram pada makanan, minuman, harta benda, kehormatan, darah/pembunuh dan sebagainya. Begitulah Qur’an diturunkan sesuai dengan kejadian-kejadian yang mengiringi perjalanan jihad panjang kaum muslimin dalam memperjuangkan agama Allah di muka bumi. Dan ayat-ayat itu tak henti-henti memotivasi mereka dalam perjuangan ini. Mari kita simak contoh-contoh di bawah ini:
Surat Al An’am adalah surat makiyah karena turun di Mekah. Isinya menjelaskan perkara iman, akidah tauhid, bahaya syirik, dan menerangkan apa yang halal dan haram, firman:
“Katakanlah: “Marilah saya bacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami yang akan memberi rizki kamu dan mereka.” (Al An’am:152)
Kemudian, ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum secara rinci, baru menyusul turun di Madinah; seperti tentang utang piutang dan pengharaman riba. Juga tentang zina, itu diharamkan di Mekkah, yaitu ayat:
“Jangan kau mendekati zina. Karena sesungguhnya zina satu perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan.” (Al Isra:32) Tapi, ayat-ayat yang merinci hukuman bagi orang yang melakukan zina turun di Madinah kemudian.
 v  Tentang undang-undang pengharaman khamar, yang pertama kali turun ialah ayat:
“Dan dari buah kurma serta anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik …” (An-Nahl:67)
Kemudian yang turun berikutnya ialah ayat:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.” (Al-Baqarah:219)
Di dalam ayat itu dikatakan bahwa khamer itu mengandung manfaat yang temporal sifatnya, dan bahayanya lebih besar bagi tubuh, bisa merusak akal, pemborosan harta benda, dan bisa menimbulkan berbagai macam masalah kejahatan serta kemaksiatan di masyarakat. Setelah itu turun ayat yang melarang mabuk ketika shalat.
“Hai orang-ornag yang beriman, janganlah kalian shalat ketika kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.” (An-Nisaa’:43)
Setelah mereka tahu dan menyadari bahwa mabuk saat shalat diharamkan, kemudian turun ayat yang lebih tegas lagi:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Oleh kraena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al Maidah:90)

Untuk lebih menjelaskan lagi bahwa turunnya Qur’an secara berangsur-angsur, ialah apa yang dikatakan Bunda Aisyah berikut:
“Sesungguhnya yang pertama kali turun ialah surat dari surat-surat mufashal yang di dalamnya disebutkan perihal surga dan neraka, sehingga jika manusia telah kembali/masuk Islam, maka turunlah surat yang menyebutkan tentang halal haram. Nah, sekiranya yang mula-mula turun ialah ayat yang berbunyai: janganlah kamu minum khamer, pasti mereka berkata: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan minum khamer selama-lamanya. Dan seandainya yang turun itu ayat yang berbunyi: jangan berzina, niscaya mereka menjawab: kami tidak akan meninggalkan kebiasaan berzina selama-lamanya.” (HR.Bukhari)


Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :

Khutbah Jumat



Pengertian Khutbah Jum’at
Secara etimologis (harfiyah), khuthbah artinya : pidato, nasihat, pesan (taushiyah). Sedangkan menurut terminologi Islam (istilah syara’); khutbah (Jum’at) ialah pidato yang disampaikan oleh seorang khatib di depan jama’ah sebelum shalat Jum’at dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, baik berupa tadzkiroh (peringatan, penyadaran), mau’idzoh (pembelajaran) maupun taushiyah (nasehat).

Berdasarkan pengertian di atas, maka khutbah adalah pidato normatif, karena selain merupakan bagian dari shalat Jum’at juga memerlukan persiapan yang lebih matang, penguasaan bahan dan metodologi yang mampu memikat perhatian.

Selain khutbah Jum’at, ada pula khutbah yang dilaksanakan sesudah sholat, yaitu: khutbah ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, khutbah sholat Gerhana (Kusuf dan Khusuf). Sedangkan khutbah nikah dilaksanakan sebelum akad nikah. Dalam makalah ini yang akan dikaji adalah khusus tentang khutbah jum’at.

Dalil-Dalil Khutbah jum’at
1.      Firman Allah Swt dalam suroh Al-Jumu’ah ayat 9 adalah : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at (shalat Jum’at), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah urusan jual beli (urusan duniawi). Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui” . (QS. Al-Jumu’ah 9 ).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ                                                                                                          .  تَعْلَمُون                     
2.      Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a.: “Adalah Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, kemudian beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana dijalankan oleh orang-orang sekarang”.
3.      Riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Daud dari Yazid bin Sa’id r.a.:
“Adalah seruan pada hari Jum’at itu awalnya (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, hal demikian itu berlaku pada masa Rasulullah SAW. hingga masa khalifah Umar r.a. Setelah tiba masa khalifah Usman r.a. dan orang semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga (karena adzan dan iqomah dipandang dua seruan) di atas Zaura (nama tempat di pasar), yang mana pada masa nabi Muhammad SAW, hanya ada seorang Muadzin.“ 

Persyaratan Khatib
1        Ikhlas, terhindari dari pamrih, riya dan sum’ah (popularitas). Perhatikan firman Allah SWT.dalam menceritakan keikhlasan Nabi Hud AS:
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, ucapanku tidak lain hanyalah dari Allah yang menciptakan aku. Tidakkah kamu memikirkannya?”. (QS. Hud :51)
2        Amilun bi’ilmihi (mengamalkan ilmunya), Allah SWT. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. As-Shaf : 2-3 )
3         Kasih sayang kepada jama’ah, Rasullah Saw bersabda : “Bahwa sesungguhnya aku terhadap kamu semua laksana seorang ayah terhadap anaknya”. (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ).
4        Wara’ ( menghindari yang syubhat ), perhatikan sabda Nabi Muhammad Saw : “Jadilah kamu sebagai seorang yang wara’, maka kamu adalah manusia yang paling tekun beribadah”. ( HR. Baihaqi dari Abi  Hurairah ).
5         ‘Izzatun Nafsi (tahu harga diri untuk menjadi khairunnas), Allah SWT. berfirman:
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), dan adalah mereka meyakini  ayat-ayat kami”. (QS. As-Sajdah : 24 ).

Fungsi Khutbah Jum’at
1.      Tahdzir ( Peringatan, Perhatian )
2.      Taushiyah ( Pesan Atau Nasehat ).
3.      Tadzkir atau mau’idzoh ( Pembelajaran, Penyadaran ).
4.      Tabsyir ( Kabar, Gembira, Harapan ).
5.      Bagian dari syarat syahnya shalat jum’at  Berkenaan dengan fungsi khutbah tersebut di atas, maka khutbah disampaikan dengan bahasa yang mudah difahami oleh jama’ah (boleh bahasa setempat), kecuali rukun-rukun khutbah. Allah SWT. berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutus Rasul, melainkan dengan bahasa yang difahami oleh kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada mereka”. (QS. Ibrahim: 4
 
(
Syarat Syahnya  Khutbah Jum’at
1.      Dilaksanakan sebelum sholat Jum’at. Ini berdasarkan amaliyah Rasulullah SAW.
2.       Telah masuk waktu Jum’at, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Anas bin Malik r.a. ia berkata : “ sesungguhnya nabi Muhammad Saw. Melaksanakan shalat jum’at setelah zawal ( matahari condong ke barat )”. ( HR. Bukhari ).
3.      Tidak memalingkan pandangan.
4.      Rukun Khutbah dengan bahasa Arab, Ittiba’, kepada Rasulullah SAW.
5.      Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat.
6.      Khatib suci dari hadast dan najis, karena berkhutbah merupakan syarat syahnya shalat jum’at.
7.      Khatib menutup ‘aurat, sama dengan persyaratan shalat jum’at.
8.      Dilaksanakan dengan berdiri kecuali darurat, berdasarkan hadits nabi SAW. Dari Ibnu Umar r.a. : “sesungguhnya nabi Muhammad Saw. Apabila keluar pada hari jum’at, beliau duduk yakni di atas mimbar hingga Muadzin diam, kemudian berdiri lalu berkhutbah”. ( HR. Abu Daud ).
9.      Duduk antara dua khutbah dengan thuma’ninah, berdasarkan hadist Nabi Saw. Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata : “ Adalah nabi Muhammad Saw berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk dan berdiri lagi sebagaimana kamu semua melakukannya sekarang ini”. ( HR. Bukhari Dan Muslim ).
10.  Terdengar oleh semua jama’ah.
11.   Khatib jum’at adalah laki-laki.
12.   Khatib lebih utama sebagai imam shalat.

    Rukun Khutbah Jum’at
1.       Hamdalah, yakni ucapan “alhamdulillah”. Berdasarkan hadits Nabi Saw, dari Jabir r.a. ia berkata : “ Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkhutbah pada hari jum’at, maka (beliau) memuji Allah (dengan mengucap Alhamdulillah) dan menyanjungnya ( HR. Imam Muslim ).
2.      Syahadat (tasyahud), yaitu membaca “Asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa Asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu”, berdasarkan hadist Nabi SAW : “Tiap-tiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong ( HR. Ahmad dan Abu Dauwd ).
3.      Shalawat.
4.      Wasiyat taqwa, antara lain ucapan “ Ittaqullah Haqqa Tuqaatih”.
5.      Membaca ayat alquran, berdasarkan hadits nabi SAW : dari Jabir bin Samurah r.a.: “Adalah Rasulullah SAW. berkhutbah (dalam keadaan) berdiri dan duduk antara dua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Qur’an serta memberikan peringatan kepada manusia”. (HR.  Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi ).
6.      Berdo’a, Semua rukun khutbah diucapkan dalam bahasa Arab. Empat rukun yang pertama (Hamdalah, Syahadat, Shalawat dan wasiyat) diucapkan pada khutbah yang pertama dan kedua, sedangkan ayat Al-Qur’an boleh dibaca pada salah satu khutbah (pertama atau kedua) dan do’a pada khutbah yang kedua.
Sunnah-Sunnah Khutbah Jum’at
1.      Berdiri di tempat yang tinggi atau (mimbar).
2.      Memberi salam, berdasarkan hadits nabi SAW, dari Jabir r.a.: “ sesungguhnya nabi SAW. Apabila telah naik mimbar (beliau) memberi salam”. ( HR. Ibnu Majah ).
3.      Menghadap Jama’ah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya: “Adalah Nabi SAW. apabila telah berdiri di atas mimbar, shahabat-shahabatnya menghadapkan wajah mereka ke arahnya”. (HR. Ibnu Majah).
4.      Suara jelas penuh semangat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a: “Adalah Rasulullah SAW. apabila berkhutbah kedua matanya menjadi merah, suaranya lantang/tinggi, berapi-api bagaikan seorang panglima (yang memberi komando kepada tentaranya) dengan kata-kata “Siap siagalah di waktu pagi dan petang”. (HR. Muslim  dan Ibnu Majah).
5.       Singkat, padat, akurat dan memikat, Rasulullah SAW. bersabda :
“Adalah Rasulullah SAW. biasa memanjangkan shalat dan memendekkan khutbahnya”. (HR. Nasai dari Abdullah bin Abi Auf).
6.      Gerakan tangan tidak terlalu bebas, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Abdurrahman bin’ Sa’ad bin ‘Ammar bin Sa’ad ia berkata: “Adalah Nabi SAW. apabila berkhutbah dalam suatu peperangan beliau berkhutbah atas anak panah, dan bila berkhutbah di hari Jum’at belaiu berpegangan pada tongkat”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
7.      Seusai khutbah kedua segera turun dari mimbar, berdasarkan hadits Nabi SAW. “Adalah shahabat Bilal itu menyerukan adzan apabila Nabi SAW. telah duduk di atas mimbar, dan ia iqomah apabila Nabi SAW. telah turun”. (HR. Imam Ahmad dan Nasai).
8.      Tertib dalam membacakan rukun-rukun khutbah, yaitu: Hamdalah, Syahadat, Shalawat, wasiyat, Ayat Al-Qur’an dan Do’a.
Hal-Hal Yang dimakruhkan Dalam Khutbah Jum’at
1.      Membelakangi Jama’ah.
2.      Terlalu banyak bergerak.
3.      Meludah.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan oleh Khatib Jum’at
1.      Melakukan persiapan, mental, fisik dan naskah khutbah.
2.      Memilih materi yang tepat dan up to date.
3.      Melakukan latihan seperlunya.
4.      Menguasai materi khutbah.
5.      Menjiwai isi khubah.
6.      Bahasa yang mudah difahami.
7.      Suara jelas, tegas dan lugas.
8.      Pakaian sopan, memadai dan islami.
9.      Waktu maksimal 15 menit.
10.  Bersedia menjadi Imam shalat Jum’at.
Materi Khutbah Jum’at
1.      Tegakkan akidah, murnikan ibadah, perluas ukhuwwah.
2.      Evaluasi amaliah (ummat) mingguan.
3.      Kaji masalah secara cermat dan singkat.
4.      Berikan solusi yang tepat.
5.      Tema-tema lokal peristiwa keseharian lebih diutamakan.
6.      Hindari materi yang menjenuhkan atau persoalan tanpa pemecahan.