Dalam sebuah
pelatihan muballighat pada bulan Ramadhan di kawasan Kuningan Jakarta Selatan,
seorang ibu muda dengan bersemangat sambil berdiri menanyakan Hadis tentang
bilangan rakaat shalat tarawih.
“Pak Ustadz”, begitu ibu itu menyapa kami. “Sampai sekarang saya masih bingung,
mana shalat tarawih yang benar, delapan rakaat atau dua puluh rakaat. Soalnya
saya pernah mendengar ceramah bahwa shalat tarawih dengan delapan rakaat itu
mengikuti Nabi Saw. Sedangkan shalat tarawih dua puluh rakaat itu mengikuti
Umar bin al-Khattab. Penceramah itu
juga berkata, “Kalau kita ingin selamat, ikuti saja Nabi Saw”.
“Pak Ustadz sebagai orang yang banyak menekuni Hadis, tentu dapat menjelaskan
hal itu kepada kami. Dan kami sampaikan terima kasih sebelumnya.” Begitu
permintaan ibu muda tadi sambil memposisikan badannya untuk duduk kembali di
atas kursi semula.
Bisa Salah Bisa Benar
“Ibu minta yang panjang apa yang pendek?” tanya
kami. “Apa maksud Pak Ustadz?” ibu tadi balik bertanya. “Maksud kami, ibu perlu
jawaban dan uraian yang panjang, atau cukup jawaban yang singkat saja,” jawab
kami. “Yang singkat dan pendek saja Pak Ustadz,” jawabnya.
“Baik kalau demikian,” jawab kami memulai. “Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi
Saw. shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat itu palsu. Hadis ini tidak dapat
dipakai sebagai dalil sama sekali. Begitu pula, Hadis yang menetapkan shalat
tarawih sebanyak delapan rakaat adalah semi palsu. Hadis ini juga tidak dapat
dijadikan dalil”.
“Kalau begitu, yang benar shalat tarawih yang bagaimana?” tanya seorang ibu
yang lain penasaran. “Shalat tarawih dua puluh rakaat itu bisa benar, juga bisa
salah. Begitu pula shalat tarawih yang delapan rakaat, bisa benar dan bisa
salah”. Bagitu kami menjawab.
“Pak Ustadz saya jadi tambah bingung, apa sebenarnya yang ustadz maksudkan?”
kata seorang ibu yang lain lagi sambil mengerutkan dahinya. “Percaya kan,
ibu-ibu tidak puas dengan yang pendek, musti minta yang panjang,” jawab kami.
“Ah, Pak Ustadz bisa aja bercanda,” kata ibu yang duduk di deretan kursi depan
sambil nyengir.
“Baik, kalau demikian, ibu-ibu jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami. Kami
akan segera kembali dengan jawaban yang panjang.
Tidak Ada Pada Masa Nabi
Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah yang secara kebahasaan
berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat.[1] Maka dari sudut bahasa,
shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali.
Kemudian menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah
malam hari yanag dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Shalat sunnah yang
dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan,
tidak disebut shalat tarawih. Misalnya shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat
Isya’, shalat witir, shalat hajat, dan sebagainya.
Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih. Nabi Saw dalam
Hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi
Saw, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam
Ramadhan.[2] Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah isteri
Nabi Saw. seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi
Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarwwah (istirahat), kemudian shalat
lagi panjang sekali.
Karenanya, ada orang yang berkelakar, Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih
selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadhan.
Semuanya Salah
Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan shalat
tarawih. Pertama, dua puluh rakaat, dan kedua, delapan rakaat. Ada sebuah Hadis
riwayat Imam al-Thabrani sebagai berikut:
عن ابن عباس قال, كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر
Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat
dan witir”.
Hadis ini, seperti dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya
al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, adalah lemah sekali.[5] Dan Hadis yng
kualitasnya sangat lemah, tidak dapat dijadikan dalil sama sekali untuk
landasan beribadah. Kelemahan hadis ini karena di dalam sanadnya terdapat rawi
yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Menurut Imam al-Bukhari, para
ulama’ tidak mau berkomentar tentang Syaibah. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa
Abu Syaibah munkar Hadis-hadisnya. Sedangkan Imam Nasai mengatakan, Abbu
Syaibah adalah matruk Hadisnya. Bahkan menurut Imam Syu’bah, Abu Syaibah adalah
seorang pendusta.[6]
Karenanya, Hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan
dua puluh rakaat dan witir itu dapat disebut Hadis palsu atau minimal Hadis
matruk (semi palsu), karena ada rawi yang pendusta tadi. Dan ini, pada
gilirannya, Hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk shalat tarawih dua
puluh rakaat. Atau dengan kata lain, apabila kita shalat tarawih dua puluh
rakaan dengan menggunakan dalil Hadis Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita
lakukan salah.
“Bagaimana ibu-ibu masih perlu dilanjutkan?” Tanya kami kepada ibu-ibu peserta
pelatihan muballighat itu yang sejak tadi terdiam saja.
“Ya, Pak Ustadz, diteruskan”, jawab mereka serentak.
“Baiklah,” sahut kami.
“Tentang Hadis yang
menerangkan bahwa Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat dan witir, maka
sebenarnya redaksinya begini. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah Hadis begini:
عن جابر بن عبدالله, قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله, إنه كان مني الليلة شيئ – يعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنالانقرأ القرأن, فنصلي بصلاتك. قال: فصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ويم بقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw
lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan,
maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya. “Apakah itu, wahai
Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka
tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka.
Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.”
Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu diridlai Nabi Saw, karena beliau tidak
berkata apa-apa.
Hadis ini kualitasnya lemah sekali, karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang
bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik Hadis papan atas, seperti
Imam Ibnu Ma’in dan Imam al-Nasai, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah
Hadisnya. Bahkan Imam al-Nasai pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah
matruk (Hadisnya semi palsu karena ia pendusta).
Ada lagi Hadis lain yang lebih kongkrit dari Hadis di atas, yaitu riwayat
Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلية في رمضان ثماني ركعات والوتر
Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat
dan witir.
Hadis ini nilainya sama dengan Hadis Ubay bin Ka’ab di atas, yaitu matruk (semi
palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah itu tadi.
Jadi baik shalat tarawih dua puluh rakaat, maupun
shalat tarawih depalan rakaat, apabila menggunakan dua Hadis di atas tadi,
yaitu Hadis Ibnu Abbas untuk tarawih dua puluh rakaat dan Hadis Jabir untuk
tarawih yang delapan rakaat, maka dua-duanya adalah salah. “Paham ibu-ibu?”
begitu Tanya kami.
“Paham, Pak Ustadz,” sahut ibu-ibu serentak dengan sorot matanya yang agak
melotot karena antusias untuk memahami masalah ini.
Semuanya Benar
“Baik ibu-ibu, kami lanjutkan.” Kata kami. “Shalat
tarawih delapan rakaat maupun dua puluh rakaat itu semuanya benar apabila
menggunakan Hadis yang shahih, di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat
shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan yang kemudian lazim dikenal dengan
shalat tarawih.
Hadis itu adalah:
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang menjalankan
qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka
dosa-dosanya (yang kecil) yang telah ia lakukan akan diampuni. (Hadis riwayat
al-Bukhari).
Dalam Hadis ini, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan.
Mau sepuluh rakaat, silahkan. Mau dua puluh rakaat, silahkan. Mau seratus
rakaat, silahkan. Mau delapan rakaat pun silahkan. Maka shalat tarawih dua
puluh rakaat dan delapan rakaat, apabila menggunakan Hadis ini sebagai dalil,
keduanya benar. Hanya bedanya nanti, mana yang afdhal saja. Bisa jadi shalat
tarawih dua puluh rakaat itu afdhal daripada delapan rakaat, apabila tarawih
dua puluh rakaat itu dilakukan dengan baik, khusyu’, dan lama. Sementara shalat
tarawih delapan rakaat dilakukan dengan tidak baik.
Sebaliknya, shalat tarawih delapan rakaat itu afdhal daripada dua puluh rakaat,
apabila yang delapan rakaat itu dikerjakan dengan baik, khusyu’ dan lama.
Sementara yang dua puluh rakaat dikerjakan dengan cepat dan tidak khusyu’.”
Dalil Shalat Witir
“Pak Ustadz, saya mau bertanya,“ kata seorang ibu
yang duduk di bangku ketiga di depan. “Baik ibu, sebutkan namanya dan dari
mana!” kata kami.
“Nama saya Ida, dari Pasar Minggu, mau bertanya. Bukankah ada riwayat yang
shahih dari Aisyah isteri Nabi Saw, bahwa Nabi Saw baik pada bulan Ramadhan
maupun di luar Ramadhan tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat?
Bagaimana Pak Ustadz dengan Hadis ini? Bukankan hal itu berarti bahwa shalat
malam Ramadhan itu tidak boleh lebih dari sebelas rakaat?”
“Terima kasih, Ustadzah Ida dari Pasar Minggu. Pertanyaan Ibu sangat-sangat
bagus,“ begitu jawab kami. “Memang benar ada Hadis shahih yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah isteri Nabi seperti yang
Ustadzah sampaikan tadi. Kami tidak ingin mengomentari Hadis itu karena ia
adalah Hadis shahih, sehingga tidak perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari
adalah pemahaman kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalail shalat
tarawih.
Komentar kami adal tiga hal.
Pertama; kawan-kawan yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat
tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehingga mungkin dapat
menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai dan
Imam Malik bin Anas. Kisahnya adalah, seorang Tabi’in yang bernama Abu Salamah
bin Ab al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw
pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:
Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain
bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan
kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan
jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.
Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur
sebelum shalat witir?” beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua
mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.[11]
Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah
berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis
itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan
di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada
malam-malam Ramadhan. Sedangkan shalat witir adalah shalat witir adalah shalat
sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan
Ramadhan.
Kedua; Dalam Hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak
pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada malam bulan Ramadhan maupun
bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam sepanjang tahun, baik pada
bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat
tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.
Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah
Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama
umumnya juga menampatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat
malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.
Adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:
Rasulaullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat witir dan
dua rakaat fajar. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Ketiga: umumnya kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu menggunakan
Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau
konsekwen mengikuti sunnah Nabi Saw. silahkan mereka shalat sebelas rakaat itu
setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis
Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam,
sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.
Kenyataanya tidak demikian. Kawan-kawan yang
shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada
bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis Aisyah itu tidak pernah
mereka sebut-sebut. Kami tidak tahu pasti apakah kawan-kawan yang shalat
sebelas rakaat pada bulan Ramadhan itu juga shalat sebanyak itu di luar
Ramadhan. Lagi pula, ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam
sampai kakinya pecah-pecah.
Al-Mughirah r.a. menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah-pecah
kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau
menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?”
Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya
sebelas rakaat. Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki
beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir,
bukan shalat malam secara keseluruhan.
Dalam Hadis yang lain Nabi Saw. bersabda:
Jadikanlah
shalatmu terakhir pada malam hari adalah shalat witir.
Aisyah sendiri juga mengatakan:
Rasulullah Saw shalat malam, sehingga
shalat paling terakhir yang beliau lakukan adalah shalat witir.
Dalam Hadis lain, Aisyah juga mengatakan:
Nabi
shalat malam dan saya tidur terlentang di atas tempat tidurnya. Apabila beliau
hendak witir, beliau membangunkan aku, kemudian aku shalat witir.
Jadi shalat setiap malam sebelas rakaat yang dilakukan Nabi Saw adalah shalat
witir, dan itu adalah shalat paling akhir dilakukan Nabi Saw setiap malam.
Sebelum shalat witir, shalat apa dan berapa rakaat yang dilakukan Nabi Saw?
Tampaknya Aisyah tidak tahu, karena beliau waktu itu masih tidur.
“Baik, ibu-ibu, masih ada lagi yang bertanya?” begitu tanya kami, sementara
hari pada awal Ramadhan itu sudah mulai siang.
“Ada Pak Ustadz,” kata ibu yang lain. “Baik, silahkan. Sebut namanya dan
peserta dari mana!” pinta kami.
Memenggal Hadis
“Pak Ustadz,” begitu ibu tadi mulai bertanya. “Di lingkungan masyarakat kita,
ada yang shalat tarawih delapan rakaat, dengan cara empat rakaat satu kali
duduk dan salam, sebanyak dua kali. Kemudian shalat witir tiga rakaat dengan
satu kali duduk. Alasannya, kata mereka, mengikuti Sunnah Nabi Saw berdasarkan
riwayat Aisyah tadi. Bagaiamana hal ini menurut Ustadz, terima kasih.”
“ibu tadi belum menyebutkan nama dan peserta dari mana,” begitu kata kami
sebelum menjawab pertanyaan.
“Farida nama saya, Pak Ustadz, dari Tebet,” jawabnya singkat.
“Baik, Ibu Farida, dari Tibet. Eh, maaf dari Tebet,” begitu kata kami keseleo.
“Hadis Aisyah yang sudah kami jelaskan di muka tadi adalah Hadis tentang shalat
witir bukan Hadis tentang shalat tarawih. Sebelas rakaat itu adalah satu paket
shalat witir dengan jumlah rakaat yang maksimal. Shalat witir minimal satu
rakaat.
Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir
itu bervariasi, boleh satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat,
Sembilan rakaat, dan sebelas rakaat. Bahkan ada riwayat tiga belas rakaat.
Shalat witir itu juga boleh dilakukan dengan dua rakaat lalu salam, kemudian
ditambah satu rakaat. Dapat juga tiga rakaat satu kali duduk, kemudia salam.
Ini bagi witir yang tiga rakaat. Witir lima rakaat dapat dilakukan dengan
bentuk empat rakaat dengan duduk sekali, kemudian ditambah satu rakaat. Nabi
Saw juga pernah shalat witir sembilan rakaat dan duduk serta salam pada rakaat
kedelapan.
Tentang pertanyaan Ibu Farida dari Tebet tadi, di mana Hadis Aisyah itu dipakai
oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat,
menurut kami hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu Hadis yang
merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua, delapan
rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau Hadis Aisyah itu
dipakai untuk shalat witir saja, itu benar.
“Bagaiamana Ibu Farida, sudah paham?” begitu kami bertanya. “Sudah, Pak
Ustadz,” jawabnya singkat.
Sahabat Memakai Hadis Palsu?
“Saya mau bertanya, Pak Ustadz,” begitu tiba-tiba kata seorang ibu yang lain
lagi. “Silahkan, Bu. Sebut nama dan peserta dari mana,” pinta kami.
“Saya bernama Tuti, peserta dari Condet.
Pertanyaan saya begini Pak Ustadz. Apabila Hadis tentang tarawih dua puluh
rakaat itu palsu, sedangkan yang masyhur tarawih dua puluh rakaat itu
dikerjakan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka hal
ini berarti pada Sahabat itu menjadikan Hadis palsu sebagai dalil ibadah
mereka. Ini merupakan suatu hal musykil bagi saya. Lagi pula bagaimana
sebenarnya kualitas riwayat tarawih dua puluh rakaat yang diprakasai Khalifah
Umar itu? Terima kasih.”
“Ibu Tuti yang baik. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab belum ada yang
memalsu Hadis. Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan Hadis baru ada sesudah
wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. bahkan Dr. Shubhi al-Shalih
menyebutkan bahwa sejak tahun 41 H. pemalsuan Hadis itu muncul ke permukaan.[2]
Sedangkan Khalifah Umar wafat pada tahun 23 H. jadi pada Sahabat tidak memakai
Hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat.
Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu sendiri yang kami sebut sebagai Hadis
palsu adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang
bernama Ibrahim bin Sulaiman al-Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H. Dia
inilah yang memalsu Hadis tersebut. Jadi Hadis itu tentunya muncul pada
petengahan abad ketiga.
Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka’ab yang mengimami shalat tarawih
pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini
disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis
disandarkan kepada Nabi Saw disebut Hadis marfu’. Hadis Ubay bin Ka’ab ini
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal.
496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam
al-Zaila’I, Imam al-Subki, Imam In al-‘Iraqi, Imam al-‘Aini, Imam al-Suyuti,
Imam Ali al-Qari, Imam al-Nimawi, dan lain-lain.
Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka’ab itu dhaif (lemah), seperti Imam
al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh
Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi
Arabia.
Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi Saw.
“Kalau begitu, angka dua puluh itu dari mana, Pak Ustadz?” begitu tiba-tiba
seorang ibu yang duduk di depan nyelonong bertanya.
“Itulah Bu, yang perlu kita ketahui,” jawab kami spontan. “Dalam Hadis-hadis
yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam
Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal
dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya
dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu
oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid.
Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan samapai masa Khalifah Abu Bakar
al-Shiddiq dan awal masa Khalifah Umar, tidak ada yang melakukan shalat tarawih
secara berjamaah di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin Kahattab,
beliau menyuruh Sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di
masjid. Dan ternyata Ubay bin Ka’ab bersama pada Sahabat yang lain shalat
tarawih dua puluh rakaat.
Tentu pertanyaannya sekarang, dari mana para Sahabat itu mengetahui bahwa
shalat tarawih itu dua puluh rakaat, padahal tidak ada keterangan yang kongkrit
dari Nabi Saw. bahwa beliau shalat tarawih dua puluh rakaat? Mengapa ketika
mereka shalat tarawih dua puluh rakaat tidak ada seorang pun protes atau
menyalahkan shalat mereka?
Mengapa Aisyah waktu itu diam saja, tidak protes. Padahal Aisyah meriwayatkan
bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di
luar Ramadhan lebih dari sebelas rakaat? Apabila yang dilakukan para Sahabat
itu menyalahi tarawih yang dilakukan Nabi Saw mengapa semua Sahabat diam,
padahal ketika Umar bin al-Khattab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau
diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al-Qur’an?
Untuk mengetahui jawaban
pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua cara pendekatan.
Pertama; apa yang dilakukan para Sahabat itu, di
mana mereka shalat tarawih dua puluh rakaat, menurut disiplin ilmu Hadis
disebut Hadis Mauquf. Hadis Mauquf ini seperti disebutkan Imam al-Suyuti,
apabila tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak
menerima keterangan-keterangan dari sumber-sumber mantan orang-orang Yahudi dan
Nashrani, maka Hadis mauquf statusnya sama dengan Hadis Marfu’, yaitu Hadis
yang bersumber dari Nabi Saw. Alasannya, Sahabat tentu tidak mengetahui hal itu
kecuali dari Nabi Saw.
Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya
adalah bukan masalah ijtihadiyah, bukan juga masalah yang bersumber dari
pendapat seseorang, melainkan para Sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi
Saw. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau masalah yang
bersumber dari pendapat seseorang tentulah pada Sahabat akan berbeda-beda dalam
melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyah,
atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan tetapi
terjadi perbedaaan-perbedaan.
Oleh karena itu, Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat tadi, kendati hal itu
mauquf kepada para Sahabat, namun statusnya sama dengan Hadis marfu’; yaitu
Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. apabila berstatus sebagai Hadis marfu’,
maka ia memiliki hujjiyah (kekuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya
Hadis-hadis marfu’ yang lain.
Kedua: ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat, tidak
ada satu orang pun yang protes, menyalahkan atau menganggap hal itu
bertentangan dengan yang dikerjakan Nabi Saw. Padahal pada waktu itu Aisyah,
Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah, Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, dan
para Sahabat senior yang lain, semuanya masih hidup. Sekiranya tarawih dua
puluh rakaat itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw. tentu para Sahabat itu
sudah protes terhadap apa yang dilakukan Ubay bin Ka’ab.
Bandingkan dengan misalnya pada masa Marwan dari Dinasti Bani Umayyah, jauh
setelah masa Umar bin al-Khattab, Marwan pernah mengubah tatanan shalat ‘Id
(Hari Raya). Sunnahnya atau berdasarkan tuntunan Nabi Saw, shalat ‘Id itu
dikerjakan sebelum khutbah berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan
khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila dalam shalat ‘Id itu
shalat didahulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak
mau mendengarkan khutbah. Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan
khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘Id menjadi khutbah dahulu kemudian
shalat.
Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh orang banyak.
“Wahai Marwan, kamu menentang Sunnah Nabi Saw,” begitu kata seorang dari mereka
yang mengecam Marwan.
Oleh karena shalat tarawih dua puluh rakaat yang dipimpin Ubay bin Ka’ab itu
tidak ada satu pun dari Sahabat yang diprotes atau menentang, maka hal itu,
menurut Imam Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H), Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w.620
H) merupakan ijma’ (consensus) Sahabat yang kemudian diikuti oleh Imam Abu
Hanifah, Imam al-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan menurut Imam Qudamah,
apa yang disepakati oleh para Sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk
diikuti.
Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) juga menegaskan, “Riwayat yang shahih menyebutkan
bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan
witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah Sunnah,
karena Ubay bun Ka’ab shalat di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.
Jadi, ibu-ibu yang baik, shalat tarawih dua puluh rakaat itu merupakan Sunnah Nabi
Saw dan bukan bid’ah.” Begitu kata kami ingin segera mengakhiri dialog siang
itu, karena jarum jam sudah menunjuk kepada angka 11.40.
Tiga Dalil Tarawih
“Ada yang bilang, katanya tarawih dua puluh raka’at itu bid’ah. Bagaimana itu
Pak Ustadz?” Tanya ibu yang tadi penasaran.
“Waduh, bagaimana ibu-ibu masih juga ada yang bertanya, padahal hari sudah
semakin siang. Ibu-ibu tentu ingin segera pulang untuk menyiapkan kolak dan
minuman ketimun suri,” begitu kata kami.
“Ah, Bapak tahu aja,” kata seorang ibu yang sejak tadi terdiam saja.
“Bagaimana, ibu-ibu, dilanjutkan apa ditutup sampai di sini?” Tanya kami.
“Dilanjutkan,” begitu jawab ibu-ibu itu serentak.
“Biar kapok, Bapak dikuras hari ini,” kata seorang ibu yang berbusana cerah.
“Bu, apanya yang dikuras?” Tanya kami. “Ilmunya, Pak Ustadz,” jawab ibu tadi.
“Ibu, ilmu itu tidak sepeti air sumur. Air sumur dikuras? Habis. Ilmu? Semakin
dikuras, semakin kembung, karena mata airnya semakin banyak dan deras. Jadi
kalau ibu-ibu ingin banyak ilmunya, sering-sering sajalah dikuras.”
“Pak Ustadz, kalau saya boro-boro bisa diuras, belum dikuras saja sudah kering
duluan. Makanya saya datang ke sini agar sumurnya kagak kering,” kata seorang
ibu yang duduk di pojokan.
“Kalau sumurnya kering nanti mandinya di kali,” kata kami. “Orang Jakarta sudah
kagak punya kali lagi. Kalinya sudah jadi hotel semua,” kata seorang ibu yang
berseragam ungu terong.
“Malah enak. Nanti mandinya di hotel semua,” kata kami yang disambut tertawa
oleh ibu-ibu.
“Baiklah, ibu-ibu. Pelajaran
kita lanjutkan,” kata kami memulai lagi. “Tentang masalah mandi di hotel, eh….
Maaf, keliru.”
“Pak Ustadz bisa-bisa aja,” kata ibu yang duduk di bangku depan sambil cemberut
mukanya.
“Ibu-ibu kami ulangi. Masalah pendapat seseorang yang mengatakan bahwa tarawih
dua puluh rakaat itu bid’ah, maka kami akan menjelaskan dahulu apa yang disebut
bid’ah. Masalahnya ada sementara orang yang keliru memahami bid’ah. “Dalam
masalah ibadah, bid’ah adalah amal-amal ibadah yang tidak ada dalilnya. Dan
yang namanya dalil itu adalah al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas.
Ada orang yang berkata bahwa do’a setelah shalat
adalah bid’ah. Padahal ada Hadis hasan riwayat Imam al-Tirmidzi di mana Nabi
Saw. ditanya oleh para Sahabat:
“Doa manakan yang paling didengar Allah?” Nabi Saw menjawab, “Doa pada waktu
tengah malam yang akhir dan doa sehabis shalat-shalat fardhu.”
Dan masih banyak contoh-contoh semacam itu, yang intinya adalah apa yang
disebut bid’ah itu ternyata apa yang dia itu tidak tahu.
Pemahaman seperti ini tentu harus diluruskan .
Sekarang, kami mau bertanya kepada ibu-ibu. Apakah shalat tarawih dua puluh
rakaat itu tidak ada dalilnya?”
“Ada….,” jawab mereka serentak.
“Baik, sekarang kami mau bertanya lebih rinci. Yang jelas, dalilnya ada dan
dalilnya ada tiga macam. Saya mau bertanya. Mana ibu yang dari Tebet. Ibu
Farida, ada?”
“Ada, Pak Ustadz,” jawabnya singkat.
“Ustadzah Farida. Coba ibu sebutkan salah satu dalil shalat tarawih dua puluh
raka’at!” begitu pinta kami.
“Dalilnya adalah Hadis shahih di mana Nabi Muhammad Saw tidak membatasi jumlah
rakaat shalat tarawih.” Jawabnya.
“Bagus sekali. Seratus buat ibu Farida,” kata kami. “Baik, ibu Farida hafal
Hadis tersebut?” Tanya kami lagi. Dan tanpa menjawab lebih dahulu Ibu Farida
langsung menyebutkan Hadis.
“Bagus-bagus. Luar biasa Ibu Farida. Jawabannya
tepat sekali. Ini Ibu Farida baru belajar sekali, jawabannya sudah seperti itu.
Bagaimana kalau belajarnya sudah seratus kali?” kata kami memberi semangat.
“Siapa dulu ustadznya?” jawab ibu Farida sambil tertawa yang diikuti oleh
tertawa ceria para peserta penataran muballighat itu. Dan tiba-tiba ada seorang
ibu yang nyeletuk berbicara dengan logat Betawi kental, “ngerayu nih ye?”
“Baik. Dalil pertama sudah dijawab oleh Ustadzah Farida dari Tebet. Untuk
menjawab dalil yang kedua, kami panggil ustadzah yang tadi bertanya, dari
Condet. “Ya, Ibu Tuti. Silahkan Bu, dalil kedua ini apa?” begitu Tanya kami.
“Hadis mauquf, Ustadz,” jawabnya singkat.“ Jelasnya, “begitu pinta kemi
kepadanya. “Bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh
rakaat itu adalah sebuah Hadis mauquf. Dan Hadis mauquf itu statusnya sama
dengan Hadis marfu’ atau Hadis Nabi Saw apabila hal itu tidak berkaitan dengan
masalah ijtihadiyah. Sedangkan shalat tarawih tidak termasuk masalah
ijtihadiyah.”
“Bagus, bagus, bagus. Jawaban Ibu Tuti benar seratus prosen. Nilai seratus
untuk Ibu Tuti. Ternyata ibu-ibu ini hebat juga,” kata kami yang disambut
senyum-senyum oleh ibu-ibu itu.
“Baik. Sekarang apa dalil ketiga untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Siapa
dapat menjawab?” Tanya kami kepada ibu-ibu. “Saya Pak Ustadz,” jawab seorang
ibu yang duduk di deretan bangku sebelah kanan. “Namanya siapa Bu?” Tanya kami.
“Ibu Ita, dari Kebayoran Baru,” jawabnya singkat. “Ya, jawaban ibu?” Tanya kami
lagi. Ijma’ Sahabat, Pak Ustadz,” katanya. “Luar bisaa Ibu Ita, jawaban Ibu
benar seratus prosen. Waduh kalau para muballighat pinter-pinter seperti yang
ada di sini, kiai-kiai bisa enggak laku,” kata kemi diikuti tertawa ibu-ibu
tadi.
“Jadi ibu-ibu yang pinter-pinter. Shalat tarawih
dua puluh rakaat itu bukan bid’ah, karena ada dalilnya, baik Hadis Nabi Saw,
Hadis mauquf yang statusnya sama dengan Hadis Nabi Saw, maupun Ijma’ atau
kesepakatan para Sahabat Nabi Saw.”
“Pak Ustadz, ada yang mengatakan bahwa Khalifah Umar bin al-Khattab mengatakan
bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah yang paling baik. Bagaimana itu?”
Tanya seorang ibu yang memakai baju biru. “Benar Ibu, riwayat itu shahih, terdapat
dalam kitab Shahih al-Bukhari.[13] Namun maksud bid’ah di situ bukan ibadah
yang tidak ada dalilnya, tetapi maksudnya adalah bid’ah dalam arti kebahasaan.
Yaitu bahwa shalat tarawih dengan berjama’ah itu merupakan sesuatu yang baru,
kerena tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak pernah ada. Nabi Saw
hanya melakukannya dua kali atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan
berjamaah. Maka tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak ada pada masa
Nabi Saw.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal masa Khalifah Umar juga tidak pernah
shalat tarawih dilakukan dengan berjamaah. Baru pada masa Khalifah Umar bin
al-Khattab itulah shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah. Maka hal itu,
ditinjau dari sudut kebahasaan, adalah sesuatu yang baru yang dahulunya tidak
ada. Dan itulah arti bid’ah dari sudut kebahasaan.
Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :