Mensyukuri Nikmat Allah SWT

Ditulis Oleh : Hendra Pakpahan, SHI

Kita sebagai Ummat Nabi Muhammad SAW harus yakin dan percaya kepada ajaran beliau sekalipun kita tidak pernah jumpa, oleh karena itu kita sebagai ummatnya  diberikan kelebihan pahala karena kita yakin dan percaya kepada Nabi Muhammad padahal kita tidak jumpa dengan Beliau, Nabi Muhammad SAW sejak kecil sudah dikenal dengan As-Ashiddiq (yang dipercaya). 

Kita tentu harus banyak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT terutama nikmat iman dan akidah kita, melihat perkembangan zaman sekarang yang begitu banyaknya godaan yang dapat menggoyahkan iman kita, mulai dari Harta, Tahta dan Wanita, oleh karena itu kalau kita tidak selalu mensyukuri apa yang diberikan Allah kepada kita maka kita akan Kufur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita. berikut ini akan kita bahas mengenai Harta, Tahta dan Wanita.

HARTA (Siapa yang Giat Berusaha Itu Yang Akan Mendapat Tanpa Memandang Agama, Suku, Ras dan Siapapun Dia kuncinya "BERUSAHA, BERDOA, TAWAKKAL")
Sekarang ini gara-gara harta yang kurang atau kemiskinan seseorang bisa menjual akidahnya sampai-sampai pindah agama, padahal Kata Allah kalau lah satu kampung itu beriman dan bertaqwa kepada-Ku maka akan aku limpahkan rezki dari langit dan bumi dan dari tempat yang tidak disangka-sangka. kita sebagai ummat muslim terkadang berpikir tidak rasio, ada seseorang itu berpikir ketika melihat seseorang yang tidak beragama Islam yang mempunyai harta yang serba berkecukupan sehingga dia berpendapat bahwa Allah itu tidak adil. maka seseorang yang awwam akan mudah goyah imannya apalagi ditambah dengan pengetahuannya tentang agama kurang, maka tidak mungkin seseorang tersebut akan terjerumus kepada kekufuran "Kufur Nikmat". 

Padahal Allah dalam memberikan rezki kepada semua manusia tanpa keculia sama rata, siapa yang sungguh-sungguh mencari maka dia akan mendapatkannya. Kuncinya dalam meraih harta dalam konsep Islam adalah mencari nafkah yang halal dan selalu berusaha tanpa mengenal lelah, dan juga selalu berdoa dan tawakkal kepada Allah karena Dia lah yang memberikan rezki kepada setiap manusia, dan satu lagi kuncinya adalah sebesar apapun dan sekecil apapun rezki yang diberikan Allah kepad akita Wajib kita Syukuri, Percuma harta kita banyak kalau harta tersebut tidak berkah, malah membawa kita kepada kesombongan dan keangkuhan. biar sedikit harta kita tetapi berkah dan bermanfaat dalam kehidupan kita di dunia ini. 

TAHTA (Setiap orang adalah pemimpin dan sekecil-kecilnya pemimpin itu adalah Pemimpin Diri Sendiri)
Tahta dan jabatan yang diinginkan seseorang adalah hal yang wajar, tetapi melihat kenyataan sekarang ini adakalanya dalam merebut suatu tahta ataupun kepemimpinan menghalalkan semua cara, maka setelah seseorang menjadi pemimpin yang dengan meraihnya menghalalkan segala cara, yang dipimpinnya juga akan dilakukan dengan sesuka hatinya. Pemimpin harus menjadi sebagai panutan bagi yang dipimpinnya maka seseorang yang akan menjadi pemimpin agar mempelajari sifat-sifat Nabi Muhammad dalam kepemimpinannya. sangat sulit mencari pemimpin yang arif dan bijaksana zaman sekarang ini. maka salah satu doa yang dijabah Allah tanpa hisab adalah Doa seorang Pemimpin yang adil. 


WANITA (Pakaian bagi laki-laki dan tempat mencurahkan hati dan Ibu dari semua anak-anaknya yang tidak pernah mengenal Lelah)

Wanita yang sholehah merupakan dambaan semua laki-laki, tapi apabila dilihat pada zaman sekarang ini mencari wanita yang sholeh sudah sangat minim. wanita itu ibarat perhiasan yang indah tapi sanyang perhiasan sekarang ini lebih mahal dari seorang wanita. maka tidak salah dikatakan "Apabila di suatu negara baik wanitanya maka Negara tersebut akan makmur" begitulah perumpamaan yang sangat besar pengaruh wanita dalam kehidupan ini. 

Tetapi kenyataan sekarang ini wanita malah tidak ada lagi rasa malu memperlihatkan perhiasannya kepada siapapun. maka salah satu pertanda kiamat yang kecil adalah lebih banyak wanita dari pada laki-laki. dan zaman sekarang sudah jelas terlihat. 

Jumlah Shalat Taraweh

Dalam sebuah pelatihan muballighat pada bulan Ramadhan di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, seorang ibu muda dengan bersemangat sambil berdiri menanyakan Hadis tentang bilangan rakaat shalat tarawih.

“Pak Ustadz”, begitu ibu itu menyapa kami. “Sampai sekarang saya masih bingung, mana shalat tarawih yang benar, delapan rakaat atau dua puluh rakaat. Soalnya saya pernah mendengar ceramah bahwa shalat tarawih dengan delapan rakaat itu mengikuti Nabi Saw. Sedangkan shalat tarawih dua puluh rakaat itu mengikuti Umar bin al-Khattab. Penceramah itu juga berkata, “Kalau kita ingin selamat, ikuti saja Nabi Saw”.

“Pak Ustadz sebagai orang yang banyak menekuni Hadis, tentu dapat menjelaskan hal itu kepada kami. Dan kami sampaikan terima kasih sebelumnya.” Begitu permintaan ibu muda tadi sambil memposisikan badannya untuk duduk kembali di atas kursi semula.

Bisa Salah Bisa Benar
“Ibu minta yang panjang apa yang pendek?” tanya kami. “Apa maksud Pak Ustadz?” ibu tadi balik bertanya. “Maksud kami, ibu perlu jawaban dan uraian yang panjang, atau cukup jawaban yang singkat saja,” jawab kami. “Yang singkat dan pendek saja Pak Ustadz,” jawabnya.

“Baik kalau demikian,” jawab kami memulai. “Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat itu palsu. Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil sama sekali. Begitu pula, Hadis yang menetapkan shalat tarawih sebanyak delapan rakaat adalah semi palsu. Hadis ini juga tidak dapat dijadikan dalil”.

“Kalau begitu, yang benar shalat tarawih yang bagaimana?” tanya seorang ibu yang lain penasaran. “Shalat tarawih dua puluh rakaat itu bisa benar, juga bisa salah. Begitu pula shalat tarawih yang delapan rakaat, bisa benar dan bisa salah”. Bagitu kami menjawab.

“Pak Ustadz saya jadi tambah bingung, apa sebenarnya yang ustadz maksudkan?” kata seorang ibu yang lain lagi sambil mengerutkan dahinya. “Percaya kan, ibu-ibu tidak puas dengan yang pendek, musti minta yang panjang,” jawab kami. “Ah, Pak Ustadz bisa aja bercanda,” kata ibu yang duduk di deretan kursi depan sambil nyengir.

“Baik, kalau demikian, ibu-ibu jangan kemana-mana, tetaplah bersama kami. Kami akan segera kembali dengan jawaban yang panjang.

Tidak Ada Pada Masa Nabi

Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwihah yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau duduk istirahat.[1] Maka dari sudut bahasa, shalat tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Kemudian menurut istilah dalam agama Islam, shalat tarawih adalah shalat sunnah malam hari yanag dilakukan khusus pada bulan Ramadhan. Shalat sunnah yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan, tidak disebut shalat tarawih. Misalnya shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Isya’, shalat witir, shalat hajat, dan sebagainya.

Pada masa Nabi Saw tidak ada istilah shalat tarawih. Nabi Saw dalam Hadis-hadisnya juga tidak pernah menyebutkan kata-kata tarawih. Pada masa Nabi Saw, shalat sunnah pada malam Ramadhan itu dikenal dengan istilah qiyam Ramadhan.[2] Tampaknya istilah tarawih itu muncul dari penuturan Aisyah isteri Nabi Saw. seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, Aisyah mengatakan, “Nabi Saw shalat malam empat rakaat, kemudian yatarwwah (istirahat), kemudian shalat lagi panjang sekali.

Karenanya, ada orang yang berkelakar, Nabi Saw tidak pernah shalat tarawih selama hidupnya, karena Nabi Saw hanya melakukan qiyam Ramadhan.

Semuanya Salah
Di negeri kita, ada dua versi pelaksanaan shalat tarawih. Pertama, dua puluh rakaat, dan kedua, delapan rakaat. Ada sebuah Hadis riwayat Imam al-Thabrani sebagai berikut:

عن ابن عباس قال, كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر

Dari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.

Hadis ini, seperti dituturkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, adalah lemah sekali.[5] Dan Hadis yng kualitasnya sangat lemah, tidak dapat dijadikan dalil sama sekali untuk landasan beribadah. Kelemahan hadis ini karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman. Menurut Imam al-Bukhari, para ulama’ tidak mau berkomentar tentang Syaibah. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa Abu Syaibah munkar Hadis-hadisnya. Sedangkan Imam Nasai mengatakan, Abbu Syaibah adalah matruk Hadisnya. Bahkan menurut Imam Syu’bah, Abu Syaibah adalah seorang pendusta.[6]

Karenanya, Hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir itu dapat disebut Hadis palsu atau minimal Hadis matruk (semi palsu), karena ada rawi yang pendusta tadi. Dan ini, pada gilirannya, Hadis itu tidak dapat dijadikan dalil untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Atau dengan kata lain, apabila kita shalat tarawih dua puluh rakaan dengan menggunakan dalil Hadis Ibnu Abbas tadi, maka apa yang kita lakukan salah.

“Bagaimana ibu-ibu masih perlu dilanjutkan?” Tanya kami kepada ibu-ibu peserta pelatihan muballighat itu yang sejak tadi terdiam saja.

“Ya, Pak Ustadz, diteruskan”, jawab mereka serentak.

“Baiklah,” sahut kami.

“Tentang Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Saw shalat tarawih delapan rakaat dan witir, maka sebenarnya redaksinya begini. Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban ada sebuah Hadis begini:


عن جابر بن عبدالله, قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله, إنه كان مني الليلة شيئيعني في رمضان. قال: وما ذاك يا أبي؟ قال: نسوة في داري قلن إنالانقرأ القرأن, فنصلي بصلاتك. قال: فصليت بهن ثماني ركعات ثم أوترت. قال: فكان شبيه الرضا ويم بقل شيئا.

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ubay bin Ka’ab datang menghadap Nabi Saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya, pada bulan Ramadhan.” Nabi Saw kemudian bertanya. “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab, “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca al-Qur’an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat witir.” Jabir kemudian berkata, “Maka hal itu diridlai Nabi Saw, karena beliau tidak berkata apa-apa.

Hadis ini kualitasnya lemah sekali, karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut para ahli kritik Hadis papan atas, seperti Imam Ibnu Ma’in dan Imam al-Nasai, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah Hadisnya. Bahkan Imam al-Nasai pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (Hadisnya semi palsu karena ia pendusta).

Ada lagi Hadis lain yang lebih kongkrit dari Hadis di atas, yaitu riwayat Ja’far bin Humaid, dari Jabir bin Abdullah, katanya:

صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلية في رمضان ثماني ركعات والوتر

Nabi Saw pernah mengimami kami shalat pada suatu malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.

Hadis ini nilainya sama dengan Hadis Ubay bin Ka’ab di atas, yaitu matruk (semi palsu), karena di dalam sanadnya terdapat rawi Isa bin Jariyah itu tadi.
Jadi baik shalat tarawih dua puluh rakaat, maupun shalat tarawih depalan rakaat, apabila menggunakan dua Hadis di atas tadi, yaitu Hadis Ibnu Abbas untuk tarawih dua puluh rakaat dan Hadis Jabir untuk tarawih yang delapan rakaat, maka dua-duanya adalah salah. “Paham ibu-ibu?” begitu Tanya kami.

“Paham, Pak Ustadz,” sahut ibu-ibu serentak dengan sorot matanya yang agak melotot karena antusias untuk memahami masalah ini.

Semuanya Benar
“Baik ibu-ibu, kami lanjutkan.” Kata kami. “Shalat tarawih delapan rakaat maupun dua puluh rakaat itu semuanya benar apabila menggunakan Hadis yang shahih, di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan atau qiyam Ramadhan yang kemudian lazim dikenal dengan shalat tarawih.

Hadis itu adalah:
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang menjalankan qiyam Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah ia lakukan akan diampuni. (Hadis riwayat al-Bukhari).

Dalam Hadis ini, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam Ramadhan. Mau sepuluh rakaat, silahkan. Mau dua puluh rakaat, silahkan. Mau seratus rakaat, silahkan. Mau delapan rakaat pun silahkan. Maka shalat tarawih dua puluh rakaat dan delapan rakaat, apabila menggunakan Hadis ini sebagai dalil, keduanya benar. Hanya bedanya nanti, mana yang afdhal saja. Bisa jadi shalat tarawih dua puluh rakaat itu afdhal daripada delapan rakaat, apabila tarawih dua puluh rakaat itu dilakukan dengan baik, khusyu’, dan lama. Sementara shalat tarawih delapan rakaat dilakukan dengan tidak baik.

Sebaliknya, shalat tarawih delapan rakaat itu afdhal daripada dua puluh rakaat, apabila yang delapan rakaat itu dikerjakan dengan baik, khusyu’ dan lama. Sementara yang dua puluh rakaat dikerjakan dengan cepat dan tidak khusyu’.”
Dalil Shalat Witir
“Pak Ustadz, saya mau bertanya,“ kata seorang ibu yang duduk di bangku ketiga di depan. “Baik ibu, sebutkan namanya dan dari mana!” kata kami.

“Nama saya Ida, dari Pasar Minggu, mau bertanya. Bukankah ada riwayat yang shahih dari Aisyah isteri Nabi Saw, bahwa Nabi Saw baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat? Bagaimana Pak Ustadz dengan Hadis ini? Bukankan hal itu berarti bahwa shalat malam Ramadhan itu tidak boleh lebih dari sebelas rakaat?”

“Terima kasih, Ustadzah Ida dari Pasar Minggu. Pertanyaan Ibu sangat-sangat bagus,“ begitu jawab kami. “Memang benar ada Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lain-lain dari Aisyah isteri Nabi seperti yang Ustadzah sampaikan tadi. Kami tidak ingin mengomentari Hadis itu karena ia adalah Hadis shahih, sehingga tidak perlu komentar lagi. Yang ingin kami komentari adalah pemahaman kita yang menjadikan Hadis Aisyah itu sebagai dalail shalat tarawih.

Komentar kami adal tiga hal.

Pertama; kawan-kawan yang menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil shalat tarawih biasanya tidak membaca Hadis itu secara utuh, sehingga mungkin dapat menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Hadis Aisyah tadi diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, Imam al-Nasai dan Imam Malik bin Anas. Kisahnya adalah, seorang Tabi’in yang bernama Abu Salamah bin Ab al-Rahman bertanya kepada Aisyah isteri Nabi Saw tentang shalat Nabi Saw pada bulan Ramadhan. Aisyah menjawab:

Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah kemudian berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum shalat witir?” beliau menjawab, “Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.[11]

Jadi apabila kita baca Hadis itu secara utuh, maka konteks Hadis itu adalah berbicara tentang shalat witir, bukan shalat tarawih, karena pada akhir Hadis itu Aisyah menanyakan shalat witir kepada Nabi Saw. Dan seperti kami jelaskan di depan, shalat tarawih itu adalah shalat sunnah yang hanya dilakukan pada malam-malam Ramadhan. Sedangkan shalat witir adalah shalat witir adalah shalat sunnah yang dilakukan setiap malam, sepanjang tahun dan tidak hanya pada bulan Ramadhan.

Kedua; Dalam Hadis tersebut Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat baik pada malam bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan. Shalat yang dilakukan pada malam sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan tentu bukan shalat tarawih. Sebab shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadhan.

Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa Hadis Aisyah di atas itu adalah Hadis tentang shalat witir, bukan Hadis tentang shalat tarawih. Para ulama umumnya juga menampatkan Hadis Aisyah itu pada bab shalat witir atau shalat malam, bukan pada bab tentang shalat tarawih.

Adalah keterangan lain yang juga dari Aisyah sendiri, di mana beliau berkata:

Rasulaullah Saw shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat witir dan dua rakaat fajar. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Ketiga: umumnya kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu menggunakan Hadis Aisyah tadi sebagai dalil shalat mereka itu. Baik, kalau mereka mau konsekwen mengikuti sunnah Nabi Saw. silahkan mereka shalat sebelas rakaat itu setiap malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Sebab Hadis Aisyah tadi menyebutkan bahwa Nabi Saw shalat sebelas rakaat itu setiap malam, sepanjang tahun, baik bulan Ramadhan maupun bukan Ramadhan.

Kenyataanya tidak demikian. Kawan-kawan yang shalat tarawih sebelas rakaat itu selalu menyebut-nyebut Hadis Aisyah tadi pada bulan-bulan Ramadhan saja. Di luar Ramadhan Hadis Aisyah itu tidak pernah mereka sebut-sebut. Kami tidak tahu pasti apakah kawan-kawan yang shalat sebelas rakaat pada bulan Ramadhan itu juga shalat sebanyak itu di luar Ramadhan. Lagi pula, ada keterangan yang shahih, bahwa Nabi Saw shalat malam sampai kakinya pecah-pecah.

Al-Mughirah r.a. menuturkan bahwa Nabi Saw shalat malam sampai pecah-pecah kedua tumit atau betisnya. Ketika hal itu ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang banyak bersyukur?”

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Saw shalat malam banyak rakaat, bukan hanya sebelas rakaat. Sekiranya Nabi Saw shalat malam hanya sebelas rakaat, tentu kaki beliau tidak akan pecah-pecah. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat sebelas rakaat oleh Aisyah itu adalah shalat witir, bukan shalat malam secara keseluruhan.

Dalam Hadis yang lain Nabi Saw. bersabda:
Jadikanlah shalatmu terakhir pada malam hari adalah shalat witir.

Aisyah sendiri juga mengatakan:

Rasulullah Saw shalat malam, sehingga shalat paling terakhir yang beliau lakukan adalah shalat witir.

Dalam Hadis lain, Aisyah juga mengatakan:
Nabi shalat malam dan saya tidur terlentang di atas tempat tidurnya. Apabila beliau hendak witir, beliau membangunkan aku, kemudian aku shalat witir.


Jadi shalat setiap malam sebelas rakaat yang dilakukan Nabi Saw adalah shalat witir, dan itu adalah shalat paling akhir dilakukan Nabi Saw setiap malam. Sebelum shalat witir, shalat apa dan berapa rakaat yang dilakukan Nabi Saw? Tampaknya Aisyah tidak tahu, karena beliau waktu itu masih tidur.

“Baik, ibu-ibu, masih ada lagi yang bertanya?” begitu tanya kami, sementara hari pada awal Ramadhan itu sudah mulai siang.

“Ada Pak Ustadz,” kata ibu yang lain. “Baik, silahkan. Sebut namanya dan peserta dari mana!” pinta kami.

Memenggal Hadis

“Pak Ustadz,” begitu ibu tadi mulai bertanya. “Di lingkungan masyarakat kita, ada yang shalat tarawih delapan rakaat, dengan cara empat rakaat satu kali duduk dan salam, sebanyak dua kali. Kemudian shalat witir tiga rakaat dengan satu kali duduk. Alasannya, kata mereka, mengikuti Sunnah Nabi Saw berdasarkan riwayat Aisyah tadi. Bagaiamana hal ini menurut Ustadz, terima kasih.”

“ibu tadi belum menyebutkan nama dan peserta dari mana,” begitu kata kami sebelum menjawab pertanyaan.

“Farida nama saya, Pak Ustadz, dari Tebet,” jawabnya singkat.

“Baik, Ibu Farida, dari Tibet. Eh, maaf dari Tebet,” begitu kata kami keseleo. “Hadis Aisyah yang sudah kami jelaskan di muka tadi adalah Hadis tentang shalat witir bukan Hadis tentang shalat tarawih. Sebelas rakaat itu adalah satu paket shalat witir dengan jumlah rakaat yang maksimal. Shalat witir minimal satu rakaat.
Dalam berbagai riwayat yang shahih, shalat witir itu bervariasi, boleh satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, Sembilan rakaat, dan sebelas rakaat. Bahkan ada riwayat tiga belas rakaat. Shalat witir itu juga boleh dilakukan dengan dua rakaat lalu salam, kemudian ditambah satu rakaat. Dapat juga tiga rakaat satu kali duduk, kemudia salam. Ini bagi witir yang tiga rakaat. Witir lima rakaat dapat dilakukan dengan bentuk empat rakaat dengan duduk sekali, kemudian ditambah satu rakaat. Nabi Saw juga pernah shalat witir sembilan rakaat dan duduk serta salam pada rakaat kedelapan.

Tentang pertanyaan Ibu Farida dari Tebet tadi, di mana Hadis Aisyah itu dipakai oleh sementara orang untuk shalat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat, menurut kami hal itu tidak tepat. Karena hal itu berarti satu Hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat witir dipenggal menjadi dua, delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir. Kalau Hadis Aisyah itu dipakai untuk shalat witir saja, itu benar.

“Bagaiamana Ibu Farida, sudah paham?” begitu kami bertanya. “Sudah, Pak Ustadz,” jawabnya singkat.

Sahabat Memakai Hadis Palsu?

“Saya mau bertanya, Pak Ustadz,” begitu tiba-tiba kata seorang ibu yang lain lagi. “Silahkan, Bu. Sebut nama dan peserta dari mana,” pinta kami.
“Saya bernama Tuti, peserta dari Condet. Pertanyaan saya begini Pak Ustadz. Apabila Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat itu palsu, sedangkan yang masyhur tarawih dua puluh rakaat itu dikerjakan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka hal ini berarti pada Sahabat itu menjadikan Hadis palsu sebagai dalil ibadah mereka. Ini merupakan suatu hal musykil bagi saya. Lagi pula bagaimana sebenarnya kualitas riwayat tarawih dua puluh rakaat yang diprakasai Khalifah Umar itu? Terima kasih.”

“Ibu Tuti yang baik. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab belum ada yang memalsu Hadis. Menurut para ulama ahli Hadis, pemalsuan Hadis baru ada sesudah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 35 H. bahkan Dr. Shubhi al-Shalih menyebutkan bahwa sejak tahun 41 H. pemalsuan Hadis itu muncul ke permukaan.[2] Sedangkan Khalifah Umar wafat pada tahun 23 H. jadi pada Sahabat tidak memakai Hadis palsu dalam masalah shalat tarawih dua puluh rakaat.

Hadis shalat tarawih dua puluh rakaat itu sendiri yang kami sebut sebagai Hadis palsu adalah diriwayatkan dengan sanad yang di dalamnya terdapat rawi yang bernama Ibrahim bin Sulaiman al-Kufi yang meninggal sesudah tahun 260 H. Dia inilah yang memalsu Hadis tersebut. Jadi Hadis itu tentunya muncul pada petengahan abad ketiga.

Kemudian tentang kualitas Hadis Ubay bin Ka’ab yang mengimami shalat tarawih pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, maka kualitasnya shahih. Hadis ini disebut Hadis mauquf, karena tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Apabila Hadis disandarkan kepada Nabi Saw disebut Hadis marfu’. Hadis Ubay bin Ka’ab ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Sunan al-Kubra, Juz II hal. 496. Dan sekali lagi kualitasnya shahih. Demikian menurut Imam al-Nawawi, Imam al-Zaila’I, Imam al-Subki, Imam In al-‘Iraqi, Imam al-‘Aini, Imam al-Suyuti, Imam Ali al-Qari, Imam al-Nimawi, dan lain-lain.

Memang ada yang menilai Hadis Ubay bin Ka’ab itu dhaif (lemah), seperti Imam al-Mubarakfuri dan Syeikh al-Albani. Namun penilaian itu dibantah oleh Syeikh Ismail al-Anshari, seorang ulama peneliti dari Darul Ifta di Riyadh Saudi Arabia.

Tarawih 20 Rakaat Sunnah Nabi Saw.

“Kalau begitu, angka dua puluh itu dari mana, Pak Ustadz?” begitu tiba-tiba seorang ibu yang duduk di depan nyelonong bertanya.

“Itulah Bu, yang perlu kita ketahui,” jawab kami spontan. “Dalam Hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi Saw melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat tarawih itu selama dua atau tiga malam saja. Beliau melakukannya dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu oleh para jamaah untuk shalat yang sama, tetapi beliau tidak keluar ke masjid.

Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan samapai masa Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq dan awal masa Khalifah Umar, tidak ada yang melakukan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Baru kemudian pada masa Khalifah Umar bin Kahattab, beliau menyuruh Sahabat Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam shalat tarawih di masjid. Dan ternyata Ubay bin Ka’ab bersama pada Sahabat yang lain shalat tarawih dua puluh rakaat.

Tentu pertanyaannya sekarang, dari mana para Sahabat itu mengetahui bahwa shalat tarawih itu dua puluh rakaat, padahal tidak ada keterangan yang kongkrit dari Nabi Saw. bahwa beliau shalat tarawih dua puluh rakaat? Mengapa ketika mereka shalat tarawih dua puluh rakaat tidak ada seorang pun protes atau menyalahkan shalat mereka?

Mengapa Aisyah waktu itu diam saja, tidak protes. Padahal Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Saw tidak pernah shalat malam, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan lebih dari sebelas rakaat? Apabila yang dilakukan para Sahabat itu menyalahi tarawih yang dilakukan Nabi Saw mengapa semua Sahabat diam, padahal ketika Umar bin al-Khattab mau membatasi besarnya mahar saja, beliau diprotes oleh seorang wanita karena hal itu bertentangan dengan al-Qur’an?

Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua cara pendekatan.
Pertama; apa yang dilakukan para Sahabat itu, di mana mereka shalat tarawih dua puluh rakaat, menurut disiplin ilmu Hadis disebut Hadis Mauquf. Hadis Mauquf ini seperti disebutkan Imam al-Suyuti, apabila tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah dan pelakunya dikenal tidak menerima keterangan-keterangan dari sumber-sumber mantan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Hadis mauquf statusnya sama dengan Hadis Marfu’, yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Alasannya, Sahabat tentu tidak mengetahui hal itu kecuali dari Nabi Saw.

Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya adalah bukan masalah ijtihadiyah, bukan juga masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, melainkan para Sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi Saw. Sekiranya hal itu merupakan masalah ijtihadiyah atau masalah yang bersumber dari pendapat seseorang tentulah pada Sahabat akan berbeda-beda dalam melakukan shalat tarawih. Sebab lazimnya, dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau masalah-masalah di mana pendapat seseorang dapat berperan, akan tetapi terjadi perbedaaan-perbedaan.

Oleh karena itu, Hadis tentang tarawih dua puluh rakaat tadi, kendati hal itu mauquf kepada para Sahabat, namun statusnya sama dengan Hadis marfu’; yaitu Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. apabila berstatus sebagai Hadis marfu’, maka ia memiliki hujjiyah (kekuatan sebagai sumber hukum) seperti halnya Hadis-hadis marfu’ yang lain.

Kedua: ketika Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat, tidak ada satu orang pun yang protes, menyalahkan atau menganggap hal itu bertentangan dengan yang dikerjakan Nabi Saw. Padahal pada waktu itu Aisyah, Umar bin al-Khattab, Abu Hurairah, Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, dan para Sahabat senior yang lain, semuanya masih hidup. Sekiranya tarawih dua puluh rakaat itu bertentangan dengan Sunnah Nabi Saw. tentu para Sahabat itu sudah protes terhadap apa yang dilakukan Ubay bin Ka’ab.

Bandingkan dengan misalnya pada masa Marwan dari Dinasti Bani Umayyah, jauh setelah masa Umar bin al-Khattab, Marwan pernah mengubah tatanan shalat ‘Id (Hari Raya). Sunnahnya atau berdasarkan tuntunan Nabi Saw, shalat ‘Id itu dikerjakan sebelum khutbah berbeda dengan shalat Jum’at, yang mendahulukan khutbah baru kemudian shalat. Pada masa Marwan, apabila dalam shalat ‘Id itu shalat didahulukan baru kemudian khutbah, maka banyak jamaah yang bubar tidak mau mendengarkan khutbah. Karenanya, agar orang-orang itu mau mendengarkan khutbah, Marwan mengubah tatanan shalat ‘Id menjadi khutbah dahulu kemudian shalat.

Apa yang terjadi kemudian? Marwan diprotes habis-habisan oleh orang banyak. “Wahai Marwan, kamu menentang Sunnah Nabi Saw,” begitu kata seorang dari mereka yang mengecam Marwan.

Oleh karena shalat tarawih dua puluh rakaat yang dipimpin Ubay bin Ka’ab itu tidak ada satu pun dari Sahabat yang diprotes atau menentang, maka hal itu, menurut Imam Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H), Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w.620 H) merupakan ijma’ (consensus) Sahabat yang kemudian diikuti oleh Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan menurut Imam Qudamah, apa yang disepakati oleh para Sahabat itu lebih utama dan lebih layak untuk diikuti.

Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) juga menegaskan, “Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama mengatakan bahwa hal itu adalah Sunnah, karena Ubay bun Ka’ab shalat di hadapan orang-orang Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari.

Jadi, ibu-ibu yang baik, shalat tarawih dua puluh rakaat itu merupakan Sunnah Nabi Saw dan bukan bid’ah.” Begitu kata kami ingin segera mengakhiri dialog siang itu, karena jarum jam sudah menunjuk kepada angka 11.40.

Tiga Dalil Tarawih

“Ada yang bilang, katanya tarawih dua puluh raka’at itu bid’ah. Bagaimana itu Pak Ustadz?” Tanya ibu yang tadi penasaran.

“Waduh, bagaimana ibu-ibu masih juga ada yang bertanya, padahal hari sudah semakin siang. Ibu-ibu tentu ingin segera pulang untuk menyiapkan kolak dan minuman ketimun suri,” begitu kata kami.

“Ah, Bapak tahu aja,” kata seorang ibu yang sejak tadi terdiam saja. “Bagaimana, ibu-ibu, dilanjutkan apa ditutup sampai di sini?” Tanya kami.
“Dilanjutkan,” begitu jawab ibu-ibu itu serentak. “Biar kapok, Bapak dikuras hari ini,” kata seorang ibu yang berbusana cerah.

“Bu, apanya yang dikuras?” Tanya kami. “Ilmunya, Pak Ustadz,” jawab ibu tadi.

“Ibu, ilmu itu tidak sepeti air sumur. Air sumur dikuras? Habis. Ilmu? Semakin dikuras, semakin kembung, karena mata airnya semakin banyak dan deras. Jadi kalau ibu-ibu ingin banyak ilmunya, sering-sering sajalah dikuras.”

“Pak Ustadz, kalau saya boro-boro bisa diuras, belum dikuras saja sudah kering duluan. Makanya saya datang ke sini agar sumurnya kagak kering,” kata seorang ibu yang duduk di pojokan.

“Kalau sumurnya kering nanti mandinya di kali,” kata kami. “Orang Jakarta sudah kagak punya kali lagi. Kalinya sudah jadi hotel semua,” kata seorang ibu yang berseragam ungu terong.

“Malah enak. Nanti mandinya di hotel semua,” kata kami yang disambut tertawa oleh ibu-ibu.

“Baiklah, ibu-ibu. Pelajaran kita lanjutkan,” kata kami memulai lagi. “Tentang masalah mandi di hotel, eh…. Maaf, keliru.”

“Pak Ustadz bisa-bisa aja,” kata ibu yang duduk di bangku depan sambil cemberut mukanya.

“Ibu-ibu kami ulangi. Masalah pendapat seseorang yang mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah, maka kami akan menjelaskan dahulu apa yang disebut bid’ah. Masalahnya ada sementara orang yang keliru memahami bid’ah. “Dalam masalah ibadah, bid’ah adalah amal-amal ibadah yang tidak ada dalilnya. Dan yang namanya dalil itu adalah al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas.
Ada orang yang berkata bahwa do’a setelah shalat adalah bid’ah. Padahal ada Hadis hasan riwayat Imam al-Tirmidzi di mana Nabi Saw. ditanya oleh para Sahabat:

“Doa manakan yang paling didengar Allah?” Nabi Saw menjawab, “Doa pada waktu tengah malam yang akhir dan doa sehabis shalat-shalat fardhu.”

Dan masih banyak contoh-contoh semacam itu, yang intinya adalah apa yang disebut bid’ah itu ternyata apa yang dia itu tidak tahu.

Pemahaman seperti ini tentu harus diluruskan .

Sekarang, kami mau bertanya kepada ibu-ibu. Apakah shalat tarawih dua puluh rakaat itu tidak ada dalilnya?”

“Ada….,” jawab mereka serentak.

“Baik, sekarang kami mau bertanya lebih rinci. Yang jelas, dalilnya ada dan dalilnya ada tiga macam. Saya mau bertanya. Mana ibu yang dari Tebet. Ibu Farida, ada?”

“Ada, Pak Ustadz,” jawabnya singkat.

“Ustadzah Farida. Coba ibu sebutkan salah satu dalil shalat tarawih dua puluh raka’at!” begitu pinta kami.

“Dalilnya adalah Hadis shahih di mana Nabi Muhammad Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat tarawih.” Jawabnya.

“Bagus sekali. Seratus buat ibu Farida,” kata kami. “Baik, ibu Farida hafal Hadis tersebut?” Tanya kami lagi. Dan tanpa menjawab lebih dahulu Ibu Farida langsung menyebutkan Hadis.
“Bagus-bagus. Luar biasa Ibu Farida. Jawabannya tepat sekali. Ini Ibu Farida baru belajar sekali, jawabannya sudah seperti itu. Bagaimana kalau belajarnya sudah seratus kali?” kata kami memberi semangat.

“Siapa dulu ustadznya?” jawab ibu Farida sambil tertawa yang diikuti oleh tertawa ceria para peserta penataran muballighat itu. Dan tiba-tiba ada seorang ibu yang nyeletuk berbicara dengan logat Betawi kental, “ngerayu nih ye?”

“Baik. Dalil pertama sudah dijawab oleh Ustadzah Farida dari Tebet. Untuk menjawab dalil yang kedua, kami panggil ustadzah yang tadi bertanya, dari Condet. “Ya, Ibu Tuti. Silahkan Bu, dalil kedua ini apa?” begitu Tanya kami.

“Hadis mauquf, Ustadz,” jawabnya singkat.“ Jelasnya, “begitu pinta kemi kepadanya. “Bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab mengimami shalat tarawih dua puluh rakaat itu adalah sebuah Hadis mauquf. Dan Hadis mauquf itu statusnya sama dengan Hadis marfu’ atau Hadis Nabi Saw apabila hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah. Sedangkan shalat tarawih tidak termasuk masalah ijtihadiyah.”

“Bagus, bagus, bagus. Jawaban Ibu Tuti benar seratus prosen. Nilai seratus untuk Ibu Tuti. Ternyata ibu-ibu ini hebat juga,” kata kami yang disambut senyum-senyum oleh ibu-ibu itu.

“Baik. Sekarang apa dalil ketiga untuk shalat tarawih dua puluh rakaat. Siapa dapat menjawab?” Tanya kami kepada ibu-ibu. “Saya Pak Ustadz,” jawab seorang ibu yang duduk di deretan bangku sebelah kanan. “Namanya siapa Bu?” Tanya kami.

“Ibu Ita, dari Kebayoran Baru,” jawabnya singkat. “Ya, jawaban ibu?” Tanya kami lagi. Ijma’ Sahabat, Pak Ustadz,” katanya. “Luar bisaa Ibu Ita, jawaban Ibu benar seratus prosen. Waduh kalau para muballighat pinter-pinter seperti yang ada di sini, kiai-kiai bisa enggak laku,” kata kemi diikuti tertawa ibu-ibu tadi.
“Jadi ibu-ibu yang pinter-pinter. Shalat tarawih dua puluh rakaat itu bukan bid’ah, karena ada dalilnya, baik Hadis Nabi Saw, Hadis mauquf yang statusnya sama dengan Hadis Nabi Saw, maupun Ijma’ atau kesepakatan para Sahabat Nabi Saw.”

“Pak Ustadz, ada yang mengatakan bahwa Khalifah Umar bin al-Khattab mengatakan bahwa tarawih dua puluh rakaat itu bid’ah yang paling baik. Bagaimana itu?” Tanya seorang ibu yang memakai baju biru. “Benar Ibu, riwayat itu shahih, terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari.[13] Namun maksud bid’ah di situ bukan ibadah yang tidak ada dalilnya, tetapi maksudnya adalah bid’ah dalam arti kebahasaan. Yaitu bahwa shalat tarawih dengan berjama’ah itu merupakan sesuatu yang baru, kerena tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak pernah ada. Nabi Saw hanya melakukannya dua kali atau tiga kali, kemudian tidak melakukannya dengan berjamaah. Maka tarawih dengan berjamaah itu sudah dianggap tidak ada pada masa Nabi Saw.

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal masa Khalifah Umar juga tidak pernah shalat tarawih dilakukan dengan berjamaah. Baru pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab itulah shalat tarawih dilaksanakan dengan berjamaah. Maka hal itu, ditinjau dari sudut kebahasaan, adalah sesuatu yang baru yang dahulunya tidak ada.
Dan itulah arti bid’ah dari sudut kebahasaan.

Lihat Juga Artikel lain dengan meng KLIK di bawah ini :


Shalat Taraweh Sunnah Rasulullah

Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

  1. Pensyari'atannya

Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.

Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]

Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya


2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].

Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".

Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"

Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.

Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.

Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]

Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :


1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]

Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]

Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.

[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H



Tata Cara Shalat Taraweh

Seputar Sholat Tarawih dan Qunut Witir


Sholat Tarawih
Syaikh Nashiruddin Al-Albani  telah menjelaskan perincian tentang tata cara shalat tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian disini diringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.


Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.

Cara Kedua 
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.

Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.

Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.

Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.




Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.

Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].

Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) . 

Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).

 
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”

Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)

Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih). 


Doa Qunut witir dan tempatnya

Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :


اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، [وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ[، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت.
“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” [HR. Empat penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi. Sedang doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Tirmidzi 1/144, Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil, oleh Al- Albani 2/172.]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :


"اللهم قا تل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك, ولا يؤمنون بوعدك, وخالف بين كلمتهم, وألق في قلوبهم الرعب, وألق عليهم رجزك وعذا بك, يا اله الحق"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”


Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :

اَللَّهُمَّ إيـَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.


“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmatMu, kami takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan menimpa pada orang- orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepadaMu, kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]


Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).

Yang diucapkan di akhir witir

Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.


“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung kepadaMu dari ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepadaMu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diriMu sendiri.” [HR. Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta kitab Irwa’ul Ghalil 2/175. [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :


سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ]  (يجهر بها ويمد بها صوته يقول 3 مرات)
Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai 3/244, Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31. Sanadnya shahih, lihat Zadul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-Arnauth 1/337.


Dua rakaat setelah witir

Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :

“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 ) 

Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan) 

(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)



Lihat Juga Artikel lain dengan cara meng KLIK di bawah ini :