Titip Rindu untuk Ayah

Seraut wajah penuh gurat. Membuatku selalu teringat larik Ebiet G Ade,

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meskipun nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

What should I say about him?

Sedari kecil, aku tak terlalu dekat dengannya. Lumrah mungkin, karena seorang anak memang biasanya lebih dekat dengan ibunya. Sosok wanita yang senantiasa hadir di rumah, membimbing anak-anaknya.

Aku tak terlalu dekat dengannya. Sosok itu selalu pergi pagi pulang sore. Setiap beliau tiba, selalu kucari, adakah ia membawa bingkisan bagiku? Dan ibuku senantiasa menyuruhku menyiapkan makan baginya. Sebuah permintaan yang selalu kupenuhi sembari enggan menggelayuti jasad. Sebuah sikap yang selalu kusesali hingga saat ini.

Sosok itupun jarang berbicara. Selalu kulihat ia bekerja dalam diam. Ah, satu sifat yang lewat kuteladani. Ya, ayah adalah sosok yang serba bisa menurutku. Dan jelas dambaan wanita masa kini. Karena beliau tidak pernah segan melakukan pekerjaan wanita, tanpa melalaikan amanahnya sebagai ayah. Bahkan kadang kupikir, di beberapa sisi beliau lebih jago dari ibuku. Beliau bisa menjahit dengan rapi dan sangat teliti. Membuatkan ciput untuk kakak perempuanku, sebagai orang pertama yang memakai kerudung di keluargaku. Memasak dengan sangat bersih dan apik. Membuat sendiri beberapa perkakas dapur dari kayu. Membersihkan halaman dan menggunting rumput. Pernah suatu kali, seorang sales mengira beliau adalah tukang kebun! Jadilah rumahku selamat dari serbuan sales.

Benar, ayah adalah pekerja yang sangat teliti. Kadang aku dan juga kakak-kakakku sering gemas ... "Ayo dong Yah, cepetan dikit! Atau kita aja deh yang ngerjain". Tapi proses yang 'lambat' itulah yang mewujudkan hasil mengesankan.

Mengecat ayunan taman bersama. Pergi ke pasar dengan pakaian lusuh. Beli sepeda, lalu kita kayuh bergantian. Menemaniku ke toko buku. Membelikanku gula-gula harum manis yang besar, karena saat itu aku malu memegangnya. Memboncengku di sepeda 'unta'. Menghadirkan bola basket saat aku memang sedang kepingin-kepinginnya. Mewariskan kepadaku beberapa buku sastra masih dengan ejaan lama. Berkolaborasi dengan ibuku, menjahitkan seprei berenda untuk Idul Fitri.

Satu lagi dari ayahku adalah, beliau tidak pernah mengeluh. Sungguh! Sosok itu memang jarang tersenyum. Beberapa temanku mengaku takut melihat ayahku. Wah, mereka belum tau saja bila isengnya kumat, ayahku bisa meniru sosok ibu via telpon, dan sudah beberapa teman yang tertipu!

Perpaduan sinergis jarang tersenyum dengan tiada keluhan sedikit pun dari lisannya. Bahkan saat beliau sakit dan harus dirawat di rumah sakit -pertama dan hanya sekali dalam seumur hidupnya-, hingga sosok tegar itu menemui Izrail di sana. Akibat sakit yang menyerang hatinya. Akibat akumulasi zat-zat toksik ketika dulu beliau bekerja di pabrik belasan tahun lamanya. Sedikitpun tak pernah kudengar keluhan keluar dari lisannya. Padahal sering beliau tidak melalui malam dengan mata terpejam, karena sakit memerih di hatinya. Bahkan beliau menolak keinginanku untuk menemaninya di rumah sakit hanya karena khawatir mengganggu sekolahku.

Satu ketika seorang sahabat bercerita kepada saya, kakunya ia membangun komunikasi dengan ayahnya. Aku hanya bisa terdiam miris. Menyembunyikan basah di mataku. Duhai sahabat, segeralah bangun komunikasi dengannya. Sebelum maut mewujudkan jarak antaranya.

Mengenang ayahku, selalu kuingat tanggal itu, 31 Agustus 1995. Paska kepulangannya dari Baitullah. Ternyata beliau pun harus berpulang pada Dzat yang selalu kita nantikan pertemuan dengan-Nya. Kamis mendung mendesak awan. Tubuhnya telah terbalut kain putih. Menyisakan seraut wajah bergurat. Tatkala wajahnya dipalingkan menghadap kanan. Dan gundukan tanah merah basah menindihnya, menghalangi kami sedikit demi sedikit ... menjarakkan kami kian jauh ...

Rabbi,
Lapangkanlah kuburnya.
Terangilah ia dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.
Datangkanlah sosok tampan di hadapannya, sebagai wujud amal kebaikan beliau selama ini.
Kutitipkan ia pada-Mu Ya Allah ...

Rabbi,
Rahmatilah hamba sebagai anak shaleh, agar mampu mendoakan kedua orang tua hamba.
Sampaikan kepadanya, larik yang belum sempat kuverbalkan di hadapannya, bahwa Aku mencintainya.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangatmu tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Rindu Ayah. Sungguh.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Titip Rindu untuk Ayah "

Post a Comment