Sebuah Kado Hari Ibu

Sebuah Kado Hari Ibu: Untuk Wanita Perkasaku 

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh.
Lewati rintangan, demi aku anakmu. 
Ibuku sayang, masih terus berjalan. 
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. 

Seperti udara kasih yang engkau berikan.
Tak mampu kumembalas…Ibuuuu…..ibu.

Ingin kudekap dan menangis di pangkauanmu.
Sampai ku tertidur bagai masa kecil dulu.
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku.
Dengan apa kumembalas, ibuuuu….ibu. 

Ibu, Iwan Fals.

Hari ini Ibu, jelang 22 Desember, dalam derai air mata, dalam haru biru senandung lagu untukmu, aku mengenangmu. Meski baru tiga pekan aku kembali ke Jakarta, rasanya rindu ini demikian membuncah, dan membuatku mengurai saat-saat bersamamu beberapa waktu lalu. 

Ibu, jelang lebaran kemarin, saat aku pulang kampung selama dua pekan, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menggantikanmu melaksanakan tugas-tugas ke rumahtanggaan. Ya, seperti dulu semasa aku SMA, saat aku menjadi anak kost dan pulang seminggu sekali. Ketika itu, bila aku di rumah, aku berusaha mengerjakan semua pekerjaan sehari-hari, untuk menebus enam hari yang terlewat dari membantumu Ibu. Kini, ketika aku tinggal lebih jauh lagi dan jarang pulang, aku merasa lebih wajib lagi membantumu. Apalagi, tentu saja Engkau sudah semakin renta, di usiamu yang lewat tengah baya.

Tapi Ibu, ternyata aku kalah. Kalah pada janjiku dan kalah darimu. Aku tak dapat memenuhi janjiku untuk menggantikanmu menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga. Disisi lain, aku menyaksikan dirimu masih perkasa, bahkan lebih perkasa dibanding yang dulu. Asam urat yang engkau derita akhir-akhir ini tak menghalangimu dari beraktifitas. 

Pada sisa-sisa Ramadhan, aku berjanji akan menggantikanmu menyediakan makan sahur untuk seluruh keluarga. Namun ternyata aku selalu baru bangun saat makanan telah terhidang, jam tiga dinihari. Engkau telah terlebih dulu bangun saat aku masih bergelung, dan langsung menyiapkan sahur bagi kita semua. 

Selepas sahur, biasanya engkau langsung membenahi peralatan bekas memasak dan makan serta mencucinya sekaligus. Kadang aku membantu sedikit. Setelah itu engkau mengambil wudhu dan bergegas ke masjid untuk ikut jamaah shalat shubuh. Aku pun mengikuti meski dengan terkantuk-kantuk. Setelah shalat subuh aku biasanya tidur kembali, namun engkau kembali menyingsingkan lengan baju, bersiap mencuci pakaian atau memasak lagi untuk orang-orang yang membantu mengerjakan sawah kita. Saat aku bangun kembali, hanya tersisa pekerjaan membenahi dan membersihkan rumah dan halaman rumah kita yang luas, ditambah, kadang-kadang mencuci piring atau pakaian bila kau tak sempat menyelesaikannya.

Ibu, engkau wanita perkasaku!

Ketika dhuha merangkak, engkau berangkat ke sawah, mengantarkan makanan untuk orang-orang yang bekerja di sawah, sekaligus turut serta mengerjakannya. Kadang-kadang, sebelum ke sawah engkau menyempatkan diri ke pasar untuk berbelanja bagi warung kecil kita dan kebutuhan sehari-hari di rumah. Saat matahari mulai naik hingga memanggang ubun-ubun, engkau tetap bertahan di sawah dalam lapar dan haus puasa tanpa sedikit jua kesah. Sepulang dari sawah, engkau hanya berhenti dalam sedikit jeda, mandi dan istirahat sejenak, kemudian kembali berjibaku untuk mempersiapkan makan siang bagi para pekerja sekaligus makanan berbuka. Bakda ‘asar, engkau kembali ke sawah sampai maghrib menjelang. Sedang aku?

Aktifitas rutinku di pagi hari adalah membenahi rumah mpung kita yang luas dan selalu berdebu serta menyapu halamannya yang juga luas. Selain itu mencuci pakaian, perkakas memasak dan makan serta memasak jika ibu tak sempat melakukannya. Aku sangat ingin membersihkan kebon samping kita yang jauh lebih luas dari halaman, tapi akhirnya sampai liburanku berakhir, aku tak dapat menyelesaikannya. Sekedar menyapu halaman saja telah membuat buku-buku tapak jariku melepuh karena lama tak memegang sapu lidi. 

Selesai dengan pekerjaan rumah, aku mencoba ikut turun ke sawah, sekalipun engkau melarang. Panas, kotor dan gatal kau bilang. Nanti baju dan kaos kakimu berlumpur, katamu. Aku berkeras untuk turut serta sekalipun sekedar satu atau dua jam. Toh, selain membantu menyiangi rumput, aku sekaligus bisa menikmati hijaunya rumpun jagung dan padi, segarnya udara, merdunya cicit burung, birunya langit, dan kokohnya si kembar Merbabu-Merapi. Tapi ternyata, Ibu, baru satu bedeng tanaman kacang panjang kita aku siangi, aku sudah berteriak-teriak dan lari tunggang langgang karena terpegang ulat bulu. Akhirnya aku menyerah, tak mau lagi turun ke sawah karena jijik dengan ulat bulu yang riwug-riwug, dan keluwing yang merah gendut. 

Ibu, engkau memang wanita perkasaku! 

Sehabis berbuka, engkau langsung membenahi dan mencuci peralatan makan dengan atau tanpa bantuanku. Setelah semua beres, Engkau kemudian berangkat ke masjid untuk shalat tarawih. Aku sering ikut denganmu, namun kadang-kadang aku lebih suka shalat tarawih di rumah. Biar lebih santai dan tidak terburu-buru, itu alasanku, meski hal itu membuatku tak mendapat pahala jamaah.

Sepulang dari tarawih, barulah engkau beristirahat. Kita bercengkerama, ngobrol tentang banyak hal. Namun seringkali Engkau juga mengajakku ngobrol tentang ceramah yang kau dengar di masjid ataupun tentang isi kajian yang kau peroleh di pengajian Aisyiyah. Engkau menanyakan hal-hal yang masih belum kau mengerti, serta minta diajari menghapal ayat-ayat dan doa-doa yang kau rasa susah sekali. Barulah istirahat kau jelang, saat malam mulai beranjak jauh. 

Ibu, engkau sungguh wanita perkasaku!

Ibu, masih banyak lagi hal lain yang engkau kerjakan selama aku di rumah. Aktifitas-aktifitas di atas masih ditambah lagi jika ada tetangga kita yang sedang hajatan ataupun terkena musibah. Engkau pasti dengan ringan tangan ikut membantu. Engkau rajin menghadiri acara yasinan, takziah maupun rewang.

Aku masih ingat ibu, ketika hari pertama aku di rumah, engkau mengajakku patungan, menyelenggarakan buka puasa bersama bagi seluruh jamah masjid di kampung kita. Engkau, dibantu beberapa orang ibu-ibu dan kami, memasak semua hidangan yang diperuntukkan bagi para jamaah. Engkau memintaku untuk memberikan sedikit pengajian, karena sulit mencari ustadz atau ustadzah mendadak. Saat itu kukatakan, lailatul qadar bukan hanya hak mereka-mereka yang beri’tikaf penuh di masjid selama sepuluh hari terakhir ramadhan. Tapi juga hak para bapak-ibu dan semua muslim yang ‘harus’ tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjalankan amanah-amanah ummat. Bahwa kita bisa tetap menjemput lalilatul qadar dengan berdzikir, mengaji, mendengarkan pengajian, tetap berpuasa dan menjalankan sunnah nafilah disela aktifitas sehari-hari kita.

Ibu, Engkau benar-benar wanita perkasaku!

Dan taukah kau, Bu, apa yang kupikirkan saat ini? Aku berharap, Engkau layak mendapatkan lailatul qadar. Mendapatkan malam yang nilainya lebih dari seribu bulan atas semua kesungguhan yang kau lakukan di akhir ramadhan. Aku berdoa Allah menerima senandung tasbih, takbir dan tahlilmu yang menggema di antara rumpun padi dan palawija. Aku berharap Allah memberikan harga berlipat bagi puasamu di tengah balutan lumpur dan siraman terik matahari. Aku meminta, Allah mencatat dan menggandakan balasan untuk langkah-langkahmu tiap isya dan subuh, menuju masjid, menujuMu meski dalam lelah dan sakit pada sendi-sendi tubuhmu. 

Ibu, aku sungguh memohon, Allah memasukkanmu dalam barisan orang-orang yang mendapat anugrah lailatul qadar, yang nilainya tak terhitungkan. Ibu, hanya do’a ini yang dapat kupersembahkan untukmu, di hari ibu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sebuah Kado Hari Ibu"

Post a Comment