Rumah Sebagai Tempat Ibadah

RumahImam Syafi’i, seorang imam terkenal, profesor fiqih Islam terkemuka yang sulit dicari tandingannya, bukanlah berasal dari rumah besar dan mewah. Ia lahir dari rumah bersahaja. Begitupun Imam Bukhori, penyusun hadits yang luar biasa jasanya bagi dunia, termasuk para mujahid Islam kaliber internasional. Mereka bukanlah anak-anak gedongan yang hidupnya dikelilingi fasilitas serba wah. Tidak! Mereka adalah anak-anak keluarga bersahaja yang hidup dalam rumah-rumah sederhana, tapi terpancar di dalamnya semangat penghambaan yang tinggi.

Rumah kita sekecil apapun luas bangunan dan tanahnya, seharusnya memang memiliki kemanfaatan ibadah bagi seluruh anggota keluarga. Artinya di samping rumah itu berfungsi sebagai tempat berlindung, setiap ruangnya harus merefleksikan fungsi utamanya sebagai sarana ibadah dan pusat tarbiyah robbaniyah bagi seluruh anggotanya. Itulah rumah yang aktif dan efektif alias rumah yang tidak tidur.

Sebaliknya, sebesar apapun rumah kita –dengan segala fasilitas yang serba glamour-- jika tidak berfungsi sebagai “madrasah robbani” (pusat pendidikan) bagi seluruh anggota keluarga, rumah itu adalah rumah yang “tidur”. Rumah yang tidak berfungsi optimal sebagai pusat pendidikan yang utama dan pertama bagi seluruh anggotanya. Karena keberadaannya tidak efektif sebagai pusat pembinaan mental untuk melahirkan kader-kader Islam yang tangguh.

Jarang atau sedikit barangkali, orang yang berpikir kemanfaatan rumah tinggalnya sebagai sarana tarbiyah (pendidikan). Yang berpikir fungsi rumahnya sebagai fungsi ibadah dalam arti luas. Agar setiap relung sudut rumahnya merefleksikan penghambaan sebuah keluarga pada Penciptanya. Sehinga si kepala keluarga tidak sibuk semata-mata memoles atau mengubah bentuk bangunannya. Tapi bagaimana ia merancang ruang-ruangnya dalam perspektif kemanfaatan ibadahnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Rumah juga akan bernilai ibadah, bila ornamen-ornamen yang menghiasi sudut-sudut ruangnya tidak melambangkan kemaksiatan atau kesombongan pemiliknya. Atau melambangkan simbol-simbol yang dilarang Islam, baik berupa lukisan, patung, foto atau hiasan lainnya. Misalnya memajang foto-foto, kalender, atau poster-poster tokoh-tokoh artis Barat/lokal bergaya sensual. Atau gambar-gambar cabul lainnya (na’udzu billah min dzalik).

Sebaliknya kita hiasi ruangan tamu kita dengan cuplikan ayat Al Qur’an atau hadits yang isinya mengajak orang untuk bersegera menegakkan sholat, bersegera melakukan kebaikan, atau mengingatkan orang pada kematian. Pesan mengingat akhirat itu bisa juga kita sampaikan lewat kaset tilawah Al Qur’an atau senandung nasyid-nasyid Islami. Begitupun sekat-sekat ruangannya, sebisa mungkin ditata sedemikian rupa sehingga tidak membuat siapapun yang bertandang, bisa leluasa melihat kehidupan privasi para penghuni rumah.

Selain itu aspek yang tidak kalah penting untuk memfungsikan rumah sebagai pusat ibadah dan tarbiyah adalah, bagaimana membuat agenda-agenda kegiatan keluarga di dalam rumah senantiasa berorientasi pada implementasi pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Aplikasinya tidak sulit. Misalnya sepekan sekali sehabis Maghrib sampai ‘Isya wajib tilawah Qur’an bagi seluruh anggota keluarga. Subuh tepat waktu harus menjadi agenda rutin harian. Atau jika tidak bisa, minimal sepekan sekali seluruh anggota keluarga wajib bangun solat subuh tepat waktu. Sepekan atau sebulan, atau mungkin dua bukan sekali, kita mengadakan pengajian rutin keluarga. Akan lebih baik misalnya, seluruh anggota keluarga komitmen mengadakan lomba menghafal Al Qur’an, yang wajib setor hafalannya masing-masing per pekan. Dan banyak lagi model ibadah keluarga yang bisa kita kemas dalam bentuk-bentuk atraktif lainnya. Pendek kata hari-hari dalam keluarga kita seyogyanya berjalan dan berproses secara pasti menuju pada mutu penghambaan yang kian berkualitas.

Hal-hal di atas adalah upaya untuk memfungsikan rumah-rumah kita agar bernilai ibadah. Agar fungsinya sebagai madrasah robbbani dapat berjalan optimal. Sehingga orientasinya selalu menuju pada keta’atan bukan ma’siat kepada Allah swt. Atau setidaknya, rumah kita dapat mencegah timbulnya pikiran-pikiran negatif bagi setiap orang yang bertandang ke dalamnya.

Idealnya, setiap Muslim mestinya mampu memanfaatkan rumahnya untuk menempa seluruh anggota keluarga agar menjadi Muslim/Muslimah yang sadar Islam. Tempat lahirnya generasi-generasi sadar ibadah, yang sadar dakwah, dan sadar berharokah untuk mengantarkan kemenangan Islam dan kaum Muslimin di setiap tempat tinggalnya.

Mudah-mudahan kita tidak termasuk keluarga yang dicemo’oh Al Qur’an sebagai keluarga yang lalai. Yang rumah-rumah kita tak memberi kemanfaatan ibadah. Karena rumah-rumah kita tak lebih sebagai onggokan batu bata yang “tidur” laksana kuburan. Yang dari dalamnya hanya lahir generasi lalai sholat dan pengikut hawa nafsu (Q.S 19:59).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rumah Sebagai Tempat Ibadah "

Post a Comment